Minggu, 01 Juli 2012

TAKDIR CINTA


4. LIKA-LIKU CINTA (1)
(Ceritera ini fiksi, kalau ada kesamaan nama dan tempat serta lainnya, hanya dibuat kebetulan, sambungan posting: tgl. 2-6-2012, oleh Ramli Nawawi)

Kedekatan Ana dan Ali setelah masing-masing menyimpan secarik kertas dokumen cinta mereka berdua semakin hari semakin tampak di kalangan teman-teman mereka. Bahkan kadang pada hari Minggu dengan alasan konsultasi sesuatu kepda guru pimpinan asrama tempat Ali, Ana dan Ani temannya datang ke asrama Ali.

”Li, ada tamu istimewa tuh di depan”, bilang temannya kepada Ali yang lagi asyik di kamarnya.
”Siapa”, kata Ali dingin, walaupun ia dapat menduga kalau itu Ana dan temannya.
”Lihat dulu lah...”, sambung temannya.
”Ngga, tanya dulu mau ketemu siapa mereka”, bilang Ali.

Teman Ali pergi ke depan, sambil menyilakan Ana dan temannya masuk.
”Mau ketemu siapa......”, bilang teman Ali.
”Bapak ada....”, tanya Ana.

Ana sungkan kalau bilang mau ketemu Ali, karena itu biar ia bilang mau ketemu bapak asrama saja.

”Ada .....”, bilang teman Ali yang dalam benaknya ”kok mau ketemu guru, bukannya mau ketemu Ali yang selama ini selalu dekat.
”Pa...ada tamu”, bilang teman Ali sambil mengetuk pintu kamar gurunya.
”Sebentar...., silakan duduk dulu”, sahut bapak asrama.

Mendengar percakapan mereka Ali sadar bahwa tamu tersebut adalah Ana. Tapi mengapa Ana bilang mau ketemu bapak asrama, bukan mau ketemu dia. Apa memang ia begitu, atau karena Ana jengkel Ali tidak keluar menemuinya. Ada penyesalan dalam hati Ali. Karena itu ia memutuskan tetap tidak keluar menemui Ana.

”Oh... kamu-kamu, ayo mari masuk aja”, kata bapak asrama begitu keluar kamarnya, sambil mengajak masuk Ana dan kawannya.

Memang biasanya setiap ada tamu bapak asrama mengajak mereka masuk ke kamarnya, baik tamu laki-laki atau perempuan yang datang tidak sendirian. Di kamar bapak asrama ini memang ada kursi tamunya.

”Tumben ada apa, libur-libur datang ke asrama”, kata bapak asrama  sambil menyilakan keduanya duduk.
”Jalan-jalan aja pak”, bilang teman Ana.
”Ya pak dari pada sepi, di asrama kami banyak teman yang pulang kampung”, sambung Ana.
”Kamu berdua tidak pulang”, bilang bapak asrama.
”Kita berdua kan rumah masih dalam kota, jadi tidak hari libur juga bisa pulang sebentar”, bilang teman Ana yang diiyakan oleh Ana.

Setelah bincang-bincang mengenai pelajaran yang diberikan pak guru di sekolah, Ana memberi isyarat kepada temannya kalau ia mengajak pulang. Karena sebenarnya tujuan Ana datang bukan untuk bertemu guru asrama, maka tidak berapa lama Ana dan temannya pamit untuk pulang.

”Pa... maaf nih kami mau permisi aja”, bilang Ana kepada pak guru.
”Loo...sebentar aja, mau kemana lagi”, sahut pak guru.
”Ya... namanya juga jalan-jalan pak, jadi serba sebentar aja”, bilang teman Ana, sambil keduanya berdiri pamit kepada bapak asrama                                      
”Na..kemana lagi kita”, tanya teman Ana, setelah mengambil kendaraan dan keluar pekarangan asramanya Ali.
”Ke rumah aku yu”, sahut Ana yang ingin menggunakan waktu senggang hari itu untuk menemui ibunya.
”Ayu..setuju..”, teman Ana meiyakan.

Dalam perjalanan menuju rumahnya, rasa kecewa Ana saat berkunjung ke asrama Ali masih mengganggunya. Namun semua itu ia coba untuk menyimpannya agar tidak tampak mempengaruhinya. Ia berusaha agar tetap wajar ketika betemu dengan ibunya dan keluarganya yang lain.
    
Ketika memasuki pekarangan rumah ibu Ana, rumah tampak sepi. Karena itu Ana mengajak temannya masuk lewat pintu tiras samping. Karena pintunya terbuka Ana langsung masuk bersama temannya sambil mengucapkan salam.

”Assalamualaikum, mana orangnya nih”, cari Ana.
”Alaikum salam, oh kamu Na”, sahut ibunya yang baru saja melepas pekerjaan rumahnya.
“Wah ibu pasti selalu bersih-bersih rumah”, sapa teman Ana yang sudah  kenal benar dengan ibu Ana, dan tahu kalau ibu Ana sangat menjaga kebersihan rumahnya.
“Ngga lagi santai aja” tukas ibu Ana, ”mari mau duduk dimana, di ruang depan...?”, tanya ibu Ana.
“Sini aja bu, saya dan Ana juga hari ini lagi santai bu”, kata teman Ana sambil duduk di lantai yang tampak sangat bersih.
”Maunya santai di sini ya, mari bisa”,  bilang ibu Ana, sambil ia juga duduk bersama temannya Ana.

Ana masih di dapur, ia menyiapkan minuman dan kue simpanan ibunya. Kemudian menggabung dengan keduanya sambil membawa minuman untuk mereka.
”Seadanya Ni lah”,  kata Ana sambil mengajak Ani temannya mencicipi hidangannya.
 ”Silakan”, kata ibu Ana, ” lagi sepi ya di asrama jadi bisa pulang”, sambung ibu Ana.
 ”Ya bu, kawan-kawan banyak yang menyempatkan pulang juga”, sahut teman Ana sambil mulai mengambil kue yang dihidangkan Ana.
 ”Minumnya lagi?”, tanya Ana melihat gelas minum temannya sudah separo. Ana yang tadinya banyak diam karena kecewanya belum hapus, kini sudah mulai bisa senyum. Melihat Ana mulai tampak ceria, temannya juga mulai berani bicara bercanda kepda ibunya Ana.
 ”Bu, Ana sudah punya pilihan lo”, cetus temannya.
 ”Pilihan apa...”, tanggap ibunya curiga.
  ”Ya... teman pilihanan lah bu”, jelas Ani temannya.
  ”Ani ngarang bu”, sanggah Ana.    
   ”Belajar yang baik dulu lah...”. pinta ibu Ana, ”dan nanti hati-hati kalu menetapkan pilihan”, pesannya.
”Nah dengar tuh Na”, ucap Ani kepada Ana.
”Ah... kamu Ni yang macam-macam”, elak Ana, sambil mengajaknya kembali ke asrama.
”Ni sudah siang benar, ke asrama yu”, sambungnya.
”Makan dulu masakan ibu”, pinta ibu Ana.
”Sayang bu, jatah makan di asrama hari ini banyak bu karena banyak yang pulang kampung”, jelas Ani kepada ibu Ana.
”Ma... kembali ke asrama dulu”, Ana menjabat tangan ibunya dan menciumnya. Diikuti pula oleh Ani temannya.
”Hati-hati di jalan”, kata ibu Ana sambil berdiri.mau melepas kepergian Ana dan temannya.
Ana dan temannya meninggalkan rumah ibu Ana dengan kendaraan berboncengan menuju asrama mereka. Tiba di asrama Ana langsung masuk kamar dan merebahkan dirinya. Teringat peristiwa pagi tadi, lahir kembali rasa kecewanya juga secercah tanda tanya di hatinya ”mengapa Ali bersikap  acuh seperti tidak tahu kedatangannya”.
Tapi kegalauan hatinya sirna seketika karena dari arah pintu kamarnya ada suara memangglnya: ”Na makan...!”, seru salah seorang teman giliran pikat asrama.
.”Teman-teman yang tidak pulang kampung, ayu makan siang....sudah siaap....”, seru anggota pikat lainnya.     

Makan bersama di meja makan yang biasa dibaringi canda ria penghuni asrama pada siang itu, membuat Ana bisa menghilangkan pertanyaan-pertanyaan yang timbul gara-gara kegagalannya bertemu Ali hari tersebut.

Malam hari ketika waktu belajar bersama, Ana sudah bersikap wajar-wajar saja, tak tampak bekas-bekas kekecewaan yang hari itu membuatnya sangat kecewa.  

Besok paginya sehabis upacara bendera, Ali sengaja lewat di teras depan kelas Ana. Ana yang sedang kumpul dengan teman sekelasnya, tampak sengaja tidak menoleh lewatnya Ali. Memang kecewanya di hari Minggu kemaren masih berbekas di  hatinya. Ali sadar akan kekecewaan Ana kemaren itu. Tapi Ana tidak tahu kalau Ali juga sangat menyesal akan perilakunya terhadap tamu yang sebenarnya dari isyarat kawannya ia tahu kalau tamu itu Ana. Tapi mengapa Ana juga tidak berterus terang kalau ia sebenarnya datang untuk bertemu Ali.

Sudah seminggu berlalu, kesempatan Ali untuk mengucapkan kata maaf kepada Ana belum juga tersampaikan. Tidak ada momen yang baik yang bisa mempertemukan keduanya. Ali sungkan mendekati Ana ketika ia berkumpul dengan teman-teman sekelasnya. Apalagi sepertinya Ana sengaja tidak memberikan ruang waktu kesempatan mereka bertemu berdua saja. Ia sengaja memberi ujian kepada Ali, sejauh mana kebenaran Ali menjatuhkan pilihan kepadanya.

(bersambung ke posting tgl.: 1-9-2012)



  
   
    .