Minggu, 11 Januari 2009

Sekilas Perjalanan Sejarah Kota Banjarmasin






***Kota Banjarmasin bermula dari sebuah kampung kecil bernama Kuin.

SEKILAS PERJALANAN SEJARAH KOTA BANJARMASIN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Dalam Hikayat Banjar jelas kata Banjar menunjukkan nama desa tertentu di sekitsr Cerucuk sekarang di samping desa Serapat, Balandian, Tamban, Belitung dan Kuin. Desa Banjar ini disebut pula Banjarmasin, karena tetuha desanya disebut Patih Masih.

Pada permulaannya Banjar di muara Cerucuk ini adalah sebuah kampung orang Melayu atau kampung Olo Masih. Setelah Raden Samudera yang kemudian bernama Sultan Suriansyah menjadi raja di Banjarmasin maka kampung orang Melayu ini berfungsi pula sebagai bandar, lengkapnya "Bandar Masih", kemudian menjadi ibu kota kerajaan yang baru di desa Kuin.

Pada tahun 1526 berdiri Kerajaan Banjarmasin, sekaligus menandai kemenangan Raden Samudera terhadap kerajaan pedalaman (Negara Daha). Perdagangan makin meningkat yang memungkinkan terjadinya kontak kultural dengan dunia luar dan tumbuhnya ekonomi komersial, maka kota Banjarmasih yang kemudian berubah sebutannya menjadi Banjarmasin menjadi kota dagang yang amat ramai dikunjungi oleh berbagai suku dan bangsa.

Banjarrmasin sudah menghasilkan Jung-Jung untuk pelayaran interinsuler dan interkontinental, terutama bagi pelayaran Jawa. Pelayaran perdagangan dan pembajakan laut meningkatkan kekayaan suatu kerajaan laut. Semua dasar-dasar politis dan ekonomis Kerajaan Banjar tumbuh dan berkembang dengan pesat. Pada abad ini yang memerintah adalah Sunan Batu Habang, Penembahan Batu Putih dan Penembahan Batu Hirang (gelar Sultan pertama, kedua dan ketiga).

Banjarmasin menjadi salah satu pusat migrasi suku-suku bangsa, baik Melayu maupun Jawa yang datang ke Banjarmasin akibat pergolakan politik dan peperangan di Indonesia Timurdi abat ke 17. Sebagai pusat kebudayaan yang utama daerah Maritim Kalimantan Selatan merupakan hasil proses akulturasi kebudayaan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Melayu, Jawa, Bugis dan lain-lain, dengan lapisan-lapisan bawah unsur-unsur kebudayaan Dayak dan orang orang Bukit.

Pada awal abad ke 17 VOC berusaha mengadakan kontak dagang dengan Banjarmasin. J.W. Verschor mengirim Koopman Gillis Michiels Zoon ke Banjarmasin. Pada tanggal 7 Juni 1607 ia tiba di Banjarmasin, dan diundang ke darat bersama anak buahnya, tetapi mereka dibunuh semuanya dan barang-barangnya di rampas. Lima tahun kemudian, tahun 1612 Belanda melakukan pembalasan, yang berakibat Banjarmasin hancur terbakar oleh tembakan-tembakan meriam dari kapal Belanda.

Mustainullah, yakni raja Banjarmasin keempat, memindahkan ibu kota Kerajaan Banjar ke Kayu Tangi Martapura. Alasannya tanahnya bertuah, tempatnya jauh di pedalaman, sehingga orang asing sulit untuk menyerang. Di Banjar Baru atau Banjar Hanyar mereka membuat bentenmg-benteng pertahanan terhadap serangan musuh. Hubungan dengan Belanda ini baru menjadi baik kembali setelah dalam tahun 1635 dibuat kontrak yang pertama dengan Belanda. Hubungan baik ini tidak berlangsung lama.

Pertengahan abad ke 17 pemerintah terbagi dua, yaitu Pangeran Ratu tetap bertahta di Martapura dan Pangeran Surianata bertahta di Banjarmasin. Banjarmasin menjadi pusat pemerintahan Pangeran Surianata yang menyebut dirinya Sultan Agung, mengawasi ramainya perdagangan, tambang-tambang emas di pedalaman, hasil kebun lada dan sebagainya, sehingga pelabuhan Banjarmasin amat ramai.

Pada awal ke 18 daerah Kuin pusat pemerintahan dibakar oleh rakyat sendiri untuk mengusir orang Inggeris yang ingin tetap bertahan di Banjarmasin. Karena itu pusat kegiatan kota dipindahkan 6 mil ke hulu yakni ke pulau Tatas. Dalam kontrak tahun 1747, Belanda kembali ke Banjarmasin membuat loji di pulau Tatas. Belanda berhasil mendapat tanah untuk membuat Fort Tatas.

Dalam abad ke 19 wilayah kekuasaan pemerintahan Banjarmasin dipersempit oleh Sultan Adam dalam perjanjian tambahannya dengan pihak Belanda pada tahun 1854. Wilayah kerajaan dibatasi oleh sungai Banjar (anak sungai Barito) di sebelah barat, sebelah timur oleh pegunungan Meratus dan sebelah selatan oleh Gunung Pamaton. Kekuasaan sultan ini terbatas sejak tahun 1826. Menurut ketetapan itu pengangkatan Sultan dan Mangkubumi harus disetujui pihak Belanda. Dalam daerah-daerah yang telah diserahkan kepada pihak Belada dibentuk suatu poemerintahan yang pada pertengahan abad ke 19 digabung menjadi "Gouvernement van Borneo" yang berpusat di Banjarmasin sebagai ibu kotanya. Sekalipun demikian dalam wilayah yang dikuasai Sultan sistem pemerintahan tradisional masih tetap berlaku dan merupakan patokan terpenting dalam Kerajaan Banjar.

Pada akhir hidup Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidillah diangkat sebagai raja oleh Belanda, tetapi bertentangan dengan wasiat Sultan Adam yang menetapkan Pangeran Hidayatullah sebagai penggantinya. Peristiwa itu membangkitkan semangat rakyat untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari Kerajaan Banjar. Di bawah pimpinan Pangeran Antasari Perang Banjar berlangsung dari tahun 1859 sampai dengan tahun 1905.

Untuk mengatasi dan menghadapi Perang Banjar ini pihak Belanda bertindak menurunkan Sultan Tamjidillah sebagai raja pada tanggal 25 Juni 1859, karena Sultan Tamjidillah dianggap penyebab Perang Banjar berlangsung dan memberikan kesempatan kepada Pangeran Hidayatullah untuk menjadi raja. Akan tetapi Hidayatullah tidak menampakkan diri. Maka pada tanggal 11 Juni 1869, Kerajaan Banjar dinyatakan telah dihapus melalui pengumuman Nieuwenhyzen di Banjarmasin. Semua bekas wilayah Kerajaan Banjar disatukan menjadi wilayah Hindia Belanda yang disebut Zuider en Oosterafdeeling van Borneo.

Kota Banjarmasin makin terkenal, karena kota ini menjadi ibu kota distrik Banjarmasin, sekaligus menjadi ibu kota onderafdeling Banjarmasin, dan menjadi ibu kota Resedentie nuider en oosterafdeling van Borneo sampai tahun 1937. Pada tahun 1938 menjadi ibu kota Gauvernement Borneo tempat kedudukan seorang Gubernur Belanda dengan dr. J. Haga sebagai Gubernur Belanda yang pertama dan terakhir sampai dengan tahun 1942.

Selain itu Banjarmasin menjadi penting dalam arus lalu lintas pelayaran dan perdagangan di Indonesia Tengah. Kapal-kapal layar dan api masuk dan keluar sampai ke pelabuhan Bnanjarmasin. Jika air surut kapal-kapal agak sulit memasuki pelabuhan di dalam kota, kecuali air pasang nauk kapal-kapal dan perahu-perahu layar dapat dengan mudah ke luar dan masuk pelabuhan Banjarmasin. Pelabuhan Banjarmasin terletak di Sungai Martapura, yaitu sebuah anak sungai Barito. Untuk memasuki sungai Martapura menuju pelabuhan dan kota Banjarmasin harus melalui beberapa tikungan dan rintangan, kira-kira 20 km panjangnya dari muara sungai Barito. Masuk arah ke kota Banjarmasin, akan menemui Kampung Mantuil dan Basirih tempat terapung di atas air. Dalam periode ini jalan-jalan darat masih kurang, sehingga jalan air besar peranannya.

Pusat-pusat kota dari pelabuhan, memanjang sampai sampai sungai Martapura, Pasar Baru, Kediaman orang-orang Belanda, Fort Tatas, dan Pasar Lama. Di daerah pelabuhan berderet kantor-kantor dinas duane dan bangunan pangkalan pelabuhan yang letaknya membelakangi sungai Martapura. Kapal-kapal terletak pada sisi barat dan perahu-perahu terletak pada sisi timur. Pelabuhan ini mengadakan hubungan tiap 14 hari sekali dengan kapal dinas KPM Jakarta – Surabaya – Banjarmasin yang bermuatan 200 ton, dan seminggu sekali dari Singapura – Ujung Pandang Surabaya melalui Banjarmasin ke Samarinda. Firma milik orang Cina mempunyai kapal yang digerakkan dengan tenaga uap berkekuatan 800 ton brutu yang mengadakan hubungan tiap 14 hari sekali antara Banjarmasin – Singapura - Banjarmasin. Pelabuhan Banjarmasin menjadi pusat transito dagang ke Barito daerah dusun dan hulu sungai. Hubungan dagang langsung diadakan dengan Singapura, Jawa dan Sumatera. Keadaan ekonomipun makin maju, karena tiap kapal yang datang membawa barang-barang impor, sedangkan kapal yang berangkat mengangkut barang-barang ekspor.

Di Mantuil ada "seimport" dihubungkan teleponis dengan pelabuhan Banjarmasin, ditempatkan garnizoon batalyon yang memelihara keamanan untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, di samping sebuah detassemen. Di Fort Tatas dibangun sebuah rumah sakit modern. Industri hanya meliputi pabrik es, bengkel dan dok untuk kapal-kapal kecil yang dikuasai oleh Borneo Industri Maatschappij. Sedangkan firma-firma yang ada terdiri dari: Borneo Sumatera Handels Maatchappij, Henneman & Co, Agen Javasche Bank dan Agen Factory.

Pada masa kekuasaan Jepang, tampaknya tidak ada perubahan, karena sebelum Jepang memasuki kota Banjarmasin Belanda telah melakukan pembumihangusan. Pasar Baru menjadi lautan api , Fort Tatas dihancurkan, Pelabuhan, gedung-gedung pabrik dan ANIEM listrik hanya tinggal fondasi. Jembatan Coen diledakkan oleh Belanda, yang kemudian diperbaiki kembali oleh Jepang dengan penggantian nama Jembatan Jamat.

Dalam tahun 1943 saluran air minum diresmikan di Banjarmasin, yang selama pemerintahan Belanda tidak terlaksana, terkenal dengan nama Coerdo. Demikian pula rumah sakit umum di Fort Tatas dipindahkan ke jalan Ulin km 1 pada tahun 1944. Tanggal 9 Nopember 1945 meletuslah pertempuran pertama di Banjarmasin. Kota Banjarmasin mengalami kerusakan akibat sabotasi, seperti pembakaran pelabuhan Bnajarmasin dan Landasan Ulin. Kemudian pada tahun 1946 – 1949 Belanda membangun kembali pelabuhan lama, Fort Tatas dan Landasan Ulin.

Tidak ada komentar: