Sabtu, 23 Juli 2016

bagiian dari biografiku



BAGIAN DARI BIOGRAFIKU
Nama kecilku itu Ramli dan Nawawi itu nama orang tuaku yang kucantumkan di belakang namaku ketika aku lulus sarjana. Aku sekarang pensiunan peneliti pada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta tahun 2006, padahal dulu sewaktu aku tamat SR 6 tahun orang tuaku bermaksud menyekolahkan aku ke Pesantren Darus Salam Martapura. Orang tuaku memang guru agama yang mengajar di beberapa Langgar (Surau) di kampungku Wasah Hilir dan kampung kelahiran orang tuaku di Amawang Kiri  (Kandangan). Sejak masuk SR (Sekolah Rakyat ) kelas I sekaligus sore harinya aku juga belajar di Sekolah Arab. Juga setiap malam sesudah Magrib atau Isya orang tuaku mengajariku membaca Al Qur’an hingga tamat.
Setelah itu aku dicarikan guru Al Qur’an yang terpandang fasih di desaku, Tuan Guru H. Sapdin (H.A. Sani) guru Al Qur’an yang menguasai tajwid dan pernah tinggal dan belajar di Mekah. Aku dan temanku berempat diberi waktu belajar sesudah shalat Subuh. Karena itu satu jam sebelum waktu Subuh kami harus sudah menuju Langgar yang ada di samping rumah guru. Setiap subuh kami saling memanggil-manggil teman yang terlambat bangun sebelum berangkat, dan lebih sering jalan kaki daripada naik sepeda.
Selesai shalat Subuh berjemaah, kami mengambil Al Qur’an. Sekali belajar  hanya sebanyak setengah halaman. Guru menanyakan bunyi awal dari ayat yang kemaren yang sudah dibaca dan disuruh hafal di rumah. Kemudian dengan hafal guru melafazkannya. Selanjutnya kami disuruh menutup Al Qur’an dan bergiliran kami satu-satu melafazkannya pula di bawah pengawasan guru. Begitulah setiap Subuh.
Agar aku lebih fasih membaca dan membunyikan huruf-huruf Al Qur’an, aku dicarikan lagi oleh ayahku seorang guru mengaji lain. Setiap hari Minggu aku naik sepeda dengan seorang temanku pergi kepada Guru Anwar di Langgar Tandik di Desa Wasah Hulu kurang lebih 2 km dari tempat tinggalku, juga untuk berguru membaca Al Qur’an.
Waktu itu kalau di SR setelah kelas VI dinyatakan tamat, tapi di Sekolah Arab di tempatku ketika itu hanya ada sampai kelas V, kelas terakhir yang bisa diikuti dengan waktu yang tidak terbatas. Siapa yang sudah sampai ke kelas V ia lalu bergabung dengan mereka yang lebih dewasa yang sudah ada di tingkat tersebut. Karena ditingkat ini sudah mempelajari berbagai cabang ilmu agama dengan memakai “kitab kuning”. Bersamaan dengan tamat SR aku dan teman-teman mengajiku juga tidak berlanjut lagi. Karena kami harus melanjutkan sekolah yang ada di kota, sesuai dengan kemauan masing-masing.       
Setamatnya di SR orang tuaku ingin agar aku melanjutkan ke Pesantren Darus Salam di Martapura.  Tetapi kemudian di sekolah ada pendaftaran bagi siapa yang mau mengikuti test masuk Sekolah Guru B (SGB). Karena itu aku minta ijin orang tuaku untuk coba mengikuti test dulu, kalau tidak lulus baru mendaftar ke Pesantern.
Begitulah takdir telah menetapkan kalau pengabdianku yang pertama menjadi guru. Aku lulus test dan diterima di SGBN Kandangan. Pada kewartal pertama dari hasil ulangan umumku nilai raportku memenuhi syarat untuk pelajar berikatan dinas dan masuk asrama. Sehingga aku tinggal bersama-sama kawan-kawan di bawah asuhan seorang Bapak asrama. Di SGB  aku hanya 3 tahun, karena test dan hasil ulangan umum aku memenuhi syarat untuk di terima di Sekolah Guru A Negeri (SGAN) Barabai. Ketika itu di Barabai baru diresmikan berdirinya SGAN, sehingga mulai tahun ajaran 1958/1959 waktu itu semua pelajar dari SGBN yang ada di Hulu Sungai tidak lagi ke SGAN Banjarmasin.     
Tamat dari SGA tahun 1961 langsung menerima SK mengajar di SRN tapi ditugaskan di SMP Swasta Simpur (Kandangan). Beberapa bulan kemudian tepatnya tanggal 26 Nopember 1961 aku melangsungkan pernikahan dengan seorang guru SRN bernama Yohana. Begitu cepatnya aku melangsungkan pernikahan, tak lain karena kami sudah bertunangan selama tiga tahun. Dia kawanku waktu di SGBN Kandangan dulu dan menjelang aku ke SGAN Barabai kami resmi dipertunangkan. Kami memang kawin muda, dan dalam Surat Nikah kami orang tua kami masing-masing mencantumkan umurku 18 tahun dan umur isteriku 17 tahun. Orang tuaku bilang aku lahir zaman Jepang.
Setahun sebelum masuk SR (Sekolah Rakyat) yakni tahun 1948 aku dibawa orang tuaku pergi ibadah haji ke Mekah (makanya semua ijazah sekolahku dan SK-SK kepegawaianku ada titel haji semua). Aku masuk SR pada tahun ajaran 1949/1950 dan tamat tahun ajaran 1954/1955 (dulu tahun ajaran begitu dan pada bulan puasa libur sebulan penuh). Masuk SGB tahun ajaran 1955/1956 sampai tahun ajaran 1957/1958. Selanjutnya masuk SGA tahun ajaran 1958/1959 dan lulus tahun ajaran 1960/1961.   
    Aku diperbantukan mengajar di SMP Simpur hanya sekitar 2 tahun .  Selanjutnya tanpa melalui permohonan, awal tahun 1964 datang lagi SK dan panggilan untuk mengajar di SMPN I Barabai. Aku pun pindah ke Barabai, tapi baru beberapa bulan mengajar di Barabai aku ditawari oleh Bapak A. Gafuri yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Inspektorat SMP Wilayah Hulu Sungai untuk pindah ke Kandangan. Kembalinya aku Ke Kandangan waktu itu segera kumanfaatkan untuk masuk PGSLP 2 tahun, sehingga setelah tamat impassing pangkatku ke DD/II.    
Selanjutnya ketika aku sudah mengajar di SMPN I Kandangan, pada saat-saat menjelang terjadinya G30S/PKI aku sering dan berkali-kali dihubungoi oleh orang-orang dari partai golongan agama maupun yang lainnya. Ketika  itu semua orang umumnya menjadi anggota salah satu partai, termasuk para guru. Aku yang tidak berpartai waktu itu  sering dan berulang-ulang dihubungi kawan-kawan baik dari partai Islam dan lainnya. Menghadapi kasus seperti itu aku dan bebarapa guru yang senasib sepakat untuk tidak masuk partai yang sudah ada di Kandangan waktu itu. Aku dan seorang kawan ditugasi ke Banjarmasin untuk menghubungi pengurus Partai Persatuan Tharbiyah Islamiah Daerah Kalimantan Selatan di Banjarmasin, untuk meminta Buku Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai untuk dipelajari, dan bila sudah mempelajarinya akan membentuk kepengurusan partai tingkat cabang di Kandangan. Akhirnya kami sepakat dan secara resmi bardirilah PERTI (Persatuan Tharbiyah Islamiah) Cabang Kandangan. Untuk menjabat ketua kami menunjuk seorang guru yang sudah senior, beliau bersedia walaupun tidak bisa aktif. Aku sendiri ditetapkan kawan-kawan menjabat sebagai ketua Bidang Politik. Ketika terjadi Peristiwa G30S/PKI anggota kami masih terbatas, sehingga dalam kegiatan rapat-rapat umum mengutuk G30S/PKI kami harus kerja keras mendatangkan kawan-kawan dari kampung. Alhamdulillah  semua berjalan lancar, dan aku sempat juga dapat giliran jaga pikat malam mengawasi tahanan PKI yang ditahan di rumah Penjara Kandangan.
Sekitar penghujung tahun 1966 ada permintaan dari Pemda Hulu Sungai Selatan agar partai kami mengusulkan nama seorang calon untuk mewakili PERTI dalam DPRD Tingkat II HSS. Ketika itu kawan-kawan meminta aku duduk di Dewan sebagai wakil PERTI. Tapi aku merasa masih terlalu muda, dan karena teman yang lain juga tidak ada yang bersedia, aku meminta seorang guru seniorku, dan beliau bersedia. Setelah berjalan beberapa bulan kawan-kawan protes karena wakil kami banyak menyuarakan hal-hal yang bertentangan dengan nurani anggota. Kali ini aku dipaksa untuk menggantikan dengan sanksi kalau aku menolak mereka akan keluar dari keanggotaan. Atas dasar itulah aku kemudian dilantik sebagai anggota DPRD Tk. II HSS. Tapi dalam waktu yang tidak lama juga, aku kemudian mendapat panggilan dari Kepala Inspeksi SMP di Banjarmasin untuk kuliah di IKIP Malang dengan status ijin belajar. Karena bukan tugas belajar maka aku minta dipindahkan ke IKIP Banjarmasin saja dan disetujui.
Tahun 1968 aku dipindahkan mengajar di SMPN 7 km 2 Jalan A. Yani Banjaramasin yang waktu itu belajarnya siang, dan waktu pagi aku bisa kuliah. Sejak itu aku menyerahkan keanggotaanku sebagai anggota Dewan kepada seorang anggota pengurus PERTI yang juga guru SMPN Kandangan. Keikutsertaan wakil PERTI di DPRD Tk. II HSS berakhir ketika PERTI kemudian secara nasional digabungkan dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan).                 
Tahun 1971 aku dipindahkan ke SMPN 6 di Jalan Ade Erma Nasution (Pacinan) Banjarmasin. Alhamdulilah tahun 1972 aku sudah lulus Sarjana Muda (BA). Ketika itu aku bilang sama isteri bermaksud untuk kembali ke Kandangan, Cuma aku bilang juga kalau dosenku yang juga Dekan Fakultas Keguruan UNLAM waktu itu Drs. M. Idwar Saleh meminta aku untuk terus kuliah ke tingkat doktoral. Isteriku mendukungku agar aku terus kuliah saja. Sehingga aku ikut mendaftarkan diri untuk kuliah di tingkat doktoral sejarah. Waktu itu masih berlaku sistem tingkat bukan sistem semester. Khusus untuk mata kuliah sejarah dosen-dosen kami tidak pernah mengumumkan hasil tentamen (ujian) tertlis yang diadakan fakultas. Setiap mata kuliah pokok sejarah selalu diuji secara lisan, dan dalam catatanku tidak ada di antara kami yang lulus hanya sekali maju, bahkan umumnya setelah berkali-kali, dan tentamen umumnya juga di rumah dosen yang bersangkutan, waktunya bisa pagi, sore atau malam. Inilah tantangan yang membuat teman-teman seangkatanku dari semula berjumlah 20-an orang, yang berhasil lulus sarjana hanya 3 orang. Sebenarnya ada satu teman yang juga sudah semua lulus tentamen mata kuliah, tapi gagal dalam menyelesaikan thesis. Dia juga guru SMP seperti aku. Sedangkan dua temanku lainnya, seorang yang waktu kuliah sudah berstatus asisten dosen, seorang lagi Kepala SMAN yang waktu kuliah di titipkan di  Bidang PMU Kantor Wilayah Depdikbud Kalsel, dan setelah lulus menjadi dosen sejarah di FKg UNLAM pula. Mau tahu, mereka adalah Dra. Kesuma Sekarsih dan Drs. H.A. Gazali Usman. Kata salah seorang dosenku ketika aku sudah lulus, seorang sarjana itu tidak cukup hanya teruji intlektualnya tapi yang lebih penting mental dan moralnya, makanya katanya waktu itu untuk lulus sarjana itu tidak mudah.
Ketika Upacara Wisuda aku sudah mengajar di SMA, karena tahun 1976 aku dimutasikan dari SMPN 6 ke SMAN 3 Banjarmasin. Kami bersama para lulusan sarjana dari Fakultas-Fakultas di UNLAM lainnya di Wisuda tahun 1977, yang waktu itu UNLAM Pusat di Jln. Jend. Sudirman Banjarmasin pertama kali melakukan acara yang wisudawannya  memagai baju toga.
Beberapa waktu setelah lulus sarjana aku diminta untuk menjadi Kepala SMPN  II Kandangan. Karena isteriku yang juga sudah lama pindah mengajar disalah satu SDN di Banjarmasin, juga kami sudah punya rumah sendiri di Banjarmasin, maka  kami sepakat untuk menolaknya. Ketika itu aku malah mengajukan pindah ke bidang administrasi di Kanwil Depdikbud Kalsel, dan ternyata boleh.
Oleh Kepala Bagian Kepegawaian Kanwil  H. Anwar Fauzi yang juga dulu guruku ketika di SGBN Kandangan, aku ditanya mau ikut di Bidang mana. Karena dulu waktu mengajar di SMPN I Kandangan dulu aku ditugaskan menjadi pembina Pramuka sekolah, dan aku sempat mengikuti pendidikan pramuka DADIKA I dan DADIKA II, maka aku memilih Bidang Generasi Muda, dan Kepala Bidangnya menerimaku. Tetapi belum sempat menerima SK, aku dipanggil lagi oleh Kepala Bagian Kepegawaian Kanwil, bahwa  Kepala Bidang PSK (Permuseuaman Sejarah dan Kepurbakalaan) Drs. Yustan Aziddin yang juga dulu guruku di SGBN Kandangan, meminta aku harus membantu  di Bidang PSK.  Memang ketika aku di SGB aku sudah dekat dengan Drs. Yustan Aziddin. Bahkan berkat dorongan beliau waktu itu ada 2 buah sajak karanganku yang dimuat di Majalah Mimbar Indonesia (Kabar dari Kota dan Indonesia Tanah Airku). Beliau juga guru seni suara kami, yang  juga mengikutsertakan aku dalam group paduan suara yang kadang tampil dalam acara kegiatan sekolah atau lainnya.  Aku juga pernah diikutsertakan dalam Lomba Lagu Keroncong antar pelajar se kabupaten. Waktu itu aku memilih membawakan lagu Keroncong Senja, dan tidak  berhasil mendapatkan nomor kejuaraan. Pengalaman itu aku ulangi ketika aku di SGA, aku memilih Keroncong Persembahanku, dan ketika itu hanya berhasil sebagai juara II, sekedar ingin mencoba saja. Kemauan untuk mencoba ini pula ketika aku masih mengajar di SMAN III aku coba mengirim naskah ke Harian Banjarmasin Post dan ternyata umumnya dimuat (salah satunya berjudul Tidak Puas, yakni sorotanku tentang pendidikan di sekolah). Munculnya namaku di koran yang diasuh guruku Drs.Yustan Aziddin tersebut dan juga mungkin karena jurusan sejarahku sehingga beliau  memintaku masuk ke Bidang PSK (Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan)..                                
Aku menjadi karyawan di Bidang PSK Kanwil Depdikbud Kalsel mulai awal tahun 1979. Bersamaan dengan itu pula pimpinanku yang waktu itu selain menjabat sebagai kepala bidang juga menjadi PimpinanProyek IDKD (Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah) menunjuk aku sebagai Ketua Aspek Penelitian dan Penulisan Sejarah Daerah, yang saat itu bertema Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan. Sebagai sarjana junior waktu itu timbul juga kekhawatiranku kalau hasil penelitian dan penulisan sejarah yang bakal dibaca juga oleh pelaku-pelakunya serta bakal disebar keseluruh tanah tanah air tersebut  tidak sebagaimana mestinya. Ketika itu sebenarnya ada 5 aspek penilitian, yakni selain Sejarah Daerah, juga Adat Istiadat Daerah, Geografi Budaya Daerah, Cerita Rakyat Daerah dan Permainan Rakyat Daerah Kalimantan Selatan. Untuk ketua-ketua aspeknya pimpinanku menunjuk dosen-dosen senior dari UNLAM. Karena itu aku perlu menghadap dosen sejarahku Drs. M. Idwar Saleh untuk minta petunjuk dan bahkan bantuan beliau. Tidak kusangka ternyata beliau bersedia membantu dan bahkan bersedia menjadi anggota tim. Sehingga untuk kelengkapan tim ini aku menghubungi teman kuliahku dulu Drs. A. Gazali Usman, yang juga bersedia menjadi anggota tim penelitian dan penulisan naskah Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Daerah Kalsel tersebut.  
Sebelum memulai kegiatan kami para ketua aspak berlima bersama Kepala Bidang PSK dipanggil ke Jakarta untuk mendapatkan pengarahan tentang kegiatan yang akan dilakukan serta dibekali metode penelitian secara singkat. Sehingga ketika kami turun lapangan dalam rangka pengumpulan data sudah membawa cara-cara sebagaimana yang diberikan. Sehubungan dengan pengumpulan data sejarah tim kami lebih banyak melakukan wawancara terhadap para pejuang yang masih hidup waktu itu. Untuk itu kami bertiga perlu mengunjungi para pejuang yang ada di semua kabupaten di Kalimantan Selatan. Naskah hasil penelitian dan penulisan kami selesai pada akhir Desember 1979. Awal tahun 1980 setiap ketua aspek kemudian mempresentasikan naskahnya dalam Sidang Evaluasi Naskah di Jakarta yang dihadiri selain para Evaluator juga para ketua aspek yang sama dari seluruh Indonesia. Alhamdulillah naskah sejarahku bisa diterima para Evaluator tanpa perombakan dan penambahan data. Ini pengalaman pertama aku terjun kebidang penelitian dan tulis menulis naskah buku.
Awal tahun 1981 aku diangkat mengemban jabatan eselon IV sebagai Kepala Seksi Tenaga Teknis Bidang PSK menggantikan seniorku yang memasuki masa pensiun. Tampaknya ketika itu ada temanku yang kurang senang karena ia sudah lebih lama menjadi karyawan di bidang tersebut. Tapi semua itu bukan karena permintaanku, apalagi ketika aku masuk instansi ini Kepala Bagian Kepegawaian yang juga guruku sewaktu aku di SGB itu pernah pesan kepadaku, agar aku tidak mencari dan meminta jabatan, tapi aku dipesani untuk berprestasi saja. Karena kata beliau kalau prestasiku baik ibarat kesebelasan bola pasti kamu akan dimasukkan sebagai pemain inti. Inilah pesan yang terus aku pegang selama aku bekerja sebagai pegawai negeri.
Sebenarnya sejak aku masuk di Bidang PSK setiap kegiatan lapangan yang dilakukan pimpinan aku selalu dikutsertakan. Masalahnya setiap selesai kegiatan lapangan, walaupun tidak ditugaskan aku selalu membuat tulisan berupa naskah singkat tentang kegiatan lapangan tersebut yang aku serahkan kepada Kepala Bidang, dan besoknya sudah terbit di Harian Banjarmasin Post. Beritanya tentang penemuan benda-benda purbakala atau perihal keadaan obyek-obyek kepurbakalaan, juga pertemuan dengan tokoh-tokoh pelaku sejarah.
Tahun 1986 Bidang PSK dipecah menjadi Bidang Permuseuman dan Bidang Jarahnita (Sejarah dan Nilai Tradisional). Aku termasuk dalam Bidang Jarahnitra dengan jabatan yang sama Sebagai Kepala Seksi Tenaga Teknis. Ketika itu aku sudah 5 tahun berada dalam jabatan eselon IV, sementara beberapa kawanku sudah ada yang diangkat dalam jabatan eselon III sebagai Kepala Kandep Dikbud di Kabupaten. Bersamaan dengan itu pada suatu saat santai ketika aku mengikuti kegiatan pimpinanku, beliau bilang kalau aku  tidak diijinkan dipromosikan karena sudah disiapkan untuk menggatikannya. Sehubungan dengan itulah aku berada di jabatan eselon IV sekitar selama 8 tahun. Baru pada tahun 1989 bersamaan dengan pimpinanku di SK kan sebagai Pengawas, SK jabatanku sebagai Kepala Bidang Jarahnitra juga terbit.
Ketika berstatus sebagai Pembantu Pimpinan selama 2 tahun dan sebagai  Kepala Seksi selama 8 tahun, aku selalu ditunjuk oleh Pimpinan Proyek sebagai ketua tim penelitian baik aspek sejarah atau aspek nilai tradisonal. Bahkan di samping itu secara khusus aku sering ditunjuk untuk menjadi ketua tim penulisan yang anggota timnya langsung dari Direktorat Jarahnitra Jakarta. Sehingga aku kadang menerima tamu pribadi yakni peneliti dari pusat tersebut. Selama 10 tahun itu aku bersama tim sudah banyak menghasilkan naskah penelitian yang sebagiannya telah diterbitkan, baik oleh proyek daerah maupun oleh proyek pusat. 
Tahun 1989 dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Kalsel. No. 412 Tahun 1989 tanggal 7 Nopember 1989 yang ditandatangani Ir. H. M. Said, aku diikutsertakan dalam tim penelitian dan penyusunan naskah Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan RI Di Kalimantan Selatan yang diketuai H. Akhmad Sutan Madar dan Drs. H. A. Gafuri. Naskah ini baru bisa diterbitkan pada tahun 1994, karena harus melalui rapat-rapat sleksi data bersama dengan para tokoh-tokoh pelaku  sejarah bersangkutan, serta konsepnya lebih dahulu diseminarkan yang dihadiri para pelaku perjuangan dari seluruh kabupaten se Kalimantan Selatan.
Dalam masa sibuk kegiatan penelitian dan penulisan naskah proyek IDKD maupun P2NB tersebut, di samping tugas-tugas rutin kantor lainnya, aku penah juga mengirimkan makalah untuk seminar di Jakarta dan diterima . Ini pengalaman pertamaku menjadi pemakalah pada seminar tingkat nasional, yakni Seminar Sejarah Nasional III di Jakarta tahun 1981. Makalah yang kusampaikan waktu itu tentang Masuknya Agama Islam ke Kalimantan Selatan. Kemudian pada tahun 1982 aku kembali menjadi pemakalah dalam seminar Sejarah Lokal yang diadakan di Denpasar Bali. Ketika itu aku menyampaikan makalah tentang Sejarah Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan. Kemudian kecuali pada Seminar Sejarah Nasional IV di Medan aku absen, selanjutnya aku selalu dapat hadir pada Seminar Sejarah Nasional V tahun 1990 di Semarang, Kongres Kebudayaan tahun tahun 1991 di Jakarta, Diskusi Sejarah Lokal 1994 di Jakarta, Kongres Nasional Sejarah Indonesia VI di Jakarta tahun 1996, Konperensi Nasional Sejarah Indonesia VII tahun 2001 di Jakarta, menjadi pemakalah pada Lokakarya Nasional Pembangunan Berwawasan Budaya yang diselenggarakan Pusat Study Pariwisata UGM di Yogyakarta, serta Konperensi Nasional Sejarah Indonesia VIII tahun 2006 di Jakarta.   
Ketika menjabat sebagai Kepala Bidang Jarahnitra dari tahun 1989 sampai dengan yahun 1996 dalam kegiatan penelitian  aku hanya bisa menjadi anggota tim. Hal ini sehubungan dengan jabatanku juga sebagai pimpinan bagian proyek yang saat itu bernama IPNB (Inventarisasi Pembinaan Nilai-Nilai Budaya). Namun selama itu juga selain hanya sebagai anggota tim penelitian di daerah, aku juga banyak menerima kegiatan penelitian yang langsung ditugaskan dari Direktorat Sejarah Jakarta. Semua naskah hasil kegiatan penelitian baik yang dari proyek di daerah maupun yang langsung ditugaskan dari pusat setiap tahun 2 atau 3 naskah juga diterbitkan di daerah, sedang sebagian lagi diterbitkan oleh proyek pusat di Jakarta.
Begitulah ketika menjelang akhir tugasku sebagai Kepala Bidang Jarahnitra dalam suatu pertemuan rapat sinkronisasi bidang-bidang dan lembaga-lembaga kebudayaan dalam lingkungan Depdikbud secara berseloroh aku bilang kepada teman-teman para Kepala Balai Kajian  Sejarah dan Nilai Tradisional yang ada di Indonesia, yang umumnya kami sudah cukup lama baik, lebih-lebih mereka yang pernah sama-sama mengikuti SEPADYA selama 4 bulan di Sawangan Bogor, bahwa siapa yang bersedia menerimaku kalu aku mau jadi peneliti. Semua kawan-kawan ternyata bilang bersedia bahkan ada beberapa daerah memintaku karena di Balai Kajiannya belum cukup tenaga peneliti sejarahnya.
Kemudian aku memilih  Balai Kajian Jarahnitra (Sejarah dan Nilai Tradisonal) Yogyakarta dengan pertimbangan mencapainya lebih mudah serta ada putriku yang mau kuliah di Yogya waktu itu. Tanggal 20 Juni 1995 secara resmi kukirimkan surat permohonan untuk diterima menjadi tenaga fungsinal peneliti kepada Kepala Balai Jarahnitra Yogyakarta. Tanggal 27 Juni 1995 aku terima surat memintaku untuk segera mengajukan permohonan mutasi dan menyerahkan bukti-bukti usulan penetapan angka kredit (ijazah dan buku-buku hasil penelitian). Sewaktu aku lapor kepada Direktur Jarahnitra di Jakarta Dr. Anhar Gonggong, prinsipnya beliau setuju tapi bertanya mengapa tidak ke Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Pontianak (untuk Kalimantan hanya ada di Pontianak). Ketika itu kubilang bahwa ke Pontianak lebih sukar dan lebih besar biayanya, karena pesawat dari Banjarmasin tidak ada yang langsung, tapi ke Jakarta dulu atau setidaknya lewat Balikpapan yang penerbangannya tidak tiap hari. Akhirnya dengan pertimbangan demi perkembangan karirku pada bulan Nopember 1995 usul pindahku ke Balai Kajian Jarahnitra Yogyakarta disetujui.
Awal tahun 1996 aku mengajukan usul ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) lewat Balitbang Depdikbud Jakarta disertai copy seluruh naskah-naskah hasil penelitian yang diterbitkan. Setelah dinilai di Balitbang berkasku di kirimkan ke LIPI untuk penilaian selanjutnya. Alhamdulillah hasil penilaian di LIPI juga memenu hi syarat untuk diangkat dalam jabatan peneliti dengam masa kerja usia 65 tahun, sesuai dengan pangkat regulerku IV/b waktu itu.
Memasuki awal tahun 1997 aku resmi menjadi PNS fungsional Peneliti  Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional  pada Balai Kajian Jarahnitra Yogyakarta. Beberapa hasil penelitian lapangan karyaku yang diterbitkan ketika aku menjadi peneliti pada Balai Kajian Jarahnitra Yogyakarta, tahun pertama tentang: Ekspedisi Laut Para Pejuang Kemerdekaan dari Jawa ke Kalimantan. Selanjutnya sesuai dengan wilayah tugas Balai Kajian Jarahnitra Yogyakarta, aku hanya diperkenankan melakukan penelitian di Propinsi DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga sesuai dengan naluri keagamaanku sejak itu aku mengambil obyek-obyek yang bisa menambah keimananku, seperti penelitian dengan obyek Masjid Sunan Ampel  Surabaya, Masjid Besar Kauman Semarang, Masjid Sunan Bayat Klaten, Peranan  Supranatural Dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Yogyakarta. Pesantren Tahaffudhul Qur’an Semarang, Upacara Dugderan Menyongsong Puasa Ramadhan di Semarang, Riwayat Hidup K.H. Abdullah Umar Al Hafidz Semarang, dan Quwwatul Islam Masjid Para Pedagang Banjar di Yogyakarta. Beberapa buku yang juga diterbitkan ketika itu sekrepsi sarjana muda ku yang berjudul Dewan Banjar, dan thesis ku  Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Penyebar Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah Pada Abad Ke 18 Di Kalimantan Selatan, dan tentang Kehidupan Masyarakat Dayak Bukit Losado, serta Perjuangan Rakyat Menentang Federalisme di Kalimantan Selatan. Sedangkan buku-buku proyek hasil tim yang kuketuai antara lain: Sejarah Kota Banjarmasin. Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Pengaruh Penyempitan Lahan Pertanian di Kalimantan Selatan, dan lain-lain.  
Dengan pendidikan keagamaan yang diarahkan orang tuaku sewaktu mudaku membuat aku tidak canggung ketika berada di lingkungan masyarakat yang agamis. Terbukti sejak tahun 1982 ketika aku dan keluarga mendiami rumah yang dijual pemiliknya dengan harga yang pantas sesuai pengahasilanku di Kompleks Beruntung Jaya Jln Hayam Wuruk, oleh ketua pengurus masjid aku kemudian dimasukkan dalam daftar Khatib Jum’at di masjid kompleks tersebut. Bahkan selama bebarapa tahun aku dipercaya menjabat Wakil Ketua Pengurus masjid. Demikian pula hal itu berlanjut ketika aku pindah ke Yoyakarta sebagai peneliti, ketua takmir masjid di Perumahan Citra Ringin tempat aku dan keluarga tinggal, juga kemudian meminta aku sebagai khatib setiap Jum’at minggu pertama setiap bulan, kecuali aku uzur atau sedang bepergian ke luar daerah. Semua itu kulakukan tanpa pamrih, demi keinginan orang tuaku dulu yang menginginkan aku menjadi seorang santri. Semoga Allah SWT mengabulkan do’a-do’a ku untuk kebahagian almarhum dan almarhumah kedua orang tuaku serta keluargaku lainnya.- (H.Ramli Nawawi). Sampai sini dulu, nanti disambung.                                             

Kamis, 14 Juli 2016

ABU UMAMAH PENGHUNI SORGA



ABU UMAMAH PENGHUNI SORGA

Sahabatku,
Dalam Al Qur’anul Karim surah Asy Syuaraa, ayat 87,88,89 Allah SWT berfirman:
 ولا تخزنى يوم يبعثون * يوم لا ينفع ما ل ولا بنون * الا من اتى الله بقلب       
 سليم *
“Dan janganlah aku dihinakan pada hari kebangkitan, pada hari itu tidak berguna harta dan anak-anak, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.

Begitulah Allah menyatakan pentingnya peranan hati dalam mendapatkan keredhaan-Nya. Sehingga kebersihan hati merupakan password atau kunci untuk membuka pintu surga. Sehingga sedikit apapun amal, tetap akan bisa memasukkan orang ke suirga, asal ia memiliki hati yang bersih. Sebaliknya, sebanyak apapun amal, tidak akan berarti sama sekali bila kita memiliki hati yang penuh penyakit. 

Sahabatku,
Suatu hari ketika Rasulullah sedang berada di masjid, beliau memberi tahu kepada para sahabat, bahwa sebentar lagi seorang penghuni surga akan masuk. Mendengar sabda Nabi tersebut, maka semua mata tertuju ke pintu masjid. Dalam benak para sahabat, terbayang sesosok orang yang luar biasa.

Tiba-tiba masuklah seorang pria yang mukanya masih basah dengan air wudhu. Iapun kemudian melakukan shalat tahiyatul masjid.

Penampilannya biasa-biasa saja. Ia bukan orang terkenal. ABU UMAMAH Ibnu JARRAH demikian namanya. Bayangan para sahabat akan sosok luar biasa tidak menjadi kenyataan.

Karena itu para sahabat menjadi panasaran. Mereka bertanya dalam hati: “Amal apa gerangan yang dimiliki orang ini sampai-sampai Rasul menyebutnya calon penghuni sorga”. Salah satu dari mereka yang panasaran tersebut adalah ABDULLAH bin AMR bin ASH.

Karena itu sehabis shalat padhu berjamaah tersebut, Abdullah dengan mengemukakan suatu alasan meminta izin kepada Abu Umamah untuk bisa menginap tiga hari di rumahnya.

Selama tiga hari tiga malam Abdullah memperhatikan, mencermati, bahkan mengintip tuan rumah. Namun tidak ada satupun yang istimewa. Hari-hari yang ia lewati tidak jauh beda dengan sahabat-sahabat yang lain. Ibadahnya pun biasa-biasa saja.

Karena itu setelah tiga hari tiga malam memperhatikan Abu Umamah, Abdullah berkata dalam hati: ”Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Aku harus berterus terang kepadanya”. Dan Abdullah pun bertanya: “Ya Abu Umamah, amal apa yang kamu lakukan sehingga Rasulullah memanggilmu sebagai calon penghuni sorga”. Ternyata jawaban Abu Umamah sangat mengecewakan: “Apa yang engkau lihat itulah”, katanya.

Dengan perasaan tidak puas Abdullah bermaksud pamit kapada ahlul bait. Tapi ketika Abdullah hendak pergi, tiba-tiba Abu Umamah berkata:

“Wahai saudaraku, sesungguhnya aku tidak pernah iri dan dengki terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain. Setiap malam sebelum tidur, akupun selalu membersihkan hatiku dari ujub, takabur, kedengkian, dan rasa dendam”.

Sahabatku,
Ada banyak ibrah dari kisah tersebut. Namun ada satu yang pasti, hanya orang yang bersih hati lah (qalbun salim) yang akan memasuki surga tertinggi, juga bertemu dengan Al-Khalik Azza wa Jalla, seperti firman-Nya tersebut di atas, yakni:

Janganlah Engkau hinakan aku (ya Allah) padahari kebangkitan, yaitu hari dimana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Karena itu Abu Umamah layak untuk ditiru.

Walaupun ia bukan sahabat sekalibar Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Ibadahnyapun tidak seterkenal Abu Darda, Abdurrahman bin Auf, Salman Al Farisi, atau sahabat yang lainnya.

Namun derajatnya di mata Allah dan Rasul-Nya demikian tinggi, sehingga Rasulullah SAW memvonis ia sebagai calon penghuni sorga. Mengapa, sebab HATINYA BERSIH DARI PENYAKIT dan BEBAS DARI KEBENCIAN dan DENDAM. Sehingga semua amal kebaikannya TETAP UTUH dan BERNILAI di hadapan Allah SWT.

(ramli nawawi:sejarah dan nilai tradisional)