Minggu, 11 Januari 2009

Para Pedagang Intan Perintis Komunitas Warga Banjar di Kesultanan Yogyakarta

PARA PEDAGANG INTAN, PERINTIS KOMUNITAS WARGA BANJAR DI KESULTANAN YOGYAKARTA

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

A. Kegiatan Dagang Masyarakat Banjar

Seiring dengan lahirnya Kerajaan Banjar tahun 1526 maka dalam kehidupan masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk limas. Lapisan yang paling atas adalah golongan penguasa, yang terdiri dari kaum bangsawan atau bubuhan raja-raja, yang sebagian memangku jabatan birokrasi dan sebagian lagi sebagai pedagang atau pemilik usaha. Di bawahnya, yakni lapisan kedua terdapat golongan ulama dan para pejabat urusan keagamaan kerajaan, seperti Mufti (hakim agama), penghulu dan pembantu-pembantunya. Lapisan yang ketiga adalah golongan pedagang yang jumlahnya cukup besar.

Sejak awal berdirinya Kerajaan Banjar sudah banyak para pedagang Banjar yang berlayar membawa dagangan terutama hasil bumi ke pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Orang Banjar juga membuat sendiri jung (perahu) dari kayu ulin (kayu besi) untuk berlayar mengarungi lautan. Para pedagang Banjar yang mewarisi jiwa dagang moyangnya itu kemudian selain banyak berusaha di daerah sendiri, juga terdapat di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka mempunyai hubungan tetap dengan pedagang-pedagang dari luar seperti dari Jawa, Makassar (Bugis), Melayu, Cina dan Arab. Mereka umumnya mempunyai kapal layar sendiri untuk membawa barang dagangan berupa hasil bumi dan hasil tambang ke luar Kalimantan. Apalagi usaha berdagang dipandang terhormat dalam masyarakat Banjar. Pengaruh pedagang kaya cukup besar dalam masyarakat. Para pedagang Banjar dulu dikenal sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi adat leluhur, cinta sesama makhluk, serta belas kasihan pada yang lemah ( Amir Hasan Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan: 90).

Sedangkan lapisan terbawah dalam struktur masyarakat Banjar yang jumlahnya terbesar terdiri atas para petani, juga para pedagang kecil, nelayan, usaha kerajinan, industri rumah tangga dan pertukangan. Dalam kelompok inipun tidak sedikit orang Banjar yang hidup dalam kegiatan perdagangan, walaupun sifatnya dalam lingkup perdagangan lokal atau sebagai pengencer. Sehingga dalam masyarakat Banjar umumnya kehidupan dagang dengan berbagai liku-likunya merupakan dinamika yang berlangsung di masyarakat.

Jenis barang dagangan yang dibawa pedagang Banjar ke luar Kalimantan atau yang dibeli pedagang dari luar adalah berupa hasil perkebunan rakyat terutama kopra, karet dan lada. Tanaman lain seperti buah-buahan karena tidak tahan lama umumnya tidak bisa dibawa berlayar ke luar pulau, hanya pisang yang diperjualbelikan dengan pedagang dari luar. Hasil hutan yang termasuk eksport adalah rotan dan damar. Sementara dari hasil perkebunan swasta yang menjadi bahan eksport juga karet di samping kopi. Sedangkan dari hasil tambang yang banyak terdapat di Kalimantan Selatan yang diperjualbelikan ke luar adalah minyak, batu bara, serbuk emas, biji besi dan tembaga.( RZ Leirissa, Sejarah Sosial Daerah Kalsel: 43).

Salah satu hasil tambang yang banyak diperjualbelikan pedagang Banjar ke berbagai kota di Indonesia terutama di Jawa dan Singapura adalah intan dan berlian. Beda intan dengan berlian adalah dari segi kualitasnya, yakni berlian lebih bersih dan lebih berkilau, sehingga harganya lebih mahal. (H. Harun Arsyad, wawancara ).

Barang-barang yang umumnya dari daerah pedalaman tersebut merupakan barang-barang ekspor. Ekspor dilakukan ke daerah-daerah di Pulau Jawa, Cina, Pulau Pinang, Malaka, Riau, Makassar, Maluku, Bali dan lain-lain. Intan dan berlian di ekspor juga menurut ukuran mutunya ke luar Kalimantan. Sedangkan barang-barang impor ke Banjarmasin antara lain: beras, garam, asam, bawang, minyak, tembakau, benang hitam, benang merah, kain lena putih dan lena hitam, pakaian jadi, kain dan pakaian batik, gula pasir, gambir, obat-obatan, besi, timah, timah hitam, koper atau tas, kain hitam, belau, kain kapan, ikat pinggang dan lain-lain. (RZ Leirissa,: 86).

Pekerjaan berdagang memang merakyat di kalangan orang Banjar. Semua itu lahir dari adanya kekayaan alam yang melimpah dan pemahaman masyarakat tentang nilai pekerjaan yang berfungsi untuk memenuhi keperluan orang lain tersebut. Bumi Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan memiliki kekayaan alam yang terdiri atas berbagai hasil perkebunan, berbagi hasil hutan, serta berbagai hasil tambang yang laku diperjualbelikan di berbagai kota dan pelabuhan di Nusantara bahkan dicari oleh para pedagang dari luar negeri.

Faktor berlimpahnya kekayaan alam Kalimantan Selatan dan pemahaman tentang kedudukan sebagai pedagang serta nilai amaliah yang diberikan dalam melaksanakan usaha dagang ini membuat pekejaan dagang menyatu dengan karakter orang Banjar.

Sementara kehidupan orang Banjar yang kesehariannya tidak terpisah dengan kehidupan air yang umumnya mereka bermukim di sepanjang aliran sungai-sungai di negeri ini, sehingga tumbuh pula kemampuan membuat perahu dan terampil menggunakannya. Faktor ini turut mendorong para pedagang Banjar untuk merantau berlayar membawa barang dagangan mereka ke berbagai pelabuhan di pantai utara Jawa dan beberapa pelabuhan di Sumatera, bahkan ke Malaka dan Singapura.

Perjalanan sejarah masyarakat Banjar yang menempatkan pekerjaan dagang benilai amaliah dan telah membentuk karakter dagang dalam kesehariannya memberikan predikat orang Banjar berjiwa dagang. Sehingga memberikan kesan segala sesuatu senantiasa diukur dari untung rugi. Sampai ada anggapan siapapun raja atau penguasa di Banjar akan dipatuhi selama yang bersangkutan tidak membatasi kebebasan kehidupan dagang orang Banjar.

Umumnya orang Banjar berjiwa dagang mungkin ada benarnya, tetapi semata-mata diukur dari untung rugi dan tak boleh ada pembatasan dalam berdagang tidaklah sepenuhnya benar. Kehidupan orang Banjar yang mewarisi kehidupan agamis yang telah ditanamkan oleh seorang tokoh ulama sejak abad 18 Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari cukup memeberikan rambu-rambu bagaimana orang Banjar dalam berdagang. Ajaran bahwa pekerjaan dagang bernilai mulia bagi orang Banjar memiliki dimensi lain yang membedakannya dengan aktivitas dagang dari daerah lain pada umumnya.

Para pedagang Banjar dalam melakukan transaksi jual beli umumnya tidak akan meninggalkan rukun-rukunnya. Dalam masyarakat Banjar tanda kesepakatan jual beli terbiasa dengan ucapan juallah (aku jual) dan tukarlah (aku beli) oleh penjual dan pembeli barang. Lafadz yang diucapkan oleh penjual dan pembeli tersebut adalah akad kesepakatan yang bagi orang Banjar merupakan rukun jual beli yang tidak boleh ditinggalkan. Rukun yang lainnya seperti keberadaan penjual dan pembeli umumnya sudah terpenuhi apabila kedua pihak melakukan lafadz jual beli. Sedangkan rukun keberadaan barang yang meliputi kualitas barang, kehalalan, kemanfaatan, hingga kepemilikan barang, umumnya terpenuhi melalui dialog antara pembeli dan penjual sebelum ada kesepakatan.

Budaya jual beli yang mengacu pada syariat Islam yang tertanam dalam masyarakat Banjar ini dapat ditemukan dalam transaki jual beli yang berlangsung di pasar-pasar tradisional di Kalimantan Selatan. Sementara ketika telah terjadi perkembangan sistem pasar dengan lahirnya toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan , maka akad jual beli umumnya tidak lagi dilafadzkan, hanya cukup dengan adanya kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli tentang harga dan barang yang diperjualbelikan. Namun untuk jual beli barang atau benda yang nilainya tinggi seperti sebidang tanah, rumah, dan benda-benda lain yang berharga mahal, orang Banjar merasa tidak afdal bahkan menganggap tidak sah kalau taransaksi jual beli tersebut tidak diakadkan dengan dilafadzkan.

B. Para Penggurijaan Banjar Mencari Pembeli Intan dan Berlian di Ibukota Kerajaan Solo dan Yogya

Intan dan berlian adalah salah satu hasil tambang di Kalimantan Selatan yang menjadi usaha untuk kehidupan bagi sebagian masyarakat Banjar, baik sebagai pencari (pendulang) atau sebagai pedagang yang memperjualbelikannya. Usaha mendulang kedua bahan tambang ini sampai saat ini umumnya masih menjadi mata pencaharian sambilan di samping bertani bagi masyarakat di kawasan Kabupaten Banjar. Di beberapa kampung (desa) yang termasuk dalam kabupaten tersebut seperti Kampung Cempaka, Karang Intan, Awang Bangkal, Sungai Besar dan Matraman, terdapat usaha kegiatan pendulangan yang dilakukan secara berkelompok-kelompok. Kampung-kampung tersebut dikenal sebagai lokasi yang banyak mengandung batu intan maupun berlian

Mendulang adalah mencari intan dengan jalan menggali tanah. Lubang galian tersebut bermacam-macam, ada lubang surut yang dalamnya sekitar 2 meter, ada lubang sedang yang dalamnya antara 5 – 7 meter, dan ada lubang dalam yang dalamnya sekitar 15 meter. Dalamnya lubang ini umumnya tergantung pada keadaan tanah, Karena yang penting dalam galian tersebut harus sampai ke lapisan batu ampar di mana ditemui batu-batu yang kadang-kadang berisi intan dan berlian. Pendulangan juga ada yang dilakukan di tepi-tepi sungai atau di guntung-guntung anak sungai. Para pendulang percaya pada malim yang ahli memeriksa tanah apakah mengandung intan atau tidak. Apablia syarat-syarat yang dikatakan seorang malim cukup, barulah para pendulang mulai bekerja. (Amir Hasan Bondan: 109).

Para pendulang yang mengerjakan satu lubang biasanya berjumlah sekitar 5 orang. Mendulang intan memerlukan kesabaran dan keuletan. Mereka kadang-kadang bekerja berbulan-bulan lamanya tidak mendapatkan satu bijipun intan atau berlian, namun biasanya mereka tidak berputus asa dan terus bekerja, hingga akhirnya dapat juga beberapa butir intan mentah. Sebutir intan mentah yang beratnya 2 karat kalau sudah digosok menjadi kurang lebih satu karat. Hasilnya umumnya sudah dibeli para pedagang di tempat pendulangan dalam keadaan mentah. Hasil penjualan tersebut dibagi sama setiap orang dalam kelompok tersebut. Umumnya hasil yang didapat para pendulang intan dan berlian dalam kegiatan mendulang tidak seberapa. Kecuali mereka yang mendapatkan biji intan atau berlian yang beratnya berpuluh-puluh karat, dan hal itu jarang sekali terjadi.

Lain halnya dengan para pedagang intan dan berlian, mulai dari mereka yang membeli yang masih dalam keadaan mentah, apalagi bagi para pedagang yang membeli sudah digosok dan memasarkannya bahkan sampai ke Pulau Jawa atau ke Singapura. Mereka umumnya orang-orang berduit yang punya modal, atau setidak-tidaknya sebagai seorang sales kepercayaan dari seorang pebisnis intan dan berlian dari kota Martapura atau Banjarmasin. Para pedagang intan dan berlian yang memasarkan barang-barang tersebut dengan secara langsung menawarkan kepada pembeli, mereka disebut penggurijaan. Para penggurijaan ini umumnya hanya bermodal kecil, barang dagangan yang mereka bawa intan dan berlian serta barang perhiasan dari emas lainnya umumnya barang titipan pedagang kaya sebagai barang dagangan. Selain para pedagang kaya banyak pula para penggurijaan yang membawa barang dagangan intan dan berlian ke kota-kota besar di luar Kalimantan. Kota-kota yang banyak dikunjungi mereka umumnya kota-kota di Pulau Jawa, seperti Surabaya, Semarang, Jakarta, Bandung, dan Surakarta. (H. Harun Arsyad, wawancara).

Para pedagang intan dan berlian yang berkunjung ke Surakarta umumnya mereka datang melalui Surabaya. Kalau di kota-kota besar lainnya para pedagang berlian menawarkan barang-barangnya kepada para pedagang pemilik toko emas, maka pedagang intan berlian yang datang ke kota Surakarta (Solo) selain menghubungi toko-toko emas yang ada juga mereka mengadakan hubungan dengan keluarga kerajaan serta orang-orang Belanda yang banyak mengoleksi permata-permata mahal tersebut.

Kedatangan pedagang-pedagang intan berlian dari Banjarmasin ke Surakarta (Solo) mulai ramai sejak kota ini menjadi ibu kota Kerajaan Mataram (1746). Para pedagang intan berlian yang datang ke Surakarta menjadi bertambah ramai ketika para penggurijaan banyak pula yang mengadu nasib ke kota kesunanan ini. Karena berdagang intan berlian oleh para penggurijaan ini mereka harus mencari pembeli untuk mendapatkan harga yang menguntungkan, maka umumnya melalui proses berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Karena itu mereka banyak yang kemudian tinggal di kota Surakarta harus mengontrak rumah, atau bahkan kemudian mereka membeli runah di kota ini. Demikian proses berlangsung sehingga akhirnya banyak orang Banjar yang bermukim di kota Surakarta. Mereka itu banyak tinggal di kawasan Jayengan di tengah kota Surakarta.

Di antara pedagang intan berlian yang kemudian bermukim di kota Surakarta ini bernama Anang Atu. Seorang putra Anang Atu yang mengikuti jejaknya menggeluti perdagangan intan berlian bernama H. Yusuf yang mendirikan gudang penggosokan intan berlian di Kampung Jayengan Solo yang penduduknya umumnya sudah warga dari Banjar. Usaha penggosokan intan dan berlian yang terdapat di Kampung Jayengan tersebut bernama Penggosokan Intan M. Saleh Yusuf, diambil dari nama anaknya yakni Muhammad Saleh.

Penggosokan intan milik H, Yusuf tersebut memiliki beberapa alat penggosokan intan tradisional, yakni alat gosok yang untuk memutar batu penggosoknya digunakan bekas roda sepeda yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa digerakkan dengan enjotan kaki. Para penggosoknya semuanya berasal dari warga Banjar yang tinggal di Kampung Jayengan Solo. Sedangkan bahan mentah intan maupun jenis berlian yang digosok selain berasal hasil pendulangan dari Banjar juga ada yang dibeli dari pedagang-pedagang Belanda yang datang dari Eropah (M. Saleh, wawancara).

M. Saleh putra H. Yusuf pemilik penggosokan intan di Jayengan ini ketika sudah menamatkan pendidikannya di Mambaul Ulum Solo kemudian membantu ayahnya menjadi penjual intan dan berlian ke bebagai kota di pulau Jawa. Kota-kota besar yang menjadi pemasaran intan atau berlian hasil penggosokan di Jayengan tersebut antara lain Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Yogyakarta. Menurut M. Saleh untuk membawa dan menjual intan barang hasil gosokan usaha orang tuanya ke Yogyakarta dengan naik kereta api, kadang-kadang pulang-pergi, sesekali juga menginap.

Yogyakarta mulai ramai dikunjungi pedagang intan dan berlian sejak kota ini menjadi ibu kota Kesultanan Ngayogyakata, yakni kesultanan baru pecahan dari Kerajaan Mataram Surakarta. Dengan adanya Perjanjian Gianti (1755) Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I menjadi raja pertama di Ngayogyakarta. Seperti halnya Surakarta sebelumnya yang menjadi ibu kota Kerajaan Mataram, maka Yogyapun semakin ramai dikunjungi para pedagang termasuk para pedagang Belanda. Di antara para pedagang Belanda tersebut banyak juga yang ikut berjual beli batu permata terutama intan dan berlian. Di samping itu keluarga kraton sendiri banyak yang suka mengoleksi batu-batu permata.

Situasi kehidupan di Yogyakarta yang semakin ramai perdagangannya itulah yang akhirnya mengundang pedagang-pedagang intan dari Banjarmasin semakin banyak di kota tersebut. Beberapa di antara para pedagang Banjar ini sudah mulai ada pula yang menetap di Yogyakarta. Mereka umumnya tinggal di Kawasan Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo, di mana sehari-hari mereka melakukan kegiatan jual beli barang dagangannya (H. Harun Arsyad, wawancara).

Sementara itu pula para pedagang intan dan berlian dari Banjar baik yang sudah menetap di Kampung Jayengan Solo maupun yang masih pulang pergi Banjarmasin-Solo juga sudah banyak yang berjualan ke Pasar BeringharjoYogyakarta. Intan dan berlian hasil penggosokan di Jayengan yang dikerjakan orang-orang dari Banjar juga dipasarkan ke Yogyakarta di samping ke kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa. M. Saleh putra H. Yusuf yang membawa dagangan ke Yogyakarta kadang-kadang menginap di rumah keluarga, karena saat itu sudah ada beberapa pedagang Banjar yang menetap di Yogyakarta yang di antaranya masih ada hubungan keluarga dengan orang tuanya (M. Saleh, wawancara).

Memasuki tahun 1900-an para pedagang batu mulia asal Banjarmasin yang tinggal di Yogyakarta juga sudah ada beberapa orang yang melakukan usaha penggosokan intan secara tradisional di rumah-rumah mereka. Kegiatan penggosokan intan terdapat di beberapa rumah warga Banjar yang bermukim di Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo (H.M. Rozi Amin, wawancara).

Dengan makin ramainya perdagangan batu mulia di Yogyakarta semakin ramai pula para pedagang intan dari Banjar yang datang membawa dagangannya ke kota tersebut. Sehingga dalam beberapa tahun kemudian warga Banjar sudah banyak yang menetap di beberapa kampong di Yogyakarta, seperti di kampong Suryatmajan, Kauman, Tegalpanggung, Gembelaan, Cokrodirjan, bahkan secara sporadis tersebar di beberapa kampung lainnya (H. Harun Arsyad, wawancara).

C. Komunitas Banjar di Negeri Kesultanan ini Masih Mewarisi Kehidupan Islami

Para pedagang intan dan berlian asal Banjar baik yang bermukim di Kampung Jayengan Solo maupun yang tinggal di kampung Katandan Yogyakarta, sebagai komunitas pertama warga Banjar di kedua kota tersebut umumnya berasal dari kota intan Martapura. Kota Martapura sendiri sejak masa Kerajaan Banjar sudah dikenal sebagai kota serambi Mekah, karena penduduknya umumnya taat beragama. Kota Martapura dikenal selain sebagai ibu kota Kerajaan Banjar juga merupakan pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan.

Ajaran Islam yang menyebar dari Martapura ke berbagai pelosok di Kalimantan tersebut erat kaitannya dengan usaha yang dilakukan oleh seorang ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada abad ke 19 yang lalu. Sebagai pewaris ulama besar penyebar Islam tersebut membuat warga Martapura dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat dalam menjalankan ibadah. Karena itulah di mana ada sekelompok warga Banjar asal Martapura bermukim, di tempat itu ada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti perkumpulan pengajian agama, perkumpulan pembacaan Surah Yasin, perkumpulan pembacaan barzanji, dan lainnya.
Ketaatan dalam melaksanakan ibadah wajib atau fardhu ‘ain seperti shalat lima waktu bagi warga Martapura sesuatu yang mereka lakukan di manapun berada.

Tuntutan adanya tempat yang memadai dan resmi untuk melaksanakan ibadah tersebut, kemudian secara gotong royong membangun tempat ibadah berupa langgar (mushalla). Mula-mula umumnya hanya warga Banjar yang tinggal disekitarnya merupakan jamaah tetap dalam setiap melaksanakan shalat berjamaah. Baru kemudian warga sekitar lainnya baik warga asli atau pendatang lainnya ikut meramaikan tempat ibadah tersebut. Seperti halnya yang terdapat di Kampung Jayengan Solo, langgar warga Banjar tersebut kemudian difungsikan sebagai masjid dengan nama Masjid Darussalam pada tahun 1911.

Demikian pula warga Banjar yang sudah bermukim di di Yogyakarta, mereka yang umumnya melakukan kegiatan dagang di Psar Beringharjo ini bersepakat untuk mengusahakan didirikannya musalla yang tidak jauh dari tempat mereka berjual beli. Sebagai pedagang batu mulia beberapa warga Banjar asal Martapura ini mempunyai hubungan dekat dengan para pedagang atau pengoleksi batu-batu permata dari keluarga Kesultanan Ngayogyakarta.

Melalui kalangan pedagang keluarga kerajaan inilah para pedagang Banjar yang disponsori oleh H. Hasan kemudian melakukan pendekatan kepada Sultan Yogya untuk mendapatkan ijin membangun mushalla yang letaknya tidak jauh dari Pasar Beringharjo. Dalam tahun 1940-an sewaktu Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah memangku sebagai Sultan Ngayogyakarta, ketika utusan Banjar dengan diantar seorang keluarga kraton menghadap sultan ke istana, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghadiahkan sebidang tanah untuk pembangunan mushalla di kawasan Kampung Katandan. Di lokasi itulah para pedagang asal Banjar dengan berswadaya dan bergotong royong kemudian dapat membangun sebuah mushalla kecil ukuran 8m x 8m yang dikenal sebagai Langgar Kalimantani (H.M. Rozi Amin, wawancara). Nama Kalimantani tersebut semula diberkan oleh Bapak Andik, tetuha warga Banjar di Yogyakarta waktu itu.

Dalam tahun 1950 karena jamaah yang bershalat di masjid ini, terutama dalam pelaksanaan shalat Zuhur, warga Banjar pengelola dan jamaah mushalla ini sepakat meningkatkan fungsinya menjadi Masjid Kalimantani. Sebutan Kalimantani yang dipakai utuk nama langgar dan kemudian nama masjid warga Banjar di Kampung Katandan Yogya ini kemudian pada tahun 1953 diganti dengan nama Masjid Quwwatul Islam. Perubahan nama menjadi Masjid Quwwatul Islam tersebut atas usul K.H. Anwar Musaddad seorang warga Banjar yang ketika itu menjadi ketua takmir masjid.

Bersamaan dengan itu pula dilakukan penambahan bangunan masjid pada bagian timur seluas 8m x 6m. Karena warga sekitar serta para pedagang lainnya yang ikut shalat Jum’at semakin banyak, kemudian tanah sisi utara masjid yang luasnya sekitar 12m x 8m diberi atap guna menampung jamaah yang ikut shalat Jum’at di Masjid Quwwatul Islam yang terletak di Jalan Mataram No.1 di pusat kota Yogyakarta ini.

Menurut H. Harun Arsyad warga Banjar kelahiran Martapura tahun 1927 yang mulai menetap di kampung Patuk Yogyakarta sejak tahun 1953, sudah tradisi orang Banjar di mana mereka bermukim selalu ada pengajian agama bersama. Biasanya pengajian itu diselenggarakan seminggu sekali yang tempatnya bergantian di rumah para pesertanya. Bagi masyarakat yang tinggalnya dekat langgar atau masjid maka biasanya mereka menyelengarakannya di tempat ibadah tersebut.

Karena itu ketika H. Harun Arsyad pertama datang di Yogyakarta, waktu itu warga Banjar yang tinggal di Kampung Katandan sudah melaksanakan kegiatan Yasinan pada setiap malam Jum’at di masjid orang Banjar tersebut. Sementara itu pada malam lainnya ada pengajian mingguan untuk memperdalam dan menambah pengetahuan keislaman yang dilakukan setelah shalat Magrib sampai dengan Isya. Di samping itu sudah tradisi pula adanya kegiatan tadarus Al Qur’an pada setiap malam di bulan Ramadhan. Serta ada pengajian-pengajian umum yang mengikutsertakan warga kampung sekitar pada peringatan atau perayaan Hari-Hari Besar Islam setiap tahun (H. Harun Arsyad, wawancara).

Bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di Masjid Quwwatul Islam yang dulu bernama Kalimantani ini, juga telah dialami oleh Drs. H.M. Rozi Amin, warga Banjar kelahiran Yogyakarta tahun 1949. Kakek dan nenek Rozi Amin asli Martapura yang membawa orang tuanya bermukim di Yogyakarta. Sejak kecil ia sering ikut orang tuanya shalat di masjid warga Banjar ini. Ketika remaja ia ikut aktif dalam kegiatan remaja masjid. Dan kini Rozi Amin menjabat Ketua Takmir Masjid Quwwatul Islam.

Menurutnya sejak dulu sampai sekarang ketua takmir ini selalu dipegang oleh orang Banjar, hal ini untuk tidak melupakan asal usul berdirinya yakni oleh para pedagang asal Banjar (Kalimantan Selatan), walaupun sekarang dibantu dari warga sekitar bahkan ada juga dari warga asal daerah-daerah lain yang tinggal di Yogya. Kegiatan keagamaan di masjid tetap berlangsung seperti sejak dulu, dan untuk kegiatan-kegiatan pengajian pada Hari-Hari Besar Islam takmir umumnya berkerja sama dengan Warga Banjar yang tergabung dalam organisasi Kakabayo (Kerukunan Kulawarga Banjar-Yogya). (HRN peneliti sejarah & nilai tradisional).

1 komentar:

Syam mengatakan...

Ma'af pak haji, setelah sy browsing disekian byknya artikel pak haji,, akhirnya ketemu artikel ini, memang betul judulnya beda dgn yg sy share dari kawan2, skli lg mnta ma'af krn ini sungguh tdk disengaja..