Minggu, 27 Januari 2013

BABUNGA TAHUN


Upacara Tradisional Suku Banjar Hulu
Oleh: Ramli Nawawi
Upacara Tradisional Babunga Tahun dikenal pula sebagai Upacara Manyanggar Banua. Upacara ini berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan yang dilakukan oleh suku Banjar Hulu. Kepercayaan ini merupakan sisa dari kepercayaan lama, karena itu maka pelaksanaan upacara ini hanya oleh kelompok keluarga tertentu dan lingkungan desa tertentu pula. Namun demikian upacara ini umumnya dilakukan tiap tahun sekali sebagai suatu tradisi yang sudah menyatu dengan kelompok penduduk pendukung upacara, sebagai bagian dari kepercayaan mereka. Upacara ini dilakukan secara besar-besaran dan meriah karena pendukungnya memang besar jumlahnya.
Upacara yang sejenis dengan ini dulu juga terdapat di beberapa tempat dari kelompok suku Banjar Batang Banyu, namun pelaksanaannya hanya oleh sejumlah warga pemilik padang dalam waktu yang singkat, berbeda dengan upacara Babunga Tahun yang dilaksanakan secara besar-besaran dan meriah.
Upacara tradisional Suku Banjar Batang Banyu yang terdapat di beberapa desa umumnya disebut Upacara  Mambaiki Padang. Acaranya adalah Maulah Wadai Tahun, yakni membuat 40 jenis kue sebagai sesajen  untuk para roh halus penguasa padang atau penguasa hutan. Upacara Mambaiki Padang ini dalam perkembangannya kemudian kue-kue tersebut disiapkan oleh semua pemilik padang, sehingga jumlahnya berlimpah. Kue-kue tersebut  dibawa ke padang (sawah), setelah dibacakan doa selamat kemudian dimakan bersama-sama oleh warga yang hadir.

Khusus untuk Upacara Babunga Tahun yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 1980-an penulis pernah menyaksikan yang diselenggarakan di Desa Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kurang lebih 150 km ke utara dari kota Banjarmasin.
Menurut warga penyelenggara upacara, kegiatan tersebut dilaksanakan agar segala usaha warga desa tidak mendapat gangguan, penduduk mendapat keselamatan, sawah menghasilkan padi yang baik, dan suasana lingkungan pergaulan tentram, aman dan harmonis. Ketentraman dan keharmonisan pergaulan merupakan hasil dari kehidupan yang sejahtera dan kemakmuran yang diperoleh. Kesemuanya itu adalah karena hasil padi yang baik dan berlimpah. Sehingga menurut mereka upacara ini berkaitan dengan lingkungan alam dan kepercayaan penduduk setempat. Jadi pada dasarnya tujuan dari diselenggrakannya upacara ini adalah agar padi menghasilkan dengan baik, terhindar dari segala macam hama, penduduknya sehat-sehat, terhindar dari berbagai penyakit.
Sementara adanya gangguan pada tanaman padi karena dirusak oleh Sangkala atau Batara Kala.yang menyebabkan padi rusak dan panen gagal. Hal itu terjadi karena penduduknya lupa atau tidak menghiraukan Sang Kala dimaksud. Karena Sang Kala tidak diberi sesajen sehingga Sang Kala marah. Supaya jangan terjadi Sang Kala marah yang berakibat panen gagal, maka diselenggarakanlah Upacara Babunga Tahun. Karena itu para pendukung upacara yakin bahwa sesudah upacara dilaksanakan mereka akan memperoleh  hasil panen yang lumayan, mendapatkan kesesejahteraan hidup dan pergaulan yang harmonis.     
Upacara ini dilaksanakan setiap tahun sesudah panen, sehingga hasil padi yang baru dipanen dapat diikutsertakan dalam upacara. Hal ini dimaksudkan agar Batara Kala atau Sang Kala puas dengan sesajen yang disajikan dari hasil panen yang baru diperoleh. Disamping sesajen dari hasil panen, sesajen juga dilengkapi dengan daging kambing dan ayam yang juga dipersembahkan kepada Batara Kala atau Sang Kala.
Lama kegiatan upacara umumnya 3 hari 3 malam. Sedangkan  waktu kegiatan upacara bisa dilaksanakan dalam waktu mulai   sesudah turun bulan Qamariah yaitu sesudah tanggal 16 sampai bulan habis dan berakhir dengan bulan sabit.
Sedangkan pelaksanaan upacara biasanya dimulai sesudah shalat Jumat, yaitu warga mulai melakukan  pekerjaan persiapan, bersambung pada malam hari hingga hari Sabtu.
Sabtu sore upacara inti pun dilaksanakan, diteruskan malam Minggu dan hari Minggu, dan berakhir pada malam Senin.

Penyelenggara teknis upacara adalah Dadalang (Dalang), bersama dengan penabuh gamelan dan para turunan Datu Taruna yang merupakan pewaris tradisi upacara ini. Selain itu para Panopengan, atau penari Topeng juga harus turunan Datu Taruna. Penopengan atau penari topeng inilah yang berperan sebagai perwujudan yang menerima sesajen yang dipersebahkan.
Kaum wanita keluarga dekat dari Dadalang menyiapkan kue sesajen khusus untuk upacara. Pembuatan kue sesajen ini merupakan keahlian sendiri yang mengerti tentang kue untuk upacara.
Kegiatan lain dalam rangkaian upacara ini adalah pertunjukan wayang kulit, wayang gong atau wayang orang, serta pertunjukan tari topeng. Semua pelaksana upacara, yaitu mulai pembuat kue sesajen, penabuh gamelan, pemain wayang kulit, wayang gong dan penari topeng adalah semuanya turunan Datu Taruna. Tradisi ini berlaku konon sejak sebelum Islam datang dan kemudian menjadi tradisi keluarga turunan Datu Taruna.

Tahap-tahap pelaksanaan upacara, dimulai dengan kegiatan persiapan. Yakni sehari sebelum upacara, berupa ”manakar baras” sebagai bahan untuk membuat kue sesajen. Manakar baras ini dilakukan dengan tatacara melakukan ”mamangan” atau pembacaan mantra-mantra. Berbagai jenis kue sesajen disiapkan untuk mengisi ”ancak”
Bersamaan dengan itu dibuat pula panggung secara bergotong royong dengan perlengkapan khusus pula, berupa anak pisang, daun kambat, tilambung nyiur gading, serta hiasan panggung dengan janur.
Dilakukan pula penyembelihan kambing dan ayam untuk dipapah dijadikan sesajen. Bersama itu disiapkan juga beras ”piduduk”.
Setelah persiapan panggung selesai, Perangkat gamelan disiapkan, dan dibunyikan dengan lagu Gala Ganjur selama upacara berlangsung.
Sebagai acara puncak dari Upacara babunga Tahun ini adalah ”Acara Maantar Ancak”. Acara dilakukan pada hari berikutnya, yakni hari Ahad  dimulai sekitar pukul 14..00 siang, setelah mulai pagi melakukan persiapan-persiapan. Pimpinan upacara adalah seorang Dalang berpakaian serba hitam dengan beberapa orang pengiring berpakaian serba kuning. Rombongan keluarga keturunan Datu Taruna ini berjalan kaki dari rumah seorang warga  dengan membawa sesajen menuju Sumur Datu tempat berlangsungnya penyanggaran atau penyerahan sesajen. Selama dalam perjalanan menempuh jarak kurang lebih 800 m maka gamelan yang mengikuti terus menerus dibunyikan  Acara penyanggaran atau penyerahan sesajen di Sumur Datu ini merupakan persembahan kepada Datu Taruna, nenek moyang mereka yang menurut kepercayaan mereka telah gaib dalam sumur ini.
Begitu selesai acara penyanggaran, tampak banyak anggota masyarakat yang hadir membasuh muka mereka dengan air Sumur Datu untuk mendapatkan berkat. Selesai acara penyanggaran pelaksana membubarkan diri. Mereka bersiap untuk melaksanakan lanjutan acara pada malam harinya.

Acara lanjutan pada malam harinya adalah ”Upacara Bawayang”, yakni pertunjukan Wayang Sampir (wayang kulit). Acara ini dilaksanakan sesudah shalat Isya bertempat di panggung yang telah dipersiapkan. Untuk tancapan wayang digunakan batang pisang jaranang atau pisang kidung.
Sebelum pertunjukan wayang dimulai, ancak atau sesajen yang dipersiapkan untuk acara bawayang ini yaitu ancak wayang dan ancak topeng digantung di atas panggung tempat pertunjukan wayang. Dalang sebagai pimpinan upacara membakar kemenyan dan mengucapkan mantra-mantra. Pada acara ini Dalang mempersembahkan pada Batara Kala atau Sangkala, juga kepada segala macam ”kuyang” dan roh halus lainnya yang satu persatu disebutkan atau dipanggil untuk datang berhadir pada acara tersebut.
Begitu pula dalang menyebut satu persatu nama penyumbang agar Batara Kala jangan mengganggu orang yang telah berbuat baik dan ikut melakukan persembahan kepada Batara Kala. Setelah selesai membaca mantra-mantra dan penyerahan kepada Batara Kala, baru dimulai pertunjukan wayang semalam suntuk.
Subuh sekitar pukul 5.00 pagi pertunjukan wayang selesai dan dilanjutkan dengan acra ”Baayun Wayang”. Semua anak  balita yang orang tuanya peserta upacara dibangunkan, dan diayunkan di atas panggung. Acara ini juga dipimpin oleh Dalang dengan membaca mantra-mantra pula. Selesai acara para pelaksana kegiatan beristirahat dan melakukan persiapan untuk kegiatan acara berikutnya.

Sebagai acara terakhit dari Upacara Babunga Tahun adalah acara ”Manopeng”, yaitu mengadakan pertunjukan tari topeng.
Acara ini dimulai oleh Dalang yang memakai topeng dan menari topeng sambil membakar kemenyan dan mengucapkan mantra-mantra disertai dengan menghamburkan beras kuning. Setelah itu baru tampil penari topeng wanita. Satu persatu jenis topeng dipasang dan ditarikan dengan iringan gamelan yang disesuaikan dengan jenis topengnya.
Setelah selesai acara menopeng tersebut, kemudian dilanjutkan ”Baayun Topeng”, yakni meayun beberapa anak balita yang sebelumnya sudah diayun pada acara Maayun Wayang, kini kembali diayun di ayunan yang disiapkan di panggung, dipimpin oleh Panopengan (wanita penari topeng)      
Setelah acara ”meayun Topeng” selesai, sebelum upacara ditutup Dalang melakukan acara kecil, yaitu mengembalikan segala roh halus, Batara Kala dan para Kuyang yang telah diundang. Oleh  Dalang mereka dikembalikan ke tempat asalnya masing-masing.
Kemudian Dalang menutup acara dengan menyampaikan kepada seluruh warga keturunan Datu Taruna berupa pamali atau pantangan yang dilarang setelah upacara selesai, sepertti dilarang mematikan rumput dan mematikan hewan selama 3 hari 3 malam.
Kemudian upacara dinyatakan selesai. 
(HRN: Salam dan koreksinya untuk Sdr. M. Syaibaini, tokoh seniman Desa Barikin).