Kamis, 31 Desember 2009

Nikmat Allah (menyongsong tahun 2010)

NIKMAT ALLAH
Oleh: Ramli Nawawi
Saudaraku,
Tak terasa insya Allah besok kita kembali bertemu dengan tahun baru lagi. Kita segera akan meninggalkan tahun 2009 dan memasuki tahun baru 2010. Seyogianya apa yang perlu kita lakukan ketika kita sudah berada di tahun baru lagi. Apa juapun yang telah kita alami di tahun yang telah kita lewati tersebut susah atau senang, namun ketika kita telah menghirup udara ditahun baru ini, maka yang tak boleh kita lupakan adalah mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesempatan untuk kembali menikmati nikmat yang diberikan-Nya.

Saudaraku,
Kalau kita lagi mengikuti ceramah atau khotbah biasanya penyampai selalu mengajak kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita.
Memang Allah SWT dalam Al Qur’anul Karim surah Ibrahim ayat 34 telah berfirman, bahwa Allah SWT akan memberi apa yang kita minta.
“Wa ataakum min kulli saaltumuuhu, wa inta’udduu ni’matallahi laa tuhshuha, innal insaana lazhaluumun kaffaru” (Dia (Allah) memberimu segala yang kamu minta, dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah sanggup kamu menghitungnya, sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan mengingkari (tidak mengakui akan) nikmat Allah).

Saudaraku,
Benarkah bahwa manusia ini banyak yang ingkar terhadap nikmat Allah? Coba kalau kita tanya seseorang tentang nakmat Allah ini. Umumnya mereka ada yang menjawab:
“Aku selalu bersyukur dengan mengatakan Alhamdulillah”. Ada juga yang mengatakan :
“Aku selalu bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan Alhamdulillah, dan juga dengan melakukan ibadah kepada Allah serta melakukan amaliah kepada sesama hamba-Nya”.
Tapi mungkin ada juga mereka yang sebelum menjawab pertanyaan kita di atas, sebelumnya mereka bertanya balik, apa saja ya nikmat Allah yang diberikan kepada kita?.

Saudaraku,
Mari kita lihat diri kita saja, di bagian kepala: ada rambut tumbuh, mata melihat, hidung bernafas, telinga mendengar, mulut bicara dan makan minum, otak berpikir dan merekan ingatan. Dari mana kita dapat, semua diberi. Ada mereka yang diberi tidak lengkap, tetap mereka bersyukur daripada tidak diberi sama sekali.
Mari kita lihat lagi, kita punya tangan dan kaki, ada yang namanya jantung, paru-paru, hati, ginjal,.dll, dll, lagi. Sanggup kita menghitung nilainya, atau harganya?. Bayangkan kalau ada salah satu yang diambil lagi oleh Pemberinya.

Saudaraku,
Apa yang sebagian disebut di atas baru nikmat yang ada pada diri kita langsung. Ada nikmat-nikmat lainnya yang sering banyak orang melupakannya. Allah menciptakan matahari dan pelanet-pelanet, tanaman, binatang, pohon (hutan), air, udara, serta benda-benda berharga yang dikandung bumi.
Kita diberi hidup berkeluarga (isteri, anak-anak), hidup berkecukupan, bertetangga, berbangsa dan bernegara yang merdeka. Bukankah semua itu nikmat yang diberikan Allah?. Dan biasanya kita baru sadar kalau ketika ada yang sudah diambil-Nya dari kita?.

Saudaraku,
Tapi Allah bersifat rahman dan rahim (kasih sayang). Dan selalu mengingatkan agar manusia tidak zalim dan tidak ingkar terhadap nikmat yang diberikan-Nya. Seperti dalam Surah Arrahman, yang jumlah ayatnya ada 41 ayat, sebanayk 31 ayat mengingatkan manusia tentang nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.
“Fabiayyi alaaai rabbuka tukazzibani” (Maka nikmat Allah manakah yang engkau dustakan?).

Saudaraku,
Mungkin timbul pula pertanyaan, mengapa masih banyak orang hidup dalam kemiskinan. Allah berjanji “ Wa atakum min kulli saaltumuuhu” (Dia (Allah) akan memberimu apa-apa yang kamu minta). Karena itu jawabnya adalah mari meminta (berdoa’a) kepada Allah. “Iyya kana’budu wa iyya kanasta’in”. (Kepada-Mu aku menyembah dan kepada-Mu aku meminta). Allah menargetkan kita menyembah dan kemudian meminta kepada-Nya sekurang-kurangnya 5 kali dalam sehari semalam. Kalau hal itu kita sudah lakukan dan tidak lalai, Allah tentu akan memenuhi janji-Nya. Insya Allah. Terkecuali seperti diberitakan dalam Al Qur’an memang ada orang-orang shaleh yang mendapat ujian kesabaran dari Allah, mereka lulus dan mereka adalah ahli surga.

Saudaraku,
Kalau kita sejenak introspeksi diri, tentu kita sadar begitu banyak nikmat yang diberikan Allah kepada kita umat-Nya. Karena itu wajar kalau kita senantiasa bersyukur dengan selalu melaksanakan perintahnya: aqimis shalah wa atuzzakah, kutiba alaikumus siam, qala la ilaha illa Allah, dan bagi yang “siap” hadir di padang Arafah pada 9 Zulhijjah.
Tapi bagi mereka yang zalim dan ingkar akan nikmat Allah, maka seperti firman-Nya dalam Al Qur’an surah Iberahim ayat 7: “Wa iz taazzana rabbukum: lain syakartum la azidannakum, wa lain kafartum inna ‘azaba lasyadiid”. (Dan Tuhan mu memberitahukan: jika kamu bersyukur akan kutambah nikmatmu, tapi bila ingkar siksa-Ku amat pedih).

Saudaraku,
Memperhatikan keberadaan masyarakat di negeri kita saat ini, apakah ini gambaran dari masyarakat yang senantiasa bersyukur kepada Allah, atau gambaran dari masih banyak masyarakat yang zalim dan ingkar kepada Allah?. Wallahu ‘alam.

Kamis, 24 Desember 2009

masalah keanekaragaman

MASALAH KEANEKARAGAM

Oleh: Ramli Nawawi

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dan berpendudduk lebih dari 210 jiwa ini tidak hanya dihuni oleh sekitar 24 kelompok etnis (suku bangsa) tetapi juga oleh mereka yang berbeda ideologi/ keparcayaan, juga berbeda pandangan politik dan kepentingan lainnya.

Sementara tiap kelompok etnis pun masih terbagi lagi atas sub-sub etnis. Kalau dari sekian banyak sub etnis tersebut mempunyai corak-corak masing-masing budaya yang berbeda, ditambah dengan perbedaan-perbedaan lainnya tersebut di atas, maka dapat dibayangkan berapa banyaknya perbedaan-perbedaan gaya dan sikap hidup dari negara yang berpenduduk terbanyak ke 4 di dunia ini.

Juga perlu diingat, perbedaan itu juga tampak dari bahasa yang dipakai oleh berbagai etnis (suku bangsa) yang hidup di negeri ini. Ada sekitar 200 jenis bahasa daerah yang terdapat dan masih dipakai oleh suku-suku atau kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Bahkan untuk satu bahasa yang samapun masih terdapat perbedaan dialek yang memberikan kekhasan dari suku atau kelompok bersangkutan.

Unsur-unsur perbedaan yang ditemui baik yang berlatar belakang etnik group, geografis, ideologi, pandangan politik, maupun kepentingan-kepentingan lainnya tersebut di atas merupakan hal-hal yang sering kurang tercermati dalam usaha-usaha ke arah terbinanya persatuan dan kesatuan bangsa.

Usaha menyatukan bangsa di Nusantara ini sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Majapahit, di mana Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa nya berusaha mempersatukan Nusantara dengan jalan menaklukkan semua kerajaan-kerajaan atau suku-suku yang mendiami kepulauan tersebut. Tetapi bagaimana akhirnya kemudian, Nusantara kembali terpecah atas kerajaan-kerajaan kecil lagi setelah pudarnya kekuatan kerajaan besar tersebut.

Sadar bahwa kesatuan dan persatuan Nusantara tidak bisa dijamin dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan, maka dalam usaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia kemudian, para pemuda menyadari akan perlunya persatuan dan kesatuan bangsa dengan cara yang lebih arif.

Lahirlah Sumpah Pemuda tahun 1928, di mana para pemuda dari berbagai suku bangsa di negeri ini berikrar mengaku satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia. Sumpah yang dilandasi kesadaran dan tujuan yang sama ini sangat berarti, karena dengan semua suku bangsa di negeri ini mempunyai kepentingan yang sama kemudian berhasil melahirkan Negara Indonesia Merdeka.

Kini setelah setengah abad lebih kemerdekaan Indonesia tercapai, sadar atau tidak sadar sekarang bangsa di negeri ini telah terbawa kepada indikasi munculnya “IN GROUP” dan “OUT GROUP” (kelompok kita dan kelompok mereka). Padahal perasaan in group dan out group atau perasaan dalam kelompok dan luar kelompok dapat merupakan benih dari suatu sikap yang dinamakan “ETNOSENTRIS”.

Anggota-anggota kelompok sosial “etnosentris” ini sedikit banyak akan mempunyai kecenderungan untuk menganggap segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan serta tindakan dan pandangan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik, apabila dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan, tindakan dan pandangan kelompok lainnya. Sikap ini bisa disamakan dengan KEPENATIKAN, sehingga kadang-kadang sukar sekali bagi yang bersangkutan untuk mengubah pandangan dan sikapnya, walaupun dia menyadari hal itu salah.

Suatu hal yang bisa terjadi manakala sikap “etnosentris” ini tumbuh subur dalam kehidupan suatu bangsa, maka sadar atau tidak akan lahir sikap DISINTEGRASI yang fatal yang disebut “STEREOTIP”, yakni anggapan-anggapan atau sikap yang bersifat mengejek terhadap suatu obyek tertentu, seperti sikap suatu etnis tertentu, kelompok tertentu, organisasi tertentu, menganggap rendah terhadap etnis lainnya, kelompok lainnya, atau organisasi lainnya..

Apakah hal-hal yang dikhawatirkan seperti tersebut di atas telah terdapat di masyarakat Indonesia sekarang?. Mari kita introspeksi dengan melihat gonjang-ganjing dan saling tuduh dan saling hina lewat berbagai berita dan komentar-komentarnya seperti yang kita lihat di berbagai media hingga saat ini. Maka apabila hal-hal yang dikhawatirkan tersebut di atas mulai tampak dalam perkembangan masyarakat, maka masalah keanekaragaman ini ke depan perlu “dicermati” untuk tetap terwujudnya keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Semoga. (HRN)