Sabtu, 31 Maret 2012

MASALAH ZONA WAKTU INDONESIA

Oleh: Ramli Nawawi

Adanya pemikiran dan gagasan untuk menyatukan zona waktu yang dipakai di Wilayah Negara Republik Indonesia yang saat ini terbagi atas 3 zona waktu yaitu Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT), telah menimbulkan banyak tanggapan. Perbedaan waktu satu jam antara masing-masing zona waktu tersebut, dengan disatukan memakai zona waktu yang saat ini dipakai di Indonesia Tengah, menimbulkan pertanyaan tentang waktu pelaksanaan shalat bagi yang beragama Islam, bahkan ada masyarakat yang menghawatirkan akan beraktivitas terlalu pagi.

Bagi masyarakat yang beragama Islam perlu kita ketahui bahwa pelaksanaan waktu shalat bukan ditentukan oleh ketiga zona waktu yang dipakai di Indonesia, tetapi ditentukan oleh jam terbit dan tenggelamnya matahari. Kalu saat ini ada jam-jam waktu dimulainya shalat shubuh, zuhur, Ashar, Magrib dan Isya, jam-jam tersebut adalah hasil penyesuaian dengan jam keberadaan matahari pada hari-hari bersangkutan.

Kita ambil contoh, keberadaan waktu masuk shalat shubuh di Kota Yogyakarta dan sekitarnya juga pada tanggal 31-3-2012 yakni pukul 04.26.18 (WIB), pada saat itu kalau disesuaikan dengan Waktu Indonesia Tengah adalah pukul 05.26.18 (WITA), dengan situasi keberadaan kegelapan pagi tidak berbeda. Jadi kalau akan digunakan Waktu Zona Indonesia dengan patukan Waktu Indonesia Tengah (WITA) maka bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya nanti maktu masuk shalat subuh adalah pukul 05.26.18 Waktu Zona Indonesia (WZI), yang waktu itu sama dengan pukul 04.26.18 (WIB).

Masalah waktu pelaksanaan shalat lima waktu termasuk shalat Jumat karena ditentukan berdasar waktu terbit dan tenggelamnya matahari, maka saat pelaksanaannya tetap seperti biasa, jadi kalau yang dipakai Waktu Zona Indonesia (WZA) hanya penyebutan jamnya saja yang berbeda. Contoh lain: untuk pelaksanaan shalat Zuhur di Banjarmasin, mulai pukul 12.28.46 (WITA) karena yang dipakai patukan untuk Waktu Zona Indonesia adalah Waktu Indonesia Tengah maka waktu Zuhur di Banjarmasin tetap dicantumkan pukul 12.28.26 (WZI). Sedangkan waktu Zuhur di Yogyakarta yang biasa tercantum mulai pukul 11.45.38 (WIB), disesuaikan dengan Waktu Indonesia Tengah yang sama dengan Waktu Zona Indonesia, akan dicantumkan pada pukul 12.45.38 (WZI), dengan letak ketinggian matahari yang sama.

Jadi dapat disimpulkan bahwa apabila akan dipakai di wilayah Indonesia hanya satu Waktu Zona Indonesia, Maka:
Ketetapan mulainya waktu shalat bagi mereka yang saat ini menggunakan Waktu Indonesia Tengah tetap sebagaimana Jadwal Waktu Shalat yang dipakai saat ini.
Sedangkan bagi mereka yang saat ini menggunakan Waktu Indonesia Timur, apabila diberlakukan Waktu Zona Indonesia, maka Jadwal Waktu Shalat yang dipakai saat ini harus dikurangi satu jam.
Sementara bagi mereka yang saat ini menggunakan Waktu Indonesia Barat, apabila diberlakukan Waktu Zona Indonesia, maka Jadwal Waktu Shalat yang dipakai saat ini harus ditambah satu jam.

CATATAN: penambahan atau pengurangan satu jam tersebut hanya ”penyebutan” atau penyesuaian kalau Waktu Zona Indonesia dipakai, sedangkan saat pelaksanaan shalatnya waktunya tidak berubah.

Selanjutnya masalah dimulai masuk jam kerja dan berakhirnya jam kerja bagi berbagai instansi dinas dan swasta kalau diseragamkan apabila Waktu Zona Indonesia diberlakukan, memang bagi mereka yang saat ini memakai Waktu Indonesia Barat dan yang memakai Waktu Indonesia Timur perlu pengaturan waktu kebiasaan.
Seandainya masuk kerja seragam di seluruh Indonesia mulai pukul 08.30 (WZI), maka itu berarti pukul 07.30 (WIB), pukul 08.30 (WITA), pukul 09.30 (WIT), namun perlu dicatat bahwa keadaan ketinggian matahari pagi tidak sangat berbeda. Karena bagi orang Banjarmasin pukul 08.30 (WZI) itu jaraknya dengan pelaksanaan shalat subuh adalah 3 jam 51 menit 29 detik, sedangkan bagi orang Yogyakarta pukul 08.30 (WZI) itu jaraknya dengan pelaksanaan shalat shubuh adalah 3 jam 33 menit 42 detik. Bagi orang yang tinggal di Indonesia Timur tentu jarak tersebut lebih lama lagi. (Ramli Nawawi).

Kamis, 22 Maret 2012

MENGENAL KI AGENG PANDANARANG II ADIPATI SEMARANG

Oleh: Ramli Nawawi

Ki Ageng Pandanarang II adalah putra sulung dari Ki Ageng Pandan Arang I. Nama kecilnya adalah Raden Kaji. Ketika ayahnya meninggal, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Semarang, dengan nama abiseka Adipati Mangkubumi. Akan tetapi setelah selama 16 tahun memerintah, ia kemudian menyerahkan kedudukannya sebagai Adipati Semarang kepada adiknya yang bernama Raden Ketib. Selanjutnya ia menjalani hidupnya sebagai seorang mubalig di daerah Tembayat, sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Gunung Jabalkat yang juga terletak di daerah Tembayat.
Sejak kapan Raden Kaji mulai memegang jabatan sebagai Adipati Semarang, dapat dilihat dari masa meninggalnya Ki Ageng Pandanarang I. Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa, Ki Ageng Pandanarang I mangkat pada tahun 1418 Saka atau tahun 1496 Masehi, ditandai candra sengkala Mukniningrat Catur Bumi. Selanjutnya ia menyerahkan jabatannya kepada adiknya pada tahun 1434 Saka atau 1512 Masehi. Peristiwa itu diperingati dengan candra sengkala Rasa Guna Rasa Ningrat .Dengan demikian masa pemerintahan Raden Kaji atau Sunan Kesepuhan yang kemudian dikenal juga dengan nama Adipati Mangkubumi atau Ki Ageng Pandanarang II sebagai Adipati Semarang berlangsung selama sekitar 16 tahun, yakni dari tahun 1496 sampai tahun 1512 Masehi.
Mengapa Ki Ageng Pandanarang II mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Adipati Semarang dan kemudian pergi ke daerah Tembayat menjadi mubalig menyebarkan Islam di masyarakat sekitarnya, terdapat berbagai sumber yang berasal dari serat dan babad.Tetapi semuanya menggambarkan tentang kesadaran diri Ki Ageng Pandanarang II yang pada masa memegang jabatan sebagai Adipati Semarang sangat materialistis dan sangat mementingkan keduniawian. Sifat tersebut sangat bertentangan dengan kehidupan Ki Ageng Pandanarang I, Adipati Semarang pertama, yakni orang tuanya yang membangun kota Semarang dan menyebarkan Islam di daerahnya. Dari salah satu sumber yakni Babad Demak, disebutkan bahwa Ki Ageng Pandanarang II pada masa hidupnya merupakan seorang syahbandar yang kaya raya. Banyak para pedagang di Semarang yang berhutang kepadanya. Walaupun demikian ia selalu berusaha menambah harta kekayaannya, karena itu dia dikenal sebagai seorang yang serakah dan mabuk harta. Namun demikian salah seorang Wali Songo yakni Sunan Kalijaga mengetahui bahwa Adipati Semarang tersebut kelak akan menjadi seorang mukmin yang sejati, hanya saja waktu itu hatinya belum terbuka. Karena itulah dalam rapat para wali di Masjid Demak ketika membicarakan soal pengganti Syekh Siti Jenar, maka Sunan Kalijaga menunjuk Pangeran Mangkubumi, Adipati Semarang yang kedua. Penunjukan Sunan Kalijaga terhadap Adipati Semarang yang kedua ini, telah membuat para wali tercengang. Karena itu Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa Pangeran Mangkubumi, Adipati Semarang yang dikenal sebagai seorang yang serakah tersebut ibarat intan yang masih bercampur lumpur, dan ia akan berusaha membersihkannya dan memang sudah saatnya dia berada di jalan Tuhan.
Nama Ki Ageng Pandanarang untuk Adipati Semarang yang kedua ini merupakan penghormatan bagi orang tuanya yang telah dikenal sebagai pendiri kota Semarang yakni Ki Ageng Pandanarang. Disebutkan bahwa lahirnya kota Semarang diawali pada tahun 1398 Saka atau tahun 1476 Masehi, yakni dengan kedatangan seorang pemuda di daerah Bukit Mugas dan Bergota, yang pada masa itu masih merupakan sebuah jazirah atau semenanjung yang termasyhur dengan nama Pulau Tirang. Ki Ageng Pandanarang, demikian nama pemuda itu, ia ditunjuk oleh Sunan Bonang untuk membuka tanah dan bertempat tinggal di Pulau Tirang, yang pada waktu itu mempunyai banyak teluk. Ki Ageng Pandanarang, putra Pangeran Sebrang Wetan atau cucu Panembahan Demak, menyanggupi tugas tersebut.
Ki Ageng Pandanarang kemudian menetap di sebuah daerah bernama Tirang Amper dan berhasil mengislamkan sejumlah orang penduduk yang bertempat tinggal di pulau Tirang tersebut. Setelah usahanya berhasil ia kemudian mendirikan pondok di daerah pengisikan. Banyak pengikutnya ikut pindah bersamanya. Daerah pemukimannya tersebut kian lama kian ramai, dan di kemudian hari disebut Semarang.
Melihat tugas yang diberikan Sunan Bonang kepada Ki Ageng Pandanarang, yakni mengislamkan penduduk di Pulau Tirang dan sekitarnya tersebut, maka tentu dia seorang yang berilmu tentang keislaman. Karena itu sebagai seorang “mubalig” nama Ki Ageng Pandanarang yang dipakainya bukan merupakan nama asli. Menurut penuturan Serat Kanda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda naskah KBG Nr. 540, bahwa nama Ki Ageng Pandanarang juga memakai nama Arab, yakni Abdullah.
Nama Abdullah itu sendiri sesuai dengan bunyi inskripsi yang pernah terdapat pada batu nisan makam Ki Ageng Pandanarang di Mugas Atas, yang pernah dijumpai Dr. D.A. Rinkes ketika ia berkunjung ke sana usai menyelesaikan kesarjanaannya mengenai Ki Ageng Pandanarang. Inskripsi yang sederhana tulisannya itu berbunyi Ibnu Abdullah.
Dalam bahasa Arab, ibnu berarti putra dari. Jadi Ibnu Abdullah, sangat mungkin yang dimaksud adalah “putra dari Abdullah”, yang ada kemungkinan punya nama lain. Seperti tradisi nama-nama raja di Jawa, umumnya pewaris tahta tetap menggunakan nama raja pertama yang membangun daerah atau kerajaan yang diwariskannya. Setelah anak atau putra mahkota dilantik, yang bersangkutan meninggalkan nama aslinya, selanjutnya menggunakan nama tokoh raja yang mewariskan kerajaannya. Di Jawa umumnya nama raja berikutnya tetap menggunakan nama raja pertama dengan menambahkan ke I, II, III dan seterusnya.
Berkaitan dengan siapa Ki Ageng Pandanarang, bisa pula dicari dari silsilah Ki Ageng Pandanarang atau yang kemudian juga disebut Abdullah tersebut, yakni seorang mubalig yang bertugas mengislamkan daerah penduduk Pulau Tirang dan sekitarnya. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Kantor Administrasi A.C. van Pernis tahun 1941 dalam rangka memperingati 35 tahun usia Kotapraja Semarang, disebutkan Raden Patah raja Demak yang bergelar Sultan Sah Allam Akhbar Sirollah Khalifatul Rasul Amiril Mukminin Ayudin Khamidkhan mempunyai anak tertua bernama Pangeran Sabrang Lor atau disebut juga Adipati Sepuh. Ketika Raden Patah meninggal Pangeran Sabrang Lor menggantikannya sebagai raja Demak. Selanjutnya ketika Pangeran Sebrang Lor meninggal, putranya yang bernama Pangeran Made Panden menolak menggantikan ayahnya. Karena itulah yang naik tahta adalah Raden Trenggono, adik ayahnya. Selanjutnya Pangeran Made Panden hidup sebagai pertapa di Pulau Tirang. Pangeran Made Panden mempunyai seorang putra bernama Kanjeng Pangeran Pandanarang (Panden Harang). Pangeran Pandanarang inilah yang telah mendapatkan ijin dari pamannya, Raden Trenggono, untuk membuka hutan yang terdapat di Pulau Tirang dan membuat tempat kediaman di kawasan tersebut. Tempat inilah yang kemudian disebut Semarang, yang berasal dari kata “asam arang”, di mana terdapat banyak pohon asam.
Ki Ageng Pandanarang yang dikenal juga dengan nama Ibnu Abdullah tersebut kemudian menduduki jabatan sebagai Adipati Semarang yang pertama. Ia memerintah Bubakan, di sebuah kawasan di mana pernah berdiri gedung selama 27 tahun lamanya. Ketika ia meninggal, semula jenazahnya dimakamkan di kompleks kadipatennya, tetapi di kemudian hari telah dipindahkan ke Bukit Pakisaji atau Tinjomoyo, yang terletak di sebelah timur dari daerah Bergota.
Selanjutnya seperti disebutkan di muka bahwa setelah Ki Ageng Pandanarang atau yang juga dikenal dengan nama Ibnu Abdullah tersebut mempunyai putra tertua yang bernama Raden Kaji. Karena itu ketika Ki Ageng Pandanarang meninggal, Raden Kaji diangkat sebagai Adipati Semarang yang kedua, dengan gelar Adipati Mangkubumi, atau kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Pandanarang II.
Ketika Ki Ageng Pandanarang II menggantikan orang tuanya sebagai Adipati Semarang, kota ini telah mengalami perkembangan dalam bidang perdagangan. Waktu itu pelabuhan Semarang sudah ramai dikunjungi para kapal-kapal pedagang dari berbagai pulau di Nusantara bahkan juga dikunjungi kapal-kapal pedagang asing. Di Semarang saat itu sudah ada pedagang-pedagang asing seperti dari Arab dan Cina. Para pedagang Cina bahkan sudah sebagian ada yang menetap, yang kemudian melahirkan kampung Pacinan di Semarang. Sebagai adipati Ki Ageng Pandanaran II kemudian juga aktif dalam kegiatan perdagangan. Karena itulah dia kemudian dikenal sebagai orang kaya di Semarang. Banyak pedagang-pedagang yang berhutang kepada Ki Ageng Pandanarang dalam menjalankan usaha dagang mereka. Karena itulah kekayaan Ki Ageng Pandanarang II semakin bertambah. Ki Ageng Pandanarang II juga selalu memborong barang-barang keperluan yang dijual di pasar Semarang untuk kemudian dijualnya dengan harga yang lebih tinggi. Dengan aktifitasnya dalam mengumpulkan kekayaan tersebut membawa dia menjadi seorang yang kaya raya dan tidak mengindahkan kehidupan rakyatnya serta semakin jauh dari kearifan orang tuanya yang sebelumnya dikenal sebagai penyebar Islam di kawasan Semarang tersebut.
Pada saat Ki Ageng Pandanaran II lupa diri dengan kehidupan dunianya itulah Sunan Kalijaga menunjuk dia dalam rapat para wali sebagai orang yang akan menggantikan Syekh Siti Jenar yang dibunuh karena ajarannya yang dianggap dapat menyesatkan masyarakat pemeluk Islam yang masih belum kuat imannya. Sehubungan dengan itulah kemudian Sunan Kalijaga melakukan usaha untuk menyadarkan keserakahan Adipati Semarang tersebut. Disebutkan bahwa dengan menyamar sebagai tukang rumput Sunan Kalijaga dapat berhubungan dengan Ki Ageng Pandarang II penguasa Semarang ini. Untuk membuat Ki Ageng Pandanarang suka membeli rumputnya maka Sunan Kalijaga memasukkan potongan emas di dalam ikatan rumput yang dijualnya. Karena tahu ada emas di dalam ikatan rumput itu maka Ki Ageng Pandanarang kemudian memesan lagi kepada “si tukang rumput” tersebut agar dibawakan rumput untuk dibelimya. Agar Adipati Semarang ini makin menyukainya lagi-lagi dimasukkan oleh Sunan Kalijaga potongan emas di dalam ikatan rumput yang dijualnya. Ki Ageng Pandanarang II semakin menyukainya, sehingga ia minta lagi agar besoknya dibawakan lagi rumput untuk makanan kuda-kudanya. Besoknya pagi-pagi benar Sunan Kalijaga sudah datang ke “istana” Adipati Semarang tersebut. Setelah Adipati Semarang membayar harga rumputnya ia menanyakan di mana tinggalnya “penjual rumput” tersebut. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa ia tinggal di Jabalkat. Memang ada sedikit heran Ki Ageng Pandanarang II karena ia tahu kalau tempat itu jauh dari Semarang. Disebutkan bahwa ketika itulah Sunan Kalijaga menyampaikan sesuatu permintaan kepada orang kaya Semarang tersebut. Karena itu penguasa Semarang tersebut melemparkan uang kepada Sunan Kalijaga, tapi Sunan Kalijaga menolaknya, sehingga Ki Ageng Pandanarang II menjadi marah dengan mengatakan orang tua tak tahu diri karena menolak pemberiannya. Sementara Sunan Kalijaga mengatakan bahwa ia tidak perlu harta benda, karena kalau ia mau emas cukup dengan menggalinya dan tanah itu akan menjadi emas. Karena itulah Ki Ageng Pandanarang II memanggil pembantunya agar memberikan cangkul kepada tukang rumput ini untuk membuktikan kata-katanya. Sunan Kalijaga kemudian membenamkan mata cangkul yang diberikan kepadanya ke tanah, kemudian mengangkatnya dan tanah tersebut kemudian menjadi bungkah emas. Alangkah terkejutnya Ki Ageng Pandanarang II, dan dengan perasaan takut ia menanyakan siapa sebenarnya “dia”. Sunan Kalijaga mengaku bahwa ia adalah Syekh Malaya. Dengan penuh penyesalan Ki Ageng Pandanarang II mohon ampun kepada Sunan Kalijaga, sekaligus ia memohon untuk menjadi murid Sunan Kalijaga, yang oleh Sunan Kalijaga dipersilakan datang ke Jabalkat dengan tidak membawa kekayaan yang dimilikinya. Semua itu disanggupi oleh Ki Ageng Pandanarang II.
Selanjutnya dengan tekadnya untuk berguru kepada Sunan Kalijaga tersebut, Ki Ageng Pandanarang II kemudian menyerahkan jabatannya sebagai Adipati Semarang kepada adiknya yang bernama Raden Ketib. Sebelum berangkat ke Jabalkat sesuai pesan Sunan Kalijaga agar ia meninggalkan semua kekayaannya, maka Ki Ageng Pandarang II membagi-bagi harta kekayaannya kepada isteri dan anak-anaknya. Menurut Serat Kandaningringgit Purwa peristiwa Ki Ageng Pandanarang II melepaskan jabatanya dan pergi ke Jabalkat untuk berguru kepada Sunan Kalijaga tersebut terjadi pada tahun 1434 Saka atau tahun 1512 Masehi, yang diperingati dengan candra sangkala Rasa Guna Rasa Ningrat .
(HRN: Disusun dari berbagai sumber, bersambung: Ki Ageng Pandanaran II pergi ke Jabalkat)