Sabtu, 20 Februari 2010

DO'A IBRAHIM BIN ADHAM

Disusun: Ramli Nawawi

Bagi kita umat yang beriman kepada Allah, dalam menjalani kehidupan ini dituntut untuk berikhtiar di samping berdo’a. Allah SWT juga mengisyaratkan kepada kita, bahwa Allah akan mengabulkan do’a kita, seperti firmannya dalam Surah Almu’min 60:
"Berdoalah kamu kepadaKu, niscaya Aku perkenankan permintaanmu”.
Tapi bukankah banyak orang yang merasa doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Rasulullah SAW juga sejak dulu sudah menduga tentang adanya orang-orang yang merasa doanya tidak dikabulkan, seperti sabdanya:
"Padahal doamu itu akan dikabulkan, tapi ketika belum terlaksana, orang itu akan berkata: Sudah sering aku berdoa, tapi belum juga dikabulkan".

Ketika kita berdoa kepada Allah kita tentu tahu tata cara yang dicontohkan Rasulullah. Disamping itu mari kita perhatikan pesan seorang sufi yang bernama Ibrahim bin Adham. Sufi dari Persia yang meninggal tahun 165 H (782 M) ini, sebelumnya adalah seorang bangsawan Negeri Balkah, yang meninggalkan negerinya kemudian hidup bersama orang-orang miskin yang tinggal di pinggiran kota Mekah, karena semata-mata untuk hidup berhalwat yang sempurna guna mendapatkan cinta Allah SWT.

Ketika para sahabatnya bertanya tentang doa yang tidak diterima Allah, Ibrahim bin Adham bekata: ”Hati kalian telah mati karena 10 perkara”:
1. Kamu mengaku mengenal Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajiban kepadanya.
2. Kamu mengenal Al Qur’an, tapi tidak membacanya dan mengamalkan isinya.
3. Kamu mengaku cinta kepada Rasulullah SAW, tapi kamu tinggalkan sunahnya.
4. Kamu menyatakan bermusuhan dengan syaitan, tetapi kamu ikuti ajakannya.
5. Kamu ingin masuk surga, tetapi tidak sungguh-sungguh dalam beramal untuk memasukinya.
6. Kamu ingin selamat dari siksa neraka, tetapi kamu melemparkan dirimu sendiri ke dalamnya.
7. Kamu sibuk mengoreksi aib orang lain, tapi kamu tidak mau mengoreksi aib kamu sendiri.
8. Kamu tahu kematian itu pasti datang, tetapi kamu tidak mempersiapkan diri untuk itu.
9. Kamu menguburkan orang-orang mati, tetapi kamu tidak mengambil pelajaran dari mereka.
10. Kamu telah diberi berbagai nikmat oleh Allah SWT, tetapi kamu tidak mensyukurinya.

Mengapa Ibrahim bin Adham meninggalkan kebangsawanannya dengan kehidupan dunia yang gemerlap, ketika para sahabatnya yang bertanya sesudah mengetahui asal-usulnya. Ibrahim berkata: "Suatu hari aku memegang sebuah cermin. Tiba-tiba saja dalam cermin aku melihat sebuah kuburan yang di dalamnya tidak ada yang aku kenal. Kemudian aku harus menempuh suatu perjalanan jauh yang terbentang di hadapanku, padahal aku tidak punya bekal apa-apa. Kemudian aku melihat seorang hakim yang adil, sedangkan aku tidak mempunyai seorangpun yang membela diriku. Karena itulah aku kemudian benci terhadap kebangsawananku dengan segala kemewahannya”.
Ibrahim kemudian meninggalkan negerinya, dan bekerja apa saja utk mendapatkan rezki yang halal. Ia bahkan hidup di antara orang-orang miskin di pinggiran kota Mekah.
Ketika Ibrahim meninggalkan Balkah negerinya, ia meninggalkan anaknya yang masih menyusu. Anak yang kemudian tumbuh sebagai seorang pemuda ini menanyakan kepada ibunya tentang bapaknya. Ibunya mengatakan kalau bapaknya telah meninggalkannya. Karena itu pemuda ini kemudian mengajak beberapa orang Balkah untuk menemaninya pergi berhaji ke Mekah sekalian untuk berdoa kepada Allah semoga dipertemukan dengan ayahnya.

Ketika sampai di Mekah, di pintu masjid pemuda dan rombongannya bertemu dengan serombongan sufi. Pemuda ini bertanya apakah mereka mengenal orang yang bernama Ibrahim bin Adham. Salah seorang menjawab, Ibrahim bin Adham adalah sahabat mereka, ia sedang mencari makanan untuk menjamu mereka. Pemuda minta diantar ke tempat Ibrahim. Pemuda lalu dibawa ke bagian kota Mekah yang dihuni orang-orang miskin. Di situ pemuda ini melihat Ibrahim tanpa alas kaki dan tanpa tutup kepala sedang memikul kayu bakar. Berlinang air mata pemuda itu, tapi ia kendalikan dirinya. Ia buntuti ayahnya sampai ke pasar. Sampai di pasar ayahnya menawarkan kayu bakar untuk ditukar dengan beberapa roti. Roti itu dibawa ayahnya dan disuguhkannya kepada para sahabatnya.
Pemuda ini tidak langsung menemui ayahnya, karena tentu ayahnya tidak mengenalnya. Karena itu ia segera kembali ke Balkah untuk mengajak ibunya untuk menjemput ayahnya. Tapi ibunya menasihatinya agar menemuinya nanti pada saat melaksanakan ibadah haji.

Musim haji berikutnya pemuda dan ibunya berhaji ke Mekah. Pada saat melaksanakan tawaf pemuda tersebut bertemu dengan Ibrahim. Pemuda itu mendekatinya, dan Ibrahim terkesima memperhatikan pemuda tersebut. Habis tawaf teman Ibrahim bertanya mengapa ia memperhatikan pemuda itu. Ibrahim menjelaskan, ia yakin pemuda itu anaknya yang dulu ditinggalkannya.

Esoknya teman Ibrahim mencari pemuda itu. Ia bertanya apakah pemuda itu dari Balkah, dijawab ya. Siapa nama ayahmu, dijawab pemuda bahwa ayahnya bernama Ibrahim bin Adham.
Teman Ibrahim membawa pemuda itu bersama ibunya menemui Ibrahim yang sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya di pojok ka’bah. Begitu sampai, ibunya tak sabar dan berteriak: "inilah ayahmu". Tapi pemuda itu dapat menguasai dirinya, ia mengucapkan salam kepada ayahnya. Ibrahim menjawab salamnya dan merangkulnya, sambil bertanya:
Agama apa yang kau anut, pemuda itu menjawab Islam. “Alhamdulillah, apa kamu dapat membaca Al Qur’an, di jawab: dapat. “ Alhamdulillah, apakah sudah mendalami agama mu itu, dijawab sudah.
Setelah itu Ibrahim melepaskan pelukannya, ia hendak pergi. Tapi anaknya tak mau melepaskannya. Ibunya menjerit. Tapi Ibrahim menengadahkan tangannya dan berseru: “Ya Allah selamatkanlah diriku ini”. Seketika itu juga apa yang terjadi, anaknya yang disayanginya dan menimbulkan rasa cintanya kepada anaknya yang ada dalam rangkulannya tersebut sesaat kemudian menemui ajalnya. Anak tersebut dengan tenang menghembuskan napasnya yang terakhir.

Ketika semua acara pemakaman anak tersebut telah selesai, seorang sahabat Ibrahim bertanya tentang meninggalnya anaknya tersebut kepada Ibrahim: mengapa hal itu terjadi. Ibrahim berkata: “Ketika aku merangkul anakku, timbul rasa cintaku kepadanya. Bersamaan dengan itu aku mendengar suara menyeru kepadaku: Engkau telah mencintai seseorang di samping Aku Tuhanmu, padahal engkau pernah menasihati teman-temanmu untuk tidak memandang wajah wanita dan anak-anak. Tetapi engkau sendiri lebih tertarik pada wanita dan pemuda itu.

Mendengar itu aku berdoa: Ya Allah selamatkanlah aku ini. Anak itu akan merenggut seluruh perhatianku, sehingga aku tidak dapat sepenuhnya mencintai Mu lagi Tuhan ku. Cabutlah nyawa anakku ini, atau cabutlah nyawaku sendiri. Dan rupanya kematian anakku tersebut merupakan jawaban doa ku tersebut".

Itulah pendirian seorang sufi yang tidak mau membagi cintanya kepada Allah SWT, meski itu kepada anak dan isterinya sendiri. Doanya selalu didengar oleh Allah.
Bagi kita sebagai mukmin dan mukminat tentu saja tidak atau belum selevel Ibrahim bin Adham, kita tentu menyayangi dan mencintai anak-anak dan keluarga kita, karena mereka adalah titipan Allah SWT, tetapi jangan pula kecintaan dan kesayangan tersebut menjadi hambatan bagi kita untuk menunaikan segala kewajiban kita kepada Allah SWT, karena anak-anak dan keluarga kita tersebut, di samping mereka selain titipan Allah SWT juga merupakan ujian terhadap keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
.
Demikianlah sekilas tentang seorang sufi yang hidup di abad VIII di negeri Persia. Di akhir hayatnya Ibrahim bin Adham terbunuh syahid ketika mengikuti angkatan laut yang melakukan penyerangan Bizantium sekitar tahun 782 M. Catatan: naskah disarikan dari berbagai sumber(ramlinawawiutun.blogspot.com)

Jumat, 05 Februari 2010

AMOK HATARUKUNG

AMOK HANTARUKUNG
(Perlawanan sporadis bagian dari Perang Banjar)
Oleh: Ramli Nawawi
Hantarukung adalah nama sebuah perkampungan yang termasuk dalam Desa Wasah Hilir
di Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekarang. Di Desa Wasah Hilir, tepatnya di perkampungan Hantarukung yang berjarak 7 km dari Kandangan ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan ini, dulu pada tahun 1899 telah terjadi pertumpahan darah perlawanan terhadap Belanda.

Amok Hantarukung adalah (perang amuk yang dilakukan penduduk di kampung Hantarukung) yang merupakan perlawanan bagian dari Perang Banjar terhadap penjajahan Belanda. Perlawanan ini dipelopori oleh seorang penduduk bernama Bukhari. Ia seorang kelahiran Hantarukung pada tahun 1850, yang sejak masa muda hingga dewasanya mengikuti orang tuanya pindah ke Puruk Cahu di hulu Sungai Barito.

Sejak Sultan Muhammad Seman menggantikan ayahnya Pangeran Antasari sebagai pimpinan perjuangan Perang Banjar di daerah Puruk Cahu, Bukhari adalah seorang yang setia mengabdikan dirnya. Ia seorang yang dipercaya sebagai “Pemayung Sultan “ (pangawal). Ia dikenal di lingkungan keluarga raja dan masyarakat di sekitarnya sebagai seorang yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan.

Kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut menyebabkan ia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Hulu Sungai. Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman, Bukhari dan adiknya Santar datang ke Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap Pemerintah Belanda.

Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk Hantarukung. Dengan bantuan Pangerak Yuya, Bukhari berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Konon berita tentang Bukhari kebal terhadap senjata pernah dibuktikannya kepada masyarakat. Ketika tubuhnya ditutupi dengan karung goni, ketika di tombak atau diparang tubuhnya tidak ada luka. Ilmu kebalnya juga diajarkannya kepada mereka yang bersedia menjadi pengikutnya. Bahkan beberapa pengikutnya yang ketika dicoba juga kebal terhadap senjata. Karena itulah dalam waktu singkat sebanyak 25 orang penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan dibawah pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan dari penduduk dari desa tetangga, yakni selain dari Desa Wasah Hilir juga Desa Hamparaya dan Desa Ulin.

Penduduk tiga desa tersebut tidak bersedia lagi melakukan keja rodi membuat “garis” (sungai) yang menghubungkan Sungai Amandit dan Sungai Nagara. Selain itu mereka menyatakan juga tidak mau lagi membayar pajak.

Sikap penduduk dan tindakan Pangerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk pekerja) untuk menggali “garis” antara Sungai Amandit dan Sungai Nagara tersebut, kemudian dilaporkan Pembekal Imat kepada kiai (pejabat Belanda) di Kandangan. Tetapi karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pembekal melaporkannya kepada kontrolir Belanda yang juga ada di Kandangan.

Penguasa Belanda sangat marah mendengar berita itu. Pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari kontrolir dan adspirant beserta lima orang Indonesia (opas dan pembekal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya kontrolir datang ke Hantarukung menemui Pangerak Yuya.

Pangerak Yuya yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan Pemerintah Belanda tersebut, ketika dipanggil oleh kontrolir, keluar dari rumahnya dengan sebuah tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengapa penduduku tidak lagi mengerjakan irakan menggali “garis” Amandit-Nagara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan “salawat nabi” maju ke arah kontrolir dengan senjata tombak, serapang dan lain-lainnya. Dalam peristiwa itu telah terbunuh kontrolir, adspirant serta seorang anak buahnya. Sementara 4 orang lainnya sempat melarikan diri.

Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan nama Pemberontakan Amok Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimnya ke kampung asal kelahiranya Hantarukung.

Terbunuhnya kontrolir dan adspirant Belanda tersebut segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di Kandangan. Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Keesokan harinya pada hari Senin tanggal 19 September 1899 sekitar pukul 13.00 pasukan Belnda datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk.

Penduduk Hantarukung telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di pinggiran hutan dan keliling danau menanti pasukan Belanda.

Ketika sampai di kampung Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi, Kapten Belnda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk maju sambil mengucapkan “Allahu Akbar” berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang. Pertempuran sengit terjadi. Bukhari, Haji Matamin, Landuk dan Pangerak Yuya gugur ditembus peluru Belanda. Setelah melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh, penduduk lari menyelamatkan diri.

Begitulah dalam peristiwa dua hari di Hantarukung tersebut, telah terbunuh dari pihak Belanda adalah kontrolir, adspirant, dan seorang pembatunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur sebagai pahlawan Bukhari, Haji Matamin, Landuk dan Pangerak Yuya.

Pertiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap penduduk Hantarukung, Desa Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir, dan Simpur. Penangkapan segera dilakukan oleh militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 24 orang, yakni: Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, Haji Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasim, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar.

Tercatat kemudian yang mati dalam penjara adalah: Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah: Sahintul, Haji Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, dan Tasin. Mereka yang dibuang ke luar daerah adalah: Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnan, dan Santar.

Jenazah Bukhari, Landuk dan Haji Matamin dimakamkan di Desa Parincahan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), yang dikenal sebagai “Makam Tumpang Talu”, karena jasad mereka bertiga dimakamkan bersama dalam satu makam. Makam ini sejak tahun 1980 telah mendapat biaya pemeliharaan dari Direktorat Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Sedangkan 9 orang yang dihukum gantung oleh Belanda, mereka ada beberapa yang dimakamkan di Pekuburan Bawah Tandui di kampung Hantarukung, sebagian lagi dimakamkan di Pekuburan Telaga Gajah di Desa Hamparaya, Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimantan Selatan. (Naskah bagian dari Sejarah Perlawanan Rakyat terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan).