Jumat, 23 September 2011

UNSUR KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN


Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Kalimantan Selatan tidak hanya dihuni oleh suku bangsa Banjar. Ada pula suku bangsa Bakumpai yang mengaku dan diakui juga sebagai orang Banjar, tetapi mengembangkan bahasa sendiri (bahasa Bakumpai) yang berbeda sekali dengan bahasa Banjar. Juga di daerah pegunungan sebelah timur terdapat kelompok masyarakat terasing yang dinamakan orang Bukit, yang digolongkan kedalam suku Dayak. Penamaan orang Bukit ini lebih mengacu pada daerah tempat tinggal mereka yang berada di perbukitan.

Masyarakat suku Banjar yang merupakan penghuni terbesar di daerah ini menganut ajaran agama Islam yang kuat. Upacara keagamaan dapat dilihat baik pada acara-acara resmi pemerintah maupun yang dilakukan masyarakat umum.

Namun jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan, kebanyakan penduduknya menganut kepercayaan lama yang bersumber dari lingkungan kehidupan mereka sendiri. Kemudian datang agama Hindu dan dengan cepatnya berkembang di seluruh kawasan daerah Kalimantan Selatan. Agama ini menjadi anutan dan tuntunan kehidupan dengan mendirikan candi-candi sebagai manifestasi dari keberadaannya.

Bukti peninggalannya adalah situs bangunan Candi Agung yang terdapat di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara dan situs Candi Laras yang terletak di Margasari Kabupaten Tapin. Sehingga unsur kepercayaan yang dahulu pernah dianut masih juga tertinggal di masyarakat. Dalam beberapa hal unsur-unsur itu tercampur dalam kepercayaan menurut agama Islam. Tetapi selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, masih dikerjakan sebagai suatu tradisi yang wajar.

Sebagai penganut Islam yang taat, suku bangsa Banjar membangun tempat-tempat ibadah seperti Masjid, Langgar (Surau), dan tempat-tempat pendidikan Islam yang khusus dibangun oleh masyarakat setempat. Pengaruh agama Islam bergerak jauh ke pedalaman, yang juga ikut mempengaruhi mitologi rakyat dari suku bangsa yang ada.

Namun demikian seperti disinggung di atas, faktor kepercayaan lama pada zaman nenek moyang, yang bersumber pada unsur-unsur kosmologi tetap melekat baik secara disadari atau pun tidak. Memang sukar untuk mengukur sampai sejauh mana indikasi unsur kosmologi itu melekat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan, tapi hal itu masih dapat dilihat atau dirasakan dalam beberapa tindakan kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Kalimanatan Selatan yang hidup dalam lingkungan adat istiadat sepertinya juga tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan tindakan yang dilazimkan oleh adat. Misalnya, orang mau saja mengadakan atau melakukan sesuatu yang sudah menjadi suatu keharusan agar tidak mendapatkan kemurkaan atau kutukan dari yang dianggap mereka menciptakan peraturan yang sudah diadatkan tersebut.

Masyarakat Kalimantan Selatan baik sukubangsa Banjar maupun kelompok sukubangsa Dayak umumnya juga melaksanakan berbagai adat istiadat yang telah berpola, terutama upacara daur hidup. Contohnya, seorang isteri dari masa kehamilan pertama jika telah mencapai tujuh bulan diadakan acara mandi-mandi yang disebut “mandi tian mandaring”. Ketika lahir dilakukan palas bidan, bapalas “baayun”, diteruskan upacara tasmiah, sunatan. Setelah dewasa ada upacara perkawinan, yang didahului dengan serangkaian adat yang berlaku, mulai basusuluh, badatang, pelaksanaan akad nikah, sampai hari perkawinan penuh dengan aturan-aturan yang diadatkan.

Demikian pula halnya kematian, dilaksanakan serangkaian upacara yang telah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Dalam masyarakat suku Banjar upacara kematian berlangsung beberapa urutan, yaitu mulai turun tanah, meniga hari, menujuh hari, menyelawi, meampat puluh hari dan menyeratus. Dan setiap tahun dilaksanakan haulan. Tentu saja dalam kaitan ini dibacakan zikir dan doa kepada arwah yang meninggal secara Islam.

Dalam masyarakat sukubangsa Banjar juga mengenal adanya kelompok yang sangat kuat kesatuannya. Hal ini masih dapat ditemui hingga sekarang. Kesatuan itu biasa disebut dengan perkataan “bubuhan”, yang rasa kesatuan sosial dan sifat gotong royongnya kuat sekali.

Pengertian bubuhan kalau dalam ilmu Antropologi sama dengan keluarga luas, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari lebih dari keluarga inti yang seluruhnya merupakan sistem kesatuan sosial yang sangat erat yang biasanya tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan. Sejak zaman Hindia Belanda bubuhan-bubuhan tidak lagi tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan melainkan telah menyebar ke pemukiman yang saling berjauhan.

Biasanya seorang yang terpandang, mungkin karena memiliki kekayaan atau kedudukan yang tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian dipakai menjadi nama bubuhan, misalnya bubuhan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (penyebar ajaran Islam abad 18 di Kalimantan Selatan).

Diantara kelompok bubuhan ini ada ada yang percaya bahwa mereka dapat menarik garis keturuanan bilateral sampai tokoh zaman dahulu yang sulit ditelusuri silsilahnya dengan urut. Tokoh tersebut dipercaya menurunkan Sultan-Sultan Banjar atau seorang pejabat kesultanan. Kadang-kadang bubuhan mempunyai benda-benda pusaka yang menjadi lambang keunggulan, atau ada pula yang mempunyai sumber air (sumur) keramat yang berfungsi menghubungkan bubuhan dengan tokoh tertentu melalui dongeng atau legenda. Misalnya legenda sumur datu sebagai tempat Datu Taruna menyimpan harta pusaka.

Kepercayaan demikian itu selalu disertai dengan keharusan bubuhan yang bersangkutan untuk melakukan upacara tahunan yang disebut aruh tahun atau tradisi yang berlaku. Seperti yang pernah dilakukan kelompok masyarakat bubuhan turunan Datu Taruna di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah menyelenggarakan upacara “Manyanggar Banua” disertai berbagai keharusan atau pantangan sehubungan dengan kepercayaan tersebut (yang pernah penulis ikuti kegiatannya pada tahun 1980-an).

Pada beberapa kelompok bubuhan dengan setia melakukan aruh tahun walaupun tidak jelas adanya tokoh nenek moyang yang dapat ditelusuri asal muasalnya. Akan tetapi mereka yakin dengan menjiwai mantra atau mamangan tertentu merasa dapat berhubungan dengan nenek moyang mereka.

Selain itu bagi sebagian masyarakat sukubangsa Banjar hutan belantara, semak belukar dan gunung bukan semata-mata dihuni oleh makhluk bumi melainkan juga didiami oleh makhluk gaib, binatang gaib, datu dan sebagainya. Lingkungan kehidupan manusia merupakan personifikasi dunia gaib, sehingga di kalangan sebagian masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan untuk bumi rata adalah dunia bagi mahluk gaib yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah rawa dan lain sebagainya.

Adanya kepercayaan yang demikian itu bubuhan orang Banjar yang mendiami daerah tertentu mengadakan upacara setahun sekali, yaitu upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Para petani dalam lingkungan persawahan mengadakan selamatan padang atau menyanggar padang sebelum memulai kegiatan bertani. Para nelayan di pantai Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu setiap tahun menyelenggarakan Upacara Mapantari Tasi dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak di tahun mendatang. Demikian juga sebagai contoh lain para pendulang intan melaksanakan kegiatan selamatan (menyanggar) di lokasi pendulangan sebelum melaksanakan kegiatan pendulangan.

Demikianlah, kebudayaan dan adat istiadat yang ada dan tumbuh di Kalimantan Selatan cukup banyak variasinya sesuai dengan keadaan kelompok sukubangsa dan kepercayaan yang mereka anut. Meskipun sesungguhnya keberadaan budaya dan adat istiadat itu sudah diketahui, namun tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh semua pihak karena keterikatan pada pemahaman masing-masing individu dan kelompok. Apalagi jika budaya dan adat istiadat itu hendak dikaitkan dengan agama dan kepercayaan penganutnya secara murni dapat menimbulkan persoalan yang berbau SARA dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu diperlukan kearifan kita dalam memahaminya supaya kehidupan bermasyarakat selalu harmonis walaupun berbeda budaya, agama dan kepercayaan. (HRN: disusun dari berbagai sumber).