Rabu, 25 Desember 2013
Rabu, 18 Desember 2013
Sabtu, 07 Desember 2013
KEDUDUKAN BASMALAH
(pak Asmuni menjawab)
Kedudukan basmalah dalam Al Qur’an, ada dua tempat. Basmalah dalam surat
Fatihah dan basmalah dalam surat-surat yang lain. Bacaan basmalah dalam surat
Fatihah, ada dua pendapat juga. Ada yang berpendapat bacaan tersebut termasuk
dalam 7 ayat dari surat tersebut. Sedang pendapat yang lain, surat Fatihah
dimulai dari alhamdulillahi rabbil
’alamin. Bagi orang yang berpendapat bahwa surat Fatihah dimulai dari
bacaan basmalah sehingga menganggap bahwa basmalah merupakan bagian dari 7 ayat
Fatihah, maka memulai bacaan Fatihah dari basmalah.
Ada pula yang berpendapat, sekalipun Fatihah itu dimulai dari basmalah,
tetapi karena ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi dalam membaca Fatihah itu
memulainya dari alhamdulillah – maka
membaca basmalahnya pelan, dan barulah membaca
alhamdulillah-nya dengan
keras. Sedang yang berpendapat surat Fatihah dimulai dari alhamdulillah maka membaca Fatihah dengan keras dimulai dari bacaan
alhamdulillah, dan seterusnya.
Masing-masing pendapat itu sebenarnya mempunyai dasar-dasar dari hadis.
Dengan demikian tidak perlu dirisaukan sehingga kita menganggap imam yang
memulai bacaan Fatihahnya dari basmalah dengan keras, tidak akan mengurangi
arti dan sahnya salat. Mengenai bacaan surat-suratnya, karena bacaan basmalah
pada surat itu tidak termasuk bagian dari surat, maka juga tidak ada masalah
dan tidak perlu dipermasalahkan bagi yang tidak membacanya.
Dalam pada itu, dapat dikemukakan bahwa pada saat membaca Fatihah itu ada
pula pemahaman yang menyatakan sebelum membaca surat Fatihah memulainya dengan
membaca taawudz, yaitu a’udzubillahi minasy-syaithanir-rajim
secara pelan. Pemahaman ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nahl
ayat98, dan juga hadis dari Abu Said Al-Khudri.(sumber, sk Kedaulatan Rakyat,
hal. 4, tgl. 8 Januari 2004).
Sabtu, 16 November 2013
PERANAN UNSUR SUPRA NATURAL PADA MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN (penututan eks tentara pelajar yogyakarta)
Oleh: Drs H. Ramli Nawawi
Pada masa revolusi kemerdekaan yang lalu,
pejuang-pejuang kita umumnya lebih banyak yang hanya bermodalkan tekad dan
keberanian untuk berjuang mengusir penjajah yang sudah terlatih berperang dan
mempunyai persenjataan lengkap dan cukup modern. Hal ini bagi pejuang-pejuang
kita bangsa Indonesia tentu saja merupakan sesuatu yang penuh bahaya. Apalagi
para pejuang kita juga umumnya belum terlatih dan hanya dengan senjata
seadanya, termasuk seperti bambu runcing. Hal ini tentu saja jauh dari
seimbang.
Namun dari ketidakseimbangan persenjataan fisik
ini, sama sekali tidak mengurangi keyakinan dan tekad pejuang-pejuang kita
dalam usaha menegakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mengusir
penjajah Belanda dari negeri ini. Apalagi para pejuang kita waktu itu di
samping telah mempunyai keyakinan bahwa perjuangan yang dilakukan tersebut
sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan mereka. Karena itu umumnya banyak di
antara mereka yang telah membekali diri dengan “sesuatu” yang memberikan
keyakinan diri akan kemenangan dan keunggulan ada di pihak mereka. Yang dimaksud “sesuatu” tersebut adalah
bekal-bekal yang bersifat natural. Namun diakui mereka bahwa bekal tersebut
kebanyakan bersifat pribadi, yakni masing-masing dari mereka dengan caranya
sendiri, dan bahkan ada yang sifatnya rahasia.
Namun demikian ada keterangan dari para pejuang kita tersebut yang
menyatakan bahwa pembekalan kekuatan supra natural waktu itu ada juga yang dilakukan
secara bersama-sama. Menurut keterangan Soewardjo, seorang eks anggota TP
(Tentara Pelajar) Yogyakarta, bahwa pada masa perjuangan yang lalu banyak
laskar kita yang secara berombongan naik kereta api dengan membawa bambu
runcing, berangkat ke Paraan (Jawa Tengah) untuk meminta kepada Kiai Subchi
yang dikenal bisa mengisi do’a untuk bambu runcing mereka. Dipercayai bahwa
apabila menggunakan bambu runcing yang telah diberi do’a tersebut, yang
bersangkutan akan terhindar dari peluru musuh.
Dari hasil wawancara dengan para pejuang eks Tentara Pelajar Daerah
Istimewa Yogyakarta, bahwa umumnya mereka yang turut berjuang waktu itu tahu
tentang ada bermacam-macam ”bekal” yang dipakai atau dimiliki oleh para
pejuang. Namun umumnya mereka tidak bersedia menjelaskan secara detail apa dan
bagaimana isi dan bentuk dari benda supra natural yang mereka miliki sendiri.
Beberapa pejuang eks Tentara Pelajar tersebut sebagian hanya mengaku bahwa
apabila akan berangkat ke front atau akan melaksanakan tugas perjuangan lainnya
tidak lupa berdo’a kepada Tuhan agar selamat atau terhindar dari bahaya yang
akan menimpa diri mereka.
Tetapi ada juga beberaapa pejuang kita yang mau berceritera tentang
pengalaman-pengalaman yang mereka ketahui dan alami selama berkumpul dengan
sesama pejuang pada masa revolusi kemerdekaan yang lalu. Berikut keterangan
yang diberikan oleh Sucipto: ”Saya punya teman yang bernama Adi Tjipto, ia
mempunyai ilmu anti peluru. Setiap kali akan pergi bertempur dia ”amalan”. Jadi
daripada membawa benda (jimat) atau senjata untuk penangkal, lebih mudah. Teman
saya ini memang mempunyai hubungan dengan Patihnya Nyi Loro Kidul. Dia bisa sambung melalui bertapa, lalu diberi
aji. Namanya ”Aji Pamalingka”. Apabila mau berjuang atau untuk keperluan yang
berbahaya lainnya, aji ini dibaca. Selain tahan peluru, maka bagi yang
mengamalkan ”Aji Pamalingka” ini, walaupun kita yang bertempur itu hanya enam
atau delapan orang, tapi tampak ribuan oleh musuh”.
Menurut Sutjipto bahwa jenis-jenis jimat atau amalan yang dipakai para pejuang dalam satuan mereka waktu itu ada
bermacam-macam. Ada yang berupa keris, tombak, ikat kepala, dan dalam bentuk
mantera (do’a). Keris misalnya dipakai oleh pejuang yang bernama Purwadi. Keris
kepunyaan dia ini dikenal tahan peluru bagi pemiliknya. Tetapi dalam suatu
pertempuran, Purwadi tertembak. Ketika itu mungkin karena yang bersangkutan
bersikap takabur. Karena merasa tahan terhadap peluru, dia berteriak menantang
musuh: ”Ayo tembak, ayo tembak lagi”, mungkin karena itulah dia ditembus
peluru.
Sucipto juga mengaku bahwa dia juga memiliki aji yang didapat dari hasil
semadi. Dia mengaku dalam pertempuran
sering kena peluru, tapi tidak terasa. Dia juga tidak bisa menjelaskannya,
karena di luar jangkauan akal.
Eks anggota Tentara Pelajar lainnya, Ibnoe Sawabi yang sering mengemban
tugas berbahaya seperti menyelidiki lebih dahulu keadaan lokasi sebelum
dilakukan penyerangan, juga mengetahui tentang macam-macam ”modal kekuatan”
yang dimiliki atau dipakai kawan-kawan seperjuangannya waktu itu. Disebutkan
bahwa yang dimiliki mereka itu umumnya berupa ”keris”. Ada keris yang bernama
”Lembu Sekilan” yang dimiliki anggota Tentara Pelajar yang bernama Widodo,
dikenal sebagai berhasiat kekebalan bagi pemakainya. Lain lagi dengan keris
yang dimiliki anggota Tentara Pelajar
bernama Komar, menurut kepercayaan pemiliknya dan juga kawan-kawannya,
bahawa kalau pada waktu pertempuran berada di belakang Komar, maka walaupun
kena peluru tidak apa-apa.
Menurut Ibnoe Sawabi sebenarnya ada juga di antara mereka yang memiliki
”jimat”, seperti yang dimiliki temannya
bernama Komaruddin. Benda supra natural ini
dibungkus dengan kain putih. Memang tampaknya terbukti, karena
pemiliknya dalam setiap pertempuran tidak pernah kena peluru. Bagi pemakai
jimat ini pantangannya adalah tidak boleh lewat di bawah tali jemuran kain perempuan.
Selain hal-hal tersebut di atas Ibnoe Sawabi juga memberikan kesaksian
sebagai berikut: ”Kalau saya sendiri setiap akan melaksanakan tugas, saya
memulai dengan ”Bismillah”. Selain itu saya memang ada diberi ibu saya ”bekal”
berupa daun kantel. Ibu saya mengambil satu lembar yang jatuhnya tertelungkup,
dan satunya lagi yang jatuhnya telentang. Keduanya diambil lalu disatukan,
ditemukan bagian mukanya. Daun tadi dibungkus dan diberikan kepada saya.
Walaupun tidak mengerti maknanya, tapi ini mungkin untuk kselamatan saya. Dan
saya selamat. Tapi yang penting kami juga selalu melakukan shalat bersama, dan
memohon agar diberi keselamatan”.
Panggunaan daun kantel sebagai jimat tersebut di atas berkaitan dengan
kepercayaan terhadap adanya kekuatan yang terdapat pada tumbuhan. Kantel berupa
tumbuhan bunga ini dipercayai mempunyai kekuatan yang diharapkan berkhasiat
mengantel atau tidak terpisahkan. Karena itu dalam suasana perjuangan dan
keterlibatan mereka dalam perjuangan tersebut, maka yang diharapkan tentunya
tidak terpisahkan antara jiwa dan raga yang bersangkutan.
Sejenis dengan pemakaian daun kantel ini adalah adanya kepercayaan terhadap
khasiat ”kol buntet”. Kol buntet tentunya termasuk kekecualian atau aneh,
karena tidak berkembang dengan wajar, Buntet identik dengan tidak jadi atau
tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Karena itu dipercayai bahwa bedil musuh
akan buntet atau tidak meletus apabila diarahkan kepada orang yang memakai ajimat
tersebut.
Sementara itu ada pula kepercayaan tentang adanya kekuatan supra natuaral
yang terdapat pada ”ayam cemani”. Ayam yang serba hitam ini dianggap jenis
binatang kekecualian pula, karena itu apabila akan melakukan penyerangan atau
pertempuran malam hari mereka lebih dahulu menelan hati ayam cemani mentah-mentah
agar tidak akan terlihat oleh musuh. Dengan demikian yang bersangkutan tidak
akan menjadi sasaran penembakan.
Lain lagi dengan kesaksian yang diberikan oleh Soewardjo. Dia punya teman
Kapten Latif dari TNI waktu itu yang juga memiliki ajimat. Tetapi Soewardjo
tidak mengetahui secara detail baik jenis maupun bentuknya. Hanya yang
bersangkutan memiliki dan selalu memakainya apabila akan melakukan penyerangan
atau pertempuran dengan musuh.
Sementara itu untuk Soewardjo sendiri, dia mengaku hanya diberi pesan oleh
orang tuanya agar selamat supaya senantiasa berlaku jujur, jangan sekali-kali
mengambil barang orang lain, apalagi mengganggu anak-isteri orang.
Sedangkan Sardjiman seorang eks Tentara Pelajar yang berpengalaman banyak
dalam pertempuran, hanya mengaku bahwa dia setiap kali akan berangkat ke front
selalu berserah diri kepada Tuhan. Anggota Tentara Pelajar penganut agama
Katholik ini mengatakan bahwa di samping berserah diri tersebut dia berharap
(berdo’a) agar misi yang diemban berhasil dan masih dipelihara oleh Tuhan. Dia
juga mengetahui bahwa ada ”penangkal-penangkal” yang dimiliki kawan-kawannya
untuk keselamatan diri tersebut. Bentuknya macam-macam, ada berupa benda kecil
yang dibungkus dengan kain putih, ada berupa kalung, dan ada pula berupa keris.
Dalam hal do’a Sardjiman mengatakan, bahwa dalam ibadah gereja ada
bermacam-macam do’a untuk menghindari hal yang mengganggu. Tetapi menurut dia
tidak ada bentuk do’a untuk mempunyai kekuatan supra natural tersebut.
Memang dari semua eks Tentara Pelajar yang pernah diwawancarai bahwa pada
masa perang kemerdekaan yang lalu tersebut menyatakan ada pemakaian benda-benda
yang dapat digolongkan sebagai ajimat, demikian juga ada di antara mereka
mempunyai do’a atau mantera yang semuanya merupakan usaha untuk menangkal
bahaya serta mendapatkan keselamatan diri. Kesaksian Suwarno seorang eks
Tentara Pelajar yang bertugas dalam bidang kepalangmerahan dan sering mengikuti
penghadangan-penghadangan terhadap militer Belanda, juga mengetahui tentang
adanya pemakaian ajimat atau segala sesuatu yang digunakan untuk keselamatan
diri. Tetapi seperti halnya beberapa eks Tentara Pelajar lainnya yang
diwawancarai hanya mengaku bahwa sebelum berangkat ke front mereka
masing-masing berdo’a lebih dahulu.
Berbgai kesaksian yang diberikan para anggota eks Tentara Pelajar di Daerah
Istimewa Yogyakarta tersebut di atas, merupakan gambaran bahwa unsur-unsur
supra natural pada masa perang kemerdekaan tersebut memang memberikan peran
penting dalam diri para pejuang waktu itu. Ini artinya bahwa pejuang-pejuang
kita yang secara heroik ikut dalam perjuangan kemerdekaan waktu itu tidak pergi
dan ikut ke front dengan bekal yang hampa. Kita dengar kesaksian mereka bahwa
ada berbagai jenis dan bentuk ”sesuatu” yang berfungsi sebagai ajimat. Atau ada
kekuatan gaib yang lahir dari do’a yang mereka ucapkan atau amalkan dalam
masa-masa ikut berjuang tersebut.
(HRN: uraian dari bagian Buku Kiprah Perjuangan Tentara Pelajar dan Peranan
Unsur Supra Natural pada Masa Perang Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 1945-1949, oleh Drs. H. Ramli Nawawi, ISBN. 979-9419-09-3).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Senin, 04 November 2013
Sabtu, 26 Oktober 2013
Jumat, 25 Oktober 2013
Kamis, 24 Oktober 2013
UNSUR KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Kalimantan Selatan tidak hanya dihuni oleh suku bangsa Banjar. Ada pula
suku bangsa Bakumpai yang mengaku dan diakui juga sebagai orang Banjar, tetapi
mengembangkan bahasa sendiri (bahasa Bakumpai) yang berbeda sekali dengan
bahasa Banjar. Juga di daerah pegunungan sebelah timur terdapat kelompok
masyarakat terasing yang dinamakan orang
Bukit, yang digolongkan kedalam suku Dayak. Penamaan orang Bukit ini lebih mengacu
pada daerah tempat tinggal mereka yang berada di perbukitan.
Masyarakat suku Banjar yang merupakan penghuni terbesar di daerah ini
menganut ajaran agama Islam yang kuat. Upacara keagamaan dapat dilihat baik
pada acara-acara resmi pemerintah maupun yang dilakukan masyarakat umum.
Namun jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan,
kebanyakan penduduknya menganut kepercayaan lama yang bersumber dari lingkungan kehidupan
mereka sendiri. Kemudian datang agama Hindu dan dengan cepatnya berkembang di
seluruh kawasan daerah Kalimantan Selatan. Agama ini menjadi anutan dan
tuntunan kehidupan dengan mendirikan candi-candi sebagai manifestasi dari
keberadaannya.
Bukti peninggalannya adalah situs bangunan Candi Agung yang terdapat di Amuntai
Kabupaten Hulu Sungai Utara dan situs Candi Laras yang terletak di Margasari
Kabupaten Tapin. Sehingga unsur kepercayaan yang dahulu pernah dianut masih
juga tertinggal di masyarakat. Dalam beberapa hal unsur-unsur itu tercampur
dalam kepercayaan menurut agama Islam. Tetapi selama hal itu tidak bertentangan
dengan syariat Islam, masih dikerjakan sebagai suatu tradisi yang wajar.
Sebagai penganut Islam yang taat, suku bangsa Banjar membangun
tempat-tempat ibadah seperti Masjid, Langgar (Surau), dan tempat-tempat
pendidikan Islam yang khusus dibangun oleh masyarakat setempat. Pengaruh agama
Islam bergerak jauh ke pedalaman, yang juga ikut mempengaruhi mitologi rakyat
dari suku bangsa yang ada.
Namun demikian seperti disinggung di atas, faktor kepercayaan lama pada
zaman nenek moyang, yang bersumber pada unsur-unsur kosmologi tetap melekat
baik secara disadari atau pun tidak. Memang sukar untuk mengukur sampai sejauh
mana indikasi unsur kosmologi itu melekat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan
Selatan, tapi hal itu masih dapat dilihat atau dirasakan dalam beberapa
tindakan kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Kalimanatan Selatan yang hidup dalam lingkungan adat istiadat
sepertinya juga tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan tindakan yang
dilazimkan oleh adat. Misalnya, orang mau saja mengadakan atau melakukan
sesuatu yang sudah menjadi suatu keharusan agar tidak mendapatkan kemurkaan
atau kutukan dari yang dianggap mereka menciptakan peraturan yang sudah
diadatkan tersebut.
Masyarakat Kalimantan Selatan baik sukubangsa Banjar maupun kelompok
sukubangsa Dayak umumnya juga melaksanakan berbagai adat istiadat yang telah
berpola, terutama upacara daur hidup. Contohnya, seorang isteri dari masa
kehamilan pertama jika telah mencapai tujuh bulan diadakan acara mandi-mandi
yang disebut “mandi tian mandaring”. Ketika lahir dilakukan palas bidan,
bapalas “baayun”, diteruskan upacara tasmiah, sunatan. Setelah dewasa ada
upacara perkawinan, yang didahului dengan serangkaian adat yang berlaku, mulai
basusuluh, badatang, pelaksanaan akad nikah, sampai hari perkawinan penuh
dengan aturan-aturan yang diadatkan.
Demikian pula halnya kematian, dilaksanakan serangkaian upacara yang telah diberlakukan dalam kehidupan
masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Dalam masyarakat suku Banjar
upacara kematian berlangsung beberapa urutan, yaitu mulai turun tanah, meniga
hari, menujuh hari, menyelawi, meampat puluh hari dan menyeratus. Dan setiap
tahun dilaksanakan haulan. Tentu saja dalam kaitan ini dibacakan zikir dan doa
kepada arwah yang meninggal secara Islam.
Dalam masyarakat sukubangsa Banjar juga mengenal adanya kelompok yang
sangat kuat kesatuannya. Hal ini masih dapat ditemui hingga sekarang. Kesatuan
itu biasa disebut dengan perkataan “bubuhan”, yang rasa kesatuan sosial dan
sifat gotong royongnya kuat sekali.
Pengertian bubuhan kalau dalam ilmu Antropologi sama dengan keluarga luas,
yaitu suatu keluarga yang terdiri dari lebih dari keluarga inti yang seluruhnya
merupakan sistem kesatuan sosial yang sangat erat yang biasanya tinggal dalam
satu rumah atau satu pekarangan. Sejak zaman Hindia Belanda bubuhan-bubuhan
tidak lagi tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan melainkan telah
menyebar ke pemukiman yang saling berjauhan.
Biasanya seorang yang terpandang, mungkin karena memiliki kekayaan atau
kedudukan yang tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian dipakai
menjadi nama bubuhan, misalnya bubuhan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
(penyebar ajaran Islam abad 18 di Kalimantan Selatan).
Diantara kelompok bubuhan ini ada ada yang percaya bahwa mereka dapat
menarik garis keturuanan bilateral sampai tokoh zaman dahulu yang sulit ditelusuri silsilahnya dengan
urut. Tokoh tersebut dipercaya menurunkan Sultan-Sultan Banjar atau seorang
pejabat kesultanan. Kadang-kadang bubuhan mempunyai benda-benda pusaka yang
menjadi lambang keunggulan, atau ada pula yang mempunyai sumber air (sumur)
keramat yang berfungsi menghubungkan bubuhan dengan tokoh tertentu melalui
dongeng atau legenda. Misalnya legenda sumur datu sebagai tempat Datu Taruna
menyimpan harta pusaka.
Kepercayaan demikian itu selalu disertai dengan keharusan bubuhan yang
bersangkutan untuk melakukan upacara tahunan yang disebut aruh tahun atau
tradisi yang berlaku. Seperti yang pernah dilakukan kelompok masyarakat bubuhan
turunan Datu Taruna di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah
menyelenggarakan upacara “Manyanggar Banua” disertai berbagai keharusan atau
pantangan sehubungan dengan kepercayaan tersebut (yang pernah penulis ikuti
kegiatannya pada tahun 1980-an).
Pada beberapa kelompok bubuhan dengan setia melakukan aruh tahun walaupun
tidak jelas adanya tokoh nenek moyang yang dapat ditelusuri asal muasalnya. Akan
tetapi mereka yakin dengan menjiwai mantra atau mamangan tertentu merasa dapat
berhubungan dengan nenek moyang mereka.
Selain itu bagi sebagian masyarakat sukubangsa Banjar hutan belantara,
semak belukar dan gunung bukan semata-mata dihuni oleh makhluk bumi melainkan
juga didiami oleh makhluk gaib, binatang gaib, datu dan sebagainya. Lingkungan
kehidupan manusia merupakan personifikasi dunia gaib, sehingga di kalangan
sebagian masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan untuk bumi rata
adalah dunia bagi mahluk gaib yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah
rawa dan lain sebagainya.
Adanya kepercayaan yang demikian itu bubuhan orang Banjar yang mendiami daerah tertentu mengadakan
upacara setahun sekali, yaitu upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Para
petani dalam lingkungan persawahan mengadakan selamatan padang atau menyanggar
padang sebelum memulai kegiatan bertani. Para nelayan di pantai Pagatan
Kabupaten Tanah Bumbu setiap tahun menyelenggarakan Upacara Mapantari Tasi
dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak di tahun mendatang.
Demikian juga sebagai contoh lain para pendulang intan melaksanakan kegiatan
selamatan (menyanggar) di lokasi pendulangan sebelum melaksanakan kegiatan
pendulangan.
Demikianlah, kebudayaan dan adat
istiadat yang ada dan tumbuh di Kalimantan Selatan cukup banyak variasinya
sesuai dengan keadaan kelompok sukubangsa dan kepercayaan yang mereka anut. Meskipun
sesungguhnya keberadaan budaya dan adat istiadat itu sudah diketahui, namun
tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh semua pihak karena keterikatan pada
pemahaman masing-masing individu dan kelompok. Apalagi jika budaya dan adat
istiadat itu hendak dikaitkan dengan agama dan kepercayaan penganutnya secara
murni dapat menimbulkan persoalan yang berbau SARA dalam kehidupan masyarakat. Untuk
itu diperlukan kearifan kita dalam memahaminya supaya kehidupan bermasyarakat
selalu harmonis walaupun berbeda budaya, agama dan kepercayaan.
(HRN: maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).
(HRN: maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).
Jumat, 18 Oktober 2013
PINTU-PINTU SORGA
Disusun oleh: Ramli Nawawi
Sahabatku,
Salah satu
dari kalimat doa kita ketika selesai melaksanakan shalat tarwih dan witir pada
bulan Ramadhan adalah berbunyi : as alukal jannata wa a’uzubika minan naar, atau:
Allahumma tiqni minan naar, wa ad hilnal jannata ya rabbal alamiin. Doa kita
tersebut pa intinya memohon kepada Allah SWT agar terhindar dari siksa api
naraka dan memohon kepada Allah Tuhan pemilik alam ini untuk bisa masuk ke
sorgaNya.
Sahababatku,
Kalau kita
mau menyimak isi Al Qur’an, maka Allah SWT telah banyak menggambarkan tentang
keindahan surga, tentang kenikmatan yang didapatkan di surga, juga kesenangan
yang didapatkan di surga.
Bagaimana
keindahan surga telah dilukiskan Allah SWT dalam Surah Ad-Dahr (masa):
…
“Apabila
engkau lihat di sana,
sehingga engkau lihat nikmat (kesenangan yang tidak terhingga) dan kerajaan
yang besar”.
Sedangkan nikmat bagi orang-orang yang
berada di dalamnya, digambarkan Allah SWT pada ayat 51 dan 52 Surah Ad-Duchan:
…
“Sesungguhnya orang-orang yang takut
kepada Allah, berada dalam tempat yang sentosa (aman). Yakni dalam surga yang
bermata air”.
Demikian pula tentang kesenangan dalam
surga digambarkan sebagaimana firman-Nya pada Surah Assaffat: ayat 41,42,43:
…
“Maka bagi
mereka itu rezeki yang terang, yakni beberapa buah-buahan, sedangkan mereka
dimuliakan, dalam surga kesenangan”.
Sahabatku,
Kalau
demikian gambaran keindahan, nikmat dan kesenangan yang diberikan Allah SWT
bagi orang-orang yang berhasil memasuki surganya Allah tersebut, maka tidak
heran kalau orang-orang kemudian berusaha untuk mendapatkan kuncinya agar bisa
juga masuk ke surganya Allah tersebut.
Kunci surga
tentu saja bukan seperti kunci bangunan seperti yang kita bayangkan. Menurut
banyak ulama, yang dimaksud dengan kunci surga adalah pernyataan dua kalimah
syahadat dari seseorang. Maka dengan
dua kalimah syahadat itu seseorang akan berhak memasuki surga.
Jadi kunci surga itu adalah berupa ikrar
dan keyakinan hati seseorang: bahwa:” tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa
Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah”. Tapi belum cukup bahwa seseorang
itu bertuhan, atau mengaku percaya pada tuhan. Atau sekedar mengakui
bahwa: “alam semesta ini ada penciptanya”.
Tidak cukup
seseorang hanya bertuhan kepada Allah SWT, sementara dia masih menuhankan
benda-benda lain seperti kuburan, keramat, orang sakti, keris, arwah nenek
moyang, dll.
Inti dari
kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah adalah bahwa seseorang tidak
mengakui adanya segala macam tuhan dan kekuatan , kecuali hanya Allah saja.
Yang kedua
dari konsep sahadat adalah bahwa seseorang tidak cukup hanya kagum dan memuji
seorang Muhammad SAW. Tetapi harus mengakui bahwa Muhammad SAW itu adalah
seorang manusia yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Dan isi wahyu itu adalah
sebuah aturan hidup yang harus dijadikan
sebagai pandangan hidup.
Tanpa
keyakinan atas hakekat atau inti dari syahadatain, maka surga tidak bisa
dimasuki oleh siapapun, karna kunci surga adalah syahadatain.
Sahabatku,
Untuk memasuki
surga, Allah SWT menyediakan beberapa pintu, sebagaimana firman-Nya, dalam
Surah Az-zumar ayat 73:
…….
“ Dan
orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dibawa ke dalam surga
berombong-rombongan, sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang
pintu-pintunya telah terbuka, dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya:
“Kesejahteraan atasmu. Berbahagialah
kamu. Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”.
Sahabatku,
Dalam sebuah
hadist disebutkan bahwa jumlah pintu surga itu ada 8 buah.
Hadist yang diriwayatkan Bukhari, dari Sahal
bin Saad r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Di surga ada 8 pintu, salah
satunya pintu yang disebut Ar-Rayyan yang tidak bisa dimasuki kecuali hanya orang-orang
berpuasa
Masing-masing pintu dikhususkan buat
orang-orang yang mengamalkan jenis ibadah dan ketaatan tertentu dengan kualitas
yang baik. Tentunya orang itu juga sudah punya kunci surga dan pahala ibadahnya
tidak berkurang dengan banyaknya dosa yang harus ditebusnya.
Oleh para ulama, dikumpulkan keterangan
itu dan berhasil disusun daftar nama-nama pintuitu:
- Pintu Muhammad SAW atau pintu taubah
- Pintu shalat
- Pintu puasa (Ar-Rayyan)
- Pintu zakat
- Pintu haji dan umrah
- Pintu Jihad
- Pintu sadekah
- Pintu silaturrahmi
Demikian pula surga punya derajatnya
masing-masing. Surga yang paling tinggi derajatnya adalah Surga Firdaus Al A’la.
Posisinya ada di bawah Arsy Ar Rahman.
Dari surga Firdaus itu keluar mengalir sungai-sungai surga besar yang empat, yaitu sungai susu,
sungai madu, sungai khamar, dan sungai air.
Al Firdaus ini adalah tempat untuk nabi
Muhammad SAW nanti, serta orang-orang yang mendapat syafaat dari beliau.
Derajat yang berada di bawah Firdauas
adalah surga Illiyyin, yaitu untuk
para nabi dan para syuhada. Termasuk juga orang-orang yang sabar dari bala dan
penyakit, serta orang-orang yang mencintai di jalan Allah.
Sandaraku,
Semoga setelah kita menunaikan ibadah
puasa Ramadhan dan ibadah puasa sunah lainnya, kemudian menjadi orang yang
senantiasa berada di jalan Allah, maka kita mohon pintu Ar Rayyan terbuka untuk
kita untuk masuk ke sorganya Allah tersebut. Amin.
Jumat, 20 September 2013
SEKILAS TENTANG KOTAMADYA BANJARMASIN
SEKILAS TENTANG KOTAMADYA BANJARMASIN
IBU KOTA PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Ramli Nawawi
Secara geografis Kotamadya Banjarmasin terletak di
antara 3° 15 LS sampai dengan 3° 22 LS dan 114° 98 BT, pada ketinggian rata-rata
0,16 meter di bawah permukaan air laut. Karena itu pada waktu terang bulan air
laut bagian selatan naik ke sungai, pantai, dan menggenangi jalan-jalan yang
rendah permukaannya di Kotamadya Banjarmasin.
Air laut yang naik ini disebut ”banyu pasang”. Jika banyu teramat dalam disebut
pasang ramban, dan kalau pasang terjadi dua kali sehari semalam disebut ”pasang
pin dua”. Pada waktu musim kemarau panjang, air pasang ini naik membawa air
asin, yang diucapkan oleh orang Banjar muara atau kuala sebagai ”masin”. Hal
ini pula menurut versi penduduk setempat
melahirkan nama Banjarmasin.
Sebagaimana daerah lain yang letaknya dekat dengan
daerah garis khatulistiwa, Banjarmasin termasuk daerah yang berudara panas,
iklim tropis, lembab dan umumnya banyak turun hujan, rata-rata tiap bulan 6-15
hari dengan curah hujan rata-rata 2000-2700 mm, terbesar dalam bulan
Desember/Januari dan terkecil dalam bulan Juli/Agustus. Masing-masing dapat disebut musim timur yang
menghembuskan angin yang membawa hawa panas dan musim barat yang membawa hawa
dingin dan mengandung basah. Keadaan suhu rata-rata di antara 26° C hingga 34°
C. Sesuai dengan keadaan alamnya Banjarmasin dialiri oleh banyak sungai besar
dan kecil yang kesemuanya dimanfaatkan untuk sarana perhubungan antar kota,
desa dan daerah. Diantaranya adalah Sungai Barito yang terbesar, Sungai
Martapura dan sungai-sungai kecil lainnya.
Dekat muara Sungai Barito terdapat pulau-pulau,
yaitu Pulau Bakut, Pulau Kambang, Pulau Tempurung, Pulau Tamban, Pulau Alalak
dan Pulau Kaget. Di antara pulau-pulau itu Pulau Kambang yang terkenal dipandang
keramat oleh sebagian orang dari suku tertentu
di Kalimantan Selatan. Pulau ini seluruhnya didiami oleh kera-kera yang
dipandang keramat, diberi sesaji, kemenyan, makanan dan buah-buahan. Kotamadya
Banjarmasin sendiri terletak pada sebuah pulau atau delta yang disebut Pulau
Tatas, letaknya tidak jauh dari Muara Sungai Barito.
Kotamadya Banjarmasin saat ini di sebelah utara
berbatasan dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Barito Kuala, di sebelah selatan
dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Tanah Laut, , di sebelah timur dengan Daerah
Tingkat II Kabupaten Banjar, dan di sebelah barat dengan Sungai Barito wilayah
Kabupaten Barito Kuala.
Kotamadya Banjarmasin mempunyai luas lebih kurang
72.0776 km² atau 7.207,76 ha, dengan
rincian sebagai berikut: tanah bangunan
1.861,85 ha (25,8%), tanah perkebunan 1.980,20 ha (27,5%), tanah
persawahan 2.746,81 ha (38,1%), jalan/sungai 426,26 ha (5,9%), dan
rawa-rawa/tanah kosong 192,54 ha (2,7%) * data 1990. Pusat kota terletak di
suatu dataran delta di muara cabang Sungai Barito dan keadaan tanahnya hampir
seluruhnya merupakan rawa-rawa dan kadang-kadang digenangi air.
Hoone, seorang ahli geologi yang melakukn
penelitian tentang Kota Banjarmasin, berkesimpulan bahwa pada kedalaman 4,5 meter
sampai dengan 11 meter, jenis batuannya empuk, hitam, lumpur dan tanah liat
dengan batang pohon rapuh. Pada kedalaman 26 meter sampai 33 meter, ditemukan
tanah merah, tanah liat warna kelabu .Sampai kedalaman itu merupakan bentuk
batas-batas geologis. Sampai kedalaman 50 meter terdapat olioceenlogen di atas
Zaman Kuartair. Untuk menentukan batas alluvial dan diluvial menemui kesulitan,
karena kekurangan bukti-bukti konkret.
Keadaan penggunaan tanah akan selalu berubah
sesuai dengan perkembangan kota. Dengan bertambahnya jumlah penduduk di masa
mendatang akan menunjukkan, bahwa penggunaan tanah perkebunan, persawahan dan
tanah kosong lainnya akan berangsur-angsur berkurang, dan sebaliknya
tanah-tanah bangunan akan bertamabah. (RN, Sejarah Kota Banjarmasin).
Jumat, 23 Agustus 2013
mengerti sejarah
MENGERTI SEJARAH MENDIDIK
ORANG BERTINDAK ARIF
Oleh: Drs. H. Ramli
Nawawi
Mungkin sebagian banyak orang Indonesia
tahu tentang ungkapan “sejarah adalah cermin kehidupan”. Maksudnya apabila
seseorang belajar dan memahami sejarah, ia akan bisa mengetahui kesalahan-kesalahan
atau kekurangan-kekurangan suatu tindakan yang perlu diperbaiki, atau
sebaliknya tentang kebenaran dan keunggulan yang perlu dipertahankan atau
ditingkatkan, bahkan dipakai untuk bertindak ke depan.
Sementara itu untuk menentukan
sikap ke depan, tanpa melihat kenyataan-kenyataan yang dihadapi saat ini, tidak
akan memperoleh hasil yang diharapkan. Demikian juga dalam mempelajari dan
memahami keadaan masa kini, tidak akan tepat tanpa mengetahui dan memahami
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Karena itu dalam pendidikan
sejarah dikenal “sistem tiga deminsi”, yakni dengan membahas
peristiwa-peristiwa masa lalu, kemudian menganalisa peristiwa-peristiwa yang
sedang berlangsung (masa kini), maka orang akan melihat gambaran gambaran masa
yang akan datang. Dengan demikian orang yang belajar sejarah dengan benar akan
dapat membuat kemungkinan-kemungkinan yang harus dilakukan untuk memasuki masa
depan.
Tidak bisa dimungkiri juga bahwa ada kaitan berantai antara satu generasi
dengan genarasi berikutnya. Umumnya apa yang diwarisi generasi masa kini adalah
hasil perjuangan, tindakan, atau prilaku generasi sebelumnya. Sehubungan dengan
hal tersebut sejarah bisa mewariskan kebanggaan bagi generasi berikutnya, atau
sebaliknya mewariskan suatu kebencian terhadap pendahulunya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, mungkin bisa kita simak bagaimana
sikap dan tindakan mereka yang dikatagorikan sebagai putra-putra terbaik bangsa
pada masa hidupnya. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Jenderal Sudirman, Jenderal
A. Yani, Ki Hajar Dewantara, dan beberapa tokoh lainnya yang berjasa bagi bangsa Indonesia ini, bukankah mereka
itu mewariskan kebanggaan di hati anak cucunya, bahkan di hati bangsa Indonesia
pada umumnya.
Tetapi bagi mereka yang keliru
langkah, seperti (maaf bagi yang belum baca, karena ada pencopot yang merubah judul dan penulis dan masuk ke blog ybs).
Bagi mereka yang menyadari bahwa
sejarah akan mewariskan kebanggaan atau kebencian terhadap dirinya, bahkan
sadar pula bahwa tidak hanya kebencian tetapi juga penderitaan bagi pewaris
mereka yang salah langkah pada masa hidupnya itu, maka bagi orang-orang yang
mengerti sejarah hal itu adalah suatu pendidikan yang bisa membuat seseorang
berlaku arif dalam berbuat dan bertindak dalam hidupnya.
(RN: disusun dari berbagai sumber).
Kamis, 22 Agustus 2013
Kamis, 15 Agustus 2013
KELUARGA
DRS. H. RAMLI NAWAWI
HJ. YOHANA
Jl. Hayam Wuruk No. 89-90 Komp. Beruntung
Jaya
Banjarmasin Kalimantan Selatan
Website: www.ramlinawawiutun.blogspot.com
Mengucapkan
Selamat Hari Raya
IDUL FITRI 1434 H
Minal aidin wal
faizin
MOHON MAAF LAHIR
DAN BATHIN
Minggu, 28 Juli 2013
GERAKAN BARATIB BAAMAL
Disusun: Ramli Nawawi (tim)
Dalam Perang Banjar (Kalimantan Selatan) terdapat dua
tahap aksi perlawanan rakyar Banjar terhadap kolonialisme Belanda. Secara
keseluruan Perang Banjar itu berlangsung sejak tahun 1859-1905. Tetapi selama
jangka waktu tersebut dapat dibagi atas dua tahap perlawanan, yaitu: 1859-1863
sebagai aksi ofensif, dan 1863-1905 sebagai aksi defensif. Gerakan Baratib
Baamal termasuk tahap perlawanan aksi defensif yang merupakan satu dari
episode-episode konflik bersenjata antara rakyat Banjar dengan kekuatan
kolonial Belanda.
Dalam Gerakan Baratib Baamal tampak adanya
penampilan kembali sentimen keagamaan yang kuat sekali dengan mengadakan
upacara religi-mistik di dalam usahanya untuk membangkitkan dan mengobarkan kembali
semangat dan kegairahan perang. Moral perjuangan yang nampaknya sedang menurun
di lingkungan rakyat Banjar berhasil ditingkatkan kembali di dalam suatu
pergerakan keagamaan sehingga melahirkan aksi-aksi ofensif baru di beberapa
daerah dan penuh fanatisme keagamaan.
Dalam Perang Banjar dapat disatukan kekuatan yang
diorganisir oleh elite sekular tradisional. Berhasil pula digerakkan kekuatan
dibawah pimpinan elite religius sehubungan situasinya menjadi hangat kembali
setelah ofensif menurun. Kekuatan masa rakyat yang membentuk kekuatan ofensif
baru dibawah pimpinan elite religius ini dikenal dengan sebutan ”Baratib
Baamal”.
Secara etimologis Baratib Baamal itu terdapat dua
pengertian kata, baratib yang berarti berzikir dengan menyebut: ”La ilaha illallah”
berulang-ulang dengan jumlah yang sudah ditentukan, umpama dengan jumlah
70.000 kali. Sedangkan baamal artinya
berbuat baik dengan melakukan amal perbuatan ibadah kepada Tuhan.
Baratib Baamal ialah memuji-muji Tuhan sambil
memohon sesuatu, umpama mohon panjang umur, banyak rezeki atau memohon
keselamatan. Adalah logis dalam menghadapi ancaman Belanda tersebut diperlukan moral
dan kepercayaan atas kekuatan yang ada, yaitu kekebalan. Gerakan ini bersifat
keagamaan, karena itu pimpinannya adalah seorang ”tuan guru’ atau ulama yang
berpengaruh atau tokoh elite religius.
Praktek yang dilakukan oleh gerakan ini sebagai
berikut: Para jamaah atau pengikut zikir tersebut, yaitu kaum muslimin,
mula-mula berkumpul di langgar atau masjid dan dengan pimpinan seorang tuan
guru, mereka berzikir dengan mengucap ”La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan
melainkan Allah) sebanyak sebelas kali, masing-masing dengan dilengkapi dengan
pujian-pujian dan permohonan panjang umur, murah rezeki, dan sebagainya.
Secara lengkap zikir itu berbunyi:
1. La ilaha illallah : rezeki minta murahkan, bahaya minta
jauhkan, umur minta
panjangkan
serta iman.
2. La ilaha illalla : tempat di Mekah ke Madinah, disitu tempat
Rasul Allah.
3. La ilaha illallah : tempat di Mekah ke Madinah, disitu tempat
Siti Fatimah.
4. La ilaha illallah : hati yang sidiq, ya maulana, ya Muhammad
Rasul Allah.
5. La ilaha illallah : hati yang mukmin, baik Allah.
6. La ilaha illallah : Nabi Muhammad hamba Allah.
7. La ilaha illallah : Muhammad sifat Ullah.
8. La ilaha illallah : Muhammad aulianya Allah.
9. La ilaha illallah : Muhammad Rasul Allah.
10. La ilaha illallah : Muhammad Rasul Allah.
11. La ilaha illallah : maujud Allah
Praktik berzikir berlangsung lama. Mereka
seolah-olah lupa diri, tenggelam dalam rasa keasyikan agama yang tiada
bandingnya. Pujian-pujian itu
dan permohonan tersebut mula-mula bernada rendah kemudian meninggi, keras
berupa jeritan-jeritan histeris. Badan terutama kepala mengikuti gerakan
tertentu dan dengan mengucap puji pada Allah semesta. Dalam situasi demikian
pula moral perjuangan ditingkatkan lagi sehingga siap menyerbu lagi tanpa
menghiraukan resiko maut yang dihadapinya. Dalam kelompok yang jumlahnya
ratusan mereka bergerak mencari musuh dan menghantamnya dengan penuh keberanian
di tempat manapun mereka menjumpainya.
Perlengkapan persenjataan yang dipergunakan ialah
tombak, parang, keris, dan ada juga beberapa pucuk senapan. Pakaian mereka
jubah putih dan serban putih, sedangkan pimpinan mereka memilih seluruhnya
kuning.
Dengan mengucap ”La ilaha illallah” mereka
menyerbu musuh tanpa keragu-raguan sedikit pun dan tanpa menghiraukan maut yang
mengancam mereka. Letak keberanian mereka ialah pada keyakinan bahwa tidak ada
yang dapat memberi bekas kecuali Allah dan tidak ada Tuhan lain kecuali Allah.
Fanatisme keagamaan yang sangat tinggi di samping dari tokoh tuan guru yang
memimpin Baratib Baamal memberi semangat yang membaja pada pengikutnya.
Dengan menggunakan masjid sebagai pusat
perjuangan, mereka bergerak dari satu desa ke desa lainnya dan mengajak rakyat
untuk berjuang mengusir orang kafir. Medan operasi mereka adalah desa Kalua,
Amuntai dan Alai yang terletak di daerah Hulu Sungai. Daerah ini disamping
penduduknya terbanyak, tanahnya subur, juga semangat fanatisme agama paling
tinggi.
Belanda terpaksa menggunakan ulama-ulama yang
memihak Belanda dengan menyebarluaskan bahwa Gerakan Baratib Baamal adalah
suatu pemalsuan terhadap agama Islam yang murni. Berzikir sebagai yang mereka
lakukan adalah menyesatkan karena membuat orang percaya akan kekebalan diri.
Yang akan menyeret rakyat yang tidak berdosa ke dalam lembah kesengsaraan
akibat perbuatan yang sesat melawan pemerintah yang sah. Disamping itu Belanda
mengancam pula dengan hukuman bagi orang yang menyembunyikan, mengambil bagian
ataupun melindunginya.
Masyarakat Banjar adalah berjiwa religius. Sejak
agama Islam masuk dalam abad ke 16, agama itu menjadi identifikasi
sosiokultural dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam masyarakat yang demikian
sentimen agama mudah dibangkitkan untuk kepentingan hal-hal yang sebenarnya
tidak religius. Sejak semula sebelum pergumulan pisik itu meletus, sebenarnya
faktor-faktor non religius lebih banyak tampil kedepan untuk menimbulkan
kegelisahan sosial yang kemudian meningkat menjadi perlawanan atau
pemberontakan. Dalam pergolakan tersebut aspek sekular dan religius bersifat
saling komplementer.
Baratib Baamal termasuk pergerakan keagamaan,
karena dalam usaha mencapai tujuannya gerakan ini mempergunakan cara-cara
keagamaan dengan pimpinannya adalah pimpinan agama. Karakteristik dari gerakan
ini adalah ”magico-mysticism” yaitu keyakinan diantara penganutnya tentang
adanya kekebalan-kekebalan yang diperolah dengan melakukan rite-rite religi-mistik
berupa berzikir dan beramal. Dari rite ini militansi mereka ditingkatkan.
Karakteristik kedua ialah adanya keyakinan akan kekuatan supra natural atau
magis yang dimiliki pimpinan religius mereka yang kharismatis. Karena kedua
karakteristik inilah dalam tingkah laku militansi yang memuncak akan mengabaikan
sikap hati-hati dan tidak lagi menghiraukan maut.-
(Sumber: Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme
dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke bolg lain).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke bolg lain).
Sabtu, 29 Juni 2013
SUNAN AMPEL
Oleh: Ramli Nawawi
(Sekilas tentang Raden Rahmat pendiri Masjid Ampel
Surabaya)
Campa adalah suatu kerajaan yang masyhur pada abad
ke 15. Negeri Campa terletak
di benua Asia bagian tenggara. Negeri yang menurut sejarahnya tidak pernah
mengalami penjajahan ini sampai sekarang masih berbentuk kerajaan.
Di Campa inilah pada sekitar 500 tahun yang lalu
lahir seorang bayi yang oleh orang tuanya diberi nama Sayid Ali Rahmatullah.
Orang tuanya sendiri bernama Syekh Maulana Ibrahim Samargandi. Nama Samargandi
tersebut karena dia berasal dari Samarkand, sebuah daerah di Rusia.
Dalam sejarah, Samarkand memang daerah yang
terkenal sebagai tempat ulama-ulama Islam yang masyhur di dunia. Di Samarkand
inilah terdapat daerah lagi yang bernama Bukhara, tempat lahirnya seorang ulama
(sarjana) hadits terkenal bernama Imam Bukhari yang masyhur sebagai seorang
perawi (penulis) hadits Nabi Muhammad S.A.W., yang diakui kalangan umat Islam
sebagai hadits-hadits sahih sampai saat ini.
Selain itu di Samarkand terdapat pula seorang
ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra, seorang Ahlussunnah Wal
Jamaah bermazhab Imam Syafii. Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra inilah yang
menurunkan Syekh Maulana Ibrahim Samargandi, yang ketika menyiarkan agama Islam
ke Campa, oleh raja Campa dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candra
Wulan. Dari perkawinan antara Syekh Maulana Ibrahim Samargandi dengan Dewi
Candra Wulan inilah lahir Sayid Ali Rahmatullah. Sedangkan putri Campa lainnya
yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya raja Majapahit.
Tidak seorangpun yang menduga kalau Sayid Ali
Rahmatullah yang dilahirkan dan dibesarkan di negeri Campa ini kemudian menjadi
orang pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sejarah memang
merupakan suatu peristiwa sebab akibat yang pantarai. Meninggalnya Gajah Mada
seorang Maha Patih Kerajaan Majapahit di tanah Jawa menyebabkan kerajaan ini menjadi
mundur secara derastis. Keamanan di masyarakat tidak bisa ditegakkan secara
tegas. Di kalangan istana sendiri terjadi kemerosotan moral, seperti para
bangsawan dan para pangeran banyak yang berpesta pora, main judi dan
mabuk-mabukan. Keadaan inilah yang menyebabkan Prabu Brawijaya, ketika ia naik
tahta sebagai raja terakhir di Majapahit merasa gelisah dan sedih. Prabu
Brawijaya menyadari bahwa apabila hal tersebut terus berlangsung negara akan
menjadi lemah dan Majapahit akan lebih mudah dihancurkan oleh musuh.
Usaha-usaha Prabu Brawijaya untuk mengembalikan ketertiban di masyarakat maupun
di kalangan istana dengan memanfaatkan pejabat-pejabat dan kekuatan kerajaan
lainnya selalu tidak memberikan hasil yang memadai.
Dalam situasi serba kacau itulah Dewi Dwarawati,
isteri Prabu Brawijaya asal negeri Campa mencoba mengajukan pendapat kepada
suaminya, untuk mendatangkan keponakannya seorang Pangeran dari Campa yang
bernam Sayid Ali Rahmatullah. Diceritakan oleh Dewi Dwarawati kepada suaminya
bahwa Sayid Ali Rahmatullah di negerinya dikenal sebagai seorang arif dan bijak
yang mempunyai banyak kemampuan dalam berbagai hal. Terdorong oleh keinginan
demi ketentraman masyarakat dan kebaikan bagi Kerajaan Majapahit, Prabu
Brawijaya dapat menyetujui pendapat isterinya. Sehubungan dengan itu raja
memberangkatkan utusan ke negeri Campa untuk memintakan kesediaan Sayid Ali Rahmatullah
dan ijin orang tuanya untuk membawa Sayid Ali Rahmatullah ke Majapahit, sesuai
dengan permintaan Prabu Brawijaya dan isterinya Dewi Dwarawati. Segalanya
berlangsung lancar dan Sayid Ali Rahmatullah kemudian berangkat ke tanah Jawa.
Setibanya di Kerajaan Majapahit ia menghadap Prabu Brawijaya, yang selanjutnya
menugaskannya untuk memperbaiki moral para bangsawan dan para pangeran yang
telah rusak ahlaknya tersebut.
Setelah beberapa waktu tinggal di istana Majapahit
Prabu Brawijaya menjodohkannya dengan puterinya yang bernama Dewi Candrawati.atau
Nyai Ageng Manila. Sementara itu para pangeran dan para bangsawan istana, para
adipati dan bupati diperintahkan untuk belajar budi pekerti. Maka untuk
melaksanakan tugasnya Prabu Brawijaya menghadiahkan sebidang tanah yang
terletak di Desa Ampel kepada Sayid Ali Rahmatullah dan isterinya untuk mereka
tinggal bersama-sama pengikut dan murid-muridnya.
Sayid Ali Rahmatullah sejak kawin dengan Dewi
Candrawati puteri raja Majapahit tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama
Raden Rahmat. Bagi Raden Rahmat misi penyebaran Islam di tanah Jawa ini secara
resmi dimulainya ketika ia beserta isteri dan orang-orang yang menjadi
pengikutnya berangkat dari Kerajaan Majapahit menuju lokasi tanah di Desa Ampel
yang dihadiahkan Prabu Brawijaya kepadanya. Sepanjang jalan perjalanannya Raden
Rahmat memberikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk desa
yang dilaluinya. Menurut cerita rakyat, kipas-kipas tersebut berguna sebagai
obat penyembuh bagi mereka yang mendapat sakit demam atau batuk. Dengan memohon
pertolongan Allah S.W.T kipas tersebut
direndam di air putih dan kemudian diminumkan kepada si sakit maka dengan ijin
Allah penyakitnya akan sembuh.
Rakyat yang mendengar berita bahwa kipas dan akar
tumbuhan yang dibawa Raden Rahmat berhasiat menyembuhkan penyakit, kemudian
banyak diminta oleh masyarakat desa-desa yang dilaluinya berserta istri dan
pengikutnya. Raden Rahmat tidak menjualnya, ia hanya cukup menukarnya dengan
mengucapkan dua kalimah syahadat. Bersamaan dengan itu ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat
pemahaman mereka.
Demikian sepanjang perjalanan dari pusat Kerajaan
Majapahit, melalui Desa Krian, Wonokromo, terus memasuki Kembang Kuning ke Desa
Ampel Denta, Raden Rahmat telah berhasil mengislamkan penduduk yang bermukim di
sepanjang jalan yang dilaluinya tersebut.
Raden Rahmat ketika itu berusia kurang lebih 20
tahun. Setelah berada di Desa Ampel Denta ia bersama pengikutnya mendirikan
tempat tinggal dan sebuah langgar untuk
melaksanakan shalat lima waktu berjamaah. Raden Rahmat juga membangun sebuah
pondokan untuk tempat mengajar pengikut dan murid-muridnya. Prabu Brawijaya
juga memerintahkan para adipati dan bupati belajar budi pekerti di Ampel.
Sedangkan anak-anak mereka diharuskan menetap di pondokan Ampel untuk belajar.
Dalam misinya menyebarkan agama Islam Raden Rahmat
juga suka turun ke masyarakat. Untuk bisa mendekati guna menyadarkan dan
mengislamkan merka, Raden Rahmat pada suatu waktu ikut pula dalam suatu
kegiatan yang dilakukan masyarakat. Salah satu kegemaran masyarakat pada waktu
itu adalah melakukan judi sabung ayam. Untuk bisa berkumpul dengan mereka maka
Raden Rahmat ikut pula dalam kegiatan tersebut. Agar ia bisa dikenal oleh
seluruh masyarakat yang gandrung melakukan judi sabung ayam, Raden Rahmat
meminta kepada Tuhan agar ayam miliknya selalu menang dalam pertandingan
tersebut. Permintaan Raden Rahmat ternyata dikabulkan Tuhan, sehingga ayam
miliknya tidak pernah kalah dalam pertandingan. Hal ini menyebabkan semua orang
yang hadir mengagumi ayamnya. Dalam kesempatan seperti itulah ia menyampaikan
dakwahnya. Ia memberitahukan bahwa ayamnya selalu menang dalam persabungan
karena ia telah meminta kepada Tuhan Allah agar ayamnya dimenangkan.
Dikatakannya pula bahwa siapapun bisa meminta kepada Allah agar ayamnya
dimenangkan, asal yang empunya mau mengucapkan dua kalimah syahadat. Bagi
mereka yang bersedia, maka Raden Rahmat memintakan kepada Allah agar ayamnya
dimenangkan. Setelah beberapa waktu kemudian Raden Rahmat dengan secara
bijaksana memberikan pengertian bahwa perbuatan judi sabung ayam tersebut
sebenarnya dilarang oleh Allah.
Ketika itu rumah penduduk Desa Ampil baru sekitar
500 buah rumah tangga. Raden Rahmat yang di daerah baru ini kemudian banyak
dikenal oleh masyarakat sebagai orang bijaksana dan ahli dalam agama Islam,
kemudian lebih dikenal dengan gelar Sunan Ampel (Sunan Ngampel).
Setelah Sunan Ampel mendiami daerah itu,
perkampungan menjadi masyhur dengan nama Ampel Denta dan Ampel Gading.
Nama-nama itu merupakan lambang kejujuran dan keadilan Sunan Ampel. Hal ini mengandung makna bahwa
segala fatwa dan ucapan Sunan Ampel waktu itu dianggap masyarakat sebagai
”Sabda Pandita Ratu”, yang apabila telah diucapkan maka sah dan tidak akan
ditarik lagi. Hal ini diibaratkan dento atau gigi dan gading gajah dewasa yang
apabila gugur pasti tidak akan tumbuh lagi.
Sunan Ampel yang semula bernama Sayid Ali
Rahmatullah datang ke Pulau Jawa pada tahun 1421 M. Apabila waktu itu ia baru
berusia kurang lebih 20 tahun, maka berarti ia lahir pada sekitar tahun 1401 M.
Sunan Ampel termasuk salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa meneruskan misi yang dirintis oleh Malik Ibrahim yang meninggal pada
tahun 1419 M.
(Sumber buku: Masjid Ampel Sejarah, Fungsi dan
Peranannya, oleh: Ramli Nawawi)
Langganan:
Postingan (Atom)