Jumat, 30 Januari 2009

Sabilal Muhtadin



Foto: Kompleks Makam Syekh M Arsyad di Kalampayan, Martapura.

Mengenali Hasil Karya Besar Seorang Putra Kalsel
Sabilal Muhtadin

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Sabilal Muhtadin adalah nama sebuah Kitab Fiqh. Nama lengkapnya adalah Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin. Kitab ini membicarakan segala hukum agama Islam yang berhubungan dengan muammalat. Penulis kitab ini adalah seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad seorang putra daerah Kalimantan Selatan, karena itu biasa disebut Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yang hidup pada abad ke 18 yang lalu.

Kitab Fiqh ini ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah pada tahun 1193 Hijriah bertepatan tahun 1779 Masehi. Penulisan kitab ini selama kurang lebih dua tahun.
Mungkin timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan Sultan Tahmidullah meminta Syekh
Muhammad Arsyad menulis kitab Fiqh tersebut. Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dikemukakan:
1. Kitab-kitab agama yang digunakan dalam pengajian-pengajian pada waktu itu umumnya
menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab yang tadinya dibawa sendiri oleh Syekh Muhammad
Arsyad dari Mekah. Kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab ini dikenal dengan istilah "Kitab
Kuning". Penggunaan kitab-kitab Kuning ini dalam pengajian-pengajian tentu saja menemui kesulitan-kesulitan, karena untuk mengerti isinya oleh lebih dahulu mengerti bahasa Arab.
2. Keadaan alam Kalimantan Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya, mempunyai kehidupan fauna dan flora yang berbeda sekali dengan alam negeri Arab. Sesuatu yang mungkin hidup atau ada di Kalimantan Selatan atau Indonesia ini mungkin tidak hidup dan tidak terdapat di tanah Arab. Dan demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan menggunakan kitab-kitab Fiqh yang berasal dari negeri Arab saja, mungkin akan menimbulkan perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap sesuatu yang hanya ada ditemukan di daerah Kalimantan Selatan atau di Indonesia.
3. Karena Islam yang dianut dan berkembang di daerah Kerajaan Banjar dahulu itu adalah faham Ahlussunnah wal Jamaah mazhab Imam Syafii, maka perlu ada sebuah kita Fiqh yang tinjauan masalah-masalahnya khusus menurut faham tersebut.

Sebenarnya pada waktu itu sudah ada sebuah kitab Fiqh berbahasa Melayu di daerah ini. Kitab Fiqh itu bernama Kitab Siratul Mustaqim karangan Nuruddin Ar Raniry, seorang ulama besar dari Aceh. Kitab ini ditulis antara tahun 1044 - 1054 Hijriah atau tahun 1634 – 1644 Masehi. Penggunaan kitab ini dalam pengajian-pengajian mungkin masih ada kekurangan dan keberatannya. Karena faktor waktu dan geografi dalam penulisan sebuah kitab Fiqh menentukan isi dari kitab itu. Sebab menurut Prof. T.M. Hasby Ash Shiddieqy dalam buku Pengantar Ilmu Fiqh, bahwa Fiqh Islami yang kita kenal sekarang ini tidak tumbuh sekaligus, dia tumbuh beransur-ansur beranjak dari setahap demi setahap, sehingga sampai kepada kesempurnaannya (hal. 17). Faktor waktu dan faktor tempat inilah yang dapat dijadikan alasan sehingga masalah-masalah Fiqh yang ditulis Syekh Muhammad Arsyad dalam kitab Sabilal Muhtadin lebih banyak tiga kali dari kitab Siratul Mustaqim. Sehubungan dengan hal ini Syekh Muhammad Arsyad sendiri menulis dalam Mukaddimah dari kitabnya bahwa:
a. Lebih dahulu dari kitabnya itu telah ada sebuah kitab Fiqh atas mazhab Imam Syafii bernama Siratul Mustaqim yang ditulis oleh seorang alim yang lebih bernama Nuruddin Arraniry.
b. Akan tetapi karena sebagian ibaratnya mengandung bahasa Aceh, maka sulit bagi orang-orang yang bukan ahlinya untuk mengambil pengertiannya.
c. Lagi pula ada sebagian dari ibaratnya yang diubahkan dari pada asalnya dan digantikan dengan yang lainnya atau gugur dan kurang disebabkan kelalaian penyalin-penyalinnya yang tidak berpengatahuan sehingga menjadi rusak dan berselisihan antara naskah-naskah dan ibaratnya, sehingga hampir tidak diperoleh lagi naskah-naskah yang saheh dari penulisnya (Sabilal Muhtadin hal. 3).

Kitab Sabilal Muhtadin tersebut terdiri atas 2 (dua) juz. Juz pertama tebalnya 252 (dua ratus lima puluh dua) halaman, dan juz kedua tebalnya 272 (dua ratus tujuh puluh dua) halaman. Kedua juz ini merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bahkan ada topik yang dibicarakan pada akhir juz pertama diselesaikan pembahasannya pada juz kedua.
Pembagian isi dalam Sabilal Muhtadin ini dinyatakan dengan istilah kitab-kitab. Keseluruhannya ada 8 (delapan) kitab, yaitu:
1. Kitabut Taharah, yakni suatu kitab yang menyatakan tentang bersuci.
2. Kitabus Shalat, yakni kitab yang menyatakan tentang shalat.
3. Kitabuz Zakat, yakni kitab yang menyatakan hukum zakat.
4. Kitabus Siam, yakni kitab yang menyatakan puasa.
5. Kitabul I'tikaf, yakni kitab yang menyatakan i'tikaf atau berhenti di dalam masjid.
6. Kitabul Haji wal Umrah, yakni kitab pada menyatakan haji dan umrah.
7. Kitabus Shaid wadz Dzabaih, yakni kitab pada menyatakan hukum binatang perburuan dan sekalian yang disembelih.
8. Kitabul Ith'amah, yakni kitab pada menyatakan barang yang halal dan barang yang haram memakannya.

Dalam beberapa tulisan tentang kehidupan ulama besar dari daerah Kalimantan Selatan ini, disebutkan bahwa penyebaran Kitab Sabilal Muhtadin tersebut dimulai dari ruang pengajian Syekh Muhammad Arsyad sendiri di Kampung Dalam Pagar (sebuah kampung di Martapura), yakni dengan mengadakan salin menyalin dari naskah aslinya oleh murid-murid Syehk Muhammad Arsyad sendiri. Kemudian naskah itu dibawa orang ke Mekkah, di sana dilakukan salin-menyalin pula, bahkan kemudian dijadikan orang kitab pelajaran Fiqh bagi orang yang berbahasa Melayu, sehingga kitab ini dikenal luas oleh penuntut-penuntut ilmu di Mekkah yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Mereka itulah yang kemudian mengajarkannya pula di negeri mereka kemudian.

Kitab Sabilal Muhtadin dicetak pertama kali pada tahun 1300 Hijriah atau tahun 1882 Masehi serentak di tiga tempat, yakni di Mekkah, Istambul dan Mesir, dengan pentasheh Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al Fatany, ulama asal Fatani (Thailand) yang mengajar di Mekkah pada waktu itu. Dengan adanya cetakan ini maka Sabilal Muhtadin lebih tersiar dan terkenal luas di Asia Tenggara. Bahkan menurut keterangan penuntut-penuntut ilmu di Mekkah sampai waktu itu masih banyak yang mempelajari Sabilal Muhtadin sebelum mereka dapat membaca kitab berbahasa Arab.

Sebagai penghormatan dan kebanggaan umat Islam di daerah ini terhadap ulama besar Syekh Muhamad Arsyad dengan salah satu karyanya Kitab Fiqh Sabilal Muhtadin, tahun 1974 telah dirintis berdirinya sebuah masjid kebanggaan di pusat kota Banjarmasin yang diberi nama Sabilal Muhtadin. Dan Alhamdulillah masjid ini sekarang sudah menjadi pusat pendidikan generasi muda Islam serta berperan sebagai tempat pengembangan ajaran Islam pada umumnya.

Akhirnya, mudah-mudahan saat ini khususnya kaum Muslimin di daerah Kalimantan Selatan, tidak hanya berbangga dengan masjid megah bernama Sabilal Muhtadin, tetapi diharapkan bisa mengkaji kaedah-kaedah yang ditulis Syekh Muhammad Arsyad dalam kitabnya Sabilal Muhtadin, dan mengamalkannya. Semoga. (HRN, Peneliti Sejarah dan Nilai tradissional)

Kamis, 29 Januari 2009

Sejarah Adalah Hakim


















SEJARAH ADALAH HAKIM YANG MEWARISKAN KEBANGGAAN DAN KEBENCIAN
Oleh: Drs.H. Ramli Nawawi

Menurut sejarawan J. Russel orang yang mau belajar sejarah tidak akan terperosok pada satu lobang yang sama untuk kedua kali. Artinya orang yang mau belajar dari pengalaman dirinya ia tidak akan keliru untuk dua kali, termasuk mereka yang mau belajar dari keberhasilan juga kekeliruan yang pernah dilakukan orang lain pendahulunya. Karena itu seseorang yang mau belajar dari sejarah akan terhindar dari tindakan yang kelak mewariskan kebencian masyarakat terhadap diri dan keluarganya. Bukankah seorang pahlawan atau mereka yang pada masa hidupnya bersih dan memberi manfaat bagi masyarakat, maka sejarah akan mencatatnya sebagai orang-orang yang mewariskan kebanggaan bagi turunannya dan bagi masyarakatnya. Tapi sebaliknya bagi seseorang, apapun kedudukannya atau jabatannya, yang karena melakukan perbuatan melanggar norma-norma hukum masyarakat, dicap sebagai tidak jujur. termasuk korupsi atau perbuatan tercela lainnya, terbukti bersalah atau masuk penjara, maka dalam sejarah mereka sebagai orang-orang yang mewariskan kebencian masyarakat baik terhadap dirinya dan juga keturunannya.

Tapi dalam era sekarang ketika orang sudah mulai meninggalkan ilmu-ilmu humaniora, maka makna moral tentang buruk dan baik yang selalu tercatat dalam sejarah bagi sebagian orang sudah tidak terpahami dan tak terhiraukan lagi. Tampaknya di era ini kebanyakan orang berpendapat bahwa sejarah juga akan terlupakan, atau bisa saja dimanipulasi dengan memutarbalikkan fakta, dengan berusaha menyembunyikan segala keburukan yang memalukan guna menghindari kebencian masyarakat.

Di era ini tampaknya banyak orang menafsirkan benar dan salah, baik dan buruk cukup hanya dengan pandangan dan pendapat sendiri. Apalagi kalau manakala beberapa gelintir orang yang karena berkepentingan mau pula membenarkan suatu tindakan yang nyata-nyata salah dan memalukan sekalipun. Dulu orang takut masuk penjara dan malu pernah masuk penjara karena perbuatan yang salah. Tapi di era ini bagi sebagian orang malu bisa ditutupi dengan penampilan percaya diri. Penulis pernah melihat seorang laki-laki membayar rekening listrik dengan memakai kaos bertulisan “LP Nusakambangan”. Apakah di era ini memang telah terjadi suatu pergeseran nilai, sehingga pengalaman dalam berbuat kejahatan perlu dipamerkan juga. Dulu zaman memperjuangkan kemerdekaan para pejuang kita, baik yang berjuang dalam bidang politik juga mereka yang berjuang secara fisik, banyak yang dipenjarakan penjajah Belanda. Mereka masuk penjara karena berjuang untuk nusa dan bangsa tentu patut mendapatkan penghormatan.

Di era ini banyak orang yang membuat buku riwayat hidup, baik dengan menulis sendiri atau meminta pertolongan penulis biografi. Hasilnya, ya tentu saja segala yang memalukan, yang menimbulkan kebencian dikaburkan atau dianggap tidak pernah terjadi. Kebanyakan dengan biografi tersebut orang sudah merasa aman dari segala perbuatan yang sengaja atau tidak sengaja merupakan catatan hitam dalam hidup yang bersangkutan.

Tapi yang perlu diketahui bahwa seorang penulis dalam merekonstruksi suatu peristiwa masa lalu dapat dipastikan tidak lepas dari kelemahan dan kekurangan. Kelemahan yang terdapat ketika menuliskan sesuatu data juga dipengaruhi oleh sifat subyektifitas seseorang penulis. Dengan kata lain dalam menuliskan suatu peristiwa, seseorang akan memihak pada kepentingannya, atau mengaburkan data dan fakta yang merugikan diri atau idolanya. Sedangkan adanya kekurangan dalam menuliskan peristiwa masa lalu adalah berkaitan dengan karena data yang diterima penulis tidak lengkap, atau karena perbedaan keterangan dari para sumber pemberi data. Karena itulah umumnya hasil penulisan sejarah tidak ada yang final. Artinya tulisan sejarah, buku sejarah, juga sebuah biografi, manakala ditemukan data-data baru yang otentik dan telah melewati seleksi data, atau sebaliknya telah ditemukan fakta-fakta telah dilakukannya rekayasa data dalam penulisan sejarah, maka tulisan sejarah atau buku sejarah juga tulisan biografi seseorang, menurut ketentuan sejarah harus dirubah disesuaikan dengan fakta peristiwa yang sebenarnya.

Memang sejarah dengan sadar sering direkayasa untuk kepentingan pribadi, kepentingan penguasa, kepentingan politik, dan sebagainya. Tapi perlu diketahui bahwa umur rekayasa sejarah selalu akan berakhir ketika mereka yang kritis tampil dengan data-data yang otentik. Sebagai conyoh, beberapa tahun yang lalu setelah berakhirnya rezim Orde Baru, buku sejarah Pendudukan 6 Jam di Yogya dibahas dan mendapat kritik para sejarawan, sehingga kemudian dilakukan pelurusan sejarah karena dalam penulisan tersebut sebelumnya tidak mencantumkan peran Sultan Hamengku Buwono IX secara penuh. Contoh lain, seperti akhir-akhir ini tentang larangan terhadap buku-buku sejarah untuk SMP dan SMA yang tidak mencantumkan kata PKI dibelakang kata G30S, apakah penghapusan kata PKI tersebut memang berdasarkan suatu data yang otentik atau rekayasa berkaitan dengan sikap subyektifitas para penulisnya, tapi yang jelas menurut alasan dari pelarangan tersebut karena dinilai bertendensi mengaburkan fakta sejarah tentang jejak langkah PKI (Partai Komunis Indonesia) di Indonesia.

Begitulah sejarah, ia akan mewariskan kebanggaan dan penghormatan atau sebaliknya mewariskan kekecewaan dan kebencian, karena sejarah pada akhirnya akan menceritakan peristiwa masa lalu apa adanya. Manakala ada orang berusaha menampilkan kelebihannya dan jasa-jasa baiknya dengan berlebihan, atau berbuat menyimpan perbatan-perbuatan tercelanya dalam biografi yang diluncurkan pada masa hidup, maka sejarah akan menolak setiap cerita sejarah hasil rekayasa, karena sejarah selalu bergerak kepada kebenaran yang haq dan akan menyampaikan kepada generasi pewaris apa adanya sesuai buruk dan baik pelakunya.
Dalam era sebagian bangsa ini telah sengaja melupakan sejarah, atau memang tidak memahami peran dan juga sanksi sejarah, sebaiknya lah kita menjadi orang yang dapat mewariskan kebanggaan kelak kepada keluarga dan masyarakat umumnya, dan sebaliknya kita berusaha menjauhi perbuatan-perbuatan tercela agar anak cucu kita tidak mendapat warisan malu dan kecewa sebagai akibat olah kekeliruan ketika pada masa hidup kita. (HRN, Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional)

Mengenal ALRI Divisi IV Kalimantan






MENGENAL ALRI DIVISI IV (A) PERTAHANAN KALIMANTAN SELATAN
DAN MAKNA DARI PROKLAMASI 17 MEI 1949

Disusun: Drs.H. Ramli Nawawi

ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan Selatan adalah organisasi perlawanan bersenjata terhadap imperialis Belanda pada masa menegakkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini merupakan bagian dari ALRI Divisi IV yang berkedudukan di Mojokerto. ALRI Divisi IV Mojokerto peresmiannya dilakukan oleh Laksamana muda M. Nazir pada tanggal 4 april 1946 bertempat di “Palace Hotel” Malang (Jawa Timur). Sebagai pimpinan ALRI Divisi IV adalah Letnan Kolonel Zakaria Madon. Rencana dari Markas Besar ALRI Divisi IV Mojokerto membagi daerah Kalimantan menjadi atas tiga daerah, yakni ALRI Divisi IV Pertahanan (A) untuk Kalimantan Selatan, ALRI Divisi Pertahanan (B) untuk Kalimantan Timur, dan ALRI Divisi IV Pertahanan (C) untuk Kalimantan Barat.

Untuk mewujudkan pembetukan organisasi ALRI Divisi IV Pertahanan di Kalimantan tersebut Markas Besar ALRI Divisi IV Mojokerto seperti yang dilakukan Gubernur Kalimantan yang saat itu masih berkedudukan di Yogyakarta, juga memberangkatkan rombongan ekspedidisi dari Jawa ke Kalimantan. Rombongan ekspedisi ALRI Divisi IV yang pertama berangkat dari pelabuhan Tuban pada tanggal 10 Oktober 1946 di bawah pimpinan Letnan I Asli Zuchri. Rombongan ini bertugas untuk membentuk organisasi ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan. Sekaligus untuk menyatukan organisasi perjuang yang sudah ada di Kalimantan Selatan ke dalam organisasi ALRI Divisi IV. Perahu yang membawa rombongan ini berhasil mendarat di desa Tabaneo pada tanggal 21 Oktober 1946.

Sebelum datangnya rombongan ekspedisi ALRI Divisi IV Mojokerto ke daerah Kalimantan Selatan, di daerah ini sudah terbentuk beberapa organisasi kelasykaran, seperti BPRIK (Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan), Gerpindom Amuntai (Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka), TRI (Tentara Republik Indonesia), Germeri (Gerakan Rakyat Mempertahankan Republik Indonesia) di Kandangan, Lasykar Syaifullah di Haruyan yang dipimpin oleh Hassan Basry, Banteng Indonesia di Kandangan, Peter (Pembantu Tentara Republik ) di Negara, Banteng Borneo di Rantau, MN-1001, dan lainnya.

Sementara itu segera setelah rombongan ekspedisi tiba di Kalimantan Selatan Asli Zuchry berusaha untuk menemui Hassan Basry yang sebelumnya telah dipulangkan ke Kalimantan Selatan oleh Gubernur Kalimantan Pangeran M. Noor yang waktu itu masih berkedudukan di Yogyakarta. Pertemuan pertama berlangsung antara Letnan I Asli Zuchri sebagai Wakil Markas Besar ALRI Divisi IV Mojokerto dengan Hassan Basry pimpinan Syaifullah pada tanggal 11 Nopember 1946 di Tabihi. Pertemuan berikutnya berlangsung pada tanggal 18 Nopember 1946 di Tabat (Haruyan) Hulu Sungai Tengah. Pada pertemuan kedua ini Hassan Basry disertai tokoh-tokoh pejuang gerilya antara lain H. M. Rusli, Hasnan Basuki, Marufi Utir, Salman Bidinsyah alias Setia Budi, Gazali Ahim, Ibas S, dan lain-lain. Dalam pertemuan tersebut Letnan I Asli Zuchri menguraikan tentang maksud missinya ialah untuk membentuk kesatuan ALRI di Kalimantan, sebagai bagian dari ALRI Divisi IV yang Markas Besarnya terletak di Mojokerto di bawah pimpinan Let. Kol. Zakaria Madon.

Setelah semuanya rampung dan sepakat ditetapkan sebagai berikut:
1. ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan Selatan disusun dengan tingkat kesatuannya Batalyon, disebut Gerakan Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan Selatan. Komandan Batalyon Hassan Basry pimpinan Lasykar Syaifullah, dan semua anggota Lasykar Saifullah menjadi inti anggota Batalyon.
2. Kedudukan resmi Batalyon Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan Selatan adalah Kandangan.
3. Letnan I Asli Zuchri dan Letda Mursyid meresmikan berdirinya organisasi dan melantik Hassan Basry pada tanggal 18 Nopember 1946 sebagai komandan Batalyon.
Agar tugas yang dibebankan pada Batalyon Rahasia ALRI Divisi IV (A) dapat dilaksanakan, maka dua hari setelah pembentukannya berlangsung musyawarah untuk menetapkan dan mengisi jabatan yang dianggap perlu sebagai langkah pertama, sebagai berikut:
a. Komandan Batalyon : Hassan Basry
b. Kepala Staf : Hasnan Basuki
c. Kepala Tata Usaha : H.M.Rusli
d. 3 orang pelatih : 1. Ma’rufi, 2. Setia Budi, 3. Mawardi.

Sementara itu organisasi-organisasi kelasykaran lain yang terdapat di Kalimantan Selatan yang kemudian menyatakan menggabung dalam batalyon adalah Gerpindom yang dipimpin oleh Aberani Sulaiman, Banteng Borneo yang dipimpin M. Hammy AM, Badan Pemberontakan Indonesia yang dipimpin oleh Hamdi Budhigawis. Memasuki tahun 1947 semua organisasi kelasykaran yang ada di Kalimantan Selatan telah menggabung ke dalam ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan.

Dalam rangka untuk mempertemukan para pimpinan organisasi kelasykaran di Kalimantan, pimpinan organisasi memanfaatkan moment ketika berlangsungnya Kongres Pemuda Kalimantan yang dilangsungkan di Kandangan pada tanggal 17 Maret 1947. Kongres Pemuda yang dihadiri para pemimpin organisasi dan tokoh-tokoh pemuda dari seluruh Kalimantan Selatan (termasuk Kalimantan Tengah sekarang), Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat ini, sempat pula mengadakan pertemuan di belakang layar untuk memadu tekad mengatur langkah perjuangan bersama.

Bersamaan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan para pimpinan yang tergabung dalam Batalyon ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan, Pemerintahan NICA Belanda juga terus berusaha menjalankan politik “devide et impera” nya. Sebelumnya Belanda menggelar Konperensi Malino pada 12-16 Juni 1946, kemudian Konperensi Denpasar 18-24 Desember 1946, Konperensi Pangkal Pinang, selanjutnya Konperensi Linggarjati yang besar sekali pengaruhnya bagi daerah Kalimantan telah ditandatangani wakil dari Belanda dan RI tanggal 15 Nopember 1946. Isinya bahwa kekuasaan Republik Indonesia de fakto hanya meliputi Jawa-Madura dan Sumatera saja. Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat kemudian mengesahkannya pada tanggal 25 Januari 1946, ini berarti bahwa Kalimantan tidak lagi termasuk wilayah de fakto Republik Indonesia. Dampak yang lebih jauh dari hasil persetujuan Linggarjati adalah status Propinsi Kalimantan tidak relevan lagi sehingga status Gubernur Kalimantan dihapus.

Hasil persetujuan Linggarjati juga membuat Batalyon ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan terputus hubungannya dengan RI, dan terputus pula dengan Markas Besar ALRI Divisi IV yang waktu itu bermarkas di Tuban Jawa Timur. Markas Besar ALRI Divisi IV ini kemudian dibubarkan, selanjutnya statusnya dirubah menjadi Mobiele Brigade ALRI dengan Komandan Mayor Firmansyah. Sedangkan Letkol Zakaria Madon (mantan pimpinan ALRI Divisi IV) dipindahkan ke Markas Besar ALRI Pusat. Dengan situasi demikian maka tokoh-tokoh pejuang gerilya Kalimantan Selatan hanya mempunyai satu pilihan yaitu harus mampu mengorganisir kekuatan sendiri, kalau tidak akan dihancurkan oleh musuh.

Bersamaan dengan perubahan status Kalimantan sebagai akibat persetujuan Linggarjati yang tidak termasuk wilayah RI tersebut, Belanda juga meningkatkan operasi militernya. Menjelang agresi militer Belanda atas pemerintah Republik Indonesiadi Yogyakarta, di Kalimantan Selatan Belanda mengadakan aksi pembersihan terhadap orang-orang yang dicurigai. Serangan tiba-tiba yang dilancarkan militer Belanda banyak menimbulkan korban, ratusan penduduk yang tidak bersalah ikut menderita. Tokoh-tokoh ALRI yang berhasil meloloskan diri menuju kearah pegunungan Meratus, sedangkan yang tertangkap mendapat siksaan yang kejam. Dalam situasi tersebut Hassan Basry selaku Komandan Batalyon Rahasia ALRI Divisi IV mengambil keputusan untuk menarik diri kepegunungan bersama-sama anggotanya yang teguh pendirian.
Dalam masa berada di daerah pegunungan Hassan Basry bertemu dengan beberapa pimpinan kelompok perlawanan antara lain H. Abrani Sulaiman dengan anggotanya yang bersenjata lengkap, Daeng Lajida beserta beberapa orang anak buahnya, mereka menghindar ke arah Kotabaru setelah berhasil mencegat konvoi Belanda di Hambawang Pulasan (Batumandi). Pertemuan para pimpinan perjuangan beserta anggota-anggotanya masing-masing dalam suasana senasib penuh menghadapi kesulitan telah menimbulkan semangat baru dalam usaha menghadapi Belanda. Dalam pertemuan itu mereka mengakui bahwa Hassan Basry dan H, Abarani Sulaiman sebagai pimpinan dan wakilnya. Mereka juga kemudian menetapkan Markas Besar Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan di desa Niih di daerah pegunungan Meratus.

Fase pertama dalam usaha konsolidasi, meski dalam keadaan ruang gerak yang terbatas, para pejuang melakukan show kekuatan dengan cara mengadakan pembersihan kakitangan atau spion Belanda, dari seluruh daerah sampai ke kota-kota. Mereka juga menetapkan siasat operasinya dengan membentuk organisasi gabungan bernama SOPIK (Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan). Markas besarnya berkode tetap RX-8. Organisasi Markas Besar RX-8 ini dipimpin oleh Hassan Basry sebagai komandan Batalyon, sebagai Kepala Staf H. Abrani Sulaiman.

Pada tahun 1948 baru datang berita dari Firmansyah dan Anang Piter bahwa ALRI Divisi IV yang bermarkas di Tuban sudah bubar, sehingga para pejuang di Kalimantan selatan diminta mengambil langkah yang positif. Karena itu Hassan Basry bertindak segera, bahwa ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan keluar dan tidak terikat lagi dengan ALRI Divisi IV yang ada di Tuban. Sejak saat itu pula ALRI di Kalimantan muncul lagi dengan status Markas Besar. Dan dengan munculnya ALRI maka otomatis SOPIK menghilang namanya.

Pimpinan Umum Hassan Basry kemudian menugaskan Gusti Aman (Gusti Abdurrahman) untuk memperbaiki susunan organisasi Markas Besar. Bersamaan dengan itu di berbagai tempat di daeah Kalimantan Selatan banyak terjadi kontak senjata antara para pejuang ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dengan militer Belanda. Rapat dalam rangka penyusunan organisasi ALRI Divisi IV berlangsung di Ilung pada pertengahan Februari 1949. Pada rapat tersebut semua pimpinan hadir. Dalam rapat dibicarakan soal-soal organisasi, susunan pucuk pimpinan, serta rencana atau taktik perjuangan selanjutnya.

Dengan bekal dari berbagai pandangan hasil rapat tersebut Gt. Aman beserta dengan Hasnan Basuki dan P. Arya kemudian meneruskan perjalanan ke pedalaman Ambarawa (Telaga Langsat). Di sinilah program kerja disusun kembali. Susunan pemerintahan berbentuk Gubernur Tentara, yaitu pemerintahan berbentuk militer sesuai dengan situasi perang. Apalagi pada saat itu sudah diketahui tentang Pemerintahan Darurat di Sumatera dan rencana Pemerintahan Pelarian di New Delhi India, sehubungan dengan tindakan Aksi Militer II Belanda yang melakukan penawanan terhadap Sukarno-Hatta dan pimpinan-pimpinan pemerintah RI.
Selanjutnya dalam rapat lanjutan pada tanggal 15 dan 16 Mei 1949 di Telaga Langsat yang dihadiri H. Abrani Sulaiman , Gusti Aman, Budhigawis, P. Arya dan Romansi diputuskan bersama bahwa ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan dijadikan Divisi dengan 3 Resimen, Resimin I Amuntai, Resimen II Barabai, Resimen III daerah besar selatan yaitu Martapura, Banjarmasin dan Pelaihari. Untuk memimpin dan mengarahkan divisi dibentuk Pemerintahan Militer dengan daerah Kalimantan Selatan (termasuk Kalimantan Tengah), Kalimantan Tenggara, dan kemudian berkembang sampai ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Teks proklamasi Pemerintahan Gubernur Militer disusun bersama oleh P. Arya dan H. Abrani Sulaiman dan disempurnakan bersama peserta rapat lainnya. Teks Proklamasi kemudian diketik oleh Romansi. Selanjutnya teks proklamasi serta berkas susunan pemerintahan dibawa ke Niih untuk diserahkan kepada Pimpinan Umum Hassan Basry untuk dipelajari. Atas permintaan Pimpinan Umum Hassan Basry teks Proklamasi dibacakan oleh P. Arya di hadapan Pimpinan Umum Hassan Basry dan pimpinan ALRI lainnya.

Teks Proklamasi tersebut kemudian dibacakan pula oleh Pimpinan Umum Hassan Basry dalam suatu upacara di Mandapai yang dihadiri oleh pasukan penggempur, anggota Markas Pangkalan terdekat dan masyarakat setempat. Proklamasi tersebut berbunyi sebagai berikut:

P R O K L A M A S I
Merdeka !
Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, mempermaklumkan berdirinya Pemerintah Gubernur Tentara dari ALRI melingkupi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia untuk memenuhi Proklamasi 17 Agustus 1945, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan.
Tetap Merdeka.
Kandangan, 17 MEI IV REP
Atas nama rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan
Gubernur Tentara
ttd.
Hassan Basry

Berita Proklamasi ini kemudian disebarkan dalam bentuk pamflet ke seluruh daerah di Kalimantan Selatan.

Dasar pemikiran dilahirkannya Proklamasi 17 Mei 1949 adalah :
a. Untuk menyatakan kepada masyarakat dan Pemerintah RI serta dunia umumnya, bahwa gerilya ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan yang berada di Kalimantan Selatan benar-benar ada dan mempunyai kekuatan serta kemampuan untuk menyusun suatu pemerintahan dalam lingkungan wilayah Republik Indonesia, walaupun secara defacto saat itu Kalimantan berada di bawah penjajahan Belanda.
b. Sesudah Aksi Militer II Belanda terjadi, ibu kota RI diduduki dan para pemimpin di tawan (diasingkan), maka pembentukan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Kalimantan Selatan yang diproklamasikan tanggal 17 Mei 1949, dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan gagalnya Pemerintahan Darurat di Sumatera serta gagalnya Pemerintahan Pelariandi New Delhi India.
c. Guna menyatukan para pimpinan dan organisasi-organisasi perjuangan ke dalam suatu pimpinan yang berbentuk pemerintahan Gubernur Tentara.

Tulisan ini baru sebatas mengenal lahirnya ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan Selatan dan proses lahirnya Proklamasi 17 Mei 1949, belum lagi memuat sekitar perjuangan bersenjata Divisi IV Pertahanan Kalimantan Selatan sampai dengan pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Semoga dengan menyimak tulisan ini, bagi sebagian orang yang sudah melupakan atau bahkan sama sekali tidak tahu tentang perjuangan dan pengorbanan pendahulu-pendahulu kita, khususnya bagi masyarakat Kalimantan Selatan, bisa sadar dan terpanggil untuk menjadi orang-orang yang juga mau berkorban untuk negeri ini. (HRN, peneliti sejarah & nilai tradisional)

Peristiwa Sekitar 17 Agustus 1945 di Kalimantan Selatan

Menengok Kembali Peristiwa Sekitar 17 Agustus 1945
Menyimak Jasa-Jasa Pahlawan Penegak Kemerdekaan
Di Bumi Kalimantan Selatan

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Agustus dari tahun ke tahun akan selalu menyapa masyarakat Indonesia, maka seperti tahun-tahun yang lalu juga Agustus tahun ini dan bahkan Agustus-Agustus mendatang, kembali akan menyapa masyarakat Indonesia dengan lembayan bendera merah putih berbagai ukuran berderet-deret terpampang di jalanan dan di muka-muka rumah penduduk di negeri ini. Merah putih telah ditetapkan oleh bapak-bapak para pejuang kemerdekaan negeri ini sebagai warna bendera Indonesia merdeka. Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan di Jakarta oleh Ir. Soekarno atas nama seluruh bangsa Indonesia, maka negeri ini telah melangkah memasuki kemerdekaan.

Saat ini kita sudah memasuki masa alih suatu generasi, karena itu masyarakat Indonesia saat ini sudah sebagian besar adalah orang-orang yang lahir sesesudah kemerdekaan. Semakin jauh jarak waktu suatu peristiwa terjadi apalagi bagi mereka yang lahir jauh sesudah peristiwa terjadi, akan semakin rentan terjadinya keliru persepsi tentang peristiwa tersebut. Ketika itulah perlu peran sejarah untuk menjembatani seseorang dengan masa terjadinya suatu peristiwa. Manakala orang tidak mengenal sejarah maka akan terjadi miskonsepsi yang akan membuat seseorang kurang memahami makna suatu peristiwa yang pernah terjadi.

Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diperingati dan dirayakan setiap tiba bulan Agustus dimaksud, adalah suatu kejadian besar yang kemudian menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan tersebut dicetuskan oleh para pejuang bangsa ini dalam masa vacuum of power. Ketika itu Jepang yang terlibat dalam Perang Dunia II dan sedang menjajah Indonesia, menyerah kepada Sekutu (Amerika dkk) pada tanggal 14 Agustus 1945. Sedangkan tentara Sekutu sebagai pemenang perang belum mengambil alih kekeuasaan atas Indonesia.
Dengan adanya perintah yang dikeluarkan pihak Sekutu kepada Pemerintah Jepang di Indonesia untuk menjaga status quo mulai jam 1.00 siang tanggal 16 Agustus 1945, menyebabkan pimpinan tentara Jepang di Jakarta yang sebelumnya merestui rencana Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, kemudian melarangnya.

Selain itu dalam kalangan para pejuang pencetus kemerdekaan juga terjadi perbedaan pendapat. Rencana pembacaan Proklamasi Kemerdekaan yang dilakukan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 16 Agustus 1945 tidak disetujui oleh para pemuda. Karena itu untuk mencegah terlaksananya rencana tersebut, beberapa pemuda menjemput dan membawa Ir.Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke Rengas Dengkeluk. Sehingga rencana pembacaan Proklamasi gagal dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1945.

Ketika mengetahui Jepang telah jatuh dan di Indonesia terjadi vacuum of power, para pemuda di bawah pimpinan Chairul Saleh mengantarkan kembali Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dari Rengas Dengkelok ke Jakarta, serta mendesak agar keduanya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan persetujuan dan dihadiri oleh anggota-anggota PPKI dari daerah-daerah di Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno atas nama seluruh rakyat Indonesia, dengan didampingi oleh Drs. Moh. Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10,00 pagi bertempat di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Usaha para pemuda untuk menghindari kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah Jepang tercapai, karena Proklamasi Kemerdekaan dibacakan tidak lagi seizin Pemerintah Jepang di Indonesia yang ketika itu telah menerima pesan untuk mempertahankan status quo sampai datangnya tentara.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah merupakan perwujudan dari Atlantic Charter tanggal 10 Agustus 1941yang mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of selfdeterminition) bagi semua bangsa di dunia. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tersebut sesuai pula dengan Piagam Perdamaian (Charter of Peace) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 25 Juni 1945, yang mengakui hak azasi dan menghendaki kerja sama antara bangsa-bangsa di dunia.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan di Jakarta itu, kemudian diusahakan dengan segala cara agar dapat diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia yang mendiami ribuan pulau yang tersebar di Nusantara yang luas ini. Sumbangan yang besar nilainya dalam sejarah penyebaran berita Proklamasi ketika itu adalah bantuan yang dilakukan oleh para buruh Kantor Berita Domei yang bekerja dibawah pengawasan Pemerintah Jepang. Dengan tidak memperdulikan akibat yang mungkin terjadi atas diri mereka, dan tanpa izin Pemerintah Jepang mereka telah membuat selebaran yang berisi teks Proklamasi tersebut, mereka juga menyiarkannya melalui radio.

Sementara itu segera setelah para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan selesai mengikuti rapat-rapat dalam rangka membentuk Pemerintahan Indonesia Merdeka, mereka kemudian dipulangkan ke daerah masing-masing dengan membawa tugas melaksanakan segala sesuatu yang perlu sehubungan dengan Kemerdekaan Negara Indonesia yang telah diproklamirkan.
Berita Proklamasi Kemerdekaan baik yang dilakukan melalui siaran radio maupun yang kemudian dibawa dari Jakarta oleh A.A. Hamidhan tokoh yang ditunjuk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan mewakili daerah Kalimantan waktu itu secara beriringan dapat diterima oleh masyarakat di Kalimantan Selatan.

Penyiaran melalui radio yang dilakukan oleh para buruh bangsa Indonesia yang bekerja di Kantor Domei dapat ditangkap melalui “radio gelap” (pada zaman Jepang semua radio dilak oleh Penguasa Jepang) di Kota Kandangan (Kab. HSS sekarang). Berita Proklamasi melalui radio Kantor Berita Domei tersebut dapat diterima langsung oleh Ahmad Kusasi seorang pegawai di Kantor Pemerintah Jepang Kandangan dan sekaligus sebagai seorang teknisi radio yang tinggal di Kampung Pandai (Jln. Singakarsa sekarang).

Berita tersebut kemudian tersebar secara bisik-bisik di kalangan tokoh pejuang di daerah Kandangan. Kemudian dengan penuh risiko berita kemerdekaan tersebut pada tanggal 20 Agustus 1945 dimuat dalam surat kabar Borneo Shimbon edisi Hulu Sungai yang dipimpin oleh H. Ahmad Basuni. Tetapi penguasa Jepang di Kandangan yang juga mendapat perintah untuk mempertahankan ”status quo” sejak menyerahnya Jepang kepada Sekutu, segera mengambil tindakan memberangus dan melarang peredaran surat kabar yang terbit pada hari itu. Tetapi walaupun surat kabar yang memuat tentang Proklamasi tersebut tidak sempat beredar secara resmi, namun diantaranya ada juga yang lolos sampai ke tangan masyarakat. Apalagi kemudian terjadi pembicaraan dan tannda tanya masyarakat tentang mengapa Jepang melarang peredaran surat kabar yang terbit hari itu. Sehingga akhirnya rakyat secara tidak langsung mengetahui juga isi berita tersebut. Bahkan masyarakat Kandangan yang pada waktu itu sedang mengadakan pasar malam, kemudian memberi tema pasar malam tersebut sebagai “Pasar Malam Perayaan Kemerdekaan Indonesia”.

Sementara itu berita tentang kemerdekaan yang juga sampai kepada masyarakat Banjarmasin, pada awalnya sempat terpendam karena ketatnya pengawasan yang dilakukan tentara Jepang. Usaha penyiaran berita Proklamasi di Banjarmasin secara terbuka baru dimulai sesudah A.A. Hamidhan tiba dari Jakarta. Beliau adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang berasal dari daerah Kalimantan Selatan yang turut serta menghadiri upacara pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta. Beliau tiba di Banjrmasin pada tanggal 24 Agustus 1945 dengan membawa tugas-tugas yang dibebankan oleh Pemerintah Pusat. Tugas-tugas yang harus beliau laksanakan setelah tiba di Banjarmasin tersebut adalah: (1) Mendirikan Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Kalimantan, (2) Mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), (3) Membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tugas-tugas tersebut tidak langsung dapat dilakukan oleh A.A. Hamidhan, karena setibanya di Banjarmasin rumah beliau dijaga ketat oleh tentara Jepang dan tidak mengizinkan beliau bepergian dan juga menerima tamu.
A.A. Hamidhan selain sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari daerah Kalimantan, pada waktu itu juga menjadi Penanggung Jawab dan Pimpinan Redaksi Surat Kabar Borneo Shimbon Banjarmasin, sekaligus juga sebagai wartawan. Dalam usaha menyebarkan berita tentang kemerdekaan tersebut, masih dalam pengawasan ketat penguasa Jepang, walaupun agak terlambat kemudian berhasil memuat berita-berita tentang kemerdekaan tersebut dalam Borneo Shimbon terbitan No. 851 Minggu 26 Hatji-Gatsu 2605 (26 Agustus 1945). Penguasa Jepang yang masih terikat dengan insruksi mempertahankan “status quo” tetap tidak mengizinkan dimuatnya teks Proklamasi, kecuali yang kemudian dapat dimuat adalah teks tentang Maklumat Pembangunan Negara Indonesia Merdeka dan teks Bentuk Indonesia Merdeka yang berisi tentang UUD Negara RI dan telah dipilihnya Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno dan sebagai Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. Sebagai risiko pemuatan berita tersebut A.A. Hamidhan harus meninggalkan Banjarmasin. Konon semula beliau sekeluarga tinggal di Malang, tetapi kemudian ke Jakarta dan aktif bekerja membantu Mr. Kasman Singodimejo yang menjabat sebagai Kepala Keamanan Daerah Jakarta. Baru setelah pengakuan kemerdekaan A.A. Hamidhan kembali ke Banjarmasin.

Setelah peristiwa penyiaran tentang kemerdekaan di Borneo Shimbon Banjarmasin tersebut penguasa Jepang masih ketat memepertahankan “status quo”. Beberapa tokoh masyarakat yang dicurigai diancam akan ditangkap, sehingga beberapa diantara mereka ada yang menyingkir ke Pulau Jawa. Karena situasi tersebut para pemimpin rakyat di daerah ini umumnya kemudian bertindak sangat hati-hati.

Barulah setelah Proklamasi berumur kurang lebih dua bulan, perubahan-perbahan mulai terjadi. Berita Proklamasi berkali-kali disiarkan melalui Radio Republik di Jakarta. Disamping itu surat kabar-surat kabar dari Jawa yang berisi tentang kegiatan-kegiatan Negara Indonesia Merdeka yang baru diproklamirkan tersebut telah banyak pula yang sampai ke daerah ini. Sejak itu pula beberapa pemimpin rakyat yang merasa bertanggung jawab mulai melakukan pembahasan-pembahasan tentang tindakan yang akan dilakukan sehubungan dengan telah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

Kalau sebelumnya tentara Jepang yang menjadi penghalang bagi rakyat dalam melakukan kegiatan-kegiatan sehubungan dengan kemerdekaan Indonesia ini, maka selanjutnya kekuasaan berpindah ke tangan tentara Australia yang telah menerima wewenang bertindak atas nama Sekutu. Tentara Australia mendarat di Banjarmasin tanggal 17 September 1945 dibawah komando Kolonel Rabson. Dalam rombongan tentara Australia tersebut membonceng orang-orang Belanda sebanyak 160 orang dibawah pimpinan Mayor A.L. van Assenderp. Mereka mempunyai organisasi sendiri yang disebut NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tujuan mereka hendak menguasai kembali Indonesia setelah Jepang menyerah kepada Sekutu.
Kedatangan tentara Australia bersama orang-orang NICA ke daerah ini pada mulanya tidak menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat Bahkan sebagian besar rakyat menerimanya dengan rasa gembira. Apalagi kemudian rakyat mengetahui bahwa tentara Australia yang datang tersebut hanya bertugas untuk:
1. Melucuti senjata dan mengembalikan orang-orang Jepang ke negerinya.
2. Membebaskan dan mengurusi pengembalian tawanan perang Sekutu (APWI=Allied Prisoners and War Internees) ke negara mereka masing-masing.

Tetapi situasi kemudian berubah setelah tersiar selebaran dari kaum politisi Indonesia yang beralamat Metropole Hotel Melbourne Australia. Selebaran tersebut telah disebarkan pada tanggal 1 Oktober 1945. Isinya menyatakan bahwa Indonesia telah merdeka dan mengajak segala lapisan masyarakat serta golongan pegawai, polisi, buruh dan lain sebagainya untuk bersatu dan supaya menolak kedatangan orang-orang NICA.

Sejak peristiwa itu rakyatpun mulai bergerak. Pemimpin-pemimpin rakyat mulai menampakkan diri. Selebaran dari kaum politisi Melbourne tersebut dianggap perlu untuk disebarkan lebih luas di masyarakat. Sehubungan dengan hal itu di Banjarmasin, Hadhariah M., F. Mohani, Hamli Tjarang dan Abddurrahman Noor mengadakan pembicaraan. Hasilnya kemudian berlangsung penyebaran lebih luas isi selebaran tersebut di masyarakat, serta berlangsungnya aksi pencoretan terhadap rumah-rumah orang Belanda di Banjamasin oleh para pemuda, yang menyatakan bahwa rumah-rumah itu milik Pemerintah Republik Indonesia.

Peristiwa serupa terjadi juga di Kandangan yang dilakukan oleh H. M. Rusli dan Hasnan Basuki serta kawan-kawan, sedangkan di Barabai dilakukan oleh H. Baderun dan kawan-kawan.
Dari Pulau Jawa kemudian diterima kabar bahwa Ir. Pangeran Muhammad Noor diangkat sebagai Gubernur Propinsi Kalimantan. Tokoh-tokoh rakyat di Banjarmasin segera mengadakan rapat di sebuah rumah di Jalan Andalas. Di tempat ini mereka membentuk Panitia Kemerdekaan Daerah yang disebut Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Kalimantan Selatan. Dalam rapatnya malam itu KNI Daerah Kalimantan Selatan ini memutuskan:
1. Bahwa daerah Kalimantan Selatan menyatakan menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia.
2. Sebagai Residen diangkat Pangeran Musa Ardikusuma.

Lahirnya KNI Daerah Kalimantan Selatan ini tidak mendapat reaksi dari tentara Australia dan NICA. Tidak ada larangan terhadap KNI Daerah yang telah dibentuk tersebut, begitu juga terhadap keputusan-keputusannya yang telah tersiar luas di masyarakat. (bersambung)
Dengan terbentuknya KNI Daerah Kalimantan Selatan dan telah diangkatnya Residen Kalimantan Selatan Pangeran Musa Ardikusuma, rakyat di daerah ini tidak ragu-ragu lagi tentang berita Indonesia Merdeka. Hanya yang menjadi tanda tanya, apakah tentara Australia dan NICA yang ada di daerah ini benar-benar merestui kemerdekaan itu.

Sejenak perasaan lega dan gembira mengisi perasaan para pemimpin dan rakyat di daerah ini. Dari “Kompi X” tentara Australia yang ditugaskan di Kalimantan Selatan ini, rakyat telah mendapatkan informasi yang isinya menyatakan bahwa rakyat di daerah ini seharusnya bertindak “menurunkan bendera Belanda dan menaikkan bendera Merah Putih”, tetapi mengapa belum bertindak demikian. Tanpa ada prasangka dan dengan modal keyakinan bahwa kemerdekaan adalah hak milik bangsa Indonesia, maka rakyat Kalimantan Selatan akan melaksanakan perayaan kemerdekaan dan pengangkatan Residen serta peresmian berdirinya Pemerintah Republik Indonesia Daerah Kalimantan. Para pemuda beserta rakyat merencanakan perayaan itu pada tanggal 10 Oktober 1945 di semua daerah Kalimantan Serlatan, dengan acara: (1) Menurunkan bendera Belanda, (2) Menaikkan bendera Merah Putih, (3) Pawai keliling kota.

Ketika rakyat sudah berkumpul di lapangan (halaman Gubernuran sekarang) untuk melaksanakan acara tersebut, NICA dengan dibantu oleh pimpinan tentara Australia mengeluarkan larangan dengan disertai ancaman senjata. Adanya larangan yang tak diduga-duga oleh pihak NICA itu, membuka kedok tujuan orang-orang NICA yang datang membonceng rombongan tentara Australia tersebut. Rakyat yang kecewa dengan adanya larangan itu mulai bereaksi. Sehubungan dengan itu untuk menghindari pertumpahan darah, Kolonel Rabson dari tentara Australia mengundang Pengurus Besar PRI (Persatuan Rakyat Indonesia) untuk berunding guna menenteramkan keadaan yang semakin memanas. Dari perundingan itu diputuskan: (a) Pada hari itu rakyat dibolehkan mengadakan pawai keliling kota dengan membawa bendera dan lencana Merah Putih, (b) Di daerah-daerah (Hulu Sungai) rakyat boleh menaikkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Keputusan yang dipaksakan dan pelaksanaannya diawasi dengan senjata tersebut dilakukan juga oleh sebagian rakyat yang masih sanggup menahan emosi mereka. Di daerah-daerah, yaitu di Kandangan, Barabai, dan Amuntai, setelah melewati rintangan-rintangan tersebut, secara sederhana upacara menaikkan bendera Merah Putih dengan diiringi lagu Kebangsaan Indonesia Raya dilakukan juga sekedar tanda syukur Indonesia Merdeka.

Dari peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 oktober 1945 itu terlihat adanya peranan NICA yang diwujudkan melalui tentara Australia. Tentara Australia yang secara resmi bertugas atas nama Sekutu di daerah ini nyatanya pada waktu terjadi peristiwa tersebut mentaati dan mmbantu sepenuhnya komando NICA. Rahasia itu baru diketahui kemudian, bahwa ternyata waktu itu sudah ada keputusan penyerahan kekuasaan atas daerah Kalimantan Selatan dari tentara Australia kepada NICA, yakni sejak tanggal 1 Oktober 1945. Tetapi karena NICA merasa belum kuat, maka untuk sementara keputusan tentang penyerahan kekuasaan tersebut perlu dirahasiakan. Barulah pada tanggal 24 Oktober 1945 keputusan tersebut diumumkan oleh Sir Thomas Albert Blamey, Panglima Tertinggi Tentara Australia.

Dengan telah berkuasanya NICA secara resmi tersebut, rakyat menyadari bahwa Belanda ingin berkuasa kembali di daerah ini. DR. H.J. van Mook yang berhasil melarikan diri ke Australia ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 kemudian membentuk pemerintahan Hindia Belanda dalam pelarian, dan kini melakukan usaha-usaha licik untuk dapat mengover pemerintahan yang telah ditinggalkan oleh Jepang.

Setelah mengetahui bahwa Jepang telah menyerah van Mook di Australia menyiapkan Pemerintahan Civil Hindia Belanda (NICA). Kemudian dengan membonceng tentara Sekutu (Australia dan Inggris) mereka berhasil sampai di Indonesia. Dalam rangka hendak berkuasa lagi di Indonesia, maka sesudah tentara Sekutu meninggalkan Indonesia, van Mook melancarkan politik “federalisme”. Dengan cara mengemukakan tujuan-tujuan yang menarik seperti yang yang dilakukan van Mook di Konperensi Malino, Pangkal Pinang dan Denpasar. Van Mook berusaha mencegah agar daerah-daerah di Indonesia tidak akan menggabungkan diri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tindakan van Mook ini jelas hendak menggagalkan berdirinya Negara Indonesia yang telah diproklamirkan dengan wilayah meliputi daerah bekas Hindia Belanda dahulu.

Untuk menghadapi usaha-usaha van Mook tersebut di Kalimantan Selatan lahir bermacam-macam gerakan organisasi perlawanan bersenjata dan organisasi politik. Memasuki tahun 1946 di Kalimantan Selatan telah terdapat beberapa organisasi perlawanan bersenjata yang bertujuan mempertahankan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Organisasi-organisasi perlawanan tersebut, seperti:
1. BPRIK (Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan) di Banjarmasin, di bawah pimpinan M. Rusli cs.
2. GERMERI (Gerakan Rakyat Mempetahankan Republik Indonesia Kalimantan) di Banjarmasin, di bawah pimpinan Hasnan Basuki cs.
3. BPPKI (Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia) yang dibentuk berdasarkan instruksi dari Ir. Pangeran Muhammad Noor selaku Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di Yogyakarta. Organisasi ini untuk daerah Hulu Sungai dipimpin oleh M. Yusi cs., dan untuk daerah Martapura dipimpin oleh Gusti Saleh.
4. GERPINDOM (Gerakan Rakyat Pengejar Pembela Indonesia Merdeka) di Amuntai, dipimpin oleh Abdulhamidhan cs. Di Birayang telah berdiri pula GERPINDOM (Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka) dipimpin oleh Abdurrahman Karim cs.

Usaha-usaha NICA mendekati dan mengajak sementara para pemimpin rakyat untuk bekerja sama dengan mereka, menyebabkan ada beberapa tokoh rakyat yang meninggalkan perjuangan.Tapi rakyat bersama para pemimpin yang setia pada Proklmasi masih terus berjuang dengan segala kemampuan yang ada. Korban berguguran, namun semangat kemerdekaan terus mendorong untuk tetap melanjutkan perjuangan.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor yang berkedudukan di Yogyakarta memberikan bantuan dengan mengirimkan rombongan-rombongan ekspedisi ke daerah Kalimantan. Ekspedisi-ekspedisi bersenjata yang anggotanya terdiri dari putra-putra daerah yang berada di Jawa tersebut, antara lain: (1) Rombongan IX Pelopor BPRI (Barisan Pemberontak Indonesia). (2) Rombongan Mustafa Idham. (3) Rombongan Husin Hamzah. (4) Rombongan M.N. 1001 Tjilik Riwut.

Sementara itu di Haruyan (wilayah Kab. HST sekarang) lahir sebuah organisani bersenjata bernama “Lasykar Syaifullah”. Oganisasi ini tidak bertahan lama karena pimpinan-pimpinannya ditangkapi oleh Belanda. Tetapi dari reruntuhan organisasi ini dibangun kembali kelasykaran baru yang bernama “Banteng Indonesia” yang kemudian berkembang menjadi “ Batalyon Rahasia Angkatatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IVA.

Sementara itu ide federalisme van Mook yang menghendaki agar daerah Kalimantan melepaskan diri dari Pemerintah RI dan membentuk Negara Kalimantan yang tergabung dalam Indonesia Serikat, tetap mendapat tantangan rakyat di daerah ini. Di beberapa tempat rakyat mencetuskan mosi (pernyataan) bahwa daerah mereka masuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mosi-mosi rakyat tersebut, antara lain:
(a) Mosi rakyat Pagatan, Tanah Laut dan Tanah Bumbu, tanggal 6 Desember 1945.
(b) Mosi rakyat Pangkalan Bun (Kotawaringin), tanggal 17 Desember 1945.
(c) Mosi seluruh pegawai Pemerintah Kotawaringin, tanggal 27 Desember 1945.
(d) Keputusan dari Komite Nasional Indonesia Daerah Kalimantan Selatan.
Rakyat yang tergabung dalam partai SKI (Serikat Kerakyatan Indonesia) yang didirikan di Banjarmasin pada tanggal 19 Januari 1946 dibawah pimpinan Dr. D.S. Diapari, A.A. Rivai, A. Sinaga, secara tegas menolak menolak pembentukan Negara Kalimantan dan menghendaki daerah ini tetap menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Sikap SKI tersebut kemudian diperkuat oleh partai SERMI (Syarikat Muslimin Indonesia) yang kemudian berdiri di Banjarmasin tanggal 8 Desember 1946.

Dalam perjuangan selanjutnya kedua partai ini membentuk kerja sama politik yang rapi. Sehingga ketika NICA (Belanda) hendak membentuk Dewan Banjar, yang keputusan-keputusannya akan dianggap sebagai kehendak dari rakyat di daerah ini, kedua partai tersebut menyatakan ikut duduk dalam Dewan, dengan tujuan untuk menggagalkan apa yang menjadi tujuan Belanda.

Di samping itu kekuatan bersenjata yang telah terkoordinir dalam ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan Selatan, merupakan kemudi yang sangat menentukan. Ketika perjuangan dalam bidang politik tidak berhasil, dimana golongan pembela Proklamsi (kaum Republiken) dalam Dewan kalah suara, sehingga Dewan memutuskan akan membentuk Negara Kalimantan, maka tokoh-tokoh politik terutama yang pro Belanda menerima surat ancaman bahwa keselamatan mereka tidak terjamin apabila ikut mewujudkan keputusan Dewan tersebut. Karena itulah semua anggota Dewan pada umumnya bersikaf pasif. Sehingga tidak ada usaha lanjutan untuk mewujudkan pembentukan Negara Kalimantan tersebut. Dengan demikian sampai tercapainya persetujuan Konperensi Meja Bundar akhir tahun 1949, dimana Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, usaha NICA (Belanda) untuk membentuk Negara Kalimantan tidak berhasil.

Semua itu adalah hasil perjuangan mereka yang rela berkorban segala-galanya waktu itu. Dan ini adalah bukti sejarah bahwa rakyat di daerah Kalimantan Selatan dengan semangat pantang menyerah waja sampai keputing berjuang membela tegaknya Proklamasi 17 Agustus 1945.
Di usia kemerdekaan yang sudah sekian tahun ini, mereka pejuang-pejuang yang telah berkorban segala-galanya untuk negeri ini, umumnya telah tiada. Kita hormati mereka, kita teruskan cita-cita mereka, dengan ikut memberikan pengabdian membangun kemaslahatan bangsa dan negara. Hidayah hanya milik orang-orang yang mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya. (HRN, Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional)

Rabu, 28 Januari 2009

Sultan Adam




Ini sebuah lukisan mengenai Sultan Adam versi Belanda.
Sultan Adam adalah raja Banjar yang memerintah antara tahun 1825-1857.  Setelah kemangkatannya, terjadi perebutan kekuasaan diantara anak keturunannya yang berbuntut dengan meletusnya Perang Banjar yang dikobarkan oleh Pangeran Antasari.

Minggu, 11 Januari 2009

Sultan Suriansyah Raja Banjar




*** Sultan Suriansyah adalah raja Banjar Islam yang pertama. Salah satu peninggalan Sultan Suriansyah  adalah sebuah masjid yang kini masih bisa kita saksikan di Kampung Kuin.

PERMULAAN MASA PEMERINTAHAN SULTAN SURIANSYAH
DAN HARI JADI KOTA BANJARMASIN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Tahun lahir dan berdirinya kota Banjarmasin tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa-peristiwa yang mengawali masa-masa permulaan pemerintahan Sultan Suriansyah sebagai pendiri Kerajaan Banjar. Peranan Patih Masih yang memprakarsai pengangkatan Raden Samudera selaku putera mahkota yang terbuang pada masa itu turut mewarnai sejarah daerah ini. Bukankah istilah Banjarmasin itu sendiri berkaitan dengan kata "masih", gelar tokoh tersebut.

Patih Masih adalah penguasa bandar Olo Masih (orang Melayu). Siapa nama patih tersebut tidak pernah disebutkan dalam sejarah. Karena itu bukan tidak mungkin bahwa dari kata "bandar masih" inilah lahir istilah banjarmasin.

Namun "banjar" lebih rapat kaitannya dengan sistem perkampungan Olo Masih (Orang Melayu) dengan bangunan berbanjar menghadap sungai yang menjadi prasarana siklus kehidupan mereka sehari-hari. Rumah berbanjar merupakan merupakan ciri khusus dari kelompok Olo Masih yang berdiam di sepanjang sungai di bagian cabang kali Barito ini. Jadilah Banjar yang terdapat di Muara Cerucuk tersebut sebagai sebuah kampung Olo Masih, yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan "Banjarmasih". Lidah orang Belanda lah yang kemudian merubah Banjarmasih menjadi Banjarmasingh, akhirnya Banjarmasih.

Kapan Patih Masih merajakan Raden Samudera sebagai raja di daerah muara Sungai Barito ini, kiranya dapat ditelaah dari bagaimana hubungan peristiwa berdirinya Kerajaan Banjar tersebut dengan adanya bantuan Demak sebagai kerajaan Islam di Jawa yang giat melakukan penyebaran agama Islam pada waktu itu.

Tindakan Patih Masih bersama dengan Patih Muhur, Patih Balit, Patih Kuin dan Patih Balitung merajakan Raden Samudera di daerah Banjar mengundang pecahnya perang saudara. Pangeran Tumenggung sebagai sebagai penguasa di Negara Daha menyambut pengangkatan keponakannya tersebut dengan persiapan-persiapan untuk segera menyerang Banjar.

Patih Masih yang menyadari bakal terjadinya peristiwa perang tersebut menasihatkan kepda Raden Samudera untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Islam Demak. Ditulis dalam Hikayat Banjar bahwa Sultan Demak bersedia membantu dengan syarat sesudah memperoleh kemenangan maka Raden Samudera harus berislam. Demikianlah diceriterakan sesudah Raden Samudera memperoleh kemenangan dan dilakukan penyerahan tahta serta peralatan kerajaan, maka Raden Samudera diislamkan oleh seorang penghulu dari Demak. Selanjutnya oleh seorang pedagang Arab di Banjarmasin ia diberi nama Sultan Suriansyah.

Sampai dengan pengakuan dirajakannya Sultan Suriansyah sebagai raja pertama di Kerajaan Islam Banjar ini, Hikayat Banjar sebagai satu-satunya sumber tidak satupun mencantumkan tahun peristiwa yang terjadi di atas. Sehubungan dengan itu untuk mendapatkan tahun-tahun kejadian tersebut orang harus mengkaitkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang secara jelas mempunyai pertalaan-pertalaan yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan Kerajaan Demak tersebut.

Memang ada beberapa sarjana Barat yang mencoba menetapkan masa permulaan pemerintahan Sultan Suriansyah. DR. J. Eisen Berger menetapkannya pada tahun 1595 sampai 1620. Tahun-tahun ini yang banyak dikutip dalam buku-buku Sejarah Banjar sendiri, maupun dalam buku-buku Sejarah Indonesia. Namun perlu dicatat bahwa penetapan tersebut tidak sinkron dengan peristiwa lain yang berkaitan dengan kejadian di daeran ini. Karena pada tahun 1595 Kerajaan Demak yang disebut memberikan bantuan ketika Raden Samudera menegakkan Kerajaan Banjar, pada waktu itu sebenarnya sudah runtuh. Karena itu jelas tahun 1595-1620 sebagai masa pemerintahan Sultan Suriansyah tidak bisa dipakai.

Colenbrander menulis permulaan masa pemerintahan Sultan Suriansyah tahun 1520. Sementara J. Norlander menulis bahwa kuburan Sultan Suriansyah sudah ada sejak tahun 1550. Sedangkan J.J. Ras hanya menyebytkan pada sekitar abad ke 16.

Kalau kita lihat sejarah Demak sebagai kerajaan yang disebut telah memberikan bantuan kepada Raden Samudera ketika perang melawan Raden Tumenggung, maka ada dua orang Sultan Demak yang masyhur sesudah pemerintahan Raden Fatah selaku pendirinya. Raja-raja Demak yang telah mengadakan hubungan dengan daerah luar Jawa itu adalah Pati Unus (1518-1521) dan Sultan Trenggono (1521-1546). Sesudah itu di Demak terjadi pertentangan-pertentangan dalam merebutkan mahkota, sehingga akhirnya kerajaan runtuh dan lahir kerajaan baru yakni Kerajaan Pajang.

Tinggal lagi kita menelaah tahun-tahun 1520 sebagai permulaan masa pemerintahan Sultan Suriansyah menurut Colenbrander, dan tahun 1550 waktu meninggalnya Sultan Suriansyah menurut pendapat J. Noorlander serta sekitar pertengahan abad 16 menurut J.J. Ras. Berapa tahun Sultan Suriansyah memerintah di Kerajaan Banjar belum diketahui pasti pula. Eisenberger yang dalam usahanya mempelajari sejarah daerah ini  mencantumkan masa 25 tahun. Kalau ini yang dipegang, maka permulaan pemerintahan Sultan Suriansyah berkisar sekitar tahun 1525, yakni beberapa tahun setelah Sultan Tringgono naik takhta di Kerajaan Demak.

Drs. M. Idwar Saleh menulis tentang hari lahir kota Banjarmasin sebagai berikut: "Pemilihan dan penentuan hari-hari dihitung dengan teliti dan cermat, karena kalau salah bisa membahayakan orang atau negara sesuai mistik yang berlaku. Lagi pula dalam bulan puasa tidak boleh dijalankan kegiatan apa-apa kecuali ibadah yang ditentukan. Karena itu pengislaman besar-besaran rakyat dan raja Banjarmasin kalau dihitung menurut hari baiknya, kena hari Rabu Wage 4 Syawal Jumawal 1444 Ehe (4 Syawal 932 Hijriah, Sabtu Pon) atau 23 Juli 1526 antara jam 08.30 -13.00 tiga hari sesudah hari Raya Idul Fitri".

Tetapi karena beberapa pertimbangan pengislaman rakyat dan raja Banjarmasin belum dilaksanakan pada waktu itu. Sementara walaupun Raden Samudera mendapat bantuan dari tentara Demak, namun kedua pasukan dari Negara Daha dibawah Tumenggung dan Banjarmasin dipimpin Raden Samudera tidak menunjukkan mana yang lebih kuat. Karena itu Aria Trenggana (Patih Kerajaan daha) meminta agar Tumenggung dan Samudera saja yang bertempur dan siapa yang menang itulah yang menjadi raja.

Sehubungan dengan itulah Drs. M. Idwar Saleh menulis: "Oleh Raden Samudera dan pimpinan pasukan Demak hal ini disetujui, dan pada hari baik 8 Besar 1444 Ehe Sabtu Pon (8 Zulhijjah 932 H) atau 24 September 1526 antara jam 06.00-10.30 pagi berlangsung acara pertempuran terakhir antara Raden Samudera dengan Pangeran Tumenggung masing-masing berdiri di muka perahu telangkasan mereka masing-masing. Pengaruh hari baik ternyata menguntungkan Raden Samudera". Seperti diceriterakan dalam Hikayat Banjar bahwa ketika kedua perahu telangkasan yang mereka tumpangi tersebut bertemu Pangreran Tumenggung malah memeluk keponakannya tersebut, dan kemudian menyerahkan kekusaan dan segala peralatan kerajaan kepada Raden Samudera.

Tanggal, bulan dan tahun kemenangan Raden Samudera dalam perang melawan pamannya ini kemudian dijadikan patokan sebagai: a. permulaan pengangkatan Raden Samudera sebagai raja Banjar, b. hari, bulan dan tahun jadi kota Banjarmasin.

Ibukota Kerajaan Banjar tersebut kemudian dipindahkan ke martapura oleh Sultan Mustainullah raja Banjar ke empat. Schrieke menulis perpindahan ibukota ke Martapura tersebut terjadi pada tahun 1612.

Dengan ditetapkannya tanggal 24 September 1526 sebagai hari jadi kota Banjarmasin, maka ia tidak bisa dipisahkan dengan masa permulaan pemerintahan Sultan Suriansyah sebagai raja pertama di Kerajaan Banjar. Apakah masa pemerintahan Sultan Suriansyah ini dapat dikatakan antara tahun 1526-1550, tapi yang pasti harus tidak lagi ditulis antara tahun 1596-1620.
(HRN peneliti bidang sejarah dan nilai tradisional).

Sekilas Perjalanan Sejarah Kota Banjarmasin






***Kota Banjarmasin bermula dari sebuah kampung kecil bernama Kuin.

SEKILAS PERJALANAN SEJARAH KOTA BANJARMASIN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Dalam Hikayat Banjar jelas kata Banjar menunjukkan nama desa tertentu di sekitsr Cerucuk sekarang di samping desa Serapat, Balandian, Tamban, Belitung dan Kuin. Desa Banjar ini disebut pula Banjarmasin, karena tetuha desanya disebut Patih Masih.

Pada permulaannya Banjar di muara Cerucuk ini adalah sebuah kampung orang Melayu atau kampung Olo Masih. Setelah Raden Samudera yang kemudian bernama Sultan Suriansyah menjadi raja di Banjarmasin maka kampung orang Melayu ini berfungsi pula sebagai bandar, lengkapnya "Bandar Masih", kemudian menjadi ibu kota kerajaan yang baru di desa Kuin.

Pada tahun 1526 berdiri Kerajaan Banjarmasin, sekaligus menandai kemenangan Raden Samudera terhadap kerajaan pedalaman (Negara Daha). Perdagangan makin meningkat yang memungkinkan terjadinya kontak kultural dengan dunia luar dan tumbuhnya ekonomi komersial, maka kota Banjarmasih yang kemudian berubah sebutannya menjadi Banjarmasin menjadi kota dagang yang amat ramai dikunjungi oleh berbagai suku dan bangsa.

Banjarrmasin sudah menghasilkan Jung-Jung untuk pelayaran interinsuler dan interkontinental, terutama bagi pelayaran Jawa. Pelayaran perdagangan dan pembajakan laut meningkatkan kekayaan suatu kerajaan laut. Semua dasar-dasar politis dan ekonomis Kerajaan Banjar tumbuh dan berkembang dengan pesat. Pada abad ini yang memerintah adalah Sunan Batu Habang, Penembahan Batu Putih dan Penembahan Batu Hirang (gelar Sultan pertama, kedua dan ketiga).

Banjarmasin menjadi salah satu pusat migrasi suku-suku bangsa, baik Melayu maupun Jawa yang datang ke Banjarmasin akibat pergolakan politik dan peperangan di Indonesia Timurdi abat ke 17. Sebagai pusat kebudayaan yang utama daerah Maritim Kalimantan Selatan merupakan hasil proses akulturasi kebudayaan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Melayu, Jawa, Bugis dan lain-lain, dengan lapisan-lapisan bawah unsur-unsur kebudayaan Dayak dan orang orang Bukit.

Pada awal abad ke 17 VOC berusaha mengadakan kontak dagang dengan Banjarmasin. J.W. Verschor mengirim Koopman Gillis Michiels Zoon ke Banjarmasin. Pada tanggal 7 Juni 1607 ia tiba di Banjarmasin, dan diundang ke darat bersama anak buahnya, tetapi mereka dibunuh semuanya dan barang-barangnya di rampas. Lima tahun kemudian, tahun 1612 Belanda melakukan pembalasan, yang berakibat Banjarmasin hancur terbakar oleh tembakan-tembakan meriam dari kapal Belanda.

Mustainullah, yakni raja Banjarmasin keempat, memindahkan ibu kota Kerajaan Banjar ke Kayu Tangi Martapura. Alasannya tanahnya bertuah, tempatnya jauh di pedalaman, sehingga orang asing sulit untuk menyerang. Di Banjar Baru atau Banjar Hanyar mereka membuat bentenmg-benteng pertahanan terhadap serangan musuh. Hubungan dengan Belanda ini baru menjadi baik kembali setelah dalam tahun 1635 dibuat kontrak yang pertama dengan Belanda. Hubungan baik ini tidak berlangsung lama.

Pertengahan abad ke 17 pemerintah terbagi dua, yaitu Pangeran Ratu tetap bertahta di Martapura dan Pangeran Surianata bertahta di Banjarmasin. Banjarmasin menjadi pusat pemerintahan Pangeran Surianata yang menyebut dirinya Sultan Agung, mengawasi ramainya perdagangan, tambang-tambang emas di pedalaman, hasil kebun lada dan sebagainya, sehingga pelabuhan Banjarmasin amat ramai.

Pada awal ke 18 daerah Kuin pusat pemerintahan dibakar oleh rakyat sendiri untuk mengusir orang Inggeris yang ingin tetap bertahan di Banjarmasin. Karena itu pusat kegiatan kota dipindahkan 6 mil ke hulu yakni ke pulau Tatas. Dalam kontrak tahun 1747, Belanda kembali ke Banjarmasin membuat loji di pulau Tatas. Belanda berhasil mendapat tanah untuk membuat Fort Tatas.

Dalam abad ke 19 wilayah kekuasaan pemerintahan Banjarmasin dipersempit oleh Sultan Adam dalam perjanjian tambahannya dengan pihak Belanda pada tahun 1854. Wilayah kerajaan dibatasi oleh sungai Banjar (anak sungai Barito) di sebelah barat, sebelah timur oleh pegunungan Meratus dan sebelah selatan oleh Gunung Pamaton. Kekuasaan sultan ini terbatas sejak tahun 1826. Menurut ketetapan itu pengangkatan Sultan dan Mangkubumi harus disetujui pihak Belanda. Dalam daerah-daerah yang telah diserahkan kepada pihak Belada dibentuk suatu poemerintahan yang pada pertengahan abad ke 19 digabung menjadi "Gouvernement van Borneo" yang berpusat di Banjarmasin sebagai ibu kotanya. Sekalipun demikian dalam wilayah yang dikuasai Sultan sistem pemerintahan tradisional masih tetap berlaku dan merupakan patokan terpenting dalam Kerajaan Banjar.

Pada akhir hidup Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidillah diangkat sebagai raja oleh Belanda, tetapi bertentangan dengan wasiat Sultan Adam yang menetapkan Pangeran Hidayatullah sebagai penggantinya. Peristiwa itu membangkitkan semangat rakyat untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari Kerajaan Banjar. Di bawah pimpinan Pangeran Antasari Perang Banjar berlangsung dari tahun 1859 sampai dengan tahun 1905.

Untuk mengatasi dan menghadapi Perang Banjar ini pihak Belanda bertindak menurunkan Sultan Tamjidillah sebagai raja pada tanggal 25 Juni 1859, karena Sultan Tamjidillah dianggap penyebab Perang Banjar berlangsung dan memberikan kesempatan kepada Pangeran Hidayatullah untuk menjadi raja. Akan tetapi Hidayatullah tidak menampakkan diri. Maka pada tanggal 11 Juni 1869, Kerajaan Banjar dinyatakan telah dihapus melalui pengumuman Nieuwenhyzen di Banjarmasin. Semua bekas wilayah Kerajaan Banjar disatukan menjadi wilayah Hindia Belanda yang disebut Zuider en Oosterafdeeling van Borneo.

Kota Banjarmasin makin terkenal, karena kota ini menjadi ibu kota distrik Banjarmasin, sekaligus menjadi ibu kota onderafdeling Banjarmasin, dan menjadi ibu kota Resedentie nuider en oosterafdeling van Borneo sampai tahun 1937. Pada tahun 1938 menjadi ibu kota Gauvernement Borneo tempat kedudukan seorang Gubernur Belanda dengan dr. J. Haga sebagai Gubernur Belanda yang pertama dan terakhir sampai dengan tahun 1942.

Selain itu Banjarmasin menjadi penting dalam arus lalu lintas pelayaran dan perdagangan di Indonesia Tengah. Kapal-kapal layar dan api masuk dan keluar sampai ke pelabuhan Bnanjarmasin. Jika air surut kapal-kapal agak sulit memasuki pelabuhan di dalam kota, kecuali air pasang nauk kapal-kapal dan perahu-perahu layar dapat dengan mudah ke luar dan masuk pelabuhan Banjarmasin. Pelabuhan Banjarmasin terletak di Sungai Martapura, yaitu sebuah anak sungai Barito. Untuk memasuki sungai Martapura menuju pelabuhan dan kota Banjarmasin harus melalui beberapa tikungan dan rintangan, kira-kira 20 km panjangnya dari muara sungai Barito. Masuk arah ke kota Banjarmasin, akan menemui Kampung Mantuil dan Basirih tempat terapung di atas air. Dalam periode ini jalan-jalan darat masih kurang, sehingga jalan air besar peranannya.

Pusat-pusat kota dari pelabuhan, memanjang sampai sampai sungai Martapura, Pasar Baru, Kediaman orang-orang Belanda, Fort Tatas, dan Pasar Lama. Di daerah pelabuhan berderet kantor-kantor dinas duane dan bangunan pangkalan pelabuhan yang letaknya membelakangi sungai Martapura. Kapal-kapal terletak pada sisi barat dan perahu-perahu terletak pada sisi timur. Pelabuhan ini mengadakan hubungan tiap 14 hari sekali dengan kapal dinas KPM Jakarta – Surabaya – Banjarmasin yang bermuatan 200 ton, dan seminggu sekali dari Singapura – Ujung Pandang Surabaya melalui Banjarmasin ke Samarinda. Firma milik orang Cina mempunyai kapal yang digerakkan dengan tenaga uap berkekuatan 800 ton brutu yang mengadakan hubungan tiap 14 hari sekali antara Banjarmasin – Singapura - Banjarmasin. Pelabuhan Banjarmasin menjadi pusat transito dagang ke Barito daerah dusun dan hulu sungai. Hubungan dagang langsung diadakan dengan Singapura, Jawa dan Sumatera. Keadaan ekonomipun makin maju, karena tiap kapal yang datang membawa barang-barang impor, sedangkan kapal yang berangkat mengangkut barang-barang ekspor.

Di Mantuil ada "seimport" dihubungkan teleponis dengan pelabuhan Banjarmasin, ditempatkan garnizoon batalyon yang memelihara keamanan untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, di samping sebuah detassemen. Di Fort Tatas dibangun sebuah rumah sakit modern. Industri hanya meliputi pabrik es, bengkel dan dok untuk kapal-kapal kecil yang dikuasai oleh Borneo Industri Maatschappij. Sedangkan firma-firma yang ada terdiri dari: Borneo Sumatera Handels Maatchappij, Henneman & Co, Agen Javasche Bank dan Agen Factory.

Pada masa kekuasaan Jepang, tampaknya tidak ada perubahan, karena sebelum Jepang memasuki kota Banjarmasin Belanda telah melakukan pembumihangusan. Pasar Baru menjadi lautan api , Fort Tatas dihancurkan, Pelabuhan, gedung-gedung pabrik dan ANIEM listrik hanya tinggal fondasi. Jembatan Coen diledakkan oleh Belanda, yang kemudian diperbaiki kembali oleh Jepang dengan penggantian nama Jembatan Jamat.

Dalam tahun 1943 saluran air minum diresmikan di Banjarmasin, yang selama pemerintahan Belanda tidak terlaksana, terkenal dengan nama Coerdo. Demikian pula rumah sakit umum di Fort Tatas dipindahkan ke jalan Ulin km 1 pada tahun 1944. Tanggal 9 Nopember 1945 meletuslah pertempuran pertama di Banjarmasin. Kota Banjarmasin mengalami kerusakan akibat sabotasi, seperti pembakaran pelabuhan Bnajarmasin dan Landasan Ulin. Kemudian pada tahun 1946 – 1949 Belanda membangun kembali pelabuhan lama, Fort Tatas dan Landasan Ulin.

Para Pedagang Intan Perintis Komunitas Warga Banjar di Kesultanan Yogyakarta

PARA PEDAGANG INTAN, PERINTIS KOMUNITAS WARGA BANJAR DI KESULTANAN YOGYAKARTA

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

A. Kegiatan Dagang Masyarakat Banjar

Seiring dengan lahirnya Kerajaan Banjar tahun 1526 maka dalam kehidupan masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk limas. Lapisan yang paling atas adalah golongan penguasa, yang terdiri dari kaum bangsawan atau bubuhan raja-raja, yang sebagian memangku jabatan birokrasi dan sebagian lagi sebagai pedagang atau pemilik usaha. Di bawahnya, yakni lapisan kedua terdapat golongan ulama dan para pejabat urusan keagamaan kerajaan, seperti Mufti (hakim agama), penghulu dan pembantu-pembantunya. Lapisan yang ketiga adalah golongan pedagang yang jumlahnya cukup besar.

Sejak awal berdirinya Kerajaan Banjar sudah banyak para pedagang Banjar yang berlayar membawa dagangan terutama hasil bumi ke pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Orang Banjar juga membuat sendiri jung (perahu) dari kayu ulin (kayu besi) untuk berlayar mengarungi lautan. Para pedagang Banjar yang mewarisi jiwa dagang moyangnya itu kemudian selain banyak berusaha di daerah sendiri, juga terdapat di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka mempunyai hubungan tetap dengan pedagang-pedagang dari luar seperti dari Jawa, Makassar (Bugis), Melayu, Cina dan Arab. Mereka umumnya mempunyai kapal layar sendiri untuk membawa barang dagangan berupa hasil bumi dan hasil tambang ke luar Kalimantan. Apalagi usaha berdagang dipandang terhormat dalam masyarakat Banjar. Pengaruh pedagang kaya cukup besar dalam masyarakat. Para pedagang Banjar dulu dikenal sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi adat leluhur, cinta sesama makhluk, serta belas kasihan pada yang lemah ( Amir Hasan Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan: 90).

Sedangkan lapisan terbawah dalam struktur masyarakat Banjar yang jumlahnya terbesar terdiri atas para petani, juga para pedagang kecil, nelayan, usaha kerajinan, industri rumah tangga dan pertukangan. Dalam kelompok inipun tidak sedikit orang Banjar yang hidup dalam kegiatan perdagangan, walaupun sifatnya dalam lingkup perdagangan lokal atau sebagai pengencer. Sehingga dalam masyarakat Banjar umumnya kehidupan dagang dengan berbagai liku-likunya merupakan dinamika yang berlangsung di masyarakat.

Jenis barang dagangan yang dibawa pedagang Banjar ke luar Kalimantan atau yang dibeli pedagang dari luar adalah berupa hasil perkebunan rakyat terutama kopra, karet dan lada. Tanaman lain seperti buah-buahan karena tidak tahan lama umumnya tidak bisa dibawa berlayar ke luar pulau, hanya pisang yang diperjualbelikan dengan pedagang dari luar. Hasil hutan yang termasuk eksport adalah rotan dan damar. Sementara dari hasil perkebunan swasta yang menjadi bahan eksport juga karet di samping kopi. Sedangkan dari hasil tambang yang banyak terdapat di Kalimantan Selatan yang diperjualbelikan ke luar adalah minyak, batu bara, serbuk emas, biji besi dan tembaga.( RZ Leirissa, Sejarah Sosial Daerah Kalsel: 43).

Salah satu hasil tambang yang banyak diperjualbelikan pedagang Banjar ke berbagai kota di Indonesia terutama di Jawa dan Singapura adalah intan dan berlian. Beda intan dengan berlian adalah dari segi kualitasnya, yakni berlian lebih bersih dan lebih berkilau, sehingga harganya lebih mahal. (H. Harun Arsyad, wawancara ).

Barang-barang yang umumnya dari daerah pedalaman tersebut merupakan barang-barang ekspor. Ekspor dilakukan ke daerah-daerah di Pulau Jawa, Cina, Pulau Pinang, Malaka, Riau, Makassar, Maluku, Bali dan lain-lain. Intan dan berlian di ekspor juga menurut ukuran mutunya ke luar Kalimantan. Sedangkan barang-barang impor ke Banjarmasin antara lain: beras, garam, asam, bawang, minyak, tembakau, benang hitam, benang merah, kain lena putih dan lena hitam, pakaian jadi, kain dan pakaian batik, gula pasir, gambir, obat-obatan, besi, timah, timah hitam, koper atau tas, kain hitam, belau, kain kapan, ikat pinggang dan lain-lain. (RZ Leirissa,: 86).

Pekerjaan berdagang memang merakyat di kalangan orang Banjar. Semua itu lahir dari adanya kekayaan alam yang melimpah dan pemahaman masyarakat tentang nilai pekerjaan yang berfungsi untuk memenuhi keperluan orang lain tersebut. Bumi Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan memiliki kekayaan alam yang terdiri atas berbagai hasil perkebunan, berbagi hasil hutan, serta berbagai hasil tambang yang laku diperjualbelikan di berbagai kota dan pelabuhan di Nusantara bahkan dicari oleh para pedagang dari luar negeri.

Faktor berlimpahnya kekayaan alam Kalimantan Selatan dan pemahaman tentang kedudukan sebagai pedagang serta nilai amaliah yang diberikan dalam melaksanakan usaha dagang ini membuat pekejaan dagang menyatu dengan karakter orang Banjar.

Sementara kehidupan orang Banjar yang kesehariannya tidak terpisah dengan kehidupan air yang umumnya mereka bermukim di sepanjang aliran sungai-sungai di negeri ini, sehingga tumbuh pula kemampuan membuat perahu dan terampil menggunakannya. Faktor ini turut mendorong para pedagang Banjar untuk merantau berlayar membawa barang dagangan mereka ke berbagai pelabuhan di pantai utara Jawa dan beberapa pelabuhan di Sumatera, bahkan ke Malaka dan Singapura.

Perjalanan sejarah masyarakat Banjar yang menempatkan pekerjaan dagang benilai amaliah dan telah membentuk karakter dagang dalam kesehariannya memberikan predikat orang Banjar berjiwa dagang. Sehingga memberikan kesan segala sesuatu senantiasa diukur dari untung rugi. Sampai ada anggapan siapapun raja atau penguasa di Banjar akan dipatuhi selama yang bersangkutan tidak membatasi kebebasan kehidupan dagang orang Banjar.

Umumnya orang Banjar berjiwa dagang mungkin ada benarnya, tetapi semata-mata diukur dari untung rugi dan tak boleh ada pembatasan dalam berdagang tidaklah sepenuhnya benar. Kehidupan orang Banjar yang mewarisi kehidupan agamis yang telah ditanamkan oleh seorang tokoh ulama sejak abad 18 Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari cukup memeberikan rambu-rambu bagaimana orang Banjar dalam berdagang. Ajaran bahwa pekerjaan dagang bernilai mulia bagi orang Banjar memiliki dimensi lain yang membedakannya dengan aktivitas dagang dari daerah lain pada umumnya.

Para pedagang Banjar dalam melakukan transaksi jual beli umumnya tidak akan meninggalkan rukun-rukunnya. Dalam masyarakat Banjar tanda kesepakatan jual beli terbiasa dengan ucapan juallah (aku jual) dan tukarlah (aku beli) oleh penjual dan pembeli barang. Lafadz yang diucapkan oleh penjual dan pembeli tersebut adalah akad kesepakatan yang bagi orang Banjar merupakan rukun jual beli yang tidak boleh ditinggalkan. Rukun yang lainnya seperti keberadaan penjual dan pembeli umumnya sudah terpenuhi apabila kedua pihak melakukan lafadz jual beli. Sedangkan rukun keberadaan barang yang meliputi kualitas barang, kehalalan, kemanfaatan, hingga kepemilikan barang, umumnya terpenuhi melalui dialog antara pembeli dan penjual sebelum ada kesepakatan.

Budaya jual beli yang mengacu pada syariat Islam yang tertanam dalam masyarakat Banjar ini dapat ditemukan dalam transaki jual beli yang berlangsung di pasar-pasar tradisional di Kalimantan Selatan. Sementara ketika telah terjadi perkembangan sistem pasar dengan lahirnya toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan , maka akad jual beli umumnya tidak lagi dilafadzkan, hanya cukup dengan adanya kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli tentang harga dan barang yang diperjualbelikan. Namun untuk jual beli barang atau benda yang nilainya tinggi seperti sebidang tanah, rumah, dan benda-benda lain yang berharga mahal, orang Banjar merasa tidak afdal bahkan menganggap tidak sah kalau taransaksi jual beli tersebut tidak diakadkan dengan dilafadzkan.

B. Para Penggurijaan Banjar Mencari Pembeli Intan dan Berlian di Ibukota Kerajaan Solo dan Yogya

Intan dan berlian adalah salah satu hasil tambang di Kalimantan Selatan yang menjadi usaha untuk kehidupan bagi sebagian masyarakat Banjar, baik sebagai pencari (pendulang) atau sebagai pedagang yang memperjualbelikannya. Usaha mendulang kedua bahan tambang ini sampai saat ini umumnya masih menjadi mata pencaharian sambilan di samping bertani bagi masyarakat di kawasan Kabupaten Banjar. Di beberapa kampung (desa) yang termasuk dalam kabupaten tersebut seperti Kampung Cempaka, Karang Intan, Awang Bangkal, Sungai Besar dan Matraman, terdapat usaha kegiatan pendulangan yang dilakukan secara berkelompok-kelompok. Kampung-kampung tersebut dikenal sebagai lokasi yang banyak mengandung batu intan maupun berlian

Mendulang adalah mencari intan dengan jalan menggali tanah. Lubang galian tersebut bermacam-macam, ada lubang surut yang dalamnya sekitar 2 meter, ada lubang sedang yang dalamnya antara 5 – 7 meter, dan ada lubang dalam yang dalamnya sekitar 15 meter. Dalamnya lubang ini umumnya tergantung pada keadaan tanah, Karena yang penting dalam galian tersebut harus sampai ke lapisan batu ampar di mana ditemui batu-batu yang kadang-kadang berisi intan dan berlian. Pendulangan juga ada yang dilakukan di tepi-tepi sungai atau di guntung-guntung anak sungai. Para pendulang percaya pada malim yang ahli memeriksa tanah apakah mengandung intan atau tidak. Apablia syarat-syarat yang dikatakan seorang malim cukup, barulah para pendulang mulai bekerja. (Amir Hasan Bondan: 109).

Para pendulang yang mengerjakan satu lubang biasanya berjumlah sekitar 5 orang. Mendulang intan memerlukan kesabaran dan keuletan. Mereka kadang-kadang bekerja berbulan-bulan lamanya tidak mendapatkan satu bijipun intan atau berlian, namun biasanya mereka tidak berputus asa dan terus bekerja, hingga akhirnya dapat juga beberapa butir intan mentah. Sebutir intan mentah yang beratnya 2 karat kalau sudah digosok menjadi kurang lebih satu karat. Hasilnya umumnya sudah dibeli para pedagang di tempat pendulangan dalam keadaan mentah. Hasil penjualan tersebut dibagi sama setiap orang dalam kelompok tersebut. Umumnya hasil yang didapat para pendulang intan dan berlian dalam kegiatan mendulang tidak seberapa. Kecuali mereka yang mendapatkan biji intan atau berlian yang beratnya berpuluh-puluh karat, dan hal itu jarang sekali terjadi.

Lain halnya dengan para pedagang intan dan berlian, mulai dari mereka yang membeli yang masih dalam keadaan mentah, apalagi bagi para pedagang yang membeli sudah digosok dan memasarkannya bahkan sampai ke Pulau Jawa atau ke Singapura. Mereka umumnya orang-orang berduit yang punya modal, atau setidak-tidaknya sebagai seorang sales kepercayaan dari seorang pebisnis intan dan berlian dari kota Martapura atau Banjarmasin. Para pedagang intan dan berlian yang memasarkan barang-barang tersebut dengan secara langsung menawarkan kepada pembeli, mereka disebut penggurijaan. Para penggurijaan ini umumnya hanya bermodal kecil, barang dagangan yang mereka bawa intan dan berlian serta barang perhiasan dari emas lainnya umumnya barang titipan pedagang kaya sebagai barang dagangan. Selain para pedagang kaya banyak pula para penggurijaan yang membawa barang dagangan intan dan berlian ke kota-kota besar di luar Kalimantan. Kota-kota yang banyak dikunjungi mereka umumnya kota-kota di Pulau Jawa, seperti Surabaya, Semarang, Jakarta, Bandung, dan Surakarta. (H. Harun Arsyad, wawancara).

Para pedagang intan dan berlian yang berkunjung ke Surakarta umumnya mereka datang melalui Surabaya. Kalau di kota-kota besar lainnya para pedagang berlian menawarkan barang-barangnya kepada para pedagang pemilik toko emas, maka pedagang intan berlian yang datang ke kota Surakarta (Solo) selain menghubungi toko-toko emas yang ada juga mereka mengadakan hubungan dengan keluarga kerajaan serta orang-orang Belanda yang banyak mengoleksi permata-permata mahal tersebut.

Kedatangan pedagang-pedagang intan berlian dari Banjarmasin ke Surakarta (Solo) mulai ramai sejak kota ini menjadi ibu kota Kerajaan Mataram (1746). Para pedagang intan berlian yang datang ke Surakarta menjadi bertambah ramai ketika para penggurijaan banyak pula yang mengadu nasib ke kota kesunanan ini. Karena berdagang intan berlian oleh para penggurijaan ini mereka harus mencari pembeli untuk mendapatkan harga yang menguntungkan, maka umumnya melalui proses berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Karena itu mereka banyak yang kemudian tinggal di kota Surakarta harus mengontrak rumah, atau bahkan kemudian mereka membeli runah di kota ini. Demikian proses berlangsung sehingga akhirnya banyak orang Banjar yang bermukim di kota Surakarta. Mereka itu banyak tinggal di kawasan Jayengan di tengah kota Surakarta.

Di antara pedagang intan berlian yang kemudian bermukim di kota Surakarta ini bernama Anang Atu. Seorang putra Anang Atu yang mengikuti jejaknya menggeluti perdagangan intan berlian bernama H. Yusuf yang mendirikan gudang penggosokan intan berlian di Kampung Jayengan Solo yang penduduknya umumnya sudah warga dari Banjar. Usaha penggosokan intan dan berlian yang terdapat di Kampung Jayengan tersebut bernama Penggosokan Intan M. Saleh Yusuf, diambil dari nama anaknya yakni Muhammad Saleh.

Penggosokan intan milik H, Yusuf tersebut memiliki beberapa alat penggosokan intan tradisional, yakni alat gosok yang untuk memutar batu penggosoknya digunakan bekas roda sepeda yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa digerakkan dengan enjotan kaki. Para penggosoknya semuanya berasal dari warga Banjar yang tinggal di Kampung Jayengan Solo. Sedangkan bahan mentah intan maupun jenis berlian yang digosok selain berasal hasil pendulangan dari Banjar juga ada yang dibeli dari pedagang-pedagang Belanda yang datang dari Eropah (M. Saleh, wawancara).

M. Saleh putra H. Yusuf pemilik penggosokan intan di Jayengan ini ketika sudah menamatkan pendidikannya di Mambaul Ulum Solo kemudian membantu ayahnya menjadi penjual intan dan berlian ke bebagai kota di pulau Jawa. Kota-kota besar yang menjadi pemasaran intan atau berlian hasil penggosokan di Jayengan tersebut antara lain Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Yogyakarta. Menurut M. Saleh untuk membawa dan menjual intan barang hasil gosokan usaha orang tuanya ke Yogyakarta dengan naik kereta api, kadang-kadang pulang-pergi, sesekali juga menginap.

Yogyakarta mulai ramai dikunjungi pedagang intan dan berlian sejak kota ini menjadi ibu kota Kesultanan Ngayogyakata, yakni kesultanan baru pecahan dari Kerajaan Mataram Surakarta. Dengan adanya Perjanjian Gianti (1755) Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I menjadi raja pertama di Ngayogyakarta. Seperti halnya Surakarta sebelumnya yang menjadi ibu kota Kerajaan Mataram, maka Yogyapun semakin ramai dikunjungi para pedagang termasuk para pedagang Belanda. Di antara para pedagang Belanda tersebut banyak juga yang ikut berjual beli batu permata terutama intan dan berlian. Di samping itu keluarga kraton sendiri banyak yang suka mengoleksi batu-batu permata.

Situasi kehidupan di Yogyakarta yang semakin ramai perdagangannya itulah yang akhirnya mengundang pedagang-pedagang intan dari Banjarmasin semakin banyak di kota tersebut. Beberapa di antara para pedagang Banjar ini sudah mulai ada pula yang menetap di Yogyakarta. Mereka umumnya tinggal di Kawasan Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo, di mana sehari-hari mereka melakukan kegiatan jual beli barang dagangannya (H. Harun Arsyad, wawancara).

Sementara itu pula para pedagang intan dan berlian dari Banjar baik yang sudah menetap di Kampung Jayengan Solo maupun yang masih pulang pergi Banjarmasin-Solo juga sudah banyak yang berjualan ke Pasar BeringharjoYogyakarta. Intan dan berlian hasil penggosokan di Jayengan yang dikerjakan orang-orang dari Banjar juga dipasarkan ke Yogyakarta di samping ke kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa. M. Saleh putra H. Yusuf yang membawa dagangan ke Yogyakarta kadang-kadang menginap di rumah keluarga, karena saat itu sudah ada beberapa pedagang Banjar yang menetap di Yogyakarta yang di antaranya masih ada hubungan keluarga dengan orang tuanya (M. Saleh, wawancara).

Memasuki tahun 1900-an para pedagang batu mulia asal Banjarmasin yang tinggal di Yogyakarta juga sudah ada beberapa orang yang melakukan usaha penggosokan intan secara tradisional di rumah-rumah mereka. Kegiatan penggosokan intan terdapat di beberapa rumah warga Banjar yang bermukim di Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo (H.M. Rozi Amin, wawancara).

Dengan makin ramainya perdagangan batu mulia di Yogyakarta semakin ramai pula para pedagang intan dari Banjar yang datang membawa dagangannya ke kota tersebut. Sehingga dalam beberapa tahun kemudian warga Banjar sudah banyak yang menetap di beberapa kampong di Yogyakarta, seperti di kampong Suryatmajan, Kauman, Tegalpanggung, Gembelaan, Cokrodirjan, bahkan secara sporadis tersebar di beberapa kampung lainnya (H. Harun Arsyad, wawancara).

C. Komunitas Banjar di Negeri Kesultanan ini Masih Mewarisi Kehidupan Islami

Para pedagang intan dan berlian asal Banjar baik yang bermukim di Kampung Jayengan Solo maupun yang tinggal di kampung Katandan Yogyakarta, sebagai komunitas pertama warga Banjar di kedua kota tersebut umumnya berasal dari kota intan Martapura. Kota Martapura sendiri sejak masa Kerajaan Banjar sudah dikenal sebagai kota serambi Mekah, karena penduduknya umumnya taat beragama. Kota Martapura dikenal selain sebagai ibu kota Kerajaan Banjar juga merupakan pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan.

Ajaran Islam yang menyebar dari Martapura ke berbagai pelosok di Kalimantan tersebut erat kaitannya dengan usaha yang dilakukan oleh seorang ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada abad ke 19 yang lalu. Sebagai pewaris ulama besar penyebar Islam tersebut membuat warga Martapura dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat dalam menjalankan ibadah. Karena itulah di mana ada sekelompok warga Banjar asal Martapura bermukim, di tempat itu ada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti perkumpulan pengajian agama, perkumpulan pembacaan Surah Yasin, perkumpulan pembacaan barzanji, dan lainnya.
Ketaatan dalam melaksanakan ibadah wajib atau fardhu ‘ain seperti shalat lima waktu bagi warga Martapura sesuatu yang mereka lakukan di manapun berada.

Tuntutan adanya tempat yang memadai dan resmi untuk melaksanakan ibadah tersebut, kemudian secara gotong royong membangun tempat ibadah berupa langgar (mushalla). Mula-mula umumnya hanya warga Banjar yang tinggal disekitarnya merupakan jamaah tetap dalam setiap melaksanakan shalat berjamaah. Baru kemudian warga sekitar lainnya baik warga asli atau pendatang lainnya ikut meramaikan tempat ibadah tersebut. Seperti halnya yang terdapat di Kampung Jayengan Solo, langgar warga Banjar tersebut kemudian difungsikan sebagai masjid dengan nama Masjid Darussalam pada tahun 1911.

Demikian pula warga Banjar yang sudah bermukim di di Yogyakarta, mereka yang umumnya melakukan kegiatan dagang di Psar Beringharjo ini bersepakat untuk mengusahakan didirikannya musalla yang tidak jauh dari tempat mereka berjual beli. Sebagai pedagang batu mulia beberapa warga Banjar asal Martapura ini mempunyai hubungan dekat dengan para pedagang atau pengoleksi batu-batu permata dari keluarga Kesultanan Ngayogyakarta.

Melalui kalangan pedagang keluarga kerajaan inilah para pedagang Banjar yang disponsori oleh H. Hasan kemudian melakukan pendekatan kepada Sultan Yogya untuk mendapatkan ijin membangun mushalla yang letaknya tidak jauh dari Pasar Beringharjo. Dalam tahun 1940-an sewaktu Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah memangku sebagai Sultan Ngayogyakarta, ketika utusan Banjar dengan diantar seorang keluarga kraton menghadap sultan ke istana, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghadiahkan sebidang tanah untuk pembangunan mushalla di kawasan Kampung Katandan. Di lokasi itulah para pedagang asal Banjar dengan berswadaya dan bergotong royong kemudian dapat membangun sebuah mushalla kecil ukuran 8m x 8m yang dikenal sebagai Langgar Kalimantani (H.M. Rozi Amin, wawancara). Nama Kalimantani tersebut semula diberkan oleh Bapak Andik, tetuha warga Banjar di Yogyakarta waktu itu.

Dalam tahun 1950 karena jamaah yang bershalat di masjid ini, terutama dalam pelaksanaan shalat Zuhur, warga Banjar pengelola dan jamaah mushalla ini sepakat meningkatkan fungsinya menjadi Masjid Kalimantani. Sebutan Kalimantani yang dipakai utuk nama langgar dan kemudian nama masjid warga Banjar di Kampung Katandan Yogya ini kemudian pada tahun 1953 diganti dengan nama Masjid Quwwatul Islam. Perubahan nama menjadi Masjid Quwwatul Islam tersebut atas usul K.H. Anwar Musaddad seorang warga Banjar yang ketika itu menjadi ketua takmir masjid.

Bersamaan dengan itu pula dilakukan penambahan bangunan masjid pada bagian timur seluas 8m x 6m. Karena warga sekitar serta para pedagang lainnya yang ikut shalat Jum’at semakin banyak, kemudian tanah sisi utara masjid yang luasnya sekitar 12m x 8m diberi atap guna menampung jamaah yang ikut shalat Jum’at di Masjid Quwwatul Islam yang terletak di Jalan Mataram No.1 di pusat kota Yogyakarta ini.

Menurut H. Harun Arsyad warga Banjar kelahiran Martapura tahun 1927 yang mulai menetap di kampung Patuk Yogyakarta sejak tahun 1953, sudah tradisi orang Banjar di mana mereka bermukim selalu ada pengajian agama bersama. Biasanya pengajian itu diselenggarakan seminggu sekali yang tempatnya bergantian di rumah para pesertanya. Bagi masyarakat yang tinggalnya dekat langgar atau masjid maka biasanya mereka menyelengarakannya di tempat ibadah tersebut.

Karena itu ketika H. Harun Arsyad pertama datang di Yogyakarta, waktu itu warga Banjar yang tinggal di Kampung Katandan sudah melaksanakan kegiatan Yasinan pada setiap malam Jum’at di masjid orang Banjar tersebut. Sementara itu pada malam lainnya ada pengajian mingguan untuk memperdalam dan menambah pengetahuan keislaman yang dilakukan setelah shalat Magrib sampai dengan Isya. Di samping itu sudah tradisi pula adanya kegiatan tadarus Al Qur’an pada setiap malam di bulan Ramadhan. Serta ada pengajian-pengajian umum yang mengikutsertakan warga kampung sekitar pada peringatan atau perayaan Hari-Hari Besar Islam setiap tahun (H. Harun Arsyad, wawancara).

Bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di Masjid Quwwatul Islam yang dulu bernama Kalimantani ini, juga telah dialami oleh Drs. H.M. Rozi Amin, warga Banjar kelahiran Yogyakarta tahun 1949. Kakek dan nenek Rozi Amin asli Martapura yang membawa orang tuanya bermukim di Yogyakarta. Sejak kecil ia sering ikut orang tuanya shalat di masjid warga Banjar ini. Ketika remaja ia ikut aktif dalam kegiatan remaja masjid. Dan kini Rozi Amin menjabat Ketua Takmir Masjid Quwwatul Islam.

Menurutnya sejak dulu sampai sekarang ketua takmir ini selalu dipegang oleh orang Banjar, hal ini untuk tidak melupakan asal usul berdirinya yakni oleh para pedagang asal Banjar (Kalimantan Selatan), walaupun sekarang dibantu dari warga sekitar bahkan ada juga dari warga asal daerah-daerah lain yang tinggal di Yogya. Kegiatan keagamaan di masjid tetap berlangsung seperti sejak dulu, dan untuk kegiatan-kegiatan pengajian pada Hari-Hari Besar Islam takmir umumnya berkerja sama dengan Warga Banjar yang tergabung dalam organisasi Kakabayo (Kerukunan Kulawarga Banjar-Yogya). (HRN peneliti sejarah & nilai tradisional).