Sistem Kekerabatan Bubuhan
(disusun
: Ramli Nawawi)
Pada masyarakat
Kalimantan Selatan sistem kekerabatan yang berlaku adalah sistem bilateral,
yakni kedudukan seorang suami dan isteri pada suatu keluarga adalah sama. Berbeda
dengan sistem kekerabatan baik yang menurut garis ayah maupun garis ibu. Dalam
masyarakat Banjar suatu keluarga yang baru membangun rumah tangga tidak harus
terikat tinggal bersama pihak keluarga perempuan atau keluarga laki-laki.
Tetapi diakui dalam bidang-bidang tertentu sistem kekerabatan di daerah ini
menurut garis ayah, misalnya dalam hal wali untuk perkawinan seorang anak
perempuan atau pembagian harta waris yang mengacu pada ajaran Islam.
Dalam masyarakat
suku bangsa Banjar mengenal adanya kelompok yang sangat kuat kesatuannya. Hal
ini masih dapat dirasakan atau ditemui hingga sekarang. Kesatuan itu biasa
disebut dengan perkataan ”bubuhan”, rasa kesatuan dan sifat gotong royongnya
kuat sekali.
Pengertian
bubuhan kalau dalam ilmu antropologi sama dengan keluarga luas, yaitu suatu
keluarga yang terdiri dari lebih dari keluarga inti yang seluruhnya merupakan
sistem kesatuan sosial yang sangat erat yang biasanya tinggal dalam satu rumah atau
satu pekarangan. Tetapi sejak zaman penjajahan
bubuhan-bubuhan tidak lagi tinggal dalam satu rumah atau pekarangan
melainkan telah menyebar ke pemukiman yang saling berjauhan.
Biasanya
seseorang yang terpandang, mungkin karena memiliki kekayaan atau kedudukan yang
tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian dipakai menjadi nama bubuhan,
misalnya bubuhan Muhammad Arsyad Al Banjari, seorang ulama besar Kalimantan
Selatan.
Diantara
kelompok bubuhan ini ada yang percaya bahwa mereka dapat menarik garis keturunan bilateral sampai pada
tokoh zaman dahulu yang sulit ditelusuri silsilahnya dengan urut. Tokoh
tersebut dipercaya menurunkan Sultan-Sultan Banjar atau seorang pejabat
kesultanan.
Ada juga
kelompok bubuhan yang mempunyai benda-benda pusaka yang menjadi lambang
keunggulan, atau sumber air keramat yang berfungsi menghubungkan bubuhan mereka
dengan tokoh tertentu melalui ceritera atau legenda. Misalnya legenda sumur
datu, dipercaya sebagai tempat Datu Taruna menyimpan harta pusaka.
Sekarang konsep bubuhan ini berkembang lebih
luas lagi menjadi ikatan bubuhan daerah asal. Misalnya bubuhan Kandangan,
bubuhan Rantau, bubuhan Barabai. bubuhan
Amuntai, Bubuhan Tanjung, dan lainnya berdasarkan daerah tempat mereka lahir
dan dibesarkan. Bahkan bagi mereka yang tinggal atau bermukim di perantauan tetap
mengaku sebagai ”bubuhan orang Banjar”, yang terhimpun dalam suatu organisani
kerukunan keluarga Banjar di daerah mereka bermukim. (HRN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar