Rabu, 18 Februari 2009

Silsilah Lambung Mangkurat

SILSILAH LAMBUNG MANGKURAT
SAMPAI BERDIRINYA KERAJAAN BANJAR


Selasa, 17 Februari 2009

Lambung Mangkurat

PERANAN LAMBUNG MANGKURAT
DALAM MEMBANGUN KERAJAAN NEGARA DIPA
DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Dari Negeri Keling ke Hujung Tanah
Dalam buku Negara Kertagama disebutkan bahwa di Jawa Timur terdapat suatu daerah bernama Keling, yang pada saat itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sebagai daerah kekuasaan Majapahit maka negeri ini tentunya mempunyai kewajiban menyampaikan upeti kepada raja Majapahit. Adanya kewajiban yang dirasakan memberatkan itulah menyebabkan penduduk negeri kecil ini tidak merasa tenteram. Usaha kaum pedagang umumnya sudah tidak menguntungkan lagi. Hal inilah yang menyebabkan seorang saudagar yang sudah berusia lanjut di negeri Keling ini, bernama Mangkubumi dan isterinya Sitira pada suatu hari berwasiat kepada anaknya yang bernama Empu Jatmika. Dalam wasiatnya itu Mangkubumi mengatakan bahwa apabila ia meninggal nanti supaya Empu Jatmika beserta isteri, anak-anak dan pengikutnya meninggalkan negeri Keling ini berpindah mencari suatu tempat kediaman yang tanahnya panas dan wangi baunya.

Demikianlah ketika peristiwa kematian orang tuanya tersebut telah berlalu, Empu Jatmika bersama keluarga dan sejumlah pengiringnya meninggalkan negeri Keling di daerah Jawa Timur sesuai wasiat orang tuanya. Pelayaran ke utara untuk mencari negeri yang tanahnya panas dan berbau wangi tersebut dipimpin sendiri oleh Empu Jatmika dengan menggunakan kapal layar bernama Prabayaksa dan beberapa buah kapal layar lainnya. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit terakhir.

Setelah berlayar lama mengarungi lautan, rombongan kapal layar yang dipimpin oleh Mpu Jatmika tersebut akhirnya sampai di Pulau Hujung Tanah. Rombongan kemudian memasuki muara sungai Barito. Mengingat bahwa sesuai dengan pesan orang tuanya untuk mencari lokasi yang tanahnya panas dan berbau wangi, Empu Jatmika yang memperhatikan keadaan tanah di sepanjang tepi Sungai Barito tersebut merupakan rawa-rawa yang senantiasa digenangi air, sehingga selama beberapa hari mereka harus meneruskan pelayarannya menuju ke daerah hulu sungai tersebut. Karena setelah lama berlayar belum juga menemui lokasi tepi sungai yang bebas dari rawa, akhirnya mereka mencoba membelok menyusuri anak Sungai Barito yang kemudian dikenal sebagai Sungai Negara. Dengan harapan agar segera mendapatkan lokasi sesuai dengan petunjuk orang tuanya, yakni tanah yang panas dan berbau harum, yang ditafsirkan sebagai daerah yang tanahnya subur.

Demikianlah ketika rombongan sampai pada lokasi yang menjadi pertemuan anatara Sungai Negara dan Sungai Balangan, konon Empu Jatmika dan rombongannya memutuskan untuk bermukim di sekitar daerah tersebut. Dibawah pimpinan Empu Jatmika mereka mulai membuka hutan di daerah tersebut. Selanjutnya mereka kemudian mendirikan tempat tinggal (astana) dengan balairung dan pengadapan serta beberapa buah rumah perbendaharaan. Bahkan sebagai kelompok yang berasal dari masyarakat beragama Hindu, mereka juga mendirikan sebuah candi yang kemudian disebut Candi Agung. Candi ini untuk tempat menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut di daerah asalnya.

Tempat pemukiman keluarga Empu Jatmika tersebut sekarang terdapat di lokasi Sungai Malang, di pinggiran kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Pemukiman tersebut seperti diceriterakan dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat, kemudian terus berkembang dan bertambah luas karena makin ramainya perdagangan dengan datangnya pedagang-pedagang dari Jawa maupun pedagang-pedagang dari Tanah Melayu.

Negeri baru yang tadinya dibangun oleh Empu Jatmika beserta pengikut-pengikutnya tersebut kemudian diberi nama Negara Dipa, dan Empu Jatmika sendiri kemudian bergelar Maharaja di Candi. Diceriterakan bahwa oleh karena Mpu Jatmika takut "ketulahan" (kualat) bergelar Maharaja di Candi, sebab ia bukan keturunan raja, maka ia memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk membikin patung dari kayu cendana dan patung itu ditaruhnya di dalam candi untuk dipuja sebagai ganti raja di negeri Negara Dipa tersebut.

Bersamaan dengan itu pula beberapa daerah di sekitarnya seperti daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Labuan Amas, telah melakukan hubungan dengan Negara Dipa.

Diceriterakan juga bahwa dalam mengatur negeri, Empu Jatmika memakai adat istiadat yang berlaku di Kerajaan Majapahit. Selain itu Empu Jatmika juga kemudian menyuruh beberapa pengikutnya untuk kembali ke Negeri Keling guna mengambil harta benda milik keluarganya yang masih ketinggalan di negerinya.

Sementara itu ketika Patung Kayu Cendana yang diletakkan di dalam Candi Agung sebagai perlambang raja di negeri Negara Dipa tersebut telah lapuk, maka untuk menggantikannya Empu Jatmika memesan sebuah patung "gangsa" bikinan orang Cina. Patung itupun kemudian diantarkan sendiri oleh utusan dari Tiongkok ke Negara Dipa.

Lambung Mangkurat membangun kerajaan
Setelah beberapa tahun memimpin masyarakat yang dibangunnya tersebut, Empu Jatmika di akhir usianya sempat berpesan kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Ia mengingatkan kepada kedua anaknya bahwa apabila ia meninggal nanti supaya patung gangsa yang ditempatkan di dalam Candi Agung itu supaya dibuang ke laut, dan anaknya berdua agar pergi bertapa memohon kepada Dewa Batara supaya menunjukkan seorang raja untuk bertahta di Negara Dipa dan negeri-negeri sekitarnya. Diingatkan pula oleh Empu Jatmika bahwa jangan sekali-kali keduanya mengangkat diri sebagai raja, karena keluarga mereka bukan turunan raja,

Demikianlah setelah Empu Jatmika meninggal kedua anaknya tersebut melakukan apa yang dipesankan orang tuanya. Sementara untuk mencari petunjuk Dewa Batara guna menemukan raja bagi negeri Negara Dipa, Empu Mandastana melakukan pertapaan di darat sedangkan Lambung Mangkurat melakukan pertapaan di atas air. Dua tahun lamanya mereka melakukan pertapaan namun tidak juga mendapatkan petunjuk apa-apa.

Dalam keadaan putus asa tersebut pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi, di mana ayahnya mmenyuruh ia membuat rakit yang dihiasi mayang pinang. Agar ia (Lambung Mangkurat) duduk di rakit tersebut yang dihayutkan di sungai pada waktu malam hari. Nanti ia akan bertemu dengan seorang putri yang akan menjadi raja di Negara Dipa.

Dari petunjuk mimpi itu Lambung Mangkurat memang kemudian menemukan seorang putri, yang kemudian terkenal dengan nama Putri Junjung Buih (Tunjung Buih), karena ia ditemukan di "ulak" sungai (bagian sungai yang arusnya berputar) sehingga menimbulkan buih. Setelah Lambung Mangkurat berdialog dengan putri tersebut, dan setelah segala permintaan putri termasuk upacara dalam rangka penyambutannya di istana dipenuhi oleh Lambung Mangkurat, putri tersebut bersedia dibawa ke istana Negara Dipa.

Kehadiran Putri Junjung Buih yang disiapkan untuk menjadi raja di Negara Dipa ternyata meragukan bagi Lambung Mangkurat. Kehawatiran Lambung Mangkurat tersebut karena kedua kedua keponakannya yang bernama Patmaraga dan Sukmaraga (putra Mpu Mandastana) telah saling jatuh cinta dengan Putri Junjung Buih. Dimana apabila terjadi perkawinan dengan salah satu keponakannya dengan putri tersebut, berarti kekuasaan sebagai raja di Negara Dipa masih ada sangkut-pautnya dengan keturunan Empu Jatmika, orang tuanya. Sehubungan dengan itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah, yakni dengan dalih mengajak kedua keponakannya naik perahu pergi "melunta" (menjala ikan) Lambung Mangkurat membunuh Sukmaraga dan Patmaraga keponakannya sendiri.

Setelah peristiwa tersebut Lambung Mangkurat berusaha agar kekuasaan di Negara Dipa supaya betul-betul orang yang mempunyai tutus (turunan) raja. Karena itulah ia kemudian bersama dengan beberapa pembantunya berlayar ke tanah Jawa untuk menghadap raja Majapahit, meminta salah seorang putra raja Majapahit untuk menjadi raja di Negara Dipa. Permohonan Lambung Mangkurat tersebut ternyata disambut baik oleh raja Majapahit. Sehubungan dengan itu kemudian berangkatlah putra raja Majapahit yang bernama Pangeran Suryanata bersama Lambung Mangkurat menuju Negara Dipa.

Setelah berlayar empat hari empat malam kapal yang membawa Pangeran Suryanata dan Lambung Mangkurat beserta pengiringnya sampai di muara Sungai Barito. Tetapi ketika memasuki sungai Barito kapal yang membawa mereka kandas. Dalam Hikayat Banjar digambarkan dengan bahasa "kias" dimana kedatangan Pangeran Suryanata disambut oleh tetuha-tetuha adat dengan berbagai upacara adat daerah serta saling sapa dan berdialog, yang digambarkan dalam Hikayat Banjar perahu yang dipakai Suryanata karena dicegat oleh beberapa Naga Putih rakyatnya Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata turun menyelam ke dalam air untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga setelah delapan hari delapan malam dalam air, Pangeran Suryanata melakukan pertemuan dengan beberapa Naga Putih tersebut, kemudian ia (yang digambarkan tidak punya kaki dan tangan tersebut sebagai perlambang belum punya kekuasaan) muncul di permukaan air sambil berdiri di atas gong, lengkap kaki tanganya, serta telah memakai keris (sebagai perlambang telah mendapat restu dari tetuha-tetuha dan tokoh-tokoh adat di daerah tersebut).

Demikianlah ketika Pangeran Suryanata beserta Lambung Mangkurat dan para pengiringnya sampai di Negara Dipa, mereka disambut oleh rakyat yang berduyun-duyun datang dari daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Negara Dipa.

Peristiwa selanjutnya adalah pelaksanaan "pedudusan" (pelantikan) raja di Balai Pedudusan. Kepada Pangeran Suryanata lebih dahulu dipakaikan mahkota, kemudian "bedudus" dan "berarak".

Mahkota yang ternyata cocok dengan kepala Pangeran Suryanata, mengisyaratkan bahwa yang memakainya telah direstui untuk menjadi raja di negeri tersebut. Peristiwa ini sekaligus juga pelaksanaan perkawinan Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dibawa kedalam pedudusan, keduanya berdiri di atas kepala empat ekor kerbau. Lambung Mangkurat sebagai pemimpin upacara pelantikan Pangeran Suryanata menjadi raja dan sekaligus perkawinannya dengan Putri Junjung Buih, kemudian menyiramkan air ke ubun-ubun Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih sebagai pemberian selamat kepada keduanya. Pembertian selamat ini selanjutnya diikuti oleh para pemuka masyarakat antara lain Arya Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan tokoh-tokoh tua lainnya. Selanjutnya keduanya, raja dan permaisuri duduk bersanding di astana sambil menyantap nasi "adap-adap". Sementara itu bunyi-bunyian dipalu serta beberapa meriam disulut sehingga menimbulkan bunyi yang gemuruh. Upacara pedudusan dan perkawinan Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih tersebut dirayakan selama tigahari tiga malam. (Demikian digambarkan tentang kedatangan dan pelantikan Pangeran Suryanata sebagai raja serta perkawinannya dengan Putri Junjung Buih sebagaimana termuat dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat).

Suryanata dan Putri Junjung Buih mempunyai dua orang putra, yakni Pangeran Surya Ganggawangsa dan Pangeran Suryawangsa. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat berapa lamanya Suryanata memerintah. Hanya dikatakan bahwa setelah raja dan permaisurinya tersebut wafat, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Surya Ganggawangsa. Raja baru ini ketika naik tahta ia masih membujang, dan ia menyatakan baru akan kawin dengan anak seorang perempuan yang bernama Diang Dipraja. Karena itu pula Lambung Mangkurat sebagai Patih kerajaan yang setia, kemudian berusaha mencari wanita yang namanya Diang Dipraja tersebut. Dan setelah ditemukan ternyata Diang Dipraja tersebut seorang wanita yang belum bersuami dan masih perawan. Tetapi untuk kepentingan raja wanita tersebut tetap dibawa oleh Lambung Mangkurat ke istana. Walaupun kedua orang tuanya semula keberatan, tetapi akhirnya mengijinkan juga dengan pesan agar anak mereka jangan disia-siakan.

Usaha Lambung Mangkurat barsama-sama para pejabat istana lainnya untuk menjodohkan raja dengan gadis tersebut ditolak oleh Surya Ganggawangsa dan tetap baru bersedia kawin dengan anak dari wanita tersebut. Sehubungan dengan itu para pejabat istana sepakat agar Lambung Mangkurat mengawini gadis dimaksud. Demi pengorbanan untuk raja dan Kerajaan Negara Dipa maka Lambung Mangkurat bersedia mengawininya.

Dari perkawinan Lambung Mangkurat dengan Diang Dipraja tersebut kemudian lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Kuripan (Putri Kabuwaringin). Sesuai dengan maksud semula maka ketika putri ini cukup usianya, ia dikawinkan dengan raja Surya Ganggawangsa. Dan dari perkawinan mereka ini selanjutnya lahir seorang perempuan yang bernama Putri Kalarangsari. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat siapa yang menjadi suami Putri Kalarangsari, namun tercatat bahwa ia mempunyai seorang anak yang bernama Putri Kalungsu. Disebutkan bahwa Putri Kalungsu lah yang kemudian menggantikan Surya Ganggawangsa sebagai raja di Negara Dipa. Demikian pula dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Putri Kalungsu tersebut jabatan Patih di Kerajaan Negara Dipa masih dipegang oleh Lambung Mangkurat.



Masa sesudah Lambung Mangkurat
Dalam silsilah Lambung Mangkurat terlihat bahwa Putri Kalungsu bersuamikan seorang pria sepupu ibunya bernama Raden Carang Lalean, yakni anak Suryawangsa (saudara Surya Ganggawangsa). Dari perkawinan Putri Kalungsu dengan Raden Carang Lalean inilah kemudian lahir seorang putra mahkota bernama Raden Sekar Sungsang, yang kemudian setelah naik tahta menggantikan ibunya dikenal pula dengan nama Maharaja Sari Kaburungan. Disebutkan juga bahwa pada masa pemerintahan Sekar Sungsang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke daerah selatan, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Negara Daha. Sementara itu Putri Kalungsu sendiri memilih tidak ikut pindah ke lokasi baru tersebut. Ia tetap tinggal di Negara Dipa sampai dengan akhir hayatnya.

Demikian pula halnya dengan Patih Lambung Mangkurat, tidak lama setelah perpindahan pusat kerajaan tersebut, ia pun juga meninggal dunia. Untuk menggantikannya sebagai Patih Kerajaan Negara Daha kemudian diangkat Patih Aria Taranggana, seorang yang cerdik dan bijaksana.
Periode Negara Daha ini hanya berlangsung selama dua masa pemerintahan, yakni pemerintahan Raden Sekar Sungsang (Maharaja Sari Kaburungan) dan pemerintahan putranya yang bernama Maharaja Sukarama. Disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat bahwa setelah Maharaja Sukarama meninggal dunia terjadi perebutan tahta kerajaan antara anak-anaknya.

Peristiwa kekacawan di Kerajaan Negara Daha sepeninggal Sukarama tersebut, sekaligus merupakan proses lahirnya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan besar di daerah Kalimantan Selatan. Diceritakan bahwa Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu yang bernama Raden Samudera. Raden Samudera pewaris darah murni dari Maharaja Sari Kaburungan pendiri Kerajaan Negara Daha, karena ia cucu dari dari kedua putranya, yakni cucu dari Maharaja Sukarama dan Raden Suryawangsa. Yakni Maharaja Sukarama mempunyai anak perempuan bernama Putri Galuh yang kawin dengan putra dari Raden Suryawangsa yang bernama Mantri Alu. Dari perkawinan Putri Galuh dan Mantri Alu itulah lahir Raden Samudera. Karena Mantri Alu ayahnya meninggal ketika ia masih belum dewasa, maka Raden Samudera bersama ibunya tinggal di istana bersama Maharaja Sukarama kakeknya.

Sebenarnya Maharaja Sukarama sendiri juga mempunyai dua orang anak laki-laki masing-masing bernama Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Tetapi karena melihat kepribadian Raden Samudera yang melebihi dari kepribadian kedua putranya, maka Maharaja Sukarama mewasiatkan kepada Patih Aria Taranggana bahwa apabila ia meninggal maka nanti yang menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Wasiat tersebut lambat laun akhirnya sampai juga beritanya kepada anak-anak Maharaja Sukarama. Karena itulah tidak berapa lama setelah Maharaja Sukarama wafat terjadi kekacawan di istana Kerajaan Negara Daha. Melihat keadaan tersebut maka demi keselamatan jiwa Raden Samudera, Patih Aria Taranggana menasihatkan kepadanya agar sesegeranya meninggalkan istana. Sehubungan dengan itulah Raden Samudera kemudian secara diam-diam pergi meninggalkan istana, untuk kemudian hidup "menyungaian" (tinggal dalam sebuah perahu) menyamar sebagai seorang nelayan di daerah muara Sungai Martapura.

Sementara itu di Kerajaan Negara Daha terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dengan menghilangnya Raden Samudera sebagai putra mahkota sebagaimana wasiat Maharaja Sukarama, maka pewaris kerajaan jatuh kepada Pangeran Mangkubumi sebagai anak tertua. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Tumenggung, yang haus kekuasaan kemudian membunuh kakaknya untuk selanjutnya menduduki tahta Kerajaan Negara Daha.

Peristiwa terjadinya kekacauan dan perebutan kekuasaan di pusat Kerajaan Negara Daha tersebut menambah keyakinan rakyat Negara Daha mengapa Sukarama pada akhir masa hidupnya mewasiatkan agar yang menggantikannya adalah Raden Samudera. Karena itulah ketika tersiar kabar bahwa Raden Samudera telah meninggalkan istana dan hidup menyamar sebagai seorang nelayan, para pemuka masyarakat di daerah muara Sungai Martapura berusaha menemukan putra mahkota kerajaan yang menyamar tersebut. Usaha pencarian akhirnya juga berhasil menemukan seorang pemuda yang diduga sebagai Raden Samudera. Semula yang bersangkutan tidak mengakui bahwa dirinya adalah putra mahkota. Tetapi setelah dijelaskan bahwa mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat yang akan menyelamatkannya, akhirnya yang bersangkutan mengakui bahwa dirinya adalah Raden Samudera.

Setelah diyakini benar bahwa yang bersangkutan adalah Raden Samudera yang berhak mewarisi Kerajaan Negara Daha, maka dibawah pimpinan Patih Masih (patihnya kelompok orang Melayu di daerah tersebut) bersama-sama para patih kelompok lainnya, kemudian menobatkan Raden Samudera sebagai Sultan (raja) yang sah. Tindakan para Patih tersebut menimbulkan reaksi dari Pangeran Tumenggung, sehingga pecah perang antara rakyat pengikut Pangeran Tumenggung dengan rakyat pengikut Raden Samudera. Demikianlah terjadi peperangan beberapa lama dan banyak jatuh korban di kedua belah pihak, dan bahkan Raden Samudera atas usaha Patih Masih telah mendapatkan bantuan tentara dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Namun pertentangan ini kemudian berakhir dengan kesedian Pangeran Tumenggung untuk menyerahkan Kerajaan Negara Daha kepada Raden Samudera, keponakannya sendiri, setelah keduanya dipertemukan di atas dua buah perahu telangkasan di muara Sungai Martapura. Acara perang tanding antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung yang merupakan kesepakatan antara Patih Masih dan Patih Aria Taranggana ini bertujuan untuk mengakhiri perang karena sudah terlalu banyak rakyat yang tewas sementara perang tak kunjung selesai. Namun ketika kedua Pangeran yang sudah siap dengan senjata berdiri di depan perahu yang masing-masing dikayuh di belakangnya oleh Patih Masih dan Patih Aria Taranggana tersebut bertemu, Raden Samudera berucap menyilahkan pamannya untuk membunuhnya, "silahkan pamanku tombak", dan mendengar kata-kata itu Pangeran Tumenggung malah memeluk Raden Samudera. Pangeran Tumenggung dengan sukarela menyerahkan keraajan kepada keponakanya. Walaupun kemudian perangkat kerajaan di serahkan untuk di bawa ke daerah Banjar, Raden Samudera masih memberikan kekuasaan kepada Pangeran Tumenggung untuk mengatur rakyatnya di Negara Daha.

Dengan demikian lahirlah Kerajaan Banjar dan sebagai raja pertamanya adalah Raden Samudera, yang setelah memeluk agama Islam sesuai perjanjian dan permintaan Sultan Demak, dia bernama Sultan Suriansyah. Disebutkan bahwa Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526 – 1550. Pusat Kerajaan Banjar terdapat di Kampung Kuin sekarang, dimana terdapat makam beliau besarta anak dan cucunya yang manggantikannya.
Pusat Kerajaan Banjar kemudian dipindahkan ke daerah Martapura (Teluk Selong) oleh raja Banjar yang keempat Mustakim Billah, karena pada waktu itu sudah terjadi kontak perang dengan Belanda yang telah sampai di Banjarmasin.

Demikianlah Kerajaan Banjar berlangsung, yang kemudian berakhir dengan pecahnya Perang Banjar melawan Kolonial Belanda, yang dimulai dengan penyerangan Benteng Pengaron (daerah tambang batu bara Oranye Nassau milik Belanda) pada tanggal 28 April 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Wafatnya Pangeran Antasari pada tahun 1862 dan diasingkannya Pangeran Hidayatullah ke Cianjur (Jawa Barat) tidak memadamkan perlawanan rakyat terhadap Belanda. Perang Banjar terus berlangsung dibawah pimpinan anak-anak Pangeran Antasari, seperti Mohammad Said yang memimpin perlawanan di daerah Hulu Sungai (Benua Lima) dan Mohammad Seman yang memusatkan perlawanannya di daerah Muara Tewe (Kalimatan Tengah sekarang), perlawanan berlangsung hingga meninggalnya tahun 1905.- (HRN, Peneliti sejarah & nilai tradisional).

Jumat, 13 Februari 2009

Urang Banjar Doeloe Membangun Rumah


CARA ORANG BANJAR "DOELOE"
MENETAPKAN UKURAN BANGUNAN RUMAH
Oleh: Drs H Ramli Nawawi




Sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" tentang cara membangun rumah ini adalah hasil "bapapandiran" (bicara santai) ketika tahun 1980-an Penulis mengikuti Tim Survey Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru dalam kunjungan ke beberapa lokasi masyarakat penangkap ikan di Kabupaten Tanah Laut, ketika menginap di Desa Takisung sempat bertandang ke rumah seseorang "tetuha" masyarakat di daerah tersebut. Banyak ragam istiadat lama yang diceriterakan dalam suatu percakapan dengan anggota Tim Survey.

Di antara banyak aspek budaya orang Banjar "doeloe" yang hanya sedikit orang mengetahuinya adalah bagaimana orang Banjar "doeloe" menetapkan panjang dan lebar bangunan rumah yang dibangunnya. Sebaliknya orang lebih banyak tahu tentang berbagai "pamali" dari suatu bangunan rumah, seperti bangunan rumah yang bertingkat pada bagian belakang, dan sebagainya.

Orang Banjar "doeloe" dalam membangun rumah umumnya menggunakan ukuran '"depa" ada juga dengan meter. Namun untuk tepatnya diukur kembali dengan tapak kaki pemiliknya yang dilakukan secara bergantian dan bersambung, yakni tapak kaki kanan-kiri-kanan dan seterusnya.

Falsafah bahwa setiap bentuk, gerak, bunyi / aksara (seperti sebuah nama), rasa dan lain sebagainya mempunyai makna tertentu, tampaknya mempunyai kaitan erat dengan masalah ukuran bangunan bagi orang Banjar "doeloe". Dari pandangann tersebut di atas cara menetapkan ukuran sebuah rumah yang dimulai dengan kata: raja – cina – sahaya disesuaikan dengan tindakan mengukur dengan mulai kaki kanan – kiri – kanan dan seterusnya, dianggap mempunyai nilai magis (atau keinginan sama dengan perlambangnya) bagi pemiliknya. Siapa dan bagaimana kehidupan tokoh seorang raja, orang Cina, dan seorang hamba sahaya yang dikenal masyarakat orang Banjar "doeloe" di daerah ini, diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan yang mereka cita-citakan melalui pemikiran dan karsa sesuai dengan falsafah serba makna dan nilai tersebut di atas. Atas dasar itulah kiranya budaya tradisional dalam menetapkan ukuran bangunan rumah tersebut tumbuh di sebagian masyarakat Banjar "doeloe".

Sementara itu sebutan "raja" sebagai pengganti "datu" dan kata "sahaya" sebagai sahaya yang punya kewajiban berbakti, baru dikenal oleh masyarakat sesudah masuknya kebudayaan Hindu dari India, serta adanya ceritera tentang "orang-orang Cina" sebagai pelayar dan pedagang kaya yang dikenal jauh sebelum zaman Seriwijaya dapat dijadikan patokan dasar bahwa aspek budaya ini tumbuh di masyarakat Banjar khususnya sesudah masuknya budaya dari luar tersebut.

Dari perjalanan kehidupan masyarakat yang mereka tangkap saat masuknya pola-pola kehidupan dari luar itulah timbulnya gagasan serta pemikiran yang mengandung keinginan dan harapan serta cita-cita, sehingga lahirlah simbol-simbol yang diwujudkan dalam perilaku dan tindakan yang kemudian berkembang di masyarakat. Karena itulah dengan mengukur panjang bangunan rumah yang diakhiri dengan tapak kaki yang menyebut "raja" (datu), diharapkan bahkan dipercayai pemilik rumah akan dituakan atau setidak-tidaknya menjadi sosok yang disegani di masyarakatnya.

Lalu untuk melengkapi dalam kehidupannya di masyarakatnya tersebutnya, maka mereka mengukur pula lebar rumahnya berhenti ketika tapak kakinya menyebut kata "Cina", sebagai perlambang dari cita-cita dan keinginan pemiliknya masuk dalam golongan mereka yang berada. Karena itulah orang Banjar "doeloe" dalam menentukan panjang dan lebar bangunan rumah menghindari ukuran berhenti ketika tapak kakinya menyebutkan kata "sahaya" yang melambangkan kehidupan tidak banyak berarti dalam masyarakat.

Begitulah salah satu sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" yang tidak semua orang juga tahu, kata sumber Informan, karena aspek ini memang diwariskan juga tidak secara terbuka. Karena itulah wajar dalam perkembangan masyarakat yang semakin modern aspek budaya seperti ini tidak dikenal lagi dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. (HRN, peneliti sejarah & nilai tradisional).

Senin, 02 Februari 2009

Menyingkap Makna Kitab Barincong

MENYINGKAP MAKNA KITAB BARINCONG DALAM AJARAN
SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang lahir pada tahun 1122 H hingga meninggalnya tahun 1227 H telah menggunakan sebagian besar dari umurnya untuk usaha-usaha penyebaran dan pembinaan ajaran Islam di Kalimantan Selatan. Selama lebih dari 30 tahun Muhammad Arsyad belajar dan memperdalam ilmu agama di Mekah dan Madinah. Kemudian selama kurang lebih 40 tahun sampai dengan meninggalnya Syekh Muhammad Arsyad telah mencurahkan perhatian dan pikiran serta tenaga untuk menyiarkan ajaran Islam di daerah Kalimantan Selatan.

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam ajarannya menyeimbangkan antara hakikat dan syariat. Pandangan Syekh Muhammad Arsyad ini dapat dihubungkan dengan suatu ceritera lisan dalam masyarakat Banjar tentang pertemuan Syekh Muhammad Arsyad waktu bermukim di Mekah dengan seseorang asal Banjar di Masjidil Haram ketika akan melaksanakan shalat Jumat.

Ketika itu Syekh Muhammad melihat seseorang yang dari pakaian dan wadah berupa "butah" yang dibawanya menunjukkan tanda-tanda orang dari daerah Banjar. Melalui salam perkenalan, orang yang kemudian hari dikenal sebagai Datu Sanggul (Datu Muning) ini mengatakan kalau ia datang ke Masjidil Haram hari itu hanya untuk bershalat Jumat dan akan segera kembali setelah shalat selesai, Dan ia bersedia akan membawakan buah cempedak atas pesanan Syekh Muhammad Arsyad pada hari Jumat yang akan datang. Dan pada hari Jumat berikutnya seperti yang dijanjikan mereka pun bertemu dan kepada Syekh Muhammad Arsyad orang tersebut menyerahkan buah cempedak yang tangkainya masih ada getahnya sebagai tanda baru saja dipetik dari pohonnya.

Dari peristiwa itulah Syekh Muhammad Arsyad menyadari tentang ketinggian hakikat yang diberikan Allah SWT kepada orang yang dikehendakinya. Yang dalam masyarakat awam mengenal seseorang tersebut sebagai waliullah.

Tetapi Muhammad Arsyad dalam ajarannya kemudian menyikapi segala hal dalam kehidupan ini menyeimbangkan atau bisa juga menyatukan antara hakikat dan syariat. Bukankah Allah SWT menjanjikan akan memberikan sesuatu, kekayaan misalnya, kepada orang yang meminta kepada-Nya. Tapi dalam ajarannya Syekh Muhammad Arsyad menganjurkan orang perlu berusaha dan bekerja untuk mewujudkan sesuatu yang dimintanya kepada Allah SWT.

Sehubungan dengan itulah dalam masyarakat Banjar juga ada dikenal tentang Kitab Barincong. Kitab berbentuk segi tiga, yang apabila dua Kitab Berincong tersebut disatukan maka akan menjadi sebuah kitab yang utuh. Sebagai sebuah perlambang bahwa dalam kehidupan manusia harus selalu memohon kepada Allah dan berbuat untuk mendapatkannya.

Ajaran Syekh Muhammad Arsyad yang menyeimbangkan antara hakikat dan syariat ini banyak pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Di daerah ini segala aliran kebathinan yang dianggap ingin lari dari dunia kenyataan, sangat ditentang oleh masyarakat. Umat Islam di daerah ini umumnya menyadari bahwa hidup ini perlu perjuangan. Orang tidak bisa hidup secara layak hanya dengan pasrah menanti rezeki yang dijanjikan Tuhan tanpa melalui suatu usaha. Sebaliknya dalam melaksanakan segala usaha perjuangan hidup ini, mereka tidak melupakan agar diberi dan diberkahi oleh Tuhan sebagai pemilik segala-galanya.

Dalam masalah kehidupan Syekh Muhammad Arsyad telah memberikan contoh untuk tidak meninggalkan syariat dalam kehidupan ini. Ia telah mengajarkan usaha-usaha bertani yang sebenarnya kepada murid-murid pengajiannya. Apa yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Syekh Muhammad Arsyad bersama-sama dengan murid-muridnya tersebut, merupakan bukti bahwa mereka telah memegang teguh firman Tuhan yang menyatakan bahwa nasib sesuatu kaum itu tidak akan berubah kalau kaum itu sendiri tidak berusaha merubahnya.

Ajaran yang menyeimbangkan antara hakikat dan syariat ini dapat mendorong setiap pemeluk Islam untuk selalu berjuang menghadapi tantangan hidup ini. Apalagi mereka ingat akan sumbernya yaitu dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka mereka yang memiliki dasar-dasar ajaran agama dan berhasil dalam perjuangan hidup ini, akan dapat terhindar dari sifat-sifat serakah, sombong dan takabur.

Dengan demikian motto kehidupan seperti yang ditanamkan oleh Syekh Muhammad Arsyad kepada murid-muridnya, yaitu di samping menuntut ilmu agama juga mengerjakan pertanian, sesuai dengan Hadits Nabi yang menyebutkan bahwa manusia harus bekerja dan berjuang untuk kehidupan dunia seolah-olah ia akan hidup kekal di dalamnya, tetapi ia juga harus beribadah menuntut keredhaan Tuhan seakan-akan ia akan mati esok hari.

Namun kenyataannya dalam masyarakat sejak dulu juga masih ada ditemukan orang-orang terjebak dalam dogma yang memandang hidup ini sekedar menjalani ketentuan yang telah ditakdirkan. Pemahaman terhadap pengertian takdir yang dangkal membuat sebagian orang berbuat dalam menghadapi kehidupan ini dengan seadanya saja. Mereka dari kelompok masyarakat dimaksud tidak ulet dan bersungguh-sungguh dalam perjuangan hidup, tetapi hanya semata-mata berserah diri dengan nasib yang dihadapinya. Karena itu mereka merasa tidak perlu bekerja keras dalam hidup ini, sehingga umumnya tidak melakukan usaha yang maksimal untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan bahkan juga kurang berhati-hati dengan musibah yang akan menimpa nya. Hal itu karena keyakinan bahwa yang akan mereka jalani sudah merupakan ketentuan yang tidak bisa dirubah. Padahal Allah SWT menyuruh kita berdoa "ud 'uni astajib lakum" mintalah kepada-Ku akan kuperkenankan untukmu, serta sunnah Rasulullah SAW yakni bekerja untuk duniamu dan beramal untuk akhiratmu.

Syekh Muhammad Arsyad dalam kehidupannya dan ajarannya mencontohkan, bahwa beliau sebagai seorang ulama di samping mengajar dan menyebarkan ilmu agama Islam, beliau juga membimbing dan bekerja bersama murid-muridnya mengerjakan usaha pertanian. Bahkan telah menerapkan sistem pengairan dalam mengolah pertanian padi.

Sejarah telah mencatat bahwa Syekh Muhammad Arsyad lah pemerakarsa penggalian saluran air yang menghubungkan tanah persawahan dengan Sungai Martapura untuk mengatur air di persawahan di lingkungan Kampung Dalam Pagar waktu itu. Karena itulah sungai yang digali dan diprakarsai Syekh Muhammad Arsyad bersama dengan masyarakat tersebut kemudian dikenal sebagai Sungai Tuan (Tuan Guru panggilan masyarakat bagi seorang ulama).

Ini merupakan bukti bahwa ajaran Syekh Muhammad Arsyad menentang kehidupan bermalas-malas dan menerima takdir tanpa perjuangan. Syekh Muhammad Arsyad telah mencontohkan pribadi Muslim yang taqwa kepada Allah SWT, pembina dan penyebar ajaran agama serta pemimpin yang produktif dalam usaha-usaha yang diredhai oleh Allah SWT. 
(HRN peneliti sejarah & nilai tradisional).