Kamis, 01 Oktober 2009

Foto sebagian dari guru SMPN 6 th. 1970-1980 pada reuni alumni 1966-2006 tgl. 27-9-2009 di Banjarmasin


MONUMEN KATAMSO YOGYAKARTA

Sejarah tragis, bagian dari peristiwa 30 September 1965
Oleh: Ramli Nawawi
Bagi yang belajar sejarah tentu tahu siapa itu Pahlawan Nasional Brigader Jenderal TNI Anumerta Katamso. Dia adalah salah satu dari 9 Pahlawan Revolusi yang gugur ketika terjadi peristiwa Pemberontakan G 30 S / PKI tahun 1965. Di tempat bangunan inilah waktu itu Brigjen Katamso dianiyaya dan dibunuh, di mana kemudian dibangun sebuah monumen yang dikenal sebagai Monumen Katamso.

Selain itu Monumen Katamso dikenal juga sebagai Monumen Kentungan atau lengkapnya Monumen Pahlawan Pancasila Kentungan. Monumen ini terletak sekitar 200m sebelah timur Jalan Kaliurang Yogyakarta, atau sekitar 100 m dari Jalan raya Lingkar Utara. Jaraknya dengan Monumen Yogya Kembali hanya kurang lebih 1,5 km.

Disebut Monumen Kentungan, karena monumen ini dibangun di Kentungan, di atas tanah tempat terjadinya pembunuhan kejam terhadap Brigjen TNI Anumerta Katamso dan Kolonel Infantri Anumerta Sugiono ketika terjadi peristiwa Pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia tahun 1965.

Seperti tercatat dalam sejarah bahwa Pemberontakan G30S/PKI merupakan noda sejarah yang menimpa bangsa Inndonesia, ditandai dengan adanya penculikan dan pembunuhan kejam diluar batas perikemanusiaan. Sembilan Pahlawan Revolusi gugur, dan dua di antaranya adalah Brigader Jenderal TNI Anumerta Katamso dan Kolonel Infantri Anumerta Sugiono yang gugur di Yogyakarta.

Untuk mengenang peristiwa sejarah yang tidak boleh terulang kembali tersebut, maka kalau di Jakarta dibangun sebuah Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, maka di Daerah Istimewa Yogyakarta dibangun monumen Pahlawan Pancasila Kentungan di tempat lokasi terjadinya pembunuhan kejam terhadap kedua Pahlawan Revolusi tersebut.

Peristiwa pembunuhan tragis yang terjadi di Yogyakarta tersebut diawali dengan datagnya seorang yang bernama Wiryomartono pimpinan Biro Khusus PKI (Partai Komunis Indonesia) Yogyakarta menemui Mayor Infantri Mulyono salah seorang perwira TNI di lingkungan Korem 072/Pamungkas Yogyakarta tanggal 29 September 1965, serta meneruskan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kodeta, dan keputusan Politbiro CC PKI untuk melakukan gerakan melumpuhkan pimpinan TNI AD. Untuk itu di Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dilakukan gerakan mendukung gerakan di Jakarta tersebut, juga minta kesediaan Mayor Infantri Mulyono nanti mengambil alih pimpinan Korem 072/Pamungkas, dan Mayor Infantri Mulyono menyatakan kesediaannya.

Wiryomartono juga menemui Mayor Infantri Wisnuraji, Komandan Batalyon “L” Kentungan, minta kepadanya agar membantu Mayor Infantri Mulyono bila gerakan dimulai.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi setelah mendengar pengumuman dari Gerakan 30 September melalui RRI Jakarta, Dan Rem 072/Pamungkas, Kolonel Infantri Katamso segera mengumpulkan stafnya dan memberi pengarahan tentang situasi. Ia tidak percaya kepada apa yang dikatakan oleh Gerakan 30 September dan komandonya agar tetap loyal kepada Presiden Sukarno. Kolonel Infantri Katamso juga melarang pers dan radio menyiarkan informasi-informasi yang bersumber dari gerakan tersebut.

Perkembangan selanjutnya Wiryomartono mendesak Mayor Infantri Mulyono untuk segera membentuk dewan revolusi di DIY dan mengangkat dirinya sebagai Ketua. Untuk melakukan itu Mayor Infantri Mulyono harus segera menyingkirkan Dan Rem 072/Pamungkas Kolonel Infantri Katamso.

Pada tanggal 1 Oktober 965 sekitar pukul 18.00 Mayor Infantri Wisnuraji memerintahkan anak buahnya Peltu Sumardi untuk menculik Kolonel Infantri Katamso dari kediamannya, dan juga mengambil Kepala Stafnya Letkol Infantri Sugiono dari Markas Korem 072/Pamungkas. Kedua orang tersebut dibawa ke Kentungan. Pada tanggal 2 Oktober 1965 sekitar pukul 02.00 dinihari, kedua perwira tersebut dibawa ke sebuah lubang yang sudah disiapkan di mana para pembunuh sudah siap menunggu.

Peristiwanya digambarkan sebagai berikut:
Jam 24.00 Peltu Sumardi membangunkan Pelda Kamil, Perwira Penyelidik Batalyon “L” dan memerintahkan untuk melakukan pembunuhan atas Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono. “Apa persoalannya beliau-beliau ini harus dibunuh”, tanya Kamil. “Jam ini, atas perintah Komandan Batalyon harus dikerjakan. Perintah beliau pembunuhan juga jangan sampai dilakukan dengan bersuara”, kata Sumardi.

Pelda Kamil hanya bertugas sebagai pengawas, yang bertugas sebagai algojo adalah Serda Alip Toyo, dan Ru Morter 8 Kompi bantuan Batalyon “L”. “Pukul mereka dengan kunci Morter 8 dan tunggu di tempat kurang lebih 15 m dari lubang. Kalau kolonel Katamso dan Letkol Sugiono sudah turun dari mobil pukul dari belakang dengan alat itu”, kata Sumardi.

Tak lama datang mobil Gas dari arah utara, setelah berhenti Letkol Sugiono turun. Ia masih berpakaian seragam, mendadak ia dipukul dari belakang dengan kunci Morter 8 oleh Alip Toyo, ia jatuh tersungkur. Tubuhnya kemudian dimasukkan dalam lubang yang telah disediakan.

Mobil Gas datang untuk kedua kalinya membawa Kolonel Katamso, ia turun dan berjalan ke arah barat. Tapi pukulan kunci Morter 8 menimpa bagian kepalanya. Kolonel Katamso jatuh tersungkur. Melihat ia masih hidup, Pelda Kamil memerintahkan, “Pukul kembali sampai mati”. Serda Alip Toyo memukul lagi sampai Katamso gugur. Melihat Letkol Sugiono yang dalam lubang masih hidup, Alip melemparkan batu-batu besar ke dalam lubang tersebut, hingga dengkuran Letkol Sugiono berhenti.

Jenazah mereka baru ditemukan sekitar 20 hari kemudian dalam keadaan rusak. Setelah di semayamkan di Korem 072/Pamungkas, maka pada tanggal 22 Oktober 1965 jenazah kedua Pahlawan Pancasila tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegra Yogyakarta.

Berikut gambaran Monumen Pahlawan Pancasila Kentungan:dari
Bangunan utama monumen berupa bangunan joglo berukuran 12 m x 12 m. Dalam bangunan terdapat 2 buah lubang bersambung membujur dari barat ke timur. Ukuran lubang sekitar panjang 1,80 m, lebar 0,50 m. Lubang sebelah barat ditemukannya jenazah Brigjen TNI Anumerta Katamso membujur ke barat. Di lubang sebelah timur ditemukannya jenazah Kolonel Infantri Anumerta Sugiono membujur ke timur. Kedua kaki mereka hampr bertemu.

Di sebelah selatan lubang terdapat patung lambang garuda. Halaman atas yang mengelilingi joglo, di sebelah utara ada 2 patung menghadap ke utara. Yang di sebelah timur patung Kolonel Infantri Katamso ketika menjabat Komandan Korem 072/Pamungkas. Sedangkan yang di sebelah barat patung Letkol Infantri Sugiono ketika menjabat Kepala Staf Korem 072/Pamungkas merangkap Komandan Kodim 734 Yogyakarta.

Pada pagar yang terletak antara halaman atas dan halaman bawah terdapat relief sebanyak 8 buah, yang menggambarkan peristiwa mulai dari penculikan kedua Pahlawan Revolusi tersebut; pembunuhan dengan kunci Morter 8 dan pemasukan jenazah ke lubang yang telah disediakan; Batalyon “L” diberangkatkan dari stasion Lempuyangan ke luar Jawa; penemuan kedua jenazah korban; dan pemberangkatan jenazah ke Makam Pahlawan Kusumanegara.

Demikanlah dengan memahami sejarah berarti memahami makna dari peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Monumen adalah salah satu sarana terbuka yang mengandung nilai tentang peristiwa masa lalu tersebut.

Demikian pula belajar dari makna peristiwa sejarah yang pernah melanda bangsa Indonesia sehubungan dengan peristiwa G30S/PKI. Di daerah Istimewa Yogyakarta terdapat bangunan Monumen Pahlawan Pancasila Kentungan yang menyuguhkan bukti dari peristiwa tragis di luar perikemanusiaan yang dilakukan oleh kelompok penghianat bangsa. Peristiwa tragis yang ditangani oleh mereka yang jauh dari terpuji, sehingga sepantasnyalah jadi contoh hitam yang sama sekali tidak pantas dilakukan oleh seorang hamba Tuhan yang beriman.

Sumber a.l.: Buku Panduan Monumen Pancasila Kentungan Yogyakarta, Pem. Prop. DIY Dinas Sosial, Yogyakarta, 1991. Gerakan 30 September Pemberontakan PKI, Latar belakang aksi, dan Penumpasannya, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1994. Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000. (HRN).