Sabtu, 07 Desember 2013

KEDUDUKAN BASMALAH



(pak Asmuni menjawab)

Kedudukan basmalah dalam Al Qur’an, ada dua tempat. Basmalah dalam surat Fatihah dan basmalah dalam surat-surat yang lain. Bacaan basmalah dalam surat Fatihah, ada dua pendapat juga. Ada yang berpendapat bacaan tersebut termasuk dalam 7 ayat dari surat tersebut. Sedang pendapat yang lain, surat Fatihah dimulai dari alhamdulillahi rabbil ’alamin. Bagi orang yang berpendapat bahwa surat Fatihah dimulai dari bacaan basmalah sehingga menganggap bahwa basmalah merupakan bagian dari 7 ayat Fatihah, maka memulai bacaan Fatihah dari basmalah.

Ada pula yang berpendapat, sekalipun Fatihah itu dimulai dari basmalah, tetapi karena ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi dalam membaca Fatihah itu memulainya dari alhamdulillah – maka membaca basmalahnya pelan, dan barulah membaca  alhamdulillah-nya dengan keras. Sedang yang berpendapat surat Fatihah dimulai dari alhamdulillah maka membaca Fatihah dengan keras dimulai dari bacaan alhamdulillah, dan seterusnya.

Masing-masing pendapat itu sebenarnya mempunyai dasar-dasar dari hadis. Dengan demikian tidak perlu dirisaukan sehingga kita menganggap imam yang memulai bacaan Fatihahnya dari basmalah dengan keras, tidak akan mengurangi arti dan sahnya salat. Mengenai bacaan surat-suratnya, karena bacaan basmalah pada surat itu tidak termasuk bagian dari surat, maka juga tidak ada masalah dan tidak perlu dipermasalahkan bagi yang tidak membacanya.

Dalam pada itu, dapat dikemukakan bahwa pada saat membaca Fatihah itu ada pula pemahaman yang menyatakan sebelum membaca surat Fatihah memulainya dengan membaca taawudz, yaitu a’udzubillahi minasy-syaithanir-rajim secara pelan. Pemahaman ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nahl ayat98, dan juga hadis dari Abu Said Al-Khudri.(sumber, sk Kedaulatan Rakyat, hal. 4, tgl. 8 Januari 2004).  

Sabtu, 16 November 2013

PERANAN UNSUR SUPRA NATURAL PADA MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN (penututan eks tentara pelajar yogyakarta)



Oleh: Drs H. Ramli Nawawi

Pada masa revolusi kemerdekaan yang lalu, pejuang-pejuang kita umumnya lebih banyak yang hanya bermodalkan tekad dan keberanian untuk berjuang mengusir penjajah yang sudah terlatih berperang dan mempunyai persenjataan lengkap dan cukup modern. Hal ini bagi pejuang-pejuang kita bangsa Indonesia tentu saja merupakan sesuatu yang penuh bahaya. Apalagi para pejuang kita juga umumnya belum terlatih dan hanya dengan senjata seadanya, termasuk seperti bambu runcing. Hal ini tentu saja jauh dari seimbang.

Namun dari ketidakseimbangan persenjataan fisik ini, sama sekali tidak mengurangi keyakinan dan tekad pejuang-pejuang kita dalam usaha menegakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mengusir penjajah Belanda dari negeri ini. Apalagi para pejuang kita waktu itu di samping telah mempunyai keyakinan bahwa perjuangan yang dilakukan tersebut sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan mereka. Karena itu umumnya banyak di antara mereka yang telah membekali diri dengan “sesuatu” yang memberikan keyakinan diri akan kemenangan dan keunggulan ada di pihak mereka. Yang dimaksud “sesuatu” tersebut adalah bekal-bekal yang bersifat natural. Namun diakui mereka bahwa bekal tersebut kebanyakan bersifat pribadi, yakni masing-masing dari mereka dengan caranya sendiri, dan bahkan ada yang sifatnya rahasia.

Namun demikian ada keterangan dari para pejuang kita tersebut yang menyatakan bahwa pembekalan kekuatan supra natural waktu itu ada juga yang dilakukan secara bersama-sama. Menurut keterangan Soewardjo, seorang eks anggota TP (Tentara Pelajar) Yogyakarta, bahwa pada masa perjuangan yang lalu banyak laskar kita yang secara berombongan naik kereta api dengan membawa bambu runcing, berangkat ke Paraan (Jawa Tengah) untuk meminta kepada Kiai Subchi yang dikenal bisa mengisi do’a untuk bambu runcing mereka. Dipercayai bahwa apabila menggunakan bambu runcing yang telah diberi do’a tersebut, yang bersangkutan akan terhindar dari peluru musuh.

Dari hasil wawancara dengan para pejuang eks Tentara Pelajar Daerah Istimewa Yogyakarta, bahwa umumnya mereka yang turut berjuang waktu itu tahu tentang ada bermacam-macam ”bekal” yang dipakai atau dimiliki oleh para pejuang. Namun umumnya mereka tidak bersedia menjelaskan secara detail apa dan bagaimana isi dan bentuk dari benda supra natural yang mereka miliki sendiri. Beberapa pejuang eks Tentara Pelajar tersebut sebagian hanya mengaku bahwa apabila akan berangkat ke front atau akan melaksanakan tugas perjuangan lainnya tidak lupa berdo’a kepada Tuhan agar selamat atau terhindar dari bahaya yang akan menimpa diri mereka.

Tetapi ada juga beberaapa pejuang kita yang mau berceritera tentang pengalaman-pengalaman yang mereka ketahui dan alami selama berkumpul dengan sesama pejuang pada masa revolusi kemerdekaan yang lalu. Berikut keterangan yang diberikan oleh Sucipto: ”Saya punya teman yang bernama Adi Tjipto, ia mempunyai ilmu anti peluru. Setiap kali akan pergi bertempur dia ”amalan”. Jadi daripada membawa benda (jimat) atau senjata untuk penangkal, lebih mudah. Teman saya ini memang mempunyai hubungan dengan Patihnya Nyi Loro Kidul. Dia bisa sambung melalui bertapa, lalu diberi aji. Namanya ”Aji Pamalingka”. Apabila mau berjuang atau untuk keperluan yang berbahaya lainnya, aji ini dibaca. Selain tahan peluru, maka bagi yang mengamalkan ”Aji Pamalingka” ini, walaupun kita yang bertempur itu hanya enam atau delapan orang, tapi tampak ribuan oleh musuh”.

Menurut Sutjipto bahwa jenis-jenis jimat atau amalan yang dipakai  para pejuang dalam satuan mereka waktu itu ada bermacam-macam. Ada yang berupa keris, tombak, ikat kepala, dan dalam bentuk mantera (do’a). Keris misalnya dipakai oleh pejuang yang bernama Purwadi. Keris kepunyaan dia ini dikenal tahan peluru bagi pemiliknya. Tetapi dalam suatu pertempuran, Purwadi tertembak. Ketika itu mungkin karena yang bersangkutan bersikap takabur. Karena merasa tahan terhadap peluru, dia berteriak menantang musuh: ”Ayo tembak, ayo tembak lagi”, mungkin karena itulah dia ditembus peluru.

Sucipto juga mengaku bahwa dia juga memiliki aji yang didapat dari hasil semadi. Dia  mengaku dalam pertempuran sering kena peluru, tapi tidak terasa. Dia juga tidak bisa menjelaskannya, karena di luar jangkauan akal.

Eks anggota Tentara Pelajar lainnya, Ibnoe Sawabi yang sering mengemban tugas berbahaya seperti menyelidiki lebih dahulu keadaan lokasi sebelum dilakukan penyerangan, juga mengetahui tentang macam-macam ”modal kekuatan” yang dimiliki atau dipakai kawan-kawan seperjuangannya waktu itu. Disebutkan bahwa yang dimiliki mereka itu umumnya berupa ”keris”. Ada keris yang bernama ”Lembu Sekilan” yang dimiliki anggota Tentara Pelajar yang bernama Widodo, dikenal sebagai berhasiat kekebalan bagi pemakainya. Lain lagi dengan keris yang dimiliki anggota Tentara Pelajar  bernama Komar, menurut kepercayaan pemiliknya dan juga kawan-kawannya, bahawa kalau pada waktu pertempuran berada di belakang Komar, maka walaupun kena peluru tidak apa-apa.

Menurut Ibnoe Sawabi sebenarnya ada juga di antara mereka yang memiliki ”jimat”, seperti yang  dimiliki temannya bernama Komaruddin. Benda supra natural ini  dibungkus dengan kain putih. Memang tampaknya terbukti, karena pemiliknya dalam setiap pertempuran tidak pernah kena peluru. Bagi pemakai jimat ini pantangannya adalah tidak boleh lewat di bawah tali jemuran kain perempuan.

Selain hal-hal tersebut di atas Ibnoe Sawabi juga memberikan kesaksian sebagai berikut: ”Kalau saya sendiri setiap akan melaksanakan tugas, saya memulai dengan ”Bismillah”. Selain itu saya memang ada diberi ibu saya ”bekal” berupa daun kantel. Ibu saya mengambil satu lembar yang jatuhnya tertelungkup, dan satunya lagi yang jatuhnya telentang. Keduanya diambil lalu disatukan, ditemukan bagian mukanya. Daun tadi dibungkus dan diberikan kepada saya. Walaupun tidak mengerti maknanya, tapi ini mungkin untuk kselamatan saya. Dan saya selamat. Tapi yang penting kami juga selalu melakukan shalat bersama, dan memohon agar diberi keselamatan”.

Panggunaan daun kantel sebagai jimat tersebut di atas berkaitan dengan kepercayaan terhadap adanya kekuatan yang terdapat pada tumbuhan. Kantel berupa tumbuhan bunga ini dipercayai mempunyai kekuatan yang diharapkan berkhasiat mengantel atau tidak terpisahkan. Karena itu dalam suasana perjuangan dan keterlibatan mereka dalam perjuangan tersebut, maka yang diharapkan tentunya tidak terpisahkan antara jiwa dan raga yang bersangkutan.

Sejenis dengan pemakaian daun kantel ini adalah adanya kepercayaan terhadap khasiat ”kol buntet”. Kol buntet tentunya termasuk kekecualian atau aneh, karena tidak berkembang dengan wajar, Buntet identik dengan tidak jadi atau tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Karena itu dipercayai bahwa bedil musuh akan buntet atau tidak meletus apabila diarahkan kepada orang yang memakai ajimat tersebut.

Sementara itu ada pula kepercayaan tentang adanya kekuatan supra natuaral yang terdapat pada ”ayam cemani”. Ayam yang serba hitam ini dianggap jenis binatang kekecualian pula, karena itu apabila akan melakukan penyerangan atau pertempuran malam hari mereka lebih dahulu menelan hati ayam cemani mentah-mentah agar tidak akan terlihat oleh musuh. Dengan demikian yang bersangkutan tidak akan menjadi sasaran penembakan.

Lain lagi dengan kesaksian yang diberikan oleh Soewardjo. Dia punya teman Kapten Latif dari TNI waktu itu yang juga memiliki ajimat. Tetapi Soewardjo tidak mengetahui secara detail baik jenis maupun bentuknya. Hanya yang bersangkutan memiliki dan selalu memakainya apabila akan melakukan penyerangan atau pertempuran dengan musuh.

Sementara itu untuk Soewardjo sendiri, dia mengaku hanya diberi pesan oleh orang tuanya agar selamat supaya senantiasa berlaku jujur, jangan sekali-kali mengambil barang orang lain, apalagi mengganggu anak-isteri orang.

Sedangkan Sardjiman seorang eks Tentara Pelajar yang berpengalaman banyak dalam pertempuran, hanya mengaku bahwa dia setiap kali akan berangkat ke front selalu berserah diri kepada Tuhan. Anggota Tentara Pelajar penganut agama Katholik ini mengatakan bahwa di samping berserah diri tersebut dia berharap (berdo’a) agar misi yang diemban berhasil dan masih dipelihara oleh Tuhan. Dia juga mengetahui bahwa ada ”penangkal-penangkal” yang dimiliki kawan-kawannya untuk keselamatan diri tersebut. Bentuknya macam-macam, ada berupa benda kecil yang dibungkus dengan kain putih, ada berupa kalung, dan ada pula berupa keris.

Dalam hal do’a Sardjiman mengatakan, bahwa dalam ibadah gereja ada bermacam-macam do’a untuk menghindari hal yang mengganggu. Tetapi menurut dia tidak ada bentuk do’a untuk mempunyai kekuatan supra natural tersebut.

Memang dari semua eks Tentara Pelajar yang pernah diwawancarai bahwa pada masa perang kemerdekaan yang lalu tersebut menyatakan ada pemakaian benda-benda yang dapat digolongkan sebagai ajimat, demikian juga ada di antara mereka mempunyai do’a atau mantera yang semuanya merupakan usaha untuk menangkal bahaya serta mendapatkan keselamatan diri. Kesaksian Suwarno seorang eks Tentara Pelajar yang bertugas dalam bidang kepalangmerahan dan sering mengikuti penghadangan-penghadangan terhadap militer Belanda, juga mengetahui tentang adanya pemakaian ajimat atau segala sesuatu yang digunakan untuk keselamatan diri. Tetapi seperti halnya beberapa eks Tentara Pelajar lainnya yang diwawancarai hanya mengaku bahwa sebelum berangkat ke front mereka masing-masing berdo’a lebih dahulu.

Berbgai kesaksian yang diberikan para anggota eks Tentara Pelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut di atas, merupakan gambaran bahwa unsur-unsur supra natural pada masa perang kemerdekaan tersebut memang memberikan peran penting dalam diri para pejuang waktu itu. Ini artinya bahwa pejuang-pejuang kita yang secara heroik ikut dalam perjuangan kemerdekaan waktu itu tidak pergi dan ikut ke front dengan bekal yang hampa. Kita dengar kesaksian mereka bahwa ada berbagai jenis dan bentuk ”sesuatu” yang berfungsi sebagai ajimat. Atau ada kekuatan gaib yang lahir dari do’a yang mereka ucapkan atau amalkan dalam masa-masa ikut berjuang tersebut.

(HRN: uraian dari bagian Buku Kiprah Perjuangan Tentara Pelajar dan Peranan Unsur Supra Natural pada Masa Perang Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1945-1949, oleh Drs. H. Ramli Nawawi, ISBN. 979-9419-09-3).                  

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).

Kamis, 24 Oktober 2013

UNSUR KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN



Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Kalimantan Selatan tidak hanya dihuni oleh suku bangsa Banjar. Ada pula suku bangsa Bakumpai yang mengaku dan diakui juga sebagai orang Banjar, tetapi mengembangkan bahasa sendiri (bahasa Bakumpai) yang berbeda sekali dengan bahasa Banjar. Juga di daerah pegunungan sebelah timur terdapat kelompok masyarakat terasing yang dinamakan  orang Bukit, yang digolongkan kedalam suku Dayak. Penamaan orang Bukit ini lebih mengacu pada daerah tempat tinggal mereka yang berada di perbukitan.

Masyarakat suku Banjar yang merupakan penghuni terbesar di daerah ini menganut ajaran agama Islam yang kuat. Upacara keagamaan dapat dilihat baik pada acara-acara resmi pemerintah maupun yang dilakukan masyarakat umum.

Namun jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan, kebanyakan penduduknya menganut kepercayaan lama  yang bersumber dari lingkungan kehidupan mereka sendiri. Kemudian datang agama Hindu dan dengan cepatnya berkembang di seluruh kawasan daerah Kalimantan Selatan. Agama ini menjadi anutan dan tuntunan kehidupan dengan mendirikan candi-candi sebagai manifestasi dari keberadaannya.

Bukti peninggalannya adalah situs bangunan Candi Agung yang terdapat di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara dan situs Candi Laras yang terletak di Margasari Kabupaten Tapin. Sehingga unsur kepercayaan yang dahulu pernah dianut masih juga tertinggal di masyarakat. Dalam beberapa hal unsur-unsur itu tercampur dalam kepercayaan menurut agama Islam. Tetapi selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, masih dikerjakan sebagai suatu tradisi yang wajar.

Sebagai penganut Islam yang taat, suku bangsa Banjar membangun tempat-tempat ibadah seperti Masjid, Langgar (Surau), dan tempat-tempat pendidikan Islam yang khusus dibangun oleh masyarakat setempat. Pengaruh agama Islam bergerak jauh ke pedalaman, yang juga ikut mempengaruhi mitologi rakyat dari suku bangsa yang ada.

Namun demikian seperti disinggung di atas, faktor kepercayaan lama pada zaman nenek moyang, yang bersumber pada unsur-unsur kosmologi tetap melekat baik secara disadari atau pun tidak. Memang sukar untuk mengukur sampai sejauh mana indikasi unsur kosmologi itu melekat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan, tapi hal itu masih dapat dilihat atau dirasakan dalam beberapa tindakan kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Kalimanatan Selatan yang hidup dalam lingkungan adat istiadat sepertinya juga tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan tindakan yang dilazimkan oleh adat. Misalnya, orang mau saja mengadakan atau melakukan sesuatu yang sudah menjadi suatu keharusan agar tidak mendapatkan kemurkaan atau kutukan dari yang dianggap mereka menciptakan peraturan yang sudah diadatkan tersebut.

Masyarakat Kalimantan Selatan baik sukubangsa Banjar maupun kelompok sukubangsa Dayak umumnya juga melaksanakan berbagai adat istiadat yang telah berpola, terutama upacara daur hidup. Contohnya, seorang isteri dari masa kehamilan pertama jika telah mencapai tujuh bulan diadakan acara mandi-mandi yang disebut “mandi tian mandaring”. Ketika lahir dilakukan palas bidan, bapalas “baayun”, diteruskan upacara tasmiah, sunatan. Setelah dewasa ada upacara perkawinan, yang didahului dengan serangkaian adat yang berlaku, mulai basusuluh, badatang, pelaksanaan akad nikah, sampai hari perkawinan penuh dengan aturan-aturan yang diadatkan.

Demikian pula halnya kematian, dilaksanakan serangkaian upacara  yang telah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Dalam masyarakat suku Banjar upacara kematian berlangsung beberapa urutan, yaitu mulai turun tanah, meniga hari, menujuh hari, menyelawi, meampat puluh hari dan menyeratus. Dan setiap tahun dilaksanakan haulan. Tentu saja dalam kaitan ini dibacakan zikir dan doa kepada arwah yang meninggal secara Islam.

Dalam masyarakat sukubangsa Banjar juga mengenal adanya kelompok yang sangat kuat kesatuannya. Hal ini masih dapat ditemui hingga sekarang. Kesatuan itu biasa disebut dengan perkataan “bubuhan”, yang rasa kesatuan sosial dan sifat gotong royongnya  kuat sekali.

Pengertian bubuhan kalau dalam ilmu Antropologi sama dengan keluarga luas, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari lebih dari keluarga inti yang seluruhnya merupakan sistem kesatuan sosial yang sangat erat yang biasanya tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan. Sejak zaman Hindia Belanda bubuhan-bubuhan tidak lagi tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan melainkan telah menyebar ke pemukiman yang saling berjauhan.

Biasanya seorang yang terpandang, mungkin karena memiliki kekayaan atau kedudukan yang tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian dipakai menjadi nama bubuhan, misalnya bubuhan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (penyebar ajaran Islam abad 18 di Kalimantan Selatan).

Diantara kelompok bubuhan ini ada ada yang percaya bahwa mereka dapat menarik garis keturuanan bilateral sampai tokoh zaman dahulu  yang sulit ditelusuri silsilahnya dengan urut. Tokoh tersebut dipercaya menurunkan Sultan-Sultan Banjar atau seorang pejabat kesultanan. Kadang-kadang bubuhan mempunyai benda-benda pusaka yang menjadi lambang keunggulan, atau ada pula yang mempunyai sumber air (sumur) keramat yang berfungsi menghubungkan bubuhan dengan tokoh tertentu melalui dongeng atau legenda. Misalnya legenda sumur datu sebagai tempat Datu Taruna menyimpan harta pusaka.

Kepercayaan demikian itu selalu disertai dengan keharusan bubuhan yang bersangkutan untuk melakukan upacara tahunan yang disebut aruh tahun atau tradisi yang berlaku. Seperti yang pernah dilakukan kelompok masyarakat bubuhan turunan Datu Taruna di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah menyelenggarakan upacara “Manyanggar Banua” disertai berbagai keharusan atau pantangan sehubungan dengan kepercayaan tersebut (yang pernah penulis ikuti kegiatannya pada tahun 1980-an).

Pada beberapa kelompok bubuhan dengan setia melakukan aruh tahun walaupun tidak jelas adanya tokoh nenek moyang yang dapat ditelusuri asal muasalnya. Akan tetapi mereka yakin dengan menjiwai mantra atau mamangan tertentu merasa dapat berhubungan dengan nenek moyang mereka.

Selain itu bagi sebagian masyarakat sukubangsa Banjar hutan belantara, semak belukar dan gunung bukan semata-mata dihuni oleh makhluk bumi melainkan juga didiami oleh makhluk gaib, binatang gaib, datu dan sebagainya. Lingkungan kehidupan manusia merupakan personifikasi dunia gaib, sehingga di kalangan sebagian masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan untuk bumi rata adalah dunia bagi mahluk gaib yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah rawa dan lain sebagainya.

Adanya kepercayaan yang demikian itu bubuhan orang Banjar  yang mendiami daerah tertentu mengadakan upacara setahun sekali, yaitu upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Para petani dalam lingkungan persawahan mengadakan selamatan padang atau menyanggar padang sebelum memulai kegiatan bertani. Para nelayan di pantai Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu setiap tahun menyelenggarakan Upacara Mapantari Tasi dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak di tahun mendatang. Demikian juga sebagai contoh lain para pendulang intan melaksanakan kegiatan selamatan (menyanggar) di lokasi pendulangan sebelum melaksanakan kegiatan pendulangan.

Demikianlah, kebudayaan  dan adat istiadat yang ada dan tumbuh di Kalimantan Selatan cukup banyak variasinya sesuai dengan keadaan kelompok sukubangsa dan kepercayaan yang mereka anut. Meskipun sesungguhnya keberadaan budaya dan adat istiadat itu sudah diketahui, namun tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh semua pihak karena keterikatan pada pemahaman masing-masing individu dan kelompok. Apalagi jika budaya dan adat istiadat itu hendak dikaitkan dengan agama dan kepercayaan penganutnya secara murni dapat menimbulkan persoalan yang berbau SARA dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu diperlukan kearifan kita dalam memahaminya supaya kehidupan bermasyarakat selalu harmonis walaupun berbeda budaya, agama dan kepercayaan.

(HRN: maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).          
       
      

Jumat, 18 Oktober 2013

PINTU-PINTU SORGA


Disusun oleh: Ramli Nawawi
Sahabatku,
Salah satu dari kalimat doa kita ketika selesai melaksanakan shalat tarwih dan witir pada bulan Ramadhan adalah berbunyi : as alukal jannata wa a’uzubika minan naar, atau: Allahumma tiqni minan naar, wa ad hilnal jannata ya rabbal alamiin. Doa kita tersebut pa intinya memohon kepada Allah SWT agar terhindar dari siksa api naraka dan memohon kepada Allah Tuhan pemilik alam ini untuk bisa masuk ke sorgaNya.   

Sahababatku,
Kalau kita mau menyimak isi Al Qur’an, maka Allah SWT telah banyak menggambarkan tentang keindahan surga, tentang kenikmatan yang didapatkan di surga, juga kesenangan yang didapatkan di surga.
Bagaimana keindahan surga telah dilukiskan Allah SWT dalam Surah Ad-Dahr (masa):
                                                                                                                                       
“Apabila engkau lihat di sana, sehingga engkau lihat nikmat (kesenangan yang tidak terhingga) dan kerajaan yang besar”.
Sedangkan nikmat bagi orang-orang yang berada di dalamnya, digambarkan Allah SWT pada ayat 51 dan 52 Surah Ad-Duchan:
                                                                                                                                       
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah, berada dalam tempat yang sentosa (aman). Yakni dalam surga yang bermata air”.
Demikian pula tentang kesenangan dalam surga digambarkan sebagaimana firman-Nya pada Surah Assaffat: ayat 41,42,43:
                                                                                                                               
“Maka bagi mereka itu rezeki yang terang, yakni beberapa buah-buahan, sedangkan mereka dimuliakan, dalam surga kesenangan”.

Sahabatku,

Kalau demikian gambaran keindahan, nikmat dan kesenangan yang diberikan Allah SWT bagi orang-orang yang berhasil memasuki surganya Allah tersebut, maka tidak heran kalau orang-orang kemudian berusaha untuk mendapatkan kuncinya agar bisa juga masuk ke surganya Allah tersebut.

Kunci surga tentu saja bukan seperti kunci bangunan seperti yang kita bayangkan. Menurut banyak ulama, yang dimaksud dengan kunci surga adalah pernyataan dua kalimah syahadat dari seseorang. Maka dengan dua kalimah syahadat itu seseorang akan berhak memasuki surga.

Jadi kunci surga itu adalah berupa ikrar dan keyakinan hati seseorang: bahwa:” tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah”. Tapi belum cukup bahwa seseorang itu bertuhan, atau mengaku percaya pada tuhan. Atau sekedar mengakui bahwa: “alam semesta ini ada penciptanya”.
Tidak cukup seseorang hanya bertuhan kepada Allah SWT, sementara dia masih menuhankan benda-benda lain seperti kuburan, keramat, orang sakti, keris, arwah nenek moyang, dll.

Inti dari kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah adalah bahwa seseorang tidak mengakui adanya segala macam tuhan dan kekuatan , kecuali hanya Allah saja.

Yang kedua dari konsep sahadat adalah bahwa seseorang tidak cukup hanya kagum dan memuji seorang Muhammad SAW. Tetapi harus mengakui bahwa Muhammad SAW itu adalah seorang manusia yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Dan isi wahyu itu adalah sebuah aturan hidup yang harus dijadikan  sebagai pandangan hidup.

Tanpa keyakinan atas hakekat atau inti dari syahadatain, maka surga tidak bisa dimasuki oleh siapapun, karna kunci surga adalah syahadatain.

Sahabatku,
       
Untuk memasuki surga, Allah SWT menyediakan beberapa pintu, sebagaimana firman-Nya, dalam Surah Az-zumar ayat 73:
                                                                                                                    …….
“ Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dibawa ke dalam surga berombong-rombongan, sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka, dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan  atasmu. Berbahagialah kamu. Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”.

Sahabatku,

Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa jumlah pintu surga itu ada 8 buah.
Hadist yang diriwayatkan Bukhari, dari Sahal bin Saad r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Di surga ada 8 pintu, salah satunya pintu yang disebut Ar-Rayyan yang tidak bisa dimasuki kecuali hanya orang-orang berpuasa    

Masing-masing pintu dikhususkan buat orang-orang yang mengamalkan jenis ibadah dan ketaatan tertentu dengan kualitas yang baik. Tentunya orang itu juga sudah punya kunci surga dan pahala ibadahnya tidak berkurang dengan banyaknya dosa yang harus ditebusnya.

Oleh para ulama, dikumpulkan keterangan itu dan berhasil disusun daftar nama-nama pintuitu:
  1. Pintu Muhammad SAW atau pintu taubah
  2. Pintu shalat
  3. Pintu puasa (Ar-Rayyan)
  4. Pintu zakat
  5. Pintu haji dan umrah
  6. Pintu Jihad
  7. Pintu sadekah
  8. Pintu silaturrahmi
Demikian pula surga punya derajatnya masing-masing. Surga yang paling tinggi derajatnya adalah Surga Firdaus Al  A’la. Posisinya ada di bawah Arsy Ar Rahman. Dari surga Firdaus itu keluar mengalir sungai-sungai  surga besar yang empat, yaitu sungai susu, sungai madu, sungai khamar, dan sungai air.

Al Firdaus ini adalah tempat untuk nabi Muhammad SAW nanti, serta orang-orang yang mendapat syafaat dari beliau.
Derajat yang berada di bawah Firdauas adalah surga Illiyyin, yaitu untuk para nabi dan para syuhada. Termasuk juga orang-orang yang sabar dari bala dan penyakit, serta orang-orang yang mencintai di jalan Allah.

Sandaraku,

Semoga setelah kita menunaikan ibadah puasa Ramadhan dan ibadah puasa sunah lainnya, kemudian menjadi orang yang senantiasa berada di jalan Allah, maka kita mohon pintu Ar Rayyan terbuka untuk kita untuk masuk ke sorganya Allah tersebut. Amin.

Jumat, 20 September 2013

SEKILAS TENTANG KOTAMADYA BANJARMASIN



SEKILAS TENTANG KOTAMADYA BANJARMASIN
IBU KOTA PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Ramli Nawawi

Secara geografis Kotamadya Banjarmasin terletak di antara 3° 15 LS sampai dengan 3° 22 LS dan 114° 98 BT, pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah permukaan air laut. Karena itu pada waktu terang bulan air laut bagian selatan naik ke sungai, pantai, dan menggenangi jalan-jalan yang rendah permukaannya  di Kotamadya Banjarmasin. Air laut yang naik ini disebut ”banyu pasang”. Jika banyu teramat dalam disebut pasang ramban, dan kalau pasang terjadi dua kali sehari semalam disebut ”pasang pin dua”. Pada waktu musim kemarau panjang, air pasang ini naik membawa air asin, yang diucapkan oleh orang Banjar muara atau kuala sebagai ”masin”. Hal ini pula menurut  versi penduduk setempat melahirkan nama Banjarmasin.
Sebagaimana daerah lain yang letaknya dekat dengan daerah garis khatulistiwa, Banjarmasin termasuk daerah yang berudara panas, iklim tropis, lembab dan umumnya banyak turun hujan, rata-rata tiap bulan 6-15 hari dengan curah hujan rata-rata 2000-2700 mm, terbesar dalam bulan Desember/Januari dan terkecil dalam bulan Juli/Agustus.  Masing-masing dapat disebut musim timur yang menghembuskan angin yang membawa hawa panas dan musim barat yang membawa hawa dingin dan mengandung basah. Keadaan suhu rata-rata di antara 26° C hingga 34° C. Sesuai dengan keadaan alamnya Banjarmasin dialiri oleh banyak sungai besar dan kecil yang kesemuanya dimanfaatkan untuk sarana perhubungan antar kota, desa dan daerah. Diantaranya adalah Sungai Barito yang terbesar, Sungai Martapura dan sungai-sungai kecil lainnya.
Dekat muara Sungai Barito terdapat pulau-pulau, yaitu Pulau Bakut, Pulau Kambang, Pulau Tempurung, Pulau Tamban, Pulau Alalak dan Pulau Kaget. Di antara pulau-pulau itu Pulau Kambang yang terkenal dipandang keramat oleh sebagian orang dari suku tertentu  di Kalimantan Selatan. Pulau ini seluruhnya didiami oleh kera-kera yang dipandang keramat, diberi sesaji, kemenyan, makanan dan buah-buahan. Kotamadya Banjarmasin sendiri terletak pada sebuah pulau atau delta yang disebut Pulau Tatas, letaknya tidak jauh dari Muara Sungai Barito.
Kotamadya Banjarmasin saat ini di sebelah utara berbatasan dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Barito Kuala, di sebelah selatan dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Tanah Laut, , di sebelah timur dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Banjar, dan di sebelah barat dengan Sungai Barito wilayah Kabupaten Barito Kuala.
Kotamadya Banjarmasin mempunyai luas lebih kurang 72.0776 km²  atau 7.207,76 ha, dengan rincian sebagai berikut: tanah bangunan  1.861,85 ha (25,8%), tanah perkebunan 1.980,20 ha (27,5%), tanah persawahan 2.746,81 ha (38,1%), jalan/sungai 426,26 ha (5,9%), dan rawa-rawa/tanah kosong 192,54 ha (2,7%) * data 1990. Pusat kota terletak di suatu dataran delta di muara cabang Sungai Barito dan keadaan tanahnya hampir seluruhnya merupakan rawa-rawa dan kadang-kadang digenangi air.
Hoone, seorang ahli geologi yang melakukn penelitian tentang Kota Banjarmasin, berkesimpulan bahwa pada kedalaman 4,5 meter sampai dengan 11 meter, jenis batuannya empuk, hitam, lumpur dan tanah liat dengan batang pohon rapuh. Pada kedalaman 26 meter sampai 33 meter, ditemukan tanah merah, tanah liat warna kelabu .Sampai kedalaman itu merupakan bentuk batas-batas geologis. Sampai kedalaman 50 meter terdapat olioceenlogen di atas Zaman Kuartair. Untuk menentukan batas alluvial dan diluvial menemui kesulitan, karena kekurangan bukti-bukti konkret.
Keadaan penggunaan tanah akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan kota. Dengan bertambahnya jumlah penduduk di masa mendatang akan menunjukkan, bahwa penggunaan tanah perkebunan, persawahan dan tanah kosong lainnya akan berangsur-angsur berkurang, dan sebaliknya tanah-tanah bangunan akan bertamabah. (RN, Sejarah Kota Banjarmasin).       
  

Jumat, 23 Agustus 2013

mengerti sejarah



MENGERTI SEJARAH MENDIDIK ORANG BERTINDAK ARIF

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Mungkin sebagian banyak orang Indonesia tahu tentang ungkapan “sejarah adalah cermin kehidupan”. Maksudnya apabila seseorang belajar dan memahami sejarah, ia akan bisa mengetahui kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan suatu tindakan yang perlu diperbaiki, atau sebaliknya tentang kebenaran dan keunggulan yang perlu dipertahankan atau ditingkatkan, bahkan dipakai untuk bertindak ke depan.

Sementara itu untuk menentukan sikap ke depan, tanpa melihat kenyataan-kenyataan yang dihadapi saat ini, tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan. Demikian juga dalam mempelajari dan memahami keadaan masa kini, tidak akan tepat tanpa mengetahui dan memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.

Karena itu dalam pendidikan sejarah dikenal “sistem tiga deminsi”, yakni dengan membahas peristiwa-peristiwa masa lalu, kemudian menganalisa peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (masa kini), maka orang akan melihat gambaran gambaran masa yang akan datang. Dengan demikian orang yang belajar sejarah dengan benar akan dapat membuat kemungkinan-kemungkinan yang harus dilakukan untuk memasuki masa depan.

Tidak bisa dimungkiri juga bahwa ada kaitan berantai antara satu generasi dengan genarasi berikutnya. Umumnya apa yang diwarisi generasi masa kini adalah hasil perjuangan, tindakan, atau prilaku generasi sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut sejarah bisa mewariskan kebanggaan bagi generasi berikutnya, atau sebaliknya mewariskan suatu kebencian terhadap pendahulunya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, mungkin bisa kita simak bagaimana sikap dan tindakan mereka yang dikatagorikan sebagai putra-putra terbaik bangsa pada masa hidupnya. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Jenderal Sudirman, Jenderal A. Yani, Ki Hajar Dewantara, dan beberapa tokoh lainnya yang berjasa  bagi bangsa Indonesia ini, bukankah mereka itu mewariskan kebanggaan di hati anak cucunya, bahkan di hati bangsa Indonesia pada umumnya.

Tetapi bagi mereka yang keliru langkah, seperti (maaf bagi yang belum baca, karena ada pencopot yang merubah judul dan penulis dan masuk ke blog ybs).
Bagi mereka yang menyadari bahwa sejarah akan mewariskan kebanggaan atau kebencian terhadap dirinya, bahkan sadar pula bahwa tidak hanya kebencian tetapi juga penderitaan bagi pewaris mereka yang salah langkah pada masa hidupnya itu, maka bagi orang-orang yang mengerti sejarah hal itu adalah suatu pendidikan yang bisa membuat seseorang berlaku arif dalam berbuat dan bertindak dalam hidupnya.
(RN: disusun dari berbagai sumber).           

Kamis, 22 Agustus 2013

Kamis, 15 Agustus 2013

KELUARGA



            DRS. H. RAMLI NAWAWI
 HJ. YOHANA

Jl. Hayam Wuruk No. 89-90 Komp. Beruntung Jaya
 Banjarmasin Kalimantan Selatan


Mengucapkan
Selamat Hari Raya
IDUL FITRI 1434 H

Minal aidin wal faizin

MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN




Minggu, 28 Juli 2013

GERAKAN BARATIB BAAMAL



Disusun: Ramli Nawawi (tim)

Dalam Perang Banjar (Kalimantan Selatan) terdapat dua tahap aksi perlawanan rakyar Banjar terhadap kolonialisme Belanda. Secara keseluruan Perang Banjar itu berlangsung sejak tahun 1859-1905. Tetapi selama jangka waktu tersebut dapat dibagi atas dua tahap perlawanan, yaitu: 1859-1863 sebagai aksi ofensif, dan 1863-1905 sebagai aksi defensif. Gerakan Baratib Baamal termasuk tahap perlawanan aksi defensif yang merupakan satu dari episode-episode konflik bersenjata antara rakyat Banjar dengan kekuatan kolonial Belanda.
Dalam Gerakan Baratib Baamal tampak adanya penampilan kembali sentimen keagamaan yang kuat sekali dengan mengadakan upacara religi-mistik di dalam usahanya untuk membangkitkan dan mengobarkan kembali semangat dan kegairahan perang. Moral perjuangan yang nampaknya sedang menurun di lingkungan rakyat Banjar berhasil ditingkatkan kembali di dalam suatu pergerakan keagamaan sehingga melahirkan aksi-aksi ofensif baru di beberapa daerah dan penuh fanatisme keagamaan.
Dalam Perang Banjar dapat disatukan kekuatan yang diorganisir oleh elite sekular tradisional. Berhasil pula digerakkan kekuatan dibawah pimpinan elite religius sehubungan situasinya menjadi hangat kembali setelah ofensif menurun. Kekuatan masa rakyat yang membentuk kekuatan ofensif baru dibawah pimpinan elite religius ini dikenal dengan sebutan ”Baratib Baamal”.
Secara etimologis Baratib Baamal itu terdapat dua pengertian kata, baratib yang berarti berzikir dengan menyebut: ”La ilaha illallah” berulang-ulang dengan jumlah yang sudah ditentukan, umpama dengan jumlah 70.000  kali. Sedangkan baamal artinya berbuat baik dengan melakukan amal perbuatan ibadah kepada Tuhan.
Baratib Baamal ialah memuji-muji Tuhan sambil memohon sesuatu, umpama mohon panjang umur, banyak rezeki atau memohon keselamatan. Adalah logis dalam menghadapi ancaman Belanda tersebut diperlukan moral dan kepercayaan atas kekuatan yang ada, yaitu kekebalan. Gerakan ini bersifat keagamaan, karena itu pimpinannya adalah seorang ”tuan guru’ atau ulama yang berpengaruh atau tokoh elite religius.
Praktek yang dilakukan oleh gerakan ini sebagai berikut: Para jamaah atau pengikut zikir tersebut, yaitu kaum muslimin, mula-mula berkumpul di langgar atau masjid dan dengan pimpinan seorang tuan guru, mereka berzikir dengan mengucap ”La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan melainkan Allah) sebanyak sebelas kali, masing-masing dengan dilengkapi dengan pujian-pujian dan permohonan panjang umur, murah rezeki, dan sebagainya.

Secara lengkap zikir itu berbunyi:
1.      La ilaha illallah  : rezeki minta murahkan, bahaya minta jauhkan, umur minta
                                   panjangkan serta iman.
2.      La ilaha illalla    : tempat di Mekah ke Madinah, disitu tempat Rasul Allah.
3.      La ilaha illallah   : tempat di Mekah ke Madinah, disitu tempat Siti Fatimah.
4.      La ilaha illallah    : hati yang sidiq, ya maulana, ya Muhammad Rasul Allah.
5.      La ilaha illallah    : hati yang mukmin, baik Allah.
6.      La ilaha illallah    : Nabi Muhammad hamba Allah.
7.      La ilaha illallah    : Muhammad sifat Ullah.
8.      La ilaha illallah    : Muhammad aulianya Allah.
9.      La ilaha illallah    : Muhammad Rasul Allah.
10.  La ilaha illallah    : Muhammad Rasul Allah.
11.  La ilaha illallah    : maujud Allah

Praktik berzikir berlangsung lama. Mereka seolah-olah lupa diri, tenggelam dalam rasa keasyikan agama yang tiada bandingnya. Pujian-pujian itu dan permohonan tersebut mula-mula bernada rendah kemudian meninggi, keras berupa jeritan-jeritan histeris. Badan terutama kepala mengikuti gerakan tertentu dan dengan mengucap puji pada Allah semesta. Dalam situasi demikian pula moral perjuangan ditingkatkan lagi sehingga siap menyerbu lagi tanpa menghiraukan resiko maut yang dihadapinya. Dalam kelompok yang jumlahnya ratusan mereka bergerak mencari musuh dan menghantamnya dengan penuh keberanian di tempat manapun mereka menjumpainya.
Perlengkapan persenjataan yang dipergunakan ialah tombak, parang, keris, dan ada juga beberapa pucuk senapan. Pakaian mereka jubah putih dan serban putih, sedangkan pimpinan mereka memilih seluruhnya kuning.
Dengan mengucap ”La ilaha illallah” mereka menyerbu musuh tanpa keragu-raguan sedikit pun dan tanpa menghiraukan maut yang mengancam mereka. Letak keberanian mereka ialah pada keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi bekas kecuali Allah dan tidak ada Tuhan lain kecuali Allah. Fanatisme keagamaan yang sangat tinggi di samping dari tokoh tuan guru yang memimpin Baratib Baamal memberi semangat yang membaja pada pengikutnya.
Dengan menggunakan masjid sebagai pusat perjuangan, mereka bergerak dari satu desa ke desa lainnya dan mengajak rakyat untuk berjuang mengusir orang kafir. Medan operasi mereka adalah desa Kalua, Amuntai dan Alai yang terletak di daerah Hulu Sungai. Daerah ini disamping penduduknya terbanyak, tanahnya subur, juga semangat fanatisme agama paling tinggi.
Belanda terpaksa menggunakan ulama-ulama yang memihak Belanda dengan menyebarluaskan bahwa Gerakan Baratib Baamal adalah suatu pemalsuan terhadap agama Islam yang murni. Berzikir sebagai yang mereka lakukan adalah menyesatkan karena membuat orang percaya akan kekebalan diri. Yang akan menyeret rakyat yang tidak berdosa ke dalam lembah kesengsaraan akibat perbuatan yang sesat melawan pemerintah yang sah. Disamping itu Belanda mengancam pula dengan hukuman bagi orang yang menyembunyikan, mengambil bagian ataupun melindunginya.
Masyarakat Banjar adalah berjiwa religius. Sejak agama Islam masuk dalam abad ke 16, agama itu menjadi identifikasi sosiokultural dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam masyarakat yang demikian sentimen agama mudah dibangkitkan untuk kepentingan hal-hal yang sebenarnya tidak religius. Sejak semula sebelum pergumulan pisik itu meletus, sebenarnya faktor-faktor non religius lebih banyak tampil kedepan untuk menimbulkan kegelisahan sosial yang kemudian meningkat menjadi perlawanan atau pemberontakan. Dalam pergolakan tersebut aspek sekular dan religius bersifat saling komplementer.
Baratib Baamal termasuk pergerakan keagamaan, karena dalam usaha mencapai tujuannya gerakan ini mempergunakan cara-cara keagamaan dengan pimpinannya adalah pimpinan agama. Karakteristik dari gerakan ini adalah ”magico-mysticism” yaitu keyakinan diantara penganutnya tentang adanya kekebalan-kekebalan yang diperolah dengan melakukan rite-rite religi-mistik berupa berzikir dan beramal. Dari rite ini militansi mereka ditingkatkan. Karakteristik kedua ialah adanya keyakinan akan kekuatan supra natural atau magis yang dimiliki pimpinan religius mereka yang kharismatis. Karena kedua karakteristik inilah dalam tingkah laku militansi yang memuncak akan mengabaikan sikap hati-hati dan tidak lagi menghiraukan maut.-   
(Sumber: Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan).

(HRN:  Maaf naskah ini jangan di copy ke bolg lain).

KANDANGAN: PASAR KELAPA


Sabtu, 29 Juni 2013

SUNAN AMPEL



Oleh: Ramli Nawawi

(Sekilas tentang Raden Rahmat pendiri Masjid Ampel Surabaya)

Campa adalah suatu kerajaan yang masyhur pada abad ke 15. Negeri Campa terletak di benua Asia bagian tenggara. Negeri yang menurut sejarahnya tidak pernah mengalami penjajahan ini sampai sekarang masih berbentuk kerajaan.
Di Campa inilah pada sekitar 500 tahun yang lalu lahir seorang bayi yang oleh orang tuanya diberi nama Sayid Ali Rahmatullah. Orang tuanya sendiri bernama Syekh Maulana Ibrahim Samargandi. Nama Samargandi tersebut karena dia berasal dari Samarkand, sebuah daerah di Rusia.
Dalam sejarah, Samarkand memang daerah yang terkenal sebagai tempat ulama-ulama Islam yang masyhur di dunia. Di Samarkand inilah terdapat daerah lagi yang bernama Bukhara, tempat lahirnya seorang ulama (sarjana) hadits terkenal bernama Imam Bukhari yang masyhur sebagai seorang perawi (penulis) hadits Nabi Muhammad S.A.W., yang diakui kalangan umat Islam sebagai hadits-hadits sahih sampai saat ini.
Selain itu di Samarkand terdapat pula seorang ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra, seorang Ahlussunnah Wal Jamaah bermazhab Imam Syafii. Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra inilah yang menurunkan Syekh Maulana Ibrahim Samargandi, yang ketika menyiarkan agama Islam ke Campa, oleh raja Campa dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candra Wulan. Dari perkawinan antara Syekh Maulana Ibrahim Samargandi dengan Dewi Candra Wulan inilah lahir Sayid Ali Rahmatullah. Sedangkan putri Campa lainnya yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya raja Majapahit.
Tidak seorangpun yang menduga kalau Sayid Ali Rahmatullah yang dilahirkan dan dibesarkan di negeri Campa ini kemudian menjadi orang pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sejarah memang merupakan suatu peristiwa sebab akibat yang pantarai. Meninggalnya Gajah Mada seorang Maha Patih Kerajaan Majapahit di tanah Jawa menyebabkan kerajaan ini menjadi mundur secara derastis. Keamanan di masyarakat tidak bisa ditegakkan secara tegas. Di kalangan istana sendiri terjadi kemerosotan moral, seperti para bangsawan dan para pangeran banyak yang berpesta pora, main judi dan mabuk-mabukan. Keadaan inilah yang menyebabkan Prabu Brawijaya, ketika ia naik tahta sebagai raja terakhir di Majapahit merasa gelisah dan sedih. Prabu Brawijaya menyadari bahwa apabila hal tersebut terus berlangsung negara akan menjadi lemah dan Majapahit akan lebih mudah dihancurkan oleh musuh. Usaha-usaha Prabu Brawijaya untuk mengembalikan ketertiban di masyarakat maupun di kalangan istana dengan memanfaatkan pejabat-pejabat dan kekuatan kerajaan lainnya selalu tidak memberikan hasil yang memadai.
Dalam situasi serba kacau itulah Dewi Dwarawati, isteri Prabu Brawijaya asal negeri Campa mencoba mengajukan pendapat kepada suaminya, untuk mendatangkan keponakannya seorang Pangeran dari Campa yang bernam Sayid Ali Rahmatullah. Diceritakan oleh Dewi Dwarawati kepada suaminya bahwa Sayid Ali Rahmatullah di negerinya dikenal sebagai seorang arif dan bijak yang mempunyai banyak kemampuan dalam berbagai hal. Terdorong oleh keinginan demi ketentraman masyarakat dan kebaikan bagi Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya dapat menyetujui pendapat isterinya. Sehubungan dengan itu raja memberangkatkan utusan ke negeri Campa untuk memintakan kesediaan Sayid Ali Rahmatullah dan ijin orang tuanya untuk membawa Sayid Ali Rahmatullah ke Majapahit, sesuai dengan permintaan Prabu Brawijaya dan isterinya Dewi Dwarawati. Segalanya berlangsung lancar dan Sayid Ali Rahmatullah kemudian berangkat ke tanah Jawa. Setibanya di Kerajaan Majapahit ia menghadap Prabu Brawijaya, yang selanjutnya menugaskannya untuk memperbaiki moral para bangsawan dan para pangeran yang telah rusak ahlaknya tersebut.
Setelah beberapa waktu tinggal di istana Majapahit Prabu Brawijaya menjodohkannya dengan puterinya yang bernama Dewi Candrawati.atau Nyai Ageng Manila. Sementara itu para pangeran dan para bangsawan istana, para adipati dan bupati diperintahkan untuk belajar budi pekerti. Maka untuk melaksanakan tugasnya Prabu Brawijaya menghadiahkan sebidang tanah yang terletak di Desa Ampel kepada Sayid Ali Rahmatullah dan isterinya untuk mereka tinggal bersama-sama pengikut dan murid-muridnya.
Sayid Ali Rahmatullah sejak kawin dengan Dewi Candrawati puteri raja Majapahit tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama Raden Rahmat. Bagi Raden Rahmat misi penyebaran Islam di tanah Jawa ini secara resmi dimulainya ketika ia beserta isteri dan orang-orang yang menjadi pengikutnya berangkat dari Kerajaan Majapahit menuju lokasi tanah di Desa Ampel yang dihadiahkan Prabu Brawijaya kepadanya. Sepanjang jalan perjalanannya Raden Rahmat memberikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk desa yang dilaluinya. Menurut cerita rakyat, kipas-kipas tersebut berguna sebagai obat penyembuh bagi mereka yang mendapat sakit demam atau batuk. Dengan memohon pertolongan Allah S.W.T  kipas tersebut direndam di air putih dan kemudian diminumkan kepada si sakit maka dengan ijin Allah penyakitnya akan sembuh.
Rakyat yang mendengar berita bahwa kipas dan akar tumbuhan yang dibawa Raden Rahmat berhasiat menyembuhkan penyakit, kemudian banyak diminta oleh masyarakat desa-desa yang dilaluinya berserta istri dan pengikutnya. Raden Rahmat tidak menjualnya, ia hanya cukup menukarnya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Bersamaan dengan itu ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Demikian sepanjang perjalanan dari pusat Kerajaan Majapahit, melalui Desa Krian, Wonokromo, terus memasuki Kembang Kuning ke Desa Ampel Denta, Raden Rahmat telah berhasil mengislamkan penduduk yang bermukim di sepanjang jalan yang dilaluinya tersebut.
Raden Rahmat ketika itu berusia kurang lebih 20 tahun. Setelah berada di Desa Ampel Denta ia bersama pengikutnya mendirikan tempat tinggal dan sebuah langgar  untuk melaksanakan shalat lima waktu berjamaah. Raden Rahmat juga membangun sebuah pondokan untuk tempat mengajar pengikut dan murid-muridnya. Prabu Brawijaya juga memerintahkan para adipati dan bupati belajar budi pekerti di Ampel. Sedangkan anak-anak mereka diharuskan menetap di pondokan Ampel untuk belajar.
Dalam misinya menyebarkan agama Islam Raden Rahmat juga suka turun ke masyarakat. Untuk bisa mendekati guna menyadarkan dan mengislamkan merka, Raden Rahmat pada suatu waktu ikut pula dalam suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat. Salah satu kegemaran masyarakat pada waktu itu adalah melakukan judi sabung ayam. Untuk bisa berkumpul dengan mereka maka Raden Rahmat ikut pula dalam kegiatan tersebut. Agar ia bisa dikenal oleh seluruh masyarakat yang gandrung melakukan judi sabung ayam, Raden Rahmat meminta kepada Tuhan agar ayam miliknya selalu menang dalam pertandingan tersebut. Permintaan Raden Rahmat ternyata dikabulkan Tuhan, sehingga ayam miliknya tidak pernah kalah dalam pertandingan. Hal ini menyebabkan semua orang yang hadir mengagumi ayamnya. Dalam kesempatan seperti itulah ia menyampaikan dakwahnya. Ia memberitahukan bahwa ayamnya selalu menang dalam persabungan karena ia telah meminta kepada Tuhan Allah agar ayamnya dimenangkan. Dikatakannya pula bahwa siapapun bisa meminta kepada Allah agar ayamnya dimenangkan, asal yang empunya mau mengucapkan dua kalimah syahadat. Bagi mereka yang bersedia, maka Raden Rahmat memintakan kepada Allah agar ayamnya dimenangkan. Setelah beberapa waktu kemudian Raden Rahmat dengan secara bijaksana memberikan pengertian bahwa perbuatan judi sabung ayam tersebut sebenarnya dilarang oleh Allah.
Ketika itu rumah penduduk Desa Ampil baru sekitar 500 buah rumah tangga. Raden Rahmat yang di daerah baru ini kemudian banyak dikenal oleh masyarakat sebagai orang bijaksana dan ahli dalam agama Islam, kemudian lebih dikenal dengan gelar Sunan Ampel (Sunan Ngampel).
Setelah Sunan Ampel mendiami daerah itu, perkampungan menjadi masyhur dengan nama Ampel Denta dan Ampel Gading. Nama-nama itu merupakan lambang kejujuran dan keadilan  Sunan Ampel. Hal ini mengandung makna bahwa segala fatwa dan ucapan Sunan Ampel waktu itu dianggap masyarakat sebagai ”Sabda Pandita Ratu”, yang apabila telah diucapkan maka sah dan tidak akan ditarik lagi. Hal ini diibaratkan dento atau gigi dan gading gajah dewasa yang apabila gugur pasti tidak akan tumbuh lagi.
Sunan Ampel yang semula bernama Sayid Ali Rahmatullah datang ke Pulau Jawa pada tahun 1421 M. Apabila waktu itu ia baru berusia kurang lebih 20 tahun, maka berarti ia lahir pada sekitar tahun 1401 M. Sunan Ampel termasuk salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa meneruskan misi yang dirintis oleh Malik Ibrahim yang meninggal pada tahun 1419 M.
(Sumber buku: Masjid Ampel Sejarah, Fungsi dan Peranannya, oleh: Ramli Nawawi)