BERAKHIRNYA
KEKUASAAN BELANDA
DI KALIMANTAN SELATAM
Disusun
oleh: Drs. H.Ramli Nawawi
Dalam tahun
1941, jauh sebelum pecah Perang Pasifik, orang-orang Jepang yang tinggal di
Kalimantan Selatan telah dipanggil pulang ke tanah airnya. Bertahun-tahun
mereka telah tinggal di daerah ini, sebagai perintis dan pelaksana kolone ke V
pemerintahnya. Jumlah mereka tidak banyak, terdiri dari pengusaha perkebunan
Danau Salak dan Pelaihari, pengusaha paberik karet Nomura, pengusaha toko N.ABE
dan Takara, dokter Kojen kan, dokter gigi Shogenyi, tukang cukur dan tukang
potret.
Untuk menghadapi perang Pasifik, Belanda sibuk
dengan mobilisasi. Orang Belanda, Cina peranakan, orang Belanda, dimasukkan ke
dalam Stadswacht (Pasukan Pengawal Kota), Luchtbeschermings Dienst atau LBD
(Penjaga Bahaya Udara), Afweer en Vernielings Corp (AVC-Pasukan Pelawan dan
Pengrusak) serta kesatuan lain di bawah KNIL.Mobilisasi ini terjadi di
tiap-tiap kota seluruh daerah Hulu Sungai dan sebagai pusatnya di Banjarmasin.Mereka mengadakan latihan
perang-perangan sehingga betul-betul Belanda sudah siap jika Jepang datang.
Ketika perang pecah, panik memuncak, sebagian
besar orang-orang sipil Belanda dan Cina mengungsi bersama KNIL, dengan kapal
ke Jawa. Pada tanggal 8 Pebruari 1942, berangkatlah rombongan pengungsi
terakhir dengan kapal TOBA yang diperlengkapi dengan pelampung dan rakit-rakit
, tambahan apabila ditenggelamkan oleh musuh. Untuk pertama kali rakyat
menyaksikan serangan Jepang terhadap Catalina Belanda di atas Barito.
Ketika Balikpapan jatuh sebagian tentara Jepang menerobos
hutan-hutan ke arah Hulu Sungai Utara dan naik ke Muara Uya bagian ter utara
dari Kalimantan Selatan dan berbatasan dengan Kalimantan Timur. Tentara Jepang
tiba di Tanjung dengan berjalan kaki, ada juga yang bersepeda yaitu sepeda yang
dirampas dari penduduk waktu dalam perjalanan . Jumlah tentara Jepang yang
datang itu cukup banyak dan segar-segar. Ketika sampai di Tanjung tentara
Jepang tersebut mencari Idar, sebab sejak zaman Belanda Idar menjabat sebagai Pembekal.
Oleh pimpinan tentara Jepang tersebut, Idar harus membantu setiap datang
tentara Jepang yang lewat nanti dengan diberi tanda merah dengan huruf dan bahasa Jepang. Tentara Jepang ini hanya
berhenti selama 3 hari, rombongan meneruskan perjalanan ke Amuntai. Kurang
lebih dua minggu kemudian datang lagi rombongan tentara Jepang. Mereka yang
datang ini naik kuda, jadi tidak berjalan kaki. Sebagaimana tentara yang
terdahulu, tentara inipun menemui Idar, dan karena sudah ada ban merah di
lengan Idar, hubungan dengan Jepang tersebut berjalan dengan lancar.
Tentara Jepang tiba di Amuntai secara mendadak,
tidak lewat jalan raya, tapi jalan sungai dengan perahu. Sehari sebelum tentara
Jepang ini masuk kota, pemerintah Belanda membumihanguskan beberapa gudang karet,
gudang beras dan yang bersifat vital lainnya. Belanda memperkirakan tentara
Jepang yang datang tidak berdaya karenannya. Tentara Belanda, Polisi,
Stadswacht dan sebagainya tak berdaya
sama sekali dan masing-masinng melarikan diri dengan membuang senjata ke
sungai, sehingga Jepang masuk langsung bisa menyatukan diri denagan masyarakat.Masyarakat
pinggiran kota di ajak ke kota mengangkut barang-barang dan membongkar toko
segala bahan makanan, toko pakaian. Dalam hal ini toko Cina menjadi sasaran pembongkaran.
Pada waktu itu yang memimpin kota Amuntai adalah
seorang aspiran Controleur Belanda. Aspiran ini ditangkap Jepang dan ditembak,
begitu pula dua orang polisi di muka jembatan Paliwara dan dilemparkan ke kali.
Jepang menggunakan rumah Controleur tersebut sebagai asrama tentara Jepang.
Tentara Jepang yang datang ke Amuntai ini mula-mula hanya 3 (tiga) orang yang
menduduki kota Amuntai, kemudian datang lagi 5 (lima) orang dan yang tiga orang
terdahulu datang berangkat lagi meneruskan perjalanan ke arah selatan, yaitu
Barabai, begitu seterusnya silih berganti, dan seterusnya Banjarmasin.
(HRN, Peneliti Jarahnitra: ”bersambung”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar