TAKDIR CINTA
Ceritera
ini fiksi, kalau ada kesamaannama,
tempat
dan lainnya dibuat hanya kebetulan,
entri
ini sambungan dari entri 22.
Oleh:
Ramli Nawawi
23. CINTA DALAM
PENANTIAN (2)
“Bagaimana ijin
nya mama tadi Na”, tanya Ali.
“lengkapnya
gini, kalau pergi jangan lama-lama ini lagi puasa”, jelas Ana.
”Okey”, bilang
Ali.
Ali dan Ana
keluar pintu bersamaan. Sementara Ali mengambil kendaraan di samping rumah, Ana
menunggu di pekarangan..
”Ayu Na naik”,
ajak Ali ketika kendarannya sudah di
samping Ana berdiri.
”Kemana ni Li”,
tanya Ana begitu ia sudah duduk di sadel di belakang Ali.
”Udah, pegang
erat-erat aja, nanti jatuh diambil orang”, jawab Ali.
”Kencangnya gini
ya”, bilang Ana sambil mencubit pinggang Ali.
”Aduuh, bukan
kencang cubitnya Na, tapi erat pegangnya”, bilang Ali sepontan.
”Ooh, gini”,
bilang Ana sambil melingkarkan tangannya ke pinggang Ali.
”Ya gitu Ana
sayang..”, puji Ali.
Kali ini Ali
membawa Ana pergi jalan-jalan tidak ke arah pusat kota, tapi ke arah pinggiran
kota Kandangan. Karena itu Ali mengarahkan kendaraannya belok kanan dari
pekarangan rumah Ana. Sampai di ujung Jalan Durian Sumur, Ali belok kiri memasuki Jalan Gerilya. Setelah
menempuh jarak kurang lebih setengah kilometer Ali menghentikan kendaraannya di
pekarangna luas bangunan sebuah sekolahan. Karena lagi libur puasa tidak ada
kegiatan di komplik sekolahan ini.
”Kok ada apaan
Li berhenti disini”, celetuk Ana.
“Tapi you
tahukan tempat ini”, sahut Ali.
“Ya tahulah,
tempat sekolah kita dulu”, bilang Ana.
”Ingat ya Na,
yang mana pintu ruang kelas you, dan masih ingat nggak yang mana pintu ruang
kelas aku”, tanya Ali.
”Masa sudah
lupa, bangunan kiri ni itu pintu yang ke
4 ruang kelas kami. Ruang kelas you itu bangunan yang menghadap jalan ni pintu
yang paling
tengah, di samping pintu itu dulu waktu istirahat you sering berdiri berduaan
dengan seorang cewe, ya ganti-ganti, tapi
ada yang istimewa waktu itu tampaknya”, balas Ana.
”You sering
perhatikan itu”, tanya Ali.
”You ge er ya
Li”, bilang Ana.
”Ge
er apa Na:”, tukas Ali.
”Ge er tu gede
rasa disukai banyak teman cewe”, sahut Ana.
”Tapi Ali kan
hanya pernah sekali menulis surat cinta, dan itu hanya untuk Ana”,.jelas Ali.
”You percaya kan
Li, Ana juga hanya pernah sekali membalas surat cinta, dan itu hanya untuk
Ali”, jawab Ana.
”Percaya lah,
karena Ali tahu waktu itu ada orang yang gagal mengharap cintanya Ana”, ujar
Ali.
Sudah lah Li, ya
di sekolah inilah dulu cinta kita tumbuh dan bersemi hingga kini, memang kadang
ada reak-reak masalah, tetapi kita selalu menang terhadap masalah kan Li”, jawab
Ana.
”Udah yu Li,
kita jalan yu, dikirain orang apa lama-lama berdiri di sini”, sambung Ana.
”Okey, ayu naik
Na dan pegang yang erat”, bilang Ali yang sudah di atas kendaraannya.
”Kemana lagi
Li”, bilang Ana sambil naik duduk di sadel di belakang Ali.
”Tenang Na, ini
kita ke Jalan Singakarsa yu, tapi coba lewat Jalan Pemuda”, jawab Ali.
”Nggak kelamaan
ya Li”, Ana mengingatkan pesan ibunya.
Ali tidak
menjawab pertanyaan Ana. Setelah melewati Jalan Parendra, Ali membelokkan
kendaraannya menuju Jalan Pemuda.
Ketika sampai
di ujung Jalan Pemuda sebelum
menyeberang perampatan jalan, Ana minta berhenti di tepi jalan persis di sampng
bangunan gedung Balai Rakyat.
”Apain Na berhenti di sini”, ujar Ali.
”You sudah lupa
ya, di bangunan ini kita pernah berhadir pada acara malam perpisahan sekolah
kita”, sahut Ana.
”Peristiwa apa
ya Na”, tanya Ali, padahal dia ingat semua.
”You kan nyanyi Cinta
Hampa di acara perpisahan itu”, ujar Ana.
”Waduh lupa
Na”, ujar Ali pura-pura lupa.
”Memang waktu
itu you benar mau meninggalkan Ana ya Li”, ujar Ana.
”Ali galau Na
waktu itu, karena Ana sejak rekreasi ke Pantai Takisung, Ana kayanya sudah tak acuh sama Ali”, jawab Ali.
”Ali kan mau
melanjutkan sekolah, tapi tak pernah bilang sama Ana’, jelas Ana.
”Wah itu peristiwa
lama, udah Na naik dulu, tujuan kita kan ke Jalan Singakarsa”, ujar Ali.
Tanpa bicara Ana
naik duduk di sadel kendaraan, hatinya sedih mengingat peristiwa itu. Selama
dalam perjalanan baik Ali maupun Ana tidak bicara apa-apa. Ketika melewati sebuah
rumah asrama puteri tempat tinggal Ana dulu, Ali berucap: “Asrama you dulu Na”,
kata Ali.
Ana
tidak merespon ucapan Ali. Ia justeru ingat kelanjutan peristiwa sehabis
selesai malam perpisahan sekolahnya dulu itu.
Setelah berjalan
kurang lebih lima belas menit, Ali menghentikan kendaraannya. Tapi karena rumah
asrama Inderakila tempat tingal Ali dulu tampak terkunci, Ali meneruskan ke
asrama Darmapala yang berjarak kurang lebih dua puluh lima meter di sebelahnya,
Ali berhenti di halaman asrama tersebut.
”Apain Li
singgah disini”, ujar Ana.
”Mau suwan sama
bibi asrama yang tinggal di bagian belakang asrama ni”, ujar Ali.
Bersamaan dengan
ucapan Ali, bibi asrama tampil di pintu papilyun asrama.
“Ali ya, lama
ngak kesini nih”, ujar bibi asrama.
“Kenal sama Ana
ya bi”, bilang Ali menunjuk ke arah Ana.
”Kenallah, yang
sering kan datang di asrama sebelah, tapi pernah juga dengan temannya kesini”,
jawab bibi.
”Silakan masuk,
ya silakan mau duduk dimana saja, tapi tak ada minuman kan lagi puasa nih”,
sambung bibi sambil meninggalkan Ali dan Ana.
”Santai disini
aja yu Na”, bilang Ali sambil mengajak Ana duduk di kursi di ruang tengah
asrama.
”Pernah ke
asrama ini ya Na”, sambung Ali setelah mereka duduk sejajar berdampingan.
”Ya pernah dulu
menemani kawan Ani menemui bapa asrama ini”, ujar Ana
”Tapi kalau ke
asrama sebelah sering kan Na”, sungka Ali.
”Seingat you Ana
berapa kali ya datang ke asrama you”, tukas Ana.
”Lupa, tapi yang
tak pernah terlupakan, you datang besoknya setelah acara malam perpisahan
dulu”, ujar Ali.
”Karena waktu
pulang acara malam perpisahan Ana minta you tunggu besoknya kan di asrama,
untuk memastikan apakah Ali tu memang akan meninggalkan Ana”, jelas Ana.
”Ya tak pernah
terlupakan, karena pertemuan itu menyelesaikan
kesalahpahaman antara kita”, bilang Ali.
”Iyakan Li,
kalau Ana tidak datang waktu itu, tidak ada Ana bersama Ali hari ini”, bilang
Ana yang waktu itu berusaha menyelamatkan cinta mereka.
”Takdir cinta
kita Na, tak akan terpisahkan”, ujar Ali sambil merapat ke Ana dan memeluknya.
”Puasa Li”ujar
Ana mengingatkan.
”Udah, pulang yu
Na, aku suwan dulu sama bibi”, kata Ali.
Ali masuk ke
belakang bagian asrama suwan sama bibi, sementara Ana keluar menunggu di
pekarangan. Sebentar Ali sudah juga di pekarangan. Ali menaiki kendaraannya,
dan minta Ana naik di belakangnya.
”Pegang Na”,
ujar Ali sambil memacu kendarannya, pulang ke rumah Ana.
(bersambung) i