Minggu, 29 Maret 2009

PERIHAL PERBEDAAN PERILAKU SOSIAL

PERIHAL PERBEDAAN PERILAKU SOSIAL

Oleh:

Drs. H. Ramli Nawawi

Sekilas tentang kebudayaan.

Masyarakat adalah sekumpulan orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Karena itu tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, atau tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat yang menjadi wadah dan pendukungnya.

Pengertian atau difinisi kebudayaan secara tegas sulit ditetapkan, karena meliputi bidang yang luas. Namun secara umum kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pemahaman di atas, maka keliru kalau seperti pemahaman sebagian orang selama ini yang menganggap istilah kebudayaan diartikan sama dengan kesenian. Karena kesenian seperti yang dimaksudkan di atas, hanyalah merupakan salah satu bagian dari kebudayaan.

Dalam kehidupan manusia mempunyai kemampuan segi materiil dan spiritual. Segi materiil, bahwa manusia mampu menghasilkan suatu yang berwujud benda. Sedangkan segi spiritual, manusia mampu menhasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan.

Dalam buku-buku yang membahas tentang kebudayaan, umumnya dikenal 7 unsur kebudayaan, yaitu: peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem kepercayaan.

Ketujuh unsur tersebut di atas adalah merupakan unsur-unsur universal kebudayaan (cultural universal). Tiap-tiap unsur universal tersebut bisa dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil yang disebut kegiatan-kegiatan kebudayaan (cultural activity). Sebagai contoh, untuk unsur pokok mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, maka unsur-unsur kegiatannya adalah kegiatan pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan lain-lain. Contoh lain untuk unsur kesenian, maka unsur-unsur kegiatannya meliputi seni tari, seni rupa, seni suara, dan lain-lain.

Selanjutnya kegiatan kebudayaan (cultural activity) bisa dirinci lagi menjadi unsur-unsur yang lebih kecil yang disebut trait-complex. Sebagai contoh, untuk kegiatan pertanian bisa dirinci atas unsur-unsur irigasi, pengolahan tanah dengan bajak, sistem penanaman, pemeliharaan, pengambilan hasil panen, termasuk sistem pemilikan tanah, dan lain-lain. Selanjutnya bajak sebagai unsur trait-complex bisa diurai lagi atas bagian-bagian yang bisa dilepas yang disebut items.

Namun sebagai bagian unsur yang terkecil dari sebuah bajak, maka apabila salah satu bagian unsur tersebut dihilangkan, bajak tersebut tidak bisa difungsikan. Dengan demikian apabila ada unsur kebudayaan yang tidak ada kegunaannya lagi, atau tidak ada fungsinya lagi, maka unsur kebudayaan tersebut akan hilang (punah), karena telah ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya.

Perihal perilaku budaya.

Perilaku berawal dari adanya kebiasaan yang dimiliki seseorang dalam suatu masyarakat. Di mana suatu kebiasaan yang dianggap baik umumnya akan diakui atau dilakukan pula oleh orang lain. Dari kebiasaan yang dipandang baik, yang diakui dan dilakukan oleh orang-orang lainnya itu, kemudian menjadi patokan dan dasar berperilaku waktu seseorang berhubungan dengan orang lain. Dengan patokan dan dasar dalam tindakan itulah kemudian lahir norma (kaedah) perilaku yang didukung dan diamalkan 0leh masyarakat bersangkutan. Norma yang lahir dari masyarakat sesuai dengan kebutuhannya itu, lazim pula disebut adat istiadat.

Adat istiadat di suatu daerah umumnya berbeda dengan adat istiadat di daerah yang lain. Adat istiadat juga umumnya tidak tertulis, tapi biasanya dipelihara oleh pendukungnya.

Jadi pola perilaku sangat ditentukan oleh norma dan adat istiadat masyarakat suatu daerah. Pola perilaku berbeda dan lebih mengikat dari pada kebiasaan. Kebiasaan adalah cara bertindak seseorang dalam masyarakat yang mungkin diikuti orang lain. Sedangkan pola perilaku adalah suatu yang umum dilakukan suatu masyarakat di suatu daerah.

Pola perilaku suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain, suatu suku dengan suku yang lain, suatu daerah dengan daerah yang lain, terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan pola perilaku ini umumnya karena perbedaan sejarah perkembangan kehidupan (turunan) masyarakat yang bersangkutan, juga karena adaptasi terhadap lingkungan alam daerah masing-masing. Sebagai contoh, masyarakat dagang akan condong menurunkan kelompok yang mewarisi kebebasan berkompetisi. Sedangkan masyarakat yang dibesarkan oleh feodalisme condong menonjolkan asal-usul dan asesori diri, serta memandang martabat dari faktor peranan dan kekuasaan. Lain lagi dengan masyarakat agamis, misalnya Islam yang mewariskan sikap seperti berhati-hati dengan apa saja yang menjadi hak diri pribadi dan hak orang lain. Demikian berbagai kekhasan yang menjadi ciri suatu kelompok atau masyarakat akan mewariskan pola prilaku yang berbeda dengan masyarakat lainnya.

Sementara perbedaan pola perilaku sehubungan dengan adaptasi lingkungan, sebagai contoh suatu lingkungan atau daerah yang "keras", baik karena alamnya yang tidak bersahabat atau karena ketatnya persaingan dalam daerah yang terbatas, maka akan melahirkan perilaku masyarakat yang berusaha keras untuk memanfaatkan setiap kesempatan dan sulit untuk mengalah, sehingga terkesan egoistis. Sebaliknya dari lingkungan alam yang bersahabat, terdapat masyarakat yang mempunyai perilaku kompromistis, dan tidak terlalu peduli dan berharap akan kekuasaan.

Perilaku budaya di berbagai kelompok dan daerah yang berbeda tersebut meliputi semua unsur kebudayaan. Dengan kata lain di masing-masing daerah terdapat perbedaan pola perilaku yang berkaitan dengan penyelenggaraan kemasyarakatan, ekonomi, kepercayaan, perbedaan pola perilaku dalam penterapan ilmu pengetahuan dan peralatan teknologi, perbedaan pola perilaku dalam berbahasa dan berkesenian.

Keterkaitan dan kepentingan dalam kebudayaan,

Dalam mencari keterkaitan di antara perbedaan perilaku budaya tersebut, kita perlu meninjau perihal kekhasan berbagai budaya daerah yang mampu memberikan daya tarik dan bahkan pesona bagi orang-orang di luar kelompok atau daerahnya. Para ahli kebudayaan juga telah mengakui bahwa ada unsur-unsur budaya dari daerah-daerah yang sudah dianggap sebagai milik bangsa. Orang tidak lagi mempermasalahkan asal-usul unsur budaya dimaksud. Bisa dikatakan semua daerah dan suku bangsa merasa memiliki dan menyukai aspek-aspek budaya dimaksud.

Unsur-unsur budaya yang berasal dari berbagai suku bangsa dan daerah yang telah diterima sebagai budaya bangsa tersebut, dikenal sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 yang antara lain berbunyi: "Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa". Orang-orang kebudayaan menyebutnya sebagai kebudayaan nasional. Memang ada beberapa indikator suatu unsur budaya diakui sebagai puncak kebudayaan daerah, atau dikatagorikan sebagai kebudayaan nasional, antara lain: komunikatif yakni dapat diterima oleh sebagian besar suku bangsa lainnya, merupakan kebanggaan nasional artinya dapat memberikan rasa bangga terhadap pemakainya, berkualitas tinggi, terbuka untuk pengayaan atau penyempurnaan, mengandung nilai-nilai Pancasila, dan beridentitas ke Indonesiaan.

Ketertarikan banyak orang dari berbagai suku bangsa untuk memiliki atau menyukai unsur-unsur budaya kebendaan atau berupa sistem yang berasal dari salah satu daerah adalah termasuk bagian dari adanya kebutuhan atau kepentingan terhadap unsur budaya yang tidak dimiliki daerahnya. Hal ini berkaitan dengan besarnya tantangan maupun fasilitas yang ada pada suatu daerah yang memungkinkan perkembangan kebudayaannya. Selain dari itu juga semakin besar daya persaingan dalam suatu masyarakat, semakin besar pula lahirnya unsur-unsur budaya baru. Karena itulah sehingga ada terdapat unsur budaya dalam suatu masyarakat atau daerah yang tidak dimiliki oleh masyarakat di daerah lainnya. Berbagai unsur budaya dari masyarakat suatu daerah tersebut, sering pula diperlukan oleh orang-orang dari masyarakat di luar daerahnya. Timbulnya kepentingan untuk memakai atau menerima unsur budaya dari luar kelompoknya atau daerahnya ini, manakala mereka telah mendapat desakan dalam rangka memenuhi hajat hidupnya.

Dalam menyikapi perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin cepat seperti sekarang ini, kadang-kadang unsur-unsur budaya yang berasal dari kelompok sendiri dirasakan tidak lagi cukup untuk memenuhi tuntutan anggota masyarakatnya. Dalam peristiwa seperti inilah fanatisme kedaerahan akan menjadi luntur secara beransur-ansur. Memang ada suku bangsa yang oleh para pemuka sukunya berupaya mempertahankan keutuhan budaya sukunya. Tetapi dalam era globalisasi komunikasi dan majunya sarana dan prasarana transportasi saat ini setiap orang dapat dengan mudah mengetahui segala perkembangan yang ada di luar kelompoknya. Lalu sampai kapan mereka dalam suatu kelompok atau daerah dapat bertahan menolak atau tidak membutuhkan sesuatu yang dapat memenuhi tuntutan hidupnya, yang bisa memberikan kemudahan-kemudahan dalam kehidupan mereka, yang dapat menolong dari ancaman keselamatan keluarganya, atau sesuatu yang dapat memberikan kepuasan jiwanya.

Mayor Polak dalam bukunya Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas, memberikan gambaran tentang adanya kebutuhan atau kepentingan masyarakat akan hasil daya cipta atau penemuan-penemuan baru, seperti di bidang obat-obatan, sarana transportasi, ekonomi, dan lain-lain. Setiap kelompok masyarakat mempunyai cara-cara pengobatan terhadap berbagai penyakit. Tetapi manakala terjadi wabah yang menular, apakah obat-obatan yang lebih praktis dan efisein tidak dibutuhkan. Demikian pula untuk menempuh perjalanan yang jauh di darat apakah andung dipetahankan dan menolak jenis kenderaan yang lebih cepat. Kalau ada pakaian yang terbuat dari benang (kapas) mudah didapat dan dapat dijangkau harganya, apakah orang harus bertahan dengan pakaian kulit kayu. Kalau sudah ada sistem keamanan warga yang dapat menjamin keselamatan setiap anggota keluarganya, mengapa keluarga harus membuat rumah dengan tiang yang tinggi agar terhindar dari gangguan yang berbahaya. Demikian, kebutuhan dan kepentingan akan unsur-unsur budaya yang ada di luar masing-masing kelompok tersebut, meliputi semua unsur-unsur universal kebudayaan yang dimiliki masing-masing daerah.

Penutup

Sebenarnya perbedaan pola perilaku dan unsur-unsur budaya lainnya antara berbagai daerah, tidaklah menjadi ancaman yang membahayakan terjadinya desintegrasi bangsa. Walaupun bangsa Indonesia terdiri atas suku-suku bangsa yang majemuk, namun seperti uraian di atas bahwa baik pola perilaku maupun unsur-unsur budaya lainnya tersebut nyatanya banyak yang saling bisa diterima oleh daerah satu dengan lainnya. Unsur-unsur kebudayaan daerah yang disebut puncak-puncak kebudayaan daerah ini telah meng-Indonesia, sehingga orang tidak mempermasalahkan lagi dari mana asalnya. Bahkan semua orang menganggap bahwa unsur-unsur budaya yang telah meng-Indonesia itu sebagai milik nasional.

Sementara itu kemajuan teknologi dan kemudahan transportasi membuka kemungkinan kepada para pendukung suatu kebudayaan daerah dapat mengenal kebudayaan daerah lainnya. Melalui sarana komunikasi seperti TV, majalah, dan sebagainya orang dapat mengenal budaya di luarnya. Kemudian transportasi yang mudah orang bisa bepergian dan bertemu dengan mereka dari suku bangsa lainnya, sehingga dapat mengenal bahkan memahami perilaku masyarakat daerah yang dikunjunginya tersebut. Demikian pula sebaliknya banyak kemungkinan orang-orang dari daerah luar berkunjung ke daerah kita. Sehingga dari interaksi yang sering terjadi melalui kunjungan-kunjungan tersebut, dimungkinkan ada kebutuhan atau kepentingan budaya timbal balik, karena sesuatu yang diperlukan yang tadinya tidak dimilikinya ternyata ada di luar daerahnya.

Masalah yang perlu dicermati dalam hal perbedaan pola perilaku dan adanya kekhasan unsur-unsur budaya dari berbagai daerah tersebut adalah dampak dari munculnya kepentingan-kepentingan kelompok. Kepentingan-kepentingan kelompok tersebut akhir-akhir ini juga ada yang dilatarbelakangi perbedaan politik, kesenjangan taraf hidup, ideologi termasuk agama, dan lain sebagainya. Kelompok mereka yang senasib atau sama kepentingan tersebut menempatkan kelompoknya sebagai in-group dan lainnya sebagai out-group. Sikap yang dimiliki masing-masing kelompok ini kadang-kadang sangat fanatik. Bahkan masing-masing kelompok terkesan merasa lebih benar atau lebih baik dan tidak bisa menerima segala sesuatu yang berasal dari luar kelompoknya. Sikap yang terakhir ini bisa menimbulkan apa yang disebut "stereotif", di mana antara kelompok sudah bicara saling merendahkan atau bahkan menghina kelompok lainnya.

Akhirnya apa yang perlu kita lakukan agar perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan antar daerah, dan kemungkinan-kemungkinan lahirnya in-group dan out-group tidak sampai menimbulkan sikap yang disebut stereotif, ada hal-hal yang perlu dicermati, antara lain:

1. Memperluas wawasan kebudayaan, dengan berusaha mengenali berbagai kebudayaan termasuk pola perilaku dan unsur-unsur budaya yang khas dari daerah-daerah tersebut.

2. Menumbuhkan kearifan jiwa, sehingga bisa menghormati perbedaan-perbedaan baik karena faktor warisan atau yang dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan kelompok.

3. Menghindari sikap arogansi, kecenderongan menganggap baik segala yang dimiliki kelompoknya, dan hanya melihat keburukan segala yang bersumber dari luar kelompoknya.

Daftar bacaan:

J.B.AF. Mayor Polak, Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas, Ichtiar, Djakarta, 1959.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramadia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.

Koentjaraningrat, Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional, Makalah.

R.M. Sutjipto Wirjosuparto, Bunga Rampai Sedjarah Budaja Indonesia, Djambatan, Djakarta, 1964.

Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1990.

Minggu, 15 Maret 2009

PERANAN MADRASAH PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA DI KALIMANTAN SELATAN

PERANAN MADRASAH PADA MASA PENJAJAHAN
BELANDA DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh:
Drs. H. Ramli Nawawi

PENGANTAR

Makalah yang berjudul Peranan Madrasah Pada Masa Penjajahan Belanada di Kalimantan Selatan ini dibuat dalam rangka kegiatan Seminar Sejarah Lokal yang diselenggarakan pada tanggal 1 s.d. 4 September 1982 di Denpasar Bali.

Penyusunan makalah ini berdasarkan metode perpustakaan dan wawancara. Kepustakaan diambil dari berbagai sumber berupa buku, catatan, dan tulisan-tulisan pada mass media. Sedangkan wawancara dilakukan terhadap tokoh yang banyak mengerahui masalah daerah Kalimantan Selatan.

Makalah disiapkan dalam waktu yang relatif singkat ini tentu saja jauh dari sempurna. Mudah-mudahan makalah yang sederhana ini dapat memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha yang bermaksud menghimpun pengetahuan tentang sejarah tanah air Indonesia ini.

PENGAJIAN SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

Pengajian yang diselenggarakan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1802) seorang ulama Islam dari daerah Kalimantan Selatan yang telah memiliki kealiman setelah belajar selama 30 tahun di Mekah dan Madinah, merupakan kegiatan pendidikan yang pertama diselenggarakan dalam rangka pembaharuan dan penyebaran lebih jauh agama Islam yang masuk ke daerah ini pada pertengahan abad ke 16.

Sistem yang dipakai dalam pengajian ini adalah sistem balagan (bandengan), namun di samping itu dilakukan juga sistem sorogan. Pada sistem balagan seorang guru membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab dikelilingi oleh sejumlah muridnya yang masing-masing memperhatikan kitabnya. Sedangkan sistem sorogan seorang guru hanya memberikan pelajaran ( tuntunan) pada seorang murid (santri) sehingga dapat memahami isi sebuah kitab.

Pada masa permulaan dari pengajian ini beliau secara khusus membimbing kedua cucunya yang bernama Muhammad As'ad dan Fatimah, sehingga keduanya tampil pertama kali sebagai ulama dan alamah yang kemudian menjadi guru bagi sekalian murid laki-laki dan sekalian murid perempuan.

Melalui pengajian ini Muhammad Arsyad mencontohkan kehidupan kepada anak cucu dan murid-muridnya sesuatu pandangan hidup yang menyeimbangkan "hakekat dan syari'at". Di mana dalam segala tindakan kehidupan terdapat keseimbangan antara kegiatan dunia dan akhirat. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar penyelenggaraan pengajian yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dalam pengajian ini selain diberika pengajian agama juga muridnya dilatih bekerja sama menyelenggarakan tanah pertanian.

Bahkan kemudian untuk memungkinkan dapat dilakukannya penggarapan sebidang tanah yang sebelumnya tidak dapat dikerjakan di daerah tersebut, beliau memelopori penggalian sebuah saluran air guna mengalirkan air yang selalu menggenangi tanah kosong tersebut. Saluran inilah yang kemudian dikenal dengan nama "Sungai Tuan", yakni sebuah sungai yang bermuara ke Sungai Martapura yang pembuatannya dahulu dipelopori oleh Tuan Syekh Muhammad Arsyad.

Sistem belajar sambil bekerja inilah yang seterusnya diwariskan untuk dilanjutkan kepada generasi selanjutnya. Di mana setiap anak cucu dan muridnya yang sudah memperoleh kealiman diwajibkan hidup berkeluarga di daerah-daerah pedalaman di mana mereka kemudian menyelenggarakan pengajian pula.

Demikianlah pengajian yang sudah diselenggarakan sejak sekitar tahun 1790 Masehi tersebut kemudian secara berangsur-angsur melahirkan satu kelompok baru yang selanjutnya dikenak sebagai "kelompok ulama" di daerah ini. Kelompok ini selanjutnya mempunyai peranan besar dalam perkembangan masyarakat Kalimantan Selatan.

Fatwa-fatwa golongan ulama sangat besar pengaruhnya terhadap segala tindak usaha setiap anggota masyarakat. Keterikatan kepada pribadi-pribadi para ulama tersebut menyebabkan timbulnya "charisma" kelompok ini.

Selanjutnya ketika Sultan Adam berkuasa (1825-1857) golongan ulama mendapat tempat terhormat di masyarakat. Pada masa itu sultan memandang perlu dalam tata pemerintahan Kerajaan Banjar ada jabatan Qadhi dan Mufti. Dalam jabatan-jabatan tersebut hanya dapat diisi dengan orang-orang dari kelompok ulama.

Qadhi atau Penghulu adalah seorang yang diangkat oleh sultan untuk memutuskan suatu perkara di pengadilan. Sedangkan Mufti adalah hakim tertinggi yang bertugas mengawasi pengadilan. Adanya jabatan-jabatan ini menunjukkan bahwa hukum Islam telah ditrapkan di masyarakat Banjar pada waktu itu. Ini merupakan gambaran suatu perkembangan di mana ketentuan-ketentuan hukum agama yang sebelumnya telah disebarkan melalui pengajian telah dijadikan norma-norma dalam kehidupan masyarakat.

Di dalam Undang-Undang Sultan Adam itu antara lain ditegaskan bahwa rakyat diharuskan untuk::
1. Beri'tikad Ahlus Sunnah wal Jama'ah
2. Tetuha-tetuha kampung mendirikan langgar untuk bersemnbahyang berjamaah pada waktunya dan supaya mengajak anak buahnya bersembahyang berjamaah pada setiap hari Jum'at.
3. Kepada Mufti dan Qadhi agar menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum Islam menurut Mazhab Imam Syafi'i.

Demikianlah pengajian yang diselenggarakan Syekh Muhammad Arsyad sebagai suatu sistem pendidikan/pengajaran yang petrtama dilakukan di daerah ini dan yang kemudian dikembangkan lebih luas oleh anak cucu dan murid-muridnya di mana ditanamkan ajaran-ajaran Islam Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan pandanga hidup yang berdasarkan keseimbangan antara kegiatan duniawi dan ukhrawi ternyata kemudian banyak mempengaruhi perkembangan masyarakat yang berlangsung sesudahnya di daerah ini.

MASUKNYA PENDIDIKAN BARAT DAN REAKSI MASYRAKAT

Apabila sistem pendidikan/pengajaran yang berlangsung sebelumnya dikenal dengan istilah pengajian, maka pendidikan Barat yang masuk ke daerah Kalimantan Selatan pada awal abad ke 20 lebih ditekankan pada sistem klassikal di mana diberikan pelajaran-pelajaran pengerahuan umum. Pemerintah Kolonial Belanda merasa perlu menyelenggarakan pendidikan Barat di samping untuk memenuhi permintaan tenaga-tenaga administrasi yang mereka perlukan di daerah jajahan ini ternyata juga untuk membentengi Belanda dari volkano Islam yang mereka anggap sebagai suatu ancaman terhadap pemerintahan kolonial di Indonesia ini. Jadi sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut bukan untuk kepentingan bangsa Indonesia, yang mereka sebut Inlander. Sehingga seorang Inlander baru dapat menikmati pendidikan ini setelah melewati seleksi ketat, yang pada kenyataannya bukan seleksi kecerdasan yang dilakukan tetapi seleksi ras dan status.

Kalau dalam masyarakat kolonial yang dijadikan patokan untuk menentukan tinggi rendahnya status tersebut adalah besar kecilnya penghasilan atau dalam kepegawaian berdasarkan tinggi rendahnya pangkat/jabatan, maka dalam masyarakat Inlander telah diatur atas 3 kategori sebagai berikut: (1) kategori A adalah para kaum bangsawan, pejabat tinggi pemerintah serta pengusaha kayu yang berpenghasilan 75 golden/bulan., (2) kategori B adalah orang tua yang memperoleh pendidikan MULO dan Kweekschool ke atas, sedangkan (3) kategori C adalah para pegawai kecil, militer atau orang tua yang telah memperoleh pendidikan HIS.

Bahwa sebelum Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di daerah ini (1860) struktur masyarakat Banjar terdiri atas: (1) golongan raja dan keluarganya, (2) kaum bangsawan, (3) kaum ulama, (4) pegawai tinggi kerajaan, (5) orang-orang kaya/pedagang, (6) penduduk biasa, dan (7) orang-orang terlibat hutang. Dan setelah Kerajaan Banjar dihapuskan sejak 11 Juni 1860 maka dalam masyarakat kolonial ini lahir struktur baru, di mana raja, kaum bangsawan dan pegawai tinggi kerajaan tidak mempunyai peranan lagi. Inti sosial pada waktu itu terdiri dari kelompok kecil yang disebut yang disebut "elite Hindia Belanda". Kelompok kecil yang baru muncul tersebut terdiri atas:
(1) Kepala-kepala distrik.
(2) Pegawai yang telah dilatih untuk suatu pekerjaan tertentu.
(3) Beberapa orang ulama yang diangkat untuk keperluan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama, hukum perdata/adat, yang juga berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan keinginan-keinginan pemerintah kepada penduduk.

Pendidikan Barat yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda tumbuh bersama munculnya elite Hindia Belanda seperti tersebut di atas tidak banyak memberi arti langsung bagi kemajuan rakyat jajahan di daerah ini.
Adanya ketentuan-ketentuan mengenai seleksi yang ketat bagi anak-anak orang Indonesia yang dapat memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah Belanda tersebut serta munculnya elite Hindia Belanda yang tidak dapat diterima oleh masyarakat sehingga menimbulkan kebencian kepada Belanda merupakan hal-hal yang menyebabkan pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh Belanda tersebut sekedar untuk memenuhi keperluan mendesak untuk kepentingan Hindia Belanda di Indonesia.

Berkembangnya peranan kaum ulama yang dahulu lahir dan menjadi kuat sejak adanya pengajian-pengajian Syekh Muhammad Arsyad memungkinkan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berusaha menyaingi sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Pendidikan swasta yang lahir menyaingi sekolah-sekolah Belanda ini juga telah menggunakan sistem klassikal.

Jadi timbulnya pendidikan Hindia Belanda ini menggugah bangkitnya golongan ulama yang merupakan kelompok elite religius untuk bergerak menandingi kegiatan Belanda. Kelompok ulama dengan kharismanya di samping menyelenggarakan sekolah-sekolah agama/madrasah secara klassikal juga tetap melakukan pengajian-pengajian seperti yang digariskan oleh Syekh Muhammad Arsyad. Sehingga pada waktu Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan Barat di daerah ini, masyarakat bersama golongan ulama melakukan kegiatan pula membangun sekolah-sekolah swasta sebagai tandingan di mana khusus diberikan pengetahuan keagamaan.

Pada waktu itu kegiatan pendidikan dan pengajaran antara yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak terdapat hubungan kerja sama. Apabila pendidikan swasta (keagamaan) yang merupakan bentuk baru dari pengajian mendapat dukungan dari masyarakat, maka sekolah-sekolah pemerintah tidak mendapat simpati dari masyarakat. Untuk ini ada pernyataan pihak pemerintah Belanda tentang sikap masyarakat yang lebih condong memilih sekolah swasta yang mereka sebut sebagai "sekolah liar".

Berikut ini dugaan pihak pemerintah Hindia Belanda sehubungan dengan besarnya perhatian masyarakat terhadap sekolah-sekolah swasta. "Ada beberapa sebab yang mendorong orang bumiputra memilih "sekolah liar", antara lain sebagai berikut. Menurut dugaan pertama usaha para guru sekolah liar yang dengan rajin dan gigih mempengaruhi orang tua bakal murid untuk memasukkan anak ke sekolah mereka. Yang kedua, mungkin pembahasan mengenai "Ordonansi Sekolah Liar" dalam Dewan Rakyat berakibat timbulnya pendapat dalam masyarakat penduduk bumiputra, bahwa sekolah liar adalah milik rakyat dan ada di luar urusan pemerintah. Sentimen nasionalisme ikut memberi kesan kehormatan kepada kebangsaan atau kemuliaan "sekolah Liar".

Tetapi bagaimanapun kenyataan sejarah membuktikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membatasi sekolah tipe HIS itu hanya untuk anak elite bumiputra saja. Di sampingg ada dorongan kuat bagi sementara orang untuk menyekolahkan anaknya di HIS atau tipe sekolah seperti itu walaupun harus berkorban mengeluarkan biaya hidup tinggi, maka di antara masyarakat mulai timbul juga kesadaran bahwa untuk rakyat bumiputra perlu juga mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Ini tidak diartikan untuk mencapai posisi sosial yang lebih tinggi, tetapi agar nantinya dapat menggantikan orang-orang Barat dalam banyak jabatan.

Pemikiran ini pun tumbuh di masyarakat Kalimantan Selatan sehingga ada lulusan HIS dan MULO yang kemudian tampil sebagai tokoh pergerakan dalam masa perjuangan kemerdekaan. Ini merupakan sesuatu yang muncul di antara sikap keras masyarakat yang menentang pendidikan Barat di daerah ini.

Demikianlah sampai pada momen ini pendidikan Barat yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda hanyalah memberikan tempat bagi sementara anak-anak Indonesia pada sekolah-sekolah tingkat dasar seperti Volkschool dan Vervolgschool yang pada tahun 1840-an telah tersebar di beberapa kota di Kalimantan Selatan. Sementara HIS sebagai sekolah yang ditentukan berdasarkan status bagi orang tua muridnya, hanya ada di tiga tempat yakni di kota Banjarmasin 1 buah, di kota Kandangan 1 buah, dan Kotabaru 1 buah. Sedangkan untuk tingkat MULO baru ada pada tahun 1927 sebanyak satu buah di Banjarmasin.

Yang lainnya hanyalah sekolah-sekolah kejuruan yang mempersiapkan tenaga-tenaga khusus, seperti Schakelschool, Ambachtschool, Klein Handel School, Meisjevervolgschool dan Kweekschool. Di samping itu ada juga sekolah-sekolah khusus untuk orang Belanda dan Cina, seperti FLS dan HCS.

BERDIRINYA SEKOLAH-SEKOLAH SWASTA

Ada dua motif yang mendorong masyarakat untuk membangun sekolah sewasta di daerah ini. Yang pertama adalah motifasi keagamaan dan yang kedua motifasi nasional. Motifasi keagamaan didasari perasaan tanggung jawab keagamaan, di mana menurut ajaran Islam masalah pendidikan anak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan di kemudian hari. Sehingga begitu kerasnya pandangan masyarakat terhadap setiap pendidikan yang tidak dilandasi keislaman, maka ia dicap sebagai ingin mengkristenkan anak-anak mereka.

Sementara motifasi nasional yang tumbuh berdampingan dengan motifasi keagamaan, di mana terdapat semangat kebebasan dan tanggung jawab agar anak-anak Indonesia terhindar dari pengaruh jiwa kolonial dan tetap menjadi putra tanah air yang memiliki semangat patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Sehubungan dengan motifasi-motifasi tersebut di atas di Kalimantan Selatan lahir lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berdasarkan Islam dan kemudian diikuti lembaga-lembaga pendidikan swasta yang didasari jiwa kebangsaan.

Pelopor-pelopor yang mendirikan lembaga pendidikan agama adalah kelompok ulama yang selama ini menyelenggarakan pengajian-pengajian tradisional dengan sistem pengajian. Dan menghadapi perkembangan yang terjadi dalam dunia pendidikan tersebut, para ulama yang pernah melanjutkan pendidikan di luar negeri (Qairodan Mekkah) dalam rangka memperdalam pengetahuan Islam, kemudian terpanggil untuk menyelenggarakan pendidikan sistem kelasikal. Gagasan ini timbul terutama dari kelompok ulama yang pernah mengikuti pendidikan di Mesir di mana sistem klassikal sudah lama ditrapkan.

Dengan tenaga-tenaga pengajar dari hasil pengajian yang berlangsung sebelumnya, mula-mula sekali dibangun 2 madrasah di Pantai Hambawang dan Jatuh di Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekarang. Dan dalam waktu singkat di beberapa kota di Kalimantan Selatan berdiri madrasah-madrasah serupa.

Menyadari bahwa dasar pembangunan madrasah ini mempunyai latar belakang yang sama, maka oleh beberapa tokoh ulama dibentuk organisasi antara madrasah-madrasah tersebut. Organisasi ini disebut Persatuan Perguruan Islam (PPI), yang terbentuk secara resmi pada tahun 1935 dengan jumlah madrasah:
- Madrasah Ibtidaiyah ada 23 buah dengan murid 2.305 orang.
- Madrasah Tsanawiyah ada 6 buah dengan jumlah murid 502 orang.

Madrasah-madrasah PPI dapat maju dan bertahan lama yakni sampai masuknya Jepang di daerah ini, karena pandangan bahwa anak-anak mereka harus memasuki sekolah agama dari pada bersekolah di Volkschool atau Vervolgschool kepunyaan Belanda yang dianggap masyarakat sebagai sekolah kapir.

Berdirinya Syarikat Islam (SI) pada tahun 1914 di Banjarmasin segera diikuti oleh berdirinya cabang-cabang SI di beberapa kota di Kalimantan Selatan. Di tiap cabang SI didirikan madrasah Syarikat Islam. Madrasah-madrasah itu adalah:
(1) Sekolah Darussalam di Martapura tahun 1914.
(2) Arabische School yang kemudian menjadi Ma'adah Rasyidiah di Amuntai tahun 1928.
(3) Madrasah Tsanawiyah Islam Pandai di Kandangan tahun 1930.
(4) Madrasah Diniah Islamiah di Barabai tahun 1932 (sumber: Syekh M. Arsyad….
Madrasah-madrasah SI ini diperkuat dengan timbulnya organisasi Musyawaratutthalibin (1930) yang mempunyai madrasah tersebar di kota-kota di Kalimantan Selatan. Demikian pula berdirinya Muhammadiyah (1932) di Alabio, yang dalam kegiatannya di bidang pendidikan telah menyelenggarakan sekolah-sekolah agama juga merupakan dukungan pula bagi kemajuan pendidikan swasta di daerah ini.

Sekolah-sekolah agama yang diselenggarakan dengan sistem klassikal tersebut setelah berselang beberapa tahun telah menghasilkan pemimpin-pemimpin pemuda Islam, baik yang bergiat dalam bidang politik, menjadi guru madrasah di kampung-kampung, melakukan pengajian di surau-surau atau menjadi muballig yang giat melakukan tablig-tablig agama Islam.

Lembaga-lembaga pendidikan swasta yang bermotif nasional yang timbul di Kalimantan Selatan adalah Sekolah Taman Siswa di Marabahan pada tahun 1931. Ajaran kebangsaan yang diterapkan di sekolah ini diwujudkan dengan terbentuknya organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Kemudian pada tahun 1937 di Kandangan lahir organisasi pergerakan PARINDRA (Partai Indonesia Raya) yang telah menyelenggarakan persekolahan bernama Perguruan Rakyat Parindra. Di sekolah ini ditanamkan perasaan cinta terhadap bangsa dan Tanah Air Indonesia.

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa kurangnya minat masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya untuk memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah pemerintah Belanda, di samping pesatnya perkembangan sekolah-sekolah swasta yang bermotivasi agama, maka seperti telah disebutkan di atas keadaan ini mempunyai kaitan erat dengan peranan dan jiwa orang-orang yang sebelumnya telah mengenal sistem pengajian yang sudah banyak dipakai sejak sekitar pertengahan abad ke 18.

Demikian pula halnya adanya sekolah-sekolah yang bermotivasi nasional merupakan perwujudan dari jiwa pergerakan yang di samping memiliki dasar keagamaan yang mereka terima dalam bentuk pengajian, dan sejak mengenal pendidikan Barat dapat menyadari jarak dan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada apa yang mereka namakan Inlander ini.

PENDIDIKAN ZAMAN KEMERDEKAAN DAN PANDANGAN KEAGAMAAN

Keadaan terganggunya pendidikan pada zaman Jepang berlangsung terus hingga pada masa revolusi kemerdekaan. Ini terjadi karena situasi perang. Apalagi pada zaman revolusi di mana para pemuda dan para siswa banyak ikut bergerilya untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan. Dalam masa kemerdekaan bidang pendidikan di daerah ini mengalami perkembangan dengan tumbuhnya lembaga-lembaga baru. Di Banjarmasin tahun 1954 dibangun perkampungan pelajar Mulawarman di mana untuk tahap pertama di kompleks ini terdapat 17 buah sekolah mulai dari TK sampai dengan SMTA dengan jumlah murid sebanyak 5.500 orang pelajar. Di antara sejumlah lembaga-lembaga pendidikan kejuruan selanjutnya dibangun sekolah pendidikan agama 6 tahun. Ini sesuatu yang tidak pernah diselenggarakan sebelumnya. Bahkan sejak tahun 1956 lembaga perguruan tinggi mulai muncul di daerah ini. Pertama kali yang lahir adalah Akademi Perniagaan Kalimantan. Dan mulai tahun 1958 dibangun lembaga perguruan tinggi Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) di Banjarmasin. Lembaga ini tahun 1960 diresmikan sebagai universitas negeri dengan 5 fakultas (Hukum, Ekonomi, Sospol, Pertanian dan FKIP).

Sementara itu bidang pendidikan swasta yang umumnya terdiri dari madrasah-madrasah dan pesantren, di antaranya ada yang merupakan lanjutan kegiatan dari sekolah-sekolah yang ada sebelum zaman Jepang. Tetapi ada pula yang baru dibentuk, seperti SNIP Masjid Jami Banjarmasin, Madrasah Mualimin di Barabai, Pesantren Ibnul Amin Pemangkih di Barabai. Sehingga menurut data tahun 1961 di Kalimantan Selatan terdapat 146 madrasah tingkat ibtidaiyah dengan jumlah murid 9.067 orang, dan madrasah tingkat tsanawiyah 40 buah sekolah dengan jumlah muridnya 4.903 orang, serta madrasah tingkat aliyah sebanyak 8 buah dengan murid 1.618 orang. Pada tahun 1961 ini kalau dibandingkan jumlah murid aliyah dengan sekolah menengah umum tingkat atas (SMAN) terdapat angka, aliyah 1.618 orang dan SMAN 265 orang. Dari perbandingan ini jelas sampai pada saat itu pandangan masyarakat terhadap pendidikan dalam bidang agama lebih banyak mendapatkan perhatian masyrakat.

Dari kenyataan inilah sehingga lahirnya Fakultas Islamologi pada tahun 1958 sebagai bagian dari UNLAM mendapat sambutan baik dari masyarakat. Kemudian Kandangan berdiri Akademi Agama Islam Bahasa Arab (4 Januari 1961), di Barabai juga berdiri yang serupa, sedangkan di Amuntai berdiri Fakultas Usuluddin. Di Martapura sebagai kota yang terkenal dengan pendidikan agama karena banyaknya alim ulama dan lahirnya Madrasah Darussalam yang merupakan madrasah tertua, juga mengambil inisiatif mendidrikan Akademi Ilmu Hadist. Sehubungan dengan lahirnya beberapa akademi dan fakultas tersebut, sehingga pada tanggal 22 September 1961 secara resmi digabungkan dalam suatu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ANTASARI Banjarmasin.

Apabila sampai tahun 1960-an data kemajuan sekolah-sekolah agama masih di atas jumlah siswa sekolah negeri, ini merupakan bukti bahwa pandangan/jiwa keagamaan yang sudah tertanam sejak zaman pengajian Syekh Muhammad Arsyad telah mendasari pandangan kehidupan orang Banjar.

Sesuai pandangan keagamaan yang tertanam di masyarakat maka pada masa awal kemerdekaan para orang tua murid umumnya menyekolahkan anaknya sekaligus untuk 2 jenis pendidikan. Yakni pagi masuk sekolah rakayat/pemerintah, dan sore masuk sekolah madrasah. Ini merupakan tindakan agar anak mereka tidak hanya mempunyai pengetahuan umum saja tetapi juga mempunyai pengetahuan agama. Pandangan masyarakat yang berlandaskan ajaran agama ini kemudian selaras dengan kurikulum pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pendidikan di Indonesia di mana pada setiap jenjang sekolah yang diselenggarakan pemerintah, pendidikan agama diberikan sesuai kurikulum. Demikian pula halnya di mana semua madrasah baik negeri maupun swasta telah diisi pula dengan mata pelajaran pengetahuan umum. Kalau pada masa penjajahan Belanda dahulu masyarakat membangun madrasah-madrasah untuk menyaingi sekolah-sekolah Belanda, maka pada zaman kemerdekaan sekolah-sekolah swasta tersebut justru menunjang sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah.

KESIMPULA

Pengajian yang dirintis oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam rangka pembangunan dan penyebaran agama Islam di daerah ini telah menghasilkan dasar-dasar pandangan hidup yang berakar kuat dalam masyarakat Kjalimantan Selatan.

Timbulnya golongan ulama sebagai hasil yang diperoleh melalui pengajian ini merupakan modal yang berperanan besar dalam perkembangan masyarakat di daerah ini. Melalui kelompok ulama inilah pengajian terus berkembang dan meluas. Dan dari kelompok inilah timbul gagasan pelaksanaan sistem irigasi persawahan, pentrapan hukum agama melalui pemerintahan sehingga ditetapkannya jabatan Mufti dan Qadhi untuk penyelenggaraan pengadilan kerajaan serta ditekankannya penyeleggaraan ibadah agama seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kerajaan.

Ketika Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan kolonialnya, golongan ulama menyadari adanya tantangan yang dapat berakibat negatif. Maka untuk menjaga agar tidak terdapat jurang dalam masyarakat, sehubungan dengan struktur masyarakat Banjar dan munculnya kelompok Hindia Belanda yang dapat bertambah kuat dengan ditrapkannya pendidikan kolonial di daerah ini, maka golongan ulama berusaha mengangkat rakyat dengan membangun madrasah-madrasah sebagai lanjutan dari pengajian yang sebelumnya telah berkembang di daeah ini.

Pengasuh charisma golongan ulama di daerah ini ternyata dapat merebut hati masyarakat untuk memihak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berupa madrasah-masdarah yang tersebar di seluruh daerah Kalimantan Selatan ini. Sementara ada di antara segelintir masyarakat yang berkesempatan memasuki sekolah-sekolah kolonial, tetapi sebagai anggota masyarakat yang menyadari kedudukan sebagai orang bumiputra.

Dari perkembangan tersebut di atas lahir bentuk-bentuk kegiatan yang bermotivasi agama dan nasional. Dari setiap organisasi yang dibentuk lahirlah kegiatan pendidikan swasta yang merupakan saingan terhadap pendidikan kolonial yang diselenggarakan Belanda. Secara berturut-turut terbentuklah Persatuan Perguruan Islam (PPI), Syarikat Islam (SI), Musyawaratutthalibin, PARINDRA dan Taman Siswa yang masing-masing menyelenggarakan kegiatan pengajaran di masyarakat.

Demikianlah memasuki masa kemerdekaan pengaruh dari ajaran para ulama melalui pengajian dan madrasah-madrasah ini masih terasa dan menjadi pegangan masyarakat dalam menghadapi perkembangan yang terjadi. Dan perasaan keagamaan yang tertanam kuat ini tetap harus perlu diperhatikan, khususnya untuk setiap kegiatan yang menyangkut masyarakat di Kalimantan Selatan.


DAFTAR BACAAN
Amir Hasan Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan, Fajar, Banjarmasin, 1953.
A. Gazali Usman, Benteng Tabanio, Banjarmasin Post, 17 Desember 1980.
BP3K, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, Depdikbud, Jakarta, 1977.
Johansyah, Sebuah Tinjauan Singkat Mengenai Peranan Darussalam Dalam Pendidikan di Kalsel, Thesis UNLAM, Banjarmasin, 1974.
H. Ramli Nawawi, et. al., Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek IDKD Kalsel, Banjarmasin, 1981.
H. Ramli Nawawi, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Penyebar Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah abad ke 18 di Kalimantan Selatan, Thesis UNLAM, Banjarmasin, 1977.
Sudjoko Prasodjo cs., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al Falah & Delapan Pesantren di Bogor, LP3ES, Jakarta, 1974.
Zafry Zamzam, Riwayat Syekh M. Arsyad Al Banjari, Harian Utama, 26-28 September 1972.
Hasil wawancara dengan Bapak Syahran, Pengawas sekolah zaman Hindia Belanda.

Senin, 09 Maret 2009

DARI KOTAGEDE KE KERATON YOGYA DAN PAKU ALAMAN

Makalah pembekalan Lawatan Sejarah 2005
Regional Propinsi DIY, Jateng dan Jatim
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional DIY
"Menelusuri Tapak Kerajaan".

DARI KOTAGEDE KE KERATON YOGYA
DAN PAKU ALAMAN

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Kotagede adalah sebuah kota lama dari abad ke 16 yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mataram Islam, didirikan oleh Ki Gede Pemanahan. Ki Gede Pemanahan adalah seorang abdi perajurit Kerajaan Pajang dengan rajanya bernama Sultan Adiwijaya (dikenal juga dengan nama Mas Karebet atau Jaka Tengkir). Sultan Adiwijaya mempunyai musuh seorang keturunan Demak bernama Arya Penangsang (Adipati Jipang), yang selalu mengancam akan menyerangnya. Sehubungan dengan hal itulah Sultan Adiwijaya berjanji akan memberikan tanah Mataram dan Pati kepada siapa yang dapat membunuh Arya Penangsang.

Ki Gede Pemanahan bersama putranya Sutawijaya dengan dibantu sahabatnya Ki Penjawi kemudian berhasil membunuh Arya Penangsang. Peristiwa tersebut juga kemudian mengakhiri perang Pajang dengan Jipang tahun 1558. Sehubungan dengan itu juga mereka dihadiahi Sultan Adiwijaya daerah Pati dan Mataram. Ki Gede Pemanahan memilih daerah Mataram karena tanahnya subur walaupun masih berupa hutan. Karena itu Ki Penjawi mendapat daerah Pati yang sudah merupakan daerah terbuka dan sudah ramai. Ki Penjawi dan keluarganya segera berpindah ke Pati, sedangkan tanah Mataram masih ditunda penyerahannya oleh Sultan Adiwijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan lebih dulu disuruh ke bukit Danaraja memberi tahu Kalinyamat tentang terbunuhnya Arya Penangsang. Kalinyamat melakukan tapa setelah saudaranya (Sunan Prawata raja Demak) dibunuh oleh Arya Penangsang. Setelah mendengar berita itu Kalinyamat memberi beberapa hadiah pusaka kepada Ki Gede Pemanahan termasuk dititipi beberapa putri pingitan untuk disampaikan ke Pajang. Salah seorang dari putri tersebut kemudian tinggal bersama Ki Gede Pemanahan, yang kelak menjadi isteri Senapati (raja Mataram pertama). Konon penundaan penyerahan tanah Mataram kepada Ki Gede Pemanahan tersebut ada kaitannya dengan ucapan Sunan Giri yang mengatakan bahwa kelak akan ada raja yang sangat berkuasa dan akan menguasai seluruh tanah Jawa. Karena itu setelah Ki Gede Pemanahan berjanji di hadapan Sunan Kalijaga bahwa ia akan tetap setia kepada Kerajaan Pajang, barulah Sultan Adiwijaya bersedia menyerahkan tanah Mataram kepada Ki Gede Pemanahan.

Ki Gede Pemanahan dan keluarga serta pengikut-pengikutnya mulai bermukim di tanah Mataram dan menempati istananya di Kotagede pada tahun 1577. Ki Gede Pemanahan terus membangun daerahnya yang berupa hutan tersebut. Daerah Mataram kemudian semakin lama menjadi daerah besar dan berpengaruh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran juga bagi Sultan Adiwijaya, sebab hal itu bisa mengancam eksistensi Kerajaan Pajang.

Sementara itu Ki Gede Pemanahan semakin yakin kalau dari tanah Mataram akan lahir penguasa atau raja besar yang akan menguasai tanah Jawa. Hal itu karena ketika ia berkunjung ke rumah temannya Ki Ageng Giring seorang nderes aren di Gunung Kidul, secara kebetulan ia meminum air kelapa muda milik Ki Ageng Giring, yang menurut pemiliknya pernah ada suara memberi tahu kepadanya bahwa siapa yang akan minum air kelapa muda tersebut sampai habis, maka seluruh keturunannya akan menjadi raja menguasai tanah Jawa. Hal itu ditafsirkan bahwa wahyu keraton jatuh kepada Ki Gede Pemanahan. Tetapi walaupun demikian karena Ki Gede Pemanahan telah berjanji kepada Sultan Adiwijaya untuk tidak menjadi raja Mataram, maka sampai ia meninggal pada tahun 1584 ia selalu taat sebagai bawahan raja Pajang.

Setelah Ki Gede Pemenahan meninggal, Sultan Pajang kemudian menunjuk Sutawijaya (anak Ki Gede Pemanahan yang diambil anak angkat oleh Sultan Adiwijaya) menggantikan Ki Gede Pemanahan sebagai penguasa Mataram, dan diberi gelar Senapati Ing Alaga.

Senapati yang masih muda itu setelah resmi menjadi penguasa di Mataram, iapun mulai mengadakan persiapan untuk memerdekakan tanah Mataram dari kekuasaan Pajang. Ia mulai membangun tembok keliling istananya di Kotagede. Bersamaan dengan itu Adipati Kedu dan Bagelen juga sudah membangkang tidak membayar pajak kepada Pajang. Kemudian Senapati Mataram pun mengabaikan kewajibannya terhadap Pajang. Ia tidak datang memberikan penghormatan tahunan ke Pajang, bahkan ia menggagalkan hukuman yang harus dilaksanakan atas perintah raja terhadap keluarga Tumenggung Mayang karena pelanggaran yang dilakukan anaknya, dan Senapati bahkan melindunginya.

Karena itulahh raja Pajang marah, sehingga bersama pasukannya menyerang ke Mataram. Tetapi dekat Perambanan pasukannya cerai berai akibat letusan Gunung Merapi dan meluapnya Sungai Opak. Sultan Adiwijaya beserta sisa-sisa pasukannya kembali lewat Tembayat, di mana ia merasa bahwa kerajaannya telah berakhir. Setelah sampai di kotapraja Pajang Sultan Adiwijaya jatuh sakit, dan pada tahun 1587 akhirnya meninggal dunia. Putranya bernama Pangeran Benowo disingkirkan oleh Arya Pengiri dari Demak dan dijadikan Adipati Jipang. Tetapi sebagai sultan Pajang Arya Pengiri karena tindakan-tindakannya tidak disenangi rakyat. Sementara itu Pangeran Benowo minta bantuan kepada Senapati Mataram untuk menyerang Arya Pengiri. Pajang pun diserang dari dua jurusan, sehingga Arya Pengiri menyerah kepada Senapati. Pangeran Banowo yang merasa tidak sanggup menghadapi Senapati temannya itu, kemudian bersedia mengakui kekuasaan Senapati. Sehingga keraton Pajang pun dipindahkan ke Mataram.

Pusat kekuasaan Kerajaan Mataram berada di Kotagede, 6 km dari Yogyakarta. Kotagede sebagai ibu kota kerajaan bisa juga disebut Pasargede sebagai pusat perdagangan. Di sini tinggal orang-orang kaya karena usaha dagangnya yang maju. Di Kotagede terdapat peninggalan yang tampak saat ini, seperti Masjid Mataram Kotagede, Watu Gilang dan Watu Gateng. Senapati meninggal tahun 1601, makamnya juga terdapat di Kotagede. Penggantinya anaknya yang bernama Mas Jolang (Penembahan Seda Kerapyak) yang pada masa pemerintahannya menghadapi banyak pemberontakan, mulai dari Demak, Ponorogo dan Surabaya. Mas Jolang wafat pada tahun 1613. Makamnya juga terdapat di Kotagede.

Penggati Mas Jolang adalah Adipati Martapura, yang karena sakit-sakitan tidak sanggup memerintah. Ia digantikan oleh saudaranya yang bernama Raden Rangsang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya (1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan.

Sultan Agung memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram ke Kerta. Keraton itu mulai dibangun secara besar-besaran pada tahun 1625, dua belas tahun setelah Sultan Agung naik tahta. Sebelumnya keraton Sultan Agung masih sangat sederhana. Menurut Jan Vons duta VOC yang mengunjungi Mataram tahun 1624 menyebutkan bahwa keseluruhan kompleks bangunannya masih terbuat dari kayu, bagian sitinggilnya (tempat penghadapan) belum ada. Sitinggil dibangun baru dibangun pada tahun 1625 atau tahun 1547 Saka yang ditandai dengan candrasengkala kuda awarna yaksa, dengan mengerahkan banyak sekali tenaga kerja dari berbagai penjuru daerah untuk menyelesaikannya. Hebatnya pembangunan kompleks keraton Sultan Agung tersebut digambarkan dari berita tentang banyaknya penduduk yang melarikan diri karenna tidak dapat lagi beristirahat akibat banyaknya pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka oleh raja.

Sultan Agung dikenal juga sebagai raja besar yang bergelar Senapati Ing Alaga Ngabdur Rachman. Ia berhasil menguasai seluruh wilayah pantai utara Jawa yang terbentang dari Karawang hingga Pasuruan. Serta daerah yang disebut mancanegara (Priaman Timur, Banyumas, Madiun, Jipan, dan Grobogan). Sultan Agung juga pernah menyerang Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1629 walaupun hasilnya gagal karena kekurangan makanan dan persenjataan yang tidak seimbang.

Sultan Agung meninggal tahun 1645, ia digantikan oleh putranya bernama Sunan Amangkurat I. Raja Mataram yang baru ini ternyata tidak mau menempati keraton ayahnya. Ia memindahkan pusat kerajaan dan mendirikan keraton baru di Plered. Diduga keraton telah rusak sebagai akibat bencana kebakaran yang cukup meluas di keraton Kerta. Lokasi keraton Plered tidak begitu jauh dari Kerta.

Pembangunan keraton Plered oleh Sunan Amangkurat I tidak kalah dengan keraton Kerta ketika dibangun oleh Sultan Agung. Pekerjaan yang paling banyak menyita waktu dan tenaga dalam pembangunan keraton Plered adalah ketika pembuatan bendungan-bendungan. Amangkurat I pada waktu itu sangat mengidamkan sebuah keraton di sebuah pulau buatan. Oleh karena itulah ia membangun telaga buatan yang sedemikian besar dan bendungan-bendungan tersebut. Cita-citanya itu memang terkabul. Seorang utusan VOC bernama Abraham Verspreet yang pada tanggal 16 Oktober 1668 berkunjung ke keraton Plered menceritakan bahwa ia telah melewati jembatan di atas parit yang mengelilingi keraton dan baru kemudian tiba di alun-alun. Dengan demikian Sunan Amangkurat I bagaikan tinggal di sebuah istana di atas sebuah pulau kecil.

Kejayaan keraton Amangkurat I yang megah itu tidak berlangsung lama. Tanggal 2 Juli 1677 keraton Plered diserang pasukan dari Madura dibawah pimpinan Trunajaya (Pangeran dari Madura yang kesal karena besarnya pengaruh Belanda di Mataram). Keraton dapat direbut oleh pasukan Trunajaya, dan Sunan Amangkurat I berhasil meloloskan diri. Segala alat-alat pusaka kerajaan kemudian dibawa oleh Trunajaya ke Kediri. Sementara itu dalam pelariannya Sunan Amangkurat I jatuh sakit sehingga meninggal (1667). Ia dimakamkan di Tegalarum (selatan Tegal).

Adipati Anom menggantikan ayahnya sebagai Sunan Amangkurat II. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Puger juga menyebut dirinya sebagai sunan. Sunan Amangkurat II dengan bantuan Kompeni Belanda (setelah bersedia menandatangani perjanjian yang merugikan Mataram) kemudian merebut Kediri yang dijadikan markas pasukan Trunajaya. Tanggal 27 Nopember 1678 Speelman sebagai Direktur Jenderal Kompeni (diwakili Anthony Hurt pimpinan penyerangan ke Kediri), menyerahkan kembali alat-alat pusaka kerajaan yang dibawa Trunajaya dari Plered kepada Sunan Amangkurat II. Sementara itu Trunajaya dengan pasukannya yang bertahan dan terkurung di Gunung Kelud akhirnya menyerah kepada pasukan Kompeni dibawah pimpinan Kapten Jongker (1679). Ia diserahkan kepada Sunan Amangkurat II, yang akhirnya membunuhnya beberapa hari kemudian (2 Januari 1680).

Sekarang yang menjadi musuh besar bagi Amangkurat II adalah adiknya sendiri, yakni Pangera Puger yang menamakan dirinya sebagai sultan dan berkedudukan di Plered. Setelah keraton Plered dapat direbut oleh tentara Mataram, ternyata Pangeran Puger sudah melarikan diri. Amangkurat II juga tidak mau lagi tinggal di keraton lama tersebut. Hal itu selain keadaan keraton sudah banyak yang rusak serta terlantar tidak terpelihara, lebih-lebih karena menurut kepercayaan, sebuah keraton yang pernah diduduki musuh berarti tidak suci lagi dan akan mendatangkan bencana. Karena itu ia menyuruh membuat keraton baru di Wonokerto yang terletak di sebelah barat Pajang. Ibu kota Kerajaan Mataram yang baru ini dinamakan Kartasura. Menurut Babad Tanah Jawi Sunan Amangkurat II menempati istananya yang baru tersebut pada tanggal 11 September 1680 (27 Ruwah 1603).

Keadaan Kerajaan Mataram Kartasura yang berdiri selama kurang lebih 60 tahun (1680-1746) mengalami pasang surut. Sejak Amangkurat II naik tahta ia terus bersengketa dengan adiknya Pangearan Puger. Bahkan ketika ia digantikan oleh anaknya, yakni Sunan Mas yang bergelar Sunan Amangkurat III, Pangeran Puger dapat merebut tahta kerajaan pada tahun 1709. Pangeran Puger kemudian bergelar Sunan Paku Buwana I. Perebutan kekuasaan oleh Pangeran Puger terhadap Amangkuurat III inipun juga karena adanya bantuan Kompeni Belanda. Perang ini berakhir setelah Kompeni Belanda dapat menagkap Sunan Amangkurat III, dan kemudian membuangnya ke Srilangka.

Suunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) meninggal tahun 1719 putranya yang bernama Pangeran Mangkunegara dengan dukungan Kompeni Belanda menggantikannya dan bergelar Sunan Amangkurat IV. Namun dua saudaranya, yakni Pangeran Purbaya dan Pangeran Belitar berusaha untuk merebut kekuasaan. Kedua pangeran itu pindah ke Kerta keraton yang pernah dibangun oleh Sultan Agung. Demikian pula saudaranya yang lain, yakni Pangeran Diponegoro pergi bergabung dengan pemberontak dari Surabaya.

Keadaan menjadi semakin rumit ketika saudara Sunan Paku Buwana I, yakni Pangeran Arya Mataram pergi ke Pati dan juga mengaku sebagai sunan. Perselisihan antara Sunan Amangkurat IV dengan Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, Pangeran Diponegoro dan Arya Mataram ini berakhir setelah keempatnya berhasil ditangkap dan dibuang ke Srilangka.

Sunan Amangkurat IV meninggal pada tahun 1727. Ia diganti oleh putranya, yakni Sunan Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pula perpecahan dalam istana. Kedua saudaranya, yakni Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara terlibat dalam pertarungan terbuka. Pada masa pemerintahannya terjadi pula geger yang dilakukan oleh orang-orang Cina (Pemberontakan Cina tahun 1740). Pemberontakan Cina ini terjadi di Batavia yang menjalar ke berbagai kota di Jawa sebagai akibat tekanan pajak yang dibebankan kepada mereka. Paku Buwana II yang memihak Kompeni Belanda dan bahkan memecat Patih Natakusuma yang memihak perlawanan Cina, Gencarnya perlawanan orang-orang Cina membuat orang-orang Belanda meraca terancam keselamatannya. Kompeni memutuskan untuk meminta bantuan kepada Pangeran Cakraningrat dari Madura, yang sejak lama ingin melepaskan diri dari Mataram. Cakraningrat bersedia membantu asal diperbolehkan melepaskan diri dari Kartasura. Kompeni mengizinkan dan bahkan membiarkan Cakraningrat menduduki beberapa daerah di Jawa Timur (Gersik, Lamongan dan Tuban).

Tanggal 30 Juni 1742 para pemberontak Cina bersama dengan pemberontak-pemberontak lain, antara lain Bupati Pati, Bupati Grobogan, serta Mas garendi (putra Pangeran Tepasana), berhasil merebut keraton Kertasura sehingga Sunan Paku Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. Orang-orang Cina kemudian mengangkat Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) sebagai sultan tandingan dan menjadi raja di Kartasura menggantikan Sunan Paku Buwana II.

Pasukan Kompeni segera memberikan bantuan kepada Sunan Paku Buwana II untuk merebut kembali keraton Kartasura. Tetapi ternyata sudah didahului Pangeran Cakraningrat merebut keraton Kartasura dari Mas Garendi. Karena itu Kompeni lewat pembesar Belanda di Semarang Raynier de Klerk meminta secara baik-baik agar Cakraningrat kembali ke Madura.

Mas Garendi (Sunan Kuning) yang sempat bertahta di keraton Kartasura kemudian dapat ditangkap dan diserahkan kepada Gubernur Belanda di Semarang.

Tanggal 24 Desember 1742 Sunan Paku Buwana II dapat kembali dari Ponorogo ke keraton Kartasura. Tetapi sejak kembali ke Kartasura Sunan Paku Buwana II tidak tenang. Istananya dalam keadaan rusak sehingga ia memutuskan untuk membangun istana di tempat lain. Ia menginginkan keratonnya nanti dibangun di sebuah tempat yang terletak di sebelah timur Kartasura. Untuk itu para patihnya mengusulkan ada tiga tempat, yakni Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sanasewu. Akhirnya atas dasar beberapa pertimbangan para patihnya menetapkan untuk mengusulkan Desa Sala.

Tetapi Sunan Paku Buwana II kembali meminta kepada empat orang pejabat istana lainnya untuk melakukan penelitian dan pengecekan lebih lanjut. Hasilnya didapat keterangan dari sesepuh Desa Sala yang bernama Kyai Gede Sala bahwa daerah itu merupakan tempat di mana dimakamkan Raden Pabelan dari Tumenggung Mayang yang dibunuh karena tertangkap basah bermain asmara dengan putri Ratu Emas putri Sultan Adiwijaya raja Pajang. Mayatnya dihanyutkan di sungai Laweyan dan terdampar di tepi sungai di sebelah timur Desa Sala. Penguasa Desa bernama Bekel Kyai Sala menemukannya dan kemudian mengebumikannya. Karena Bakel Kyai sala tidak tahu nama mayat itu maka disebutnya Kyai Bathang. Ketika itu ia mendapat wangsit bahwa di belakang hari tempat itu akan menjadi sebuah kerajaan besar dan sejahtera.

Setelah mendapat penjelasan dari Kyai Gede Sala, keempat utusan sunan segera mengunjungi makam Kyai Bathang. Tempat itu ternyata sebuah kawasan yang indah. Kekurangannya adalah karena dekat dengan rawa yang lebar dan dalam. Diceritakan bahwa untuk menutup sumber air rawa tersebut telah diterima wangsit agar sultan menggunakan gung dan ledek, yang ditafsirkan harus dengan menyerahkan uang kepada pemilik tanah, yakni Kyai Gede Sala. Karena itu kemudian Sunan Paku Buwono II menyerahkan uang 10.000 ringgit kepada Kyai Gede Sala sebagai konsesi atas penyerahan tanah di kawasan Desa Sala tersebut.

Kyai Gede Sala atas hasil semedi di makam Kyai Bathang berhasil menutup sumber air rawa tersebut dengan menggunakan bunga delima dan daun lumbu, di samping menggunakan beribu-ribu balok-balok kayu yang diminta Sultan kepada para adipati daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya.

Setelah rawa mulai kering, maka pembangunan istana pun dimulai. Pembangunan keraton dinyatakan selesai pada tahun 1745, walaupun pagar kelilingnya masih dibuat dari bambu. Pada tanggal 17 Februari 1746 Sunan Paku Buwono II pindah menempati keraton barunya di Desa Sala. Pemindahan ibu kota kerajaan Mataram dari Kartasura ke Desa Sala tersebut digambarkan berlangsung dalam upacara prosisi sesuai adat yang lazim dilakukan para raja. Sunan Paku Buwana II kemudian menyampaikan pernyataan bahwa Desa Sala sebagai ibu kota kerajaan dirubah namanya menjadi Surakarta Adiningrat.

Selanjutnya Sunan Paku Buwana II di samping terus membangun keraton, juga harus menangani masalah perpecahan dalam istana dan adik-adiknya yang masih memberontak. Ada Pangeran Arya Buminata dan Pangeran Arya Singasari (dua adiknya), Raden Mas Said serta Pangeran Mangkubumi. Perpecahan dalam istana ini kemudian dapat diatasi dengan bantuan Kompeni Belanda. Tapi harus dibayar dengan mahal, karena Sunan Paku Buwana II harus menyerahkan Mataram pada tanggal 11 Desember 1749 kepada Kompeni Belanda, dan sejak itu raja Mataram hanya hanya disebut vassal (pimpinan). Penendatanganan surat kontrak penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda tersebut berlangsung saat Sunan Paku Buwana II dalam keadaan sakit keras.

Pangeran Mangkubumi (saudara kandung Sunan Paku Buwana II) yang waktu itu sudah meninggalkan istana, ketika tahu kelicikan Kompeni Belanda tersebut, dia tidak bisa menerima dan kemudian menyatakan dirinya sebagai sunan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana karena kecewa kepada Sunan Paku Buwana II yang tidak menepati janji akan memberikan hadiah tanah sewaktu dia dapat meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Mas Said dan Tumenggung Martapura. Karena itu Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana melakukan perlawanan, dan bahkan bergabung dengan Raden Mas Said dan Tumenggung Martapura yang dahulu menjadi lawannya. Mereka kemudian bersama-sama melawan Sunan Paku Buwana II dan Kompeni Belanda.

Setelah Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana pada akhir tahun 1749 tersebut, Sunan Paku Buwana II jatuh sakit. Dalam keadaan sakit itulah Suan Paku Buwana II menandatangani kontrak yang sangat merugikan Mataram tersebut. Sembilan hari setelah menandatangani kontrak, yakni tanggal 20 Desember 1749 Sunan Paku Buwana II meninggal dunia. Penggantinya Adipati Anom dinobatkan sebagai Sunan Paku Buwana III sebagai wakil Kompeni Belanda memerintah Mataram. Ia harus menandatangani surat kontrak yang menyatakan kekuasaannya diperoleh atas kebaikan hati Pemerintah Kompeni Belanda.

Selanjutnya untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said maka Kompeni Belanda melakukan politik devide et impera, yang berhasil memisahkan keduanya. Perlawanan Pangeran Mangkubumi baru berakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Gianti tanggal 13 Februari di Desa Gianti. Isinya Kerajaan Mataram dibagi dua sama antara Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi yang selanjutnya bergelar Sultan Hamengku Buwana I. Sunan Paku Buwana III tetap bertahta di Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta, sedangkan Sultan Hamengku Buwana I bertahta di Kesultanan Ngayogyakarta (Yogyakarta) Adiningrat yang beribu kota di Yogyakarta di Desa Bringharjo.

Setelah Perjanjian Gianti pergolakan dalam kerajaan masih juga terjadi. Raden Mas Said terus melanjutkan perang melawan Kompeni Belanda, Sunan Paku Buwana III dan Sultan Hamengku Buwana I. Raden Mas Said adalah kemanakan dan menantu Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) dan pernah menjadi wazirnya, bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara. Tetapi kekuatan gabungan dari Sunan Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwana I dan Kompeni Belanda ternyata terlalu kuat bagi Raden Mas Said. Setelah mengalami kekalahan di daerah Kuwu, Raden Mas Said menyingkir ke Desa Lawang kemudian ke Sukawati, di tempat ini ia diminta utusan Sunan ntuk berdamai dan diajak kembali ke Kartasura. Setelah Sunan Paku Buwana III dapat menyetujui permintaan Raden Mas Said yang meminta agar semua daerah yang pernah dikuasainya menjadi miliknya, tanggal 24 Februari 1757 atas kemauan sendiri ia datang menghadap Sunan Paku Buwana III di Desa Grogol (7 km dari Sala).

Selanjutnya dengan perantaraan Gubernur Nicolas Harthgh, diadakan perundingan antara Raden Mas Said dengan Sunan Paku Buwana III pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga, disaksikan Raden Adipati Danurejo sebagai wakil Sultan Hamengku Buwana I. Dalam Perjanjian Salatiga tersebut ditetapkan bahwa Raden Mas Said mendapat tanah sebagian dari Kesunanan Surakarta yang kemudian disebut Mangkunegaran, dan ia menjadi pangeran merdeka dengan gelar Mangkunegaran I. Demikian Mataram telah dipecah menjadi tiga bagian: Kesunanan Surakarta, Kesultanan Ngayogyakarta Adiningrat, dan Mangkunegaran.

Sultan Hamengku Buwana I dengan nama lengkapnya Sultan Hamengku Buwana Sinapati Ing Alaga Abdulrahman Sayi'din Pnatagama Kalifatullah I, pada tanggal 13 Maret 1755, sebulan setelah Perjanjian Gianti mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwa separo dari Negara Mataram yang dikuasainya itu, diberi nama Ngayoyakarta Adiningrat, beribu kota di Yogyakarta. Nama tersebut dipilih oleh Sultan diperkirakan untuk menghormatitempat yang bersejarah yaitu hutan beringin yang pada waktu Sunan Amangkurat I yang lalu sudah merupakankota kecil yang indah,dan ada istana (tempat) pesanggrahan bernama Gerjitawati. Kemudian pada masa Sunan Paku Buwana II yang bertahta di Kartasura, nama pesanggrahan tersebut diganti dengan Ngayogya, yang masa itu digunakan untuk tempat pemberhentian jenazah yang akan dimakamkan di Imogiri, sehingga pesanggrahan tersebut dipandang suci.

Setelah Sultan Hamangku Buwana I menetapkan Ngayogya sebagai pusat kerajaan baru tersebut, Sultan segera memerintahkan untuk membangunnya yang dimulai dengan keraton sebagai pusat dan permulaan bangunannya. Sementara itu Sultan bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya menempati pesanggrahan Gamping, yang letaknya sekitar 5 km di sebelah barat ibu kota yang sedang dibangun. Pesanggrahan yang ditempati Sultan Hamangku Buwana I bersama dengan keluarga dan pengikutnya tersebut dikenal sebagai Istana (Ngambar) Ambar Ketawang. Pesanggrahan ini mempunyai sifat-sifat pertahanan, karena letaknya di samping sebuah gunung gamping, yang memberi perlindungan kuat kepada penghuninya. Sayang sekali gunung gamping yang bersejarah itu sekarang sudah hampir habis sama sekali, karena telah digempur oleh rakyat untuk bahan kapur, kini masih sedikit saja yang bisa diselamatkan. Konon dari gunung gamping yang terletak membujur ke sebelah timur laut Istana Ambar Ketawang tersebut terdapat gua yang menghubungkan keduanya. Gua yang dari bekas-bekasnya tampak dibuat sengaja tersebut itu, sangat mirip dengan lubang perlindungan atau sebagai benteng pertahanan, karena pintu gua yang di sebelah barat mempunyai hubungan langsung dengan Istana Ambar Ketawang.

Istana Ambar Ketawang sebelumnya dikenal dengan nama Purapara, yaitu gedung tempat orang yang tengah bepergian. Bangunan yang berukuran 80 x 150 meter tersebut bila dihubungkan dengan sejarah hutan beringin yang berasal dari kata-kata pabringan, yaitu tempat untuk memberi tanda-tanda pada wktu orang ramai berburu hewan di hutan, maka besar kemungkinan Istana Ambar Ketawang tersebut dulu merupakan pesanggrahan pada waktu Sultan Mataram dengan pengiringnya sedang berburu hewan di hutan beringin.

Sultan Hamangku Buwana I mulai menempati Istana Ambar Ketawang pada hari Kamis tanggal 9 Oktober 1755, dan kira-kira setahun kemudian setelah sebagian dari bangunan-bangunan di dalam keraton selesai, Sultan berkenan memasuki Keraton Ngayogyakarta (Yogyakarta) pada hari Kamis tanggal 7 Oktober 1756. Kepindahan Sultan tersebut diperingati dengan lukisan dua ekor naga yang ekornya saling melilit, ditempatkan di atas Banon renteng (tembok serupa perisai) pada gapura belakang. Lukisan itu disebut "candra sengkala memet", artinya angka-angka dari tahun Jawa yang dilukiskan dengan kata-kata yang berwujud gambaran. Gambaran itu berbunyi Dwi naga rasa tunggal = 1682 C (1756 M).

Bahwa pembangunan keraton Yogyakarta dirancang dan diawasi sendiri oleh Sultan Hamangku Buwana I, demikian juga dengan pembangunan Taman Sari. Taman Sari adalah salah satu tempat istirahat yang letaknya ada di samping keraton sebelah barat. Tentang tempat dibangunnya ibu kota Ngayogyakarta condong kepada "pertahanan" dapat diperkuat dengan berdirinya Taman Sari, yang merupakan bagian dari keraton. Orang Barat mengenalnya sebagai "water kastel". Pada bagian-bagian sebelah dalam, di antaranya terdapat juga jalan-jalan kecil di dalam tanah yang menembus ke beberapa jurusan, berbeluk-beluk, di anataranya ada yang menembus sampai ke luar kota. Sehingga Taman Sari tidak hanya hanya tempat beristirahat, tetapi pada hakekatnya mempunyai arti lain yang berhubungan dengan pertahanan.

Ketika Daendels tahun 1808 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ia mengangkat wakil-wakilnya di keraton Jawa dengan sebutan Manteri Raja Belanda yang harus diperlakukan sama dengan para raja. Kalau Sultan Surakarta mau tunduk, maka Sultan Yogyakarta tidak. Akibatnya tahun 1810 Daendels mengganti Sultan Hamangku Buwana I dengan Sultan Hamangku Buwana II yang juga bersedia menyerahkan sebagian daerah kesultanan kepada Belanda di samping harus bersedia memenuhi keinginan Daendels lainnya.

Tahun 1811 Hindia Belanda jatuh ke tangan Pemerintah Inggeris. Ketika itu pula Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta bersama-sama menentang kekuasaan Inggeris. Akibatnya pada tahun 1812 keraton Yogyakarta diserbu oleh tentara Inggeris. Harta kekayaan keraton disita dan Sultan Hamangku Buwana II diganti dengan Sultan Hamangku Buwana III. Demikian pula Kesunanan Surakarta kemudian dipaksa untuk menyerahkan beberapa obyek seperti hutan jati, rumah cukai, pasar dan beberapa fasilitas lainnya.

Dalam suasana keruh tersebut di Kesultanan Yogyakarta lahir Pemerintahan Kadipaten Paku Alaman pada tanggal 17 Maret 1813. Pangeran Notokusomo, putra Hamangku Buwana I diangkat menjadi Pangeran merdeka dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Hal ini dinyatakan dalam kontrak yang ditandatangani oleh Sri Paku Alam I dengan John Crawfurd pada tanggal 17 Maret 1813.

Dengan lahirnya pemerintahan Kadipaten Pakualaman maka ibu kota Yogyakarta Adiningrat menjadi berubah, karena ibu kota Paku Alaman ada di dalam ibu kota Yogyakarta Adiningrat. Ibu kota Paku Alaman tersebut menempati sebagian kecil sebelah timur Sungai Code terdiri dari Kampung Notokusuman, yakni kampung kediaman Sri Paku Alam I selagi masih menjadi Pangeran Miji. Kampung itu kemudian diberi berpagar, sehingga juga merupakan sebuah benteng.

Demikian Kerajaan Mataram yang dirintis oleh Ki Ageng Pemanahan dengan rajanya yang pertama Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Alaga (1584-1601), setelah berlangsung diperintah silih berganti di bawah turunannya, akhirnya pecah di bawah empat kekuasaan, yakni Kesunanan Surakarta, dan Mangkunegaran yang saat ini masuk dalam wlayah Propinsi Jawa Tengah, serta Kesultanan Ngayogyakarta, dan Kadipaten Paku Alaman yang sekarang berada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

DAFTAR BACAAN

H.J. de Graaf, Distegrasi Mataram Di Bawah Mangkurat I, GrafitiPers, Jakarta, 1987.
H.J. de Graaf & TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama Di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke 15 dan ke 16, Grafiti Pers, Jakarta, 1985.
Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Proyek IDSN Ditjen Kebudayaan Depdikbud, Jakarta, 1999.
S.Ilmi Albiladiyah, Paku Alaman Selayang Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, 1944.
Teguh Asmar, et.al., Masyarakat Tradisional Kotagede, Proyek Sasana Budaya, Yogyakarta, 1982.
Kota Yogyakarta 200 tahun, Panitia Peringatan Kota Yogyakarta, Yogyakarta, 1956.

Rabu, 04 Maret 2009

PEMBANGUNAN BERWAWASAN BUDAYA: PERSPEKTIF BUDAYA BANJAR (KALSEL)

Makalah disampaikan pada kegiatan
Lokakarya Nasional Pembangunan
Berwawasan Budaya, UGM 7-1-2004


PEMBANGUNAN BERWAWASAN BUDAYA:
PERSPEKTIF BUDAYA BANJAR (KALSEL)


Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

I. PENDAHULUAN

Daerah Banjar identik dengan Propinsi Kalimantan Selatan. Luas wilayah Propinsi ini hanya 40.387 km2. Sedangkan jumlah penduduknya pada akhir tahun 2000 berjumlah 2.970.244 jiwa, terdiri dari laki-laki 1.484.945 jiwa dan perempuan 1.485.299 jiwa. Dengan tingkat pertumbuhan 1,94%.

Propinsi Kalimantan Selatan merupakan propinsi yang wilayahnya tersempit di antara propinsi-propinsi di seluruh Kalimantan. Disebut daerah selatan karena propinsi ini sebelum tahun 1957 wilayahnya meliputi Propinsi Kalimantan Tengah, yang sebagian besar daerahnya berada di bagian selatan pulau tersebut.

Penduduk yang mendiami Kalimantan Selatan sekarang disebut Urang Banjar. atau Orang Banjar atau etnik Banjar. Tetapi bukan seluruh penduduk Kalimantan Selatan etnik Banjar, karena ada etnik-etnik lain yang mendiami Kalimantan Selatan sebagai penduduk atau warga.

Kata "Banjar" berasal dari kata Banjarmasih. Nama Banjarmasih berarti kampung pedukuhan, jajaran rumah di muara Sungai Kuin, sebuah anak Sungai Barito. Banjarmasih berasal dari kata "banjar" dan "masih". Banjar adalah kampung yang rumahnya berjajar, sedangkan kata "masih" adalah berasal dari nama kepala suku orang Melayu yang oleh orang suku Dayak Ngaju disebut Oloh Masih (orang Melayu) karena kepala sukunya disebut Patih Masih. Dengan demikian Patih Masih berarti Patihnya orang Melayu.

Orang-orang Melayu memang ada sejak zaman datangnya agama Islam ke Kalimantan dan juga sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar telah membuat pemukiman di sekitar muara Kuin. Mereka berdampingan hidup dengan suku-suku Dayak di sekitarnya. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Patih. Dengan demikian di samping terdapat Patih Masih yaitu patihnya orang Melayu terdapat pula Patih Kuin, Patih Balit, Patih Balitung dan Patih Muhur.

Dengan demikian di muara Sungai Kuin terdapat lima kelompok suku bangsa yang hidup berdampingan secara damai dan terdapat persahabatan antara kelima kelompok tersebut. Dalam hal ini Patih Masih lebih menonjol di antara kelima patih itu, karena Patih Masih membuat sebuah bandar yang dikenal pula sebagai Bandar Patih Masih. Di bandar ini bertemu segala suku bangsa dan terjadilah kontak hubungan dagang antar suku dan terjadi pula kontak antar budaya antar suku.

Dalam Sejarah Banjar diketahui bahwa bandar dari Patih Masih yang dikenal pula sebagai "BANDARMASIH" yang terdapat di kampung BANJARMASIH merupakan tempat transaksi perdagangan suku Banjar dengan pedagang dari Nusantara, dari Jawa, Palembang, Bugis, Cina, Arab dan India.

Kata "Banjarmasih" ini lambat laun berubah menjadi Banjarmasin. Perubahan ini diakibatkan catatan yang dibuat Belanda. Dalam tahun 1664 nama Banjarmasih masih dipakai Belanda, dalam catatan Belanda yang menulis: Pangeran Suryanata in Banjarmach (masih), Pangeran Ratu in Banjarmach (masih), Prinnce Banjarmach, dan lainnya. Tapi tahun 1773 Belanda menulis berubah menjadi Banjermasing dan menjadi Banjarmasin tahun 1845.

Kata "Banjar" lambat laun tidak lagi berarti kampung tetapi menjadi sebuah sebutan untuk menyatakan identitas suatu negeri, bahasa, kerajaan, suku, orang, dan sebagainya.

Suku Banjar asal mula berada di hulu Sungai Tabalong di utara dari Negara Daha. Perpaduan etnis lama kelamaan menimbulkan perpaduan kultural. Dalam penggunaan bahasa yang dikenal sebagai Bahasa Banjar, terdapat unsur bahasa Melayu dominan sekali. Melalui periode Negara Daha masuk kebudayaan Jawa Timur dari daerah Kediri utara, di samping masuk pula unsur budaya dari Majapahit. Pada permulaan abad ke 16 terjadi perebutan keraton, dan pusat pemerintahan berpindah ke sebelah hilir Sungai Barito, yaitu di muara Kuin dengan nama Kerajaan Banjarmasin. Penduduk negeri baru ini terjadi dari perpaduan antara penduduk Dayak Oloh Ngaju dan Oloh Masih (orang Melayu).

Kerajaan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan yang mendapat pengaruh dominan dari agama Islam, sehingga kemudian agama Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. Di samping itu Kerajaan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan maritim yang mengandalkan kehidupan kerajaan dari hasil perdagangan. Masuknya pedagang-pedagang Nusantara dan pedagang asing ke Banjarmasin menyebabkan terjadinya percampuran, dan budaya itu dikenal sebagai budaya Banjar.


II. ASPEK BUDAYA BANJAR DALAM PEMBANGUNAN

Budaya Banjar sebagai kebudayaan kelompok atau kebudayaan lokal adalah manifestasi cara berpikir dari sekelompok orang di daerah Kalimantan Selatan yang didominasi oleh budaya Islam. Penduduknya yang mayoritas beragama Islam dan sangat fanatik menganut ajaran agama tersebut menyebabkan budaya luar yang bertentangan agama maupun budaya lokal sisa-sisa kebudayaan lama tidak bisa berkembang. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa agama Islam adalah sebagai indikator dan sekaligus sebagai filter bagi masuknya budaya luar atau budaya lokal yang muncul yang bertentangan dengan agama Islam.

Aspek-aspek kebudayaan Banjar umumnya sangat didasari oleh agama Islam. Kerajaan Banjar atau Banjarmasin yang dibangun pada awal XVI (1526) oleh Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) yang menjadi pelarian politik akibat terjadinya perebutan tahta di Negara Dipa, dengan dukungan Patih Masih (pimpinan masyarakat orang Melayu di muara Sungai Barito), adalah kerajaan pertama yang menjadikan Islam sebagai agama negara. Kebijaksanaan kerajaan yang kemudian mengirim warganya untuk bersekolah ke Mekah, menghasilkan seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang kemudian dapat mewujudkan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan berprilaku budaya yang selalu mengacu kepada ajaran-ajaran Islam. Namun tentu saja tidak bisa dimungkiri bahwa sisa-sisa kepercayaan lama, Budha dan Hindu yang pernah berkembang sebelumnya, kemudian diberi warna Islam masih terdapat dan berlangsung di kalangan masyarakat tertentu.

Sehubungan dengan kuatnya peran Islam dalam budaya masyarakat Banjar tersebut, dalam kehidupan masyarakat Banjar dulu terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk limas. Lapisan yang paling atas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan atau "bubuhan raja-raja" yang sebagian memangku jabatan borokrasi, sebagian lagi sebagai pedagang atau pemilik usaha. Di bawahnya terdapat golongan ulama dan para pejabat seperti Mufti (hakim tinggi agama), penghulu, dan pembantu-pembantunya. Ulama sangat berpengaruh di masyarakat, karena di samping sebagai tetuha masyarakat juga menyampaikan ajaran Islam, seperti memberikan pengajian, dakwah, atau menjadi guru di pesantren, sehingga selalu dekat dengan masyarakat. Seangkan Mufti sebagai pejabat formal mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Lapisan yang ketiga adalah pedagang yang jumlahnya cukup besar. Lapisan terakhir yang terbesar adalah petani, pedagang kecil, nelayan, industri kerajinan dan pertukangan. Ketika Pemerintah Belanda pada tahun 1860, memaksakan struktur dengan menempatkan urutan teratas bagi orang Belanda dan Eropah lainnya, kemudian golongan Indo, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putra, sehingga menggerakkan perlawanan yang bernafaskan Islam dalam Perang Banjar.

Setelah kemerdekaan struktur sosial secara resmi tidak terdapat seperti pada masa kerajaan dan pemerintahan Belanda. Di Kalimantan Selatan gelar-gelar kebangsawanan seperti raden, pangeran, daeng, antung dan gusti, juga sudah jarang dipakai. Perjalanan sejarah dari masa kerajaan, masa penjajahan yang berpuncak pada masa revolusi, kemudian melahirkan sebuah tatanan dalam masyarakat Banjar yang menempatkan tokoh-tokoh informal atau informal tradisional sebagai figur yang dihormati dalam masyarakat. Tokoh ulama dan "orang kuat" yang berani, tegas, adil, dan arif adalah figur-figur yang sangat disegani dalam masyarakat. Pemimpin-pemimpin formal yang mengenyampingkan figur ulama dan orang kuat di masyarakat tidak akan mendapat dukungan masyarakat.

Komunitas masyarakat Banjar yang sebagian besar berjiwa dagang, pengusaha dan petani sebagai warisan dari nenek moyang mereka, yang juga merupakan insan-insan yang agamis, dalam kehidupan dan berusaha selalu menghendaki kejujuran dan kebersamaan. Cara-cara licik, pemaksaan, dan menghalalkan segala cara ditolak dalam masyarakat Banjar. Tindakan Cornelis de Huotman merampok jung-jung pedagang dari Banjar yang berlabuh di Banten pada tahun 1596, berakibat ketika kapal-kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Koopman Gillis Michieszoom tahun 1607 tiba di Banjarmasin dan menginginkan monopoli, terjadi pembakaran terhadap kapal-kapal Belanda tersebut. Sementara kebersamaan dalam komunitas masyarakat Banjar selain merupakan warisan dari adat "baarian" (saling peduli dan membantu sesama), juga tidak terlepas dari ajaran agama.

Orang Banjar terdiri dari orang Banjar Kuala dan orang Banjar Hulu yang berbeda watak, tempramen, dan kebiasaan dalam kehidupan. Orang Banjar Kuala yang dalam kehidupan tidak menghadapi alam yang lebih keras, bersifat lebih lembut dan toleran. Sementara orang Banjar Hulu yang dalam kehidupan melawan alam yang keras dan kemudian sejak abad ke XVIII hingga masa revolusi menjadi basis perlawanan terhadap penjajah Belanda, merupakan warga Banjar yang umumnya berkarakter keras. Segala perencanaan ke depan, terutama menyikapi masalah kebijakan dalam pembangunan diperlukan pendekatan dan kesesuaian dengan pandangan hidup dan lingkungan alam mereka.

Berikut aspek-aspek budaya Banjar yang patut diperhatikan dalam pembangunan:

Sosial Ekonomi
Sejak dihapusnya struktur sosial dalam kerajaan Banjar oleh Belanda dan juga hapusnya struktur sosial masa penjajahan bersama dengan berakhirnya penjajahan di Indonesia, orang Banjar secara resmi tidak mengenal lagi adanya tingkatan-tingkatan dalam masyarakat. Walaupun dalam kehidupan berbeda-beda pekerjaan, kalau yang dilakukan tidak bertentangan dengan agama, tidak ada yang merendahkan. Dalam komunitas Banjar sebagai warisan kehidupan beragama yang kuat dan pengalaman perjuangan melawan penjajah yang berbeda syariat dan prilaku, maka setelah kemerdekaan lahir suatu tatanan yang menempatkan tokoh-tokoh informal sebagai figur-figur yang dihormati masyarakat. Yokoh Ulama dan "orang kuat" yang berani, tegas, adil dan arif adalah figur-figur yang sangat disegani dalam masyarakat.

Masyarakat Banjar yang sejak dihapusnya Kerajaan Banjar tahun 1860 dan berlakunya pemerintahan langsung (direct rool) oleh Belanda meninggalkan bekas adanya jarak antara rakyat dengan pemerintah. Rasa tidak ikut memiliki segala yang menjadi milik pemerintah bukan tidak mungkin masih tersisa dalam masa kemerdekaan ini. Karena itu kebijakan pemerintah yang berjalan sendiri, apalagi kalau memaksakan kehendak seperti Koopman Gillis Michieszoom tahun 1607 yang datang di Banjarmasin dan mau monopoli sulit dibayangkan.

Sebagai masyarakat yang sebagian besar memegang kuat ajaran Islam maka setiap kebijakan pemerintah yang tidak tercela menurut agama tentu bukan masalah. Apalagi kalau kebijakan yang dijalankan pimpinan formal juga memperhatikan pendapat dan saran dari figur-figur informal terutama ulama yang disegani di masyarakat.

Seperti disebutkan di atas bahwa komunitas masyarakat Banjar sebagian besar berjiwa dagang, pengusaha dan petani. Sejak zaman Kerajaan Banjar pedagang dari Banjarmasin sudah banyak yang berlayar membawa dagangan terutama hasil bumi ke pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Orang Banjar juga membuat sendiri jung (kapal) dari kayu ulin (kayu besi) untuk berlayar mengarungi lautan. Bahkan jung buatan Banjar tersebut pada masa Kerajaan Banjar juga digunakan untuk berlayar pergi haji ke Mekah.

Pedagang orang Banjar yang mewarisi nenek moyangnya tersebut selain banyak berusaha di daerah sendiri, juga terdapat di berbagai kota besar di Indonesia. Sejak dulu golongan pedagang besar, jumlahnya cukup banyak di Banjarmasin. Mereka mempunyai hubungan tetap dengan pedagang-pedagang dari luar seperti Jawa, Bugis, Makasar, Melayu, Cina dan Arab. Mereka mempunyai kapal sendiri untuk membawa hasil-hasil bumi dan pertambangan ke luar Kalimantan. Usaha berdagang dipandang terhormat oleh masyarakat Banjar. Pengaruh pedagang kaya cukup besar dalam masyarakat. Pedagang itu menjunjung tinggi adat leluhur, cinta sesama makhluk serta belas kasihan pada pihak yang lemah. Berikut gambaran pedagang yang dihormati dan ditaati masyarakat pada masa Kerajaan Banjar, seperti yang tertulis dalam Suluh Sejarah Kalimantan Karya Amir Hasan Bondan (1953):

"Bubuhan saudagar zaman bahari pada umumnya dalam masyarakat sangat ditaati oleh rakyat, karena mereka tetap memegang teguh adat kepusakaan, yakni : Menjunjung tinggi dasar kecintaan hati pada sesama makhluk serta belas kasihan pada pihak yang lemah harus ditolong. Adat leluhur yang dijunjung tinggi oleh bubuhan saudagar-saudagar pada zaman bahari di antarnya yaitu apabila pulang dari pelayaran berdagang, maka selalu tidak dilupakan meadakan "aturan-aturan" (bingkisan) kepada raja dan sungsungan (oleh-oleh) untuk keluarga dan sahabat. Juga tidak dilupakan bersedekah kepada anak yatim dan fakir miskin. Setelah dipenuhi adat itu, barulah dimulai berjual beli. Ada nyanyian orang bahari tentang pedagang: Bubuhan saudagar asli tebal imannya. Rohani jasmani rasuk tujuannya. Nang ngaran lautan jadi idamannya. Kemajuan hidup terus dipikirnya."

Pedagang Banjar tidak khawatir adanya persaingan sejauh itu persaingan sehat dan jujur. Di Banjarmasin toko-toko pedagang Cina bersebelahan dengan toko-toko pedagang Banjar. Tidak pernah terjadi anti pedagang Cina atau anti pedagang Arab di Banjarmasin. Orang Banjar percaya dan tawakkal bahwa rezeki itu dari Allah. Dan kenyataannya tidak hanya di Banjarmasin, juga di beberapa kota di Kalimantan pedagang Banjar sanggup bersaing dengan para pedagang lainnya.

Golongan yang terbesar dalam masyarakat adalah petani. Selain itu terdapat juga pedagang kecil, nelayan, usaha kerajinan, industri dan pertukangan. Bertani adalah kehidupan masyarakat Banjar yang tinggal di pedesaan. Peralatannya tak banyak mengalami perubahan dari dulu sampai kini. Dal;am usaha dan penghidupan, mereka bervariasi sesuai dengan apa yang dapat dikerjakan menurut musim setiap tahun. Apabila pada tahun itu kurang baik mengerjakan sawah ladangnya, maka kebanyakan mereka melakukan pekerjaan bebas, seperti menangkap ikan, mencari kayu, dan bahkan kadang-kadang berurbanisasi. Tetapi petani dan keluarganya sebagai produsen dan konsumen, sebagai anggota suatu masyarakat dengan wataknya sendiri, merupakan bagian yang penting yang tak dapat diabaikan dari perekonomian rakyat dan dan negara.

Karena pertanian bukan dilakukan dengan sistem irigasi dan karena perbedaan-perbedaan lainnya, maka peralatanpun tidak menggunakan bajak dan kerbau. Ketergantungan sistem pertanian kepada alam menyebabkan petani Banjar tidak banyak mengalami perubahan dalam menyelenggarakan pertanian. Keuntungan mereka ialah mempunyai tanah yang luas dan subur terutama di daerah rawa dan dataran rendah. Di samping itu kepadatan penduduk relatif rendah sehingga petani umumnya masih bisa memenuhi keperluan hidup dan menjual hasil pertanian mereka.

Sejak sekitar tahun 1980-an sebagian petani yang sawahnya berbatasan atau tidak jauh dengan perkotaan tergiur dengan harga yang cukup mahal sehingga banyak yang menjual tanah sawahnya kepada develouper yang membangun kompleks-kompleks perumahan. Mereka kemudian menggunakan uang penjualan sawahnya untuk keperluan barang-barang yang tidak produktif, dan sebagian lagi digunakan untuk modal usaha di luar bidang pertanian. Pengalaman ini menyedihkan karena kebanyakan mereka bukan orang yang bisa menggeluti pekerjaan di luar pertanian. Kehidupan tenteram sebagai petani, tidak didapat lagi setelah mereka kemudian ada yang menjadi buruh pabrik, mengojek, makelar, dan sebagainya, (kasus di Desa Pelambuan Kodya Banjarmasin).

Politik

Orang Banjar yang umumnya pedagang dan petani atau nelayan dan lainnya, umumnya tidak menggandrungi polotik. Para ulama yang kokoh mau berada di atas semua golongan umumnya juga menghindar dari aktifitas politik.

Kalau pada masa Orde Baru kaum birokrat ada dalam Golkar, sebagian mereka menjadi kader-kader Golkar. Sementara aktifitas partai-partai lainnya dari kelompok pengusaha menengah, sebagian para pedagang, serta para pensiunan. Hanya ada beberapa gelintir mereka yang mau meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai negeri untuk secara resmi menjadi anggota suatu partai.

Masyarakat Banjar umumnya dalam ikut berpolitik sangat ditentukan oleh keterkaitan dan keberpihakan kepada organisasi politik yang memihak kepada kepentingan Islam. Tujuan-tujuan lainnya tidak banyak mempengaruhi sikap dan pandangan mereka.

Faktor figur pimpinan suatu organisasi politik sangat berperan untuk mendapatkan keberpihakan dan dukungan dalam masyarakat. Sistem kepemimpinan yang menempatkan figur tokoh informal sebagai anutan berlaku pula dalam kehidupan organisasi politik dalam masyarakat Banjar.

Pendidikan

Jauh sebelum masuknya pendidikan umum yang dibawa Pemerintah Belanda ke Kalimantan Selatan, dalam masyarakat Banjar sudah berlangsung pendidikan yang diselenggarakan para alim ulama. Syekh Muhammad Arsyad uang menimba ilmu selama 30 tahun di Mekah setelah kembali ke Kerajaan Banjar pada tahun 1772 M (1186 H) telah merintis pendidikan dengan sistem pengajian. Hasilnya melahirkan ulama-ulama dan guru-guru mengaji yang merupakan cikal bakal lahirnya pesantren-pesantren yang tersebar di Kalimantan Selatan. Masuknya pendidikan Barat oleh Belanda pada tahun 1912 tidak mempengaruhi kehidupan pesantren-pesantren tersebut. Mensikapi kemajuan yang berkembang dalam masyarakat pesantren-pesantren di Kalimantan Selatan secara beransur-ansur juga menyerap dan memasukkan pula ilmu pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Dampaknya membuat lembaga ini tidak pudar dalam pandangan masyarakat.

Para orang tua dalam masyarakat Banjar yang sangat sadar tentang tanggung jawab pendidikan anaknya terhadap Tuhan, umumnya memilih pendidikan anaknya ke pesantren, atau ke lembaga pendidikan madrasah di bawah Depag, terutama untuk anak-anak putri mereka. Umumnya sebagian masyarakat Banjar memberikan bekal pendidikan agama di pesantren atau di madrasah lebih dahulu sebelum ke perguruan tinggi.

Dalam masalah pendidikan orang Banjar mengambil sikap dalam pendidikan untuk putra-putrinya agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.

Pertahanan dan Keamanan (Hankam)

Dalam masyarakat Banjar dulu hingga sekarang peran "orang kuat atau tetuha" yang bijaksana dan arif masih dihargai masyarakat, lebih-lebih dalam hal menegakkan kebenaran dan keamanan dalam masyarakat. Di samping peran Ketua RT sebagai pimpinan resmi dalam suatu komunitas, maka keberadaan orang kuat atau tetuha di masyarakat adalah tempat warga mengadu dan perlindungan. Sehingga kebijakan mengatur untuk terselenggaranya kehidupan tenteram dalam masyarakat dapat diterima dengan sadar.

Dalam masyarakat pedesaan yang umumnya para petani, keterkaitan mereka satu sama lain sangat erat. Dalam penyelenggaraan pertanian terdapat sistem "baarian" (menyelenggarakan pekerjaan sawah seorang warga secara bersama-sama, yang dilakukan bergiliran untuk warga lainnya) Sistem baarian mengikat anggota masyarakat dalam suatu kehidupan saling menjaga dan membela. Seorang anggota masyarakat acuh dan merasa bersalah kalau tidak bertindak mengamankan gangguan yang mengancam keluarga dan hak milik warganya yang lain.

Birokrasi

Orang Banjar umumnya orang yang tidak suka pada keterikatan. Mereka orang-orang yang ulet dan memahami usaha atau pekerjaan yang diwariskan pendahulunya.

Bagi orang Banjar hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi dulu merupakan urusan kerajaan, dan mereka yang menjadi pegawai kerajaan, atau kemudian pada zaman penjajahan mereka yang bekerja pada Belanda.

Sejak zaman Kerajaan Negara Dipa seperti diriwayatkan dalam Hikayat Banjar ketika Lambung Mangkurat yang seorang Weisya harus mencari keturunan kesatria untuk menjadi raja di Negara Dipa, sehingga ketika seorang Suryanata yang dibawanya sebagai salah seorang putra Brawijaya, kapal mereka dicegat oleh tetuha-tetuha masyarakat di muara Sungai Kuin, tidak boleh masuk sebelum ada kesepakatan-kesepakatan. Suryanata diterima sebagai raja setelah bersedia meninggalkan adat istiadat negerinya dan akan memelihara adat istiadat di Kerajaan Negara Dipa.

Sikap dan sifat keterbukaan masyarakat Banjar terhadap mereka yang berprestasi di tanah Banjar, ditentukan oleh pemahaman terhadap sikap hidup orang Banjar yang agamis dengan segala tatanan budaya yang hidup dalam masyarakat Banjar.

Keagamaan

Masyarakat Banjar umumnya penganut Islam Ahlusunnah wal Jama'ah Mazhab Imam Syafi'I, sebagaimana yang dimasyarakatkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada priode akhir abad ke 18 di Kerajaan Banjar waktu itu. Syekh Muhammad Arsyad juga dalam ajarannya menyeimbangkan antara faham hakekat dan syari'at. Sehubungan dengan itu di daerah Banjar sering orang bicara soal "kitab barincong" (kitab bentuk segitiga) yang dibawa Muhammad Arsyad ketika kembali dari Mekah. Dua faham yang terpisah dipertemukan sehngga lengkap menjadi suatu ajaran tentang ketentuan dari Tuhan dan usaha manusia.

Berkaitan dengan ajarannya maka pengajian Syekh Muhammad Arsyad dengan sistem "sorogan" dan "balagan"nya di samping untuk mendapatkan kealiman juga mengerjakan pertanian bersama murid-muridnya. Di daerah Martapura terdapat sebuah sungai bernama Sungai Tuan (sebutan Tuan Guru penghormatan untuk seorang Ulama), merupakan sebuah sungai yang mengalirkan air dari rawa ke Sungai Martapura, yang dibuat atas gagasan Syekh Muhammad Arsyad dalam rangka membangun persawahan di daerah tersebut.

Aliran lain dari Ahlussunnah wal Jama'ah Mazhab Imam Syafi'I, seperti Muhammadyah baru mulai berkembang sekitar tahun 1950-an. Penganut agama non Muslim yang ada di Kalimantan Selatan umumnya warga pendatang atau bertugas kerja yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Teknologi

Sesuai dengan kehidupan dan kegiatan yang terdapat dalam masyarakat Banjar, di daerah ini terdapat keahlian warisan berupa teknologi pembuatan perahu tambangan dan kapal layar, pembangunan rumah, serta pandai besi.

Keahlian pembuatan kapal dari kayu ulin (kayu besi) berupa perahu tambangan, kapal mesin dan kapal layar. Perahu tambangan adalah perahu kecil yang bisa digunakan penduduk yang tinggal di dekat sungai baik untuk transportasi ke tempat-tempat yang sulit dijangkau dengan transportasi darat. Tempat pembuatan perahu-perahu tambangan tersebut saat ini terdapat di Kampung Kuin di daerah selatan Kotamadya Banjarmasin. Sedangkan pembuatan kapal-kapal besar dari bahan kayu ulin untuk pelayaran antar pulau baik yang menggunakan mesin maupun menggunakan layar terdapat di daerah Pagatan, yang saat ini menjadi ibukota Kabupaten Tanah Bumbu. Kapal-kapal tersebut dulu umumnya digunakan untuk membawa barang dagangan dari pelabuhan Banjarmasin ke pelabuhan-pelabuhan lain di pantai utara Pulau Jawa atau ke pelabuhan-pelabuhan di Pulau Sulawisi pulang pergi.

Teknologi pembangunan rumah juga merupakan warisan. Dalam masyarakat Banjar dulu dikenal berbagai tipe bangunan rumah, seperti : Rumah Bubungan Tinggi, Rumah Gajah Baliku, Rumah Gajah Manyusu, Rumah Palimasan, Rumah Palimbangan, Rumah Bangun Gudang, Rumah Balai Bini, Rumah Balai Laki, Rumah Tadah Alas, Rumah Cacak Burung atau Anjung Surung, Rumah Joglo Gudang, dan rumah Cara Obos. Masing-masing tipe rumah tersebut ada pembagian ruang yang letak dan ukurannya disesuaikan dengan fungsinya. Bangunan yang dominan terbuat dari bahan kayu pilihan ini tergolong rumah panggung yang memakai tiang dan tongkat untuk menupang lantainya, sehingga bangunan rumah Banjar asli selalu ada kolongnya.

Rumah dengan tipe asli tersebut sudah jarang dibangun untuk tempat tinggal. Kecuali untuk bangunan sebuah lembaga milik pemerintah atau lembag lainnya, seperti: Museum, Guest House, Aula Kantor,Gedung DPRD, dan lainnya.

Masyarakat Banjar dewasa ini sudah banyak yang membangun rumah dengan konstruksi besi beton tanpa tongkat dengan berbagai variasi. Penggunaan sirap untuk atap sampai tahun 1990-an masih dominan, karena selain kukuh juga aman karena tidak mudah dibuka sebab pasangannya berlapis. Tetapi kemudian berbarengan dengan semakin langkanya atap sirap dari kayu ulin tersebut, dan munculnya berbagai macam atap "Metal Roof" yang lebih praktis, masyarakat sudah mulai meninggalkan sirap sebagai atap rumah atau bangunan lainnya. Sementara bangunan dengan menggunakan atap dari genting tidak banyak ditemukan di Kalimantan Selatan.

Umumnya masyarakat Banjar tidak menyukai rumah tingkat. Kalau di beberapa daerah rumah tingkat memberi kesan kaya pemiliknya, di masyarakat Banjar tidak ada kesan demikian. Orang kaya di Banjar lebih condong memilih lokasi yang strategis, rumah bagus dengan lingkungan dan pekarangan yang cukup luas. Rumah tingkat pada bagian belakang (dapur) umumnya dianggap "pamali" dan berisiko bagi pemiliknya. Sehingga masyarakat yang memang harus dan terpaksa membuat rumah tingkat karena keterbatasan luas tanah, mereka membuat tingkat penuh seluruh bagian rumah mulai depan hingga bagian belakang.

Teknologi pandai besi sejak zaman Kerajaan Banjar dimiliki masyarakat Nagara, sebuah daerah berstatus kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di kota kecil yang terletak di tepi sungai yang sejak dulu menjadi prasarana transportasi tersebut terdapat banyak pandai besi yang umumnya masing-masing memproduk alat rumah tangga dan peralatan pertanian yang jenisnya tetap. Ada kelompok khusus pembuat pisau, khusus parang, khusus cangkul, khusus senjata seperti tombak, dan lainnya. Barang-barang tersebut dipasarkan tidak hanya di Kalimantan Selatam, juga melalui toko-toko besi yang ada dipropinsi sekitarnya. Produk pandai besi dari Nagara yang pemesannya hingga dari beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa adalah b Baling-baling kapal aling-baling kapal.buatan Nagara di Kalimantan Selatan tersebut biasanya terbuat dari tembaga. Sulitnya mendapatkan bahan tembaga untuk bahan membuat baling-baling tersebutmembuat produk berjalan lambat.

Hukum

Masyarakat Kalimantan Selatan umumnya masih terbatas tentang pengetahuan hukum yang diatur dalam hukum pidana dan perdata. Hukum belum memasyarakat karena masih terbatasnya baik usaha pemasyarakatannya maupun minat masyarakat memahaminya. Tetapi secara naluri orang Banjar umumnya mengetahui perbuatan-perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang mempunyai sanksi hukum pidana maupun perdata.

Dalam masyarakat Banjar dikenal hukum waris dan perpantangan yanmg ditaati ketentuannya karena berhubungan dengan ketentuan dalam agama. Sehingga masalah perdata ini kalau keputusan hakim berbeda dengan hukum tersebut di atas umumnya sulit diterima masyarakat.

Dalam Kerajaan Banjar juga mengenal Undang-Undang Sultan Adam yang diundangkan pada tahun 1835 dalam mengatur kehidupan dalam masyarakat di Kerajaan Banjar waktu itu. Sebagian berisi mengatur tentang peribadatan, tentang kerukunan masyarakat, pengaturan masalah tanah, dan lainnya.

Pada umumnya hukum yang berlaku dalam masyarakat Banjar serasi dengan ketentuan dalam agama Islam dan dirasakan adil oleh masyarakatnya.

Lingkungan Hidup

Alam Kalimantan Selatan ada dataran tinggi, dataran rendah dan daerah aliran sungai. Lingkungan hidup mereka sejak kecil menempa baik fisik maupun kemampuan dalam usaha memenuhi kehidupan mereka. Karena itu sukses yang didapatkan kelompok daerah aliran sungai tidak tentu dapat dicapai dari kelompok lain yang dibesarkan dan ditempa pengalaman dan kemampuan di lingkungan yang berbeda.

Demikian pula Orang Banjar ada Orang Banjar Kuala yang dalam kehidupan dan penghidupan mereka berada dalam lingkungan tidak sekeras yang dialami oleh Orang Banjar Hulu pada umumnya. Orang Banjar Hulu yang mendiami daerah Benua Lima tidak hanya lebih keras dalam memenuhi penghidupan, juga dalam daerah yang menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda dengan puncaknya pada masa revolusi tersebut, juga menempa turunannya berkrakter keras dalam keseharian.

Berkaitan dengan pengaruh lingkungan alam dan lingkungan kehidupan tersebut karena terabaikannya, ada kasus-kasus yang tidak menguntungkan. Kasus usaha Depsos tahun 1980-an yang melakukan migrasi penduduk suku Bukit yang mendiami Pegunungan Meratus dengan mendomisilikan keluarga-keluarga mereka ke daerah persawahan pasang surut dengan fasilitas rumah dan tanah pertanian, berakhir dengan kegagalan total. Ketrampilan mereka mengolah padi ladang tidak begiti saja mampu mengelola persawahan di lingkungan yang airnya pasang surut. Lebih mengenaskan karena setelah beberapa lama mereka tinggal di darah perairan tersebut keluarga mereka satu persatu jatuh sakit, sehingga akhirnya mereka kembali ke kampung asalnya.

Demikian pula kebijakan penempatan tranmigrasi dari Jawa ke daerah pertanian pasang surut membuat kehidupan para pendatang tersebut tidak bisa berkembang. Banyak usaha mereka yang gagal karena lingkungan yang mereka hadapi asing bagi mereka sebelumnya. Sawah yang tidak jadi membuat kehidupan yang serba sulit. Karena itu manakala ada ibu-ibu dengan membawa anak mereka meminta-minta di lampu stopan di Banjarmasin, bila ditanya mereka adalah keluarga tranmigrasi



III. KESIMPULAN / REKOMENDASI


Pembangunan dalam arti suatu proses perubahan sosial dengan partisipasi yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambahnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka, merupakan sistem pembangunan yang perlu diterapkan untuk daerah yang berbeda kondisi wilayah dan pandangan hidup masyarakatnya. Pembangunan dalam berbagai aspek yang seragam untuk daerah-daerah di Indonesia akan rapuh karena tidak tentu sesuai dengan kondisi dan budaya yang hidup dalam masyarakatnya.

Di Kalimantan Selatan dengan budaya Banjar yang khas, yang tercipta dari perjalanan sejarah masyarakatnya, pembangunan akan kukuh sejauh mempunyai ciri-ciri yang hanya bisa diterima masyarakatnya. Kehidupan beragama yang tertanam kuat, menempatkan ulama sebagai panutan. Sementara pengalaman perjuangan yang panjang melawan penjajahan, memberikan tempat bagi "orang kuat" sebagai figur yang dihormati dan disegani. Usaha apapun yang meninggalkan peran tokoh-tokoh informal dalam budaya Banjar sulit mendapatkan dukungan dan melahirkan rasa memiliki di kalangan masyarakat.

Selama ini pembangunan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan untuk kemajuan ekonomi masyarakat umumnya, merupakan kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat. Pembangunan jalan tol di Kalimantan Selatan yang menghubungkan Kabupaten Banjar langsung ke pelabuhan laut Trisakti terutama untuk kenderaan berat yang membawa barang-barang dari dan ke luar propinsi tidak lagi mengganggu jalan dalam kota Banjarmasin. Pembangunan jalan tembus dari Benua Lima ke Batu Licin, tidak hanya memberikan kemudahan transportasi, juga akan memberikan lahan baru bagi para petani untuk mengolah tanah yang tadinya sulit dijangkau sebelum adanya prasarana jalan tersebut. Demikian pula peningkatan lapangan terbang Syamsudin Noor menjadi lapangan terbang bertarap internasional yang bisa didarati pesawat besar, tidak hanya memperlancar transportasi ekonomi (barang), juga memberi kemudahan bagi Jema'ah Haji Kalimantan Selatan sehingga bisa berangkat langsung menuju tanah suci dari daerah sendiri, merupakan kebijakan yang memahami kepentingan masyarakat Kalimantan Selatan yang dominan beragama Islam.

Demikian pula dengan pembangunan yang berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Suatu pembangunan yang berlandaskan pola pikir dan sikap masyarakatnya tentu akan memberi dampak positif bagi daerahnya. Karena itu pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi: sosial ekonomi, politik, pendidikan, hankam, hukum, birokrasi, keagamaan, industri dan teknologi, serta lingkungan hidup, perlu memperhatikan kondisi yang terdapat dalam masyarakat dan lingkungannya.

Ada hal-hal yang perlu dipahami dan disikapi dalam pengambilan kebijakan dalam masyarakat Banjar. Orang Banjar sejak dulu menyerahkan masalah kenegaraan kepada kerajaan. Dengan kata lain orang Banjar umumnya menyerahkan sesuatu urusan kepada ahlinya, dengan ketentuan kepentingan, hak dan keyakinan mereka tidak terhambat.

Pembangunan dalam bidang agama tidak akan menyimpang dari keyakinan yang berkembang di masyarakat saat ini. Usaha pengembangan agama non Islam yang bisa mempengaruhi masyarakat Banjar yang umumnya sejak lahir sudah menganut Islam, merupakan hal yang tidak etis.

Ada berbagai industri teknologi yang terdapat dalam masyarakat Banjar sebagai warisan turun temurun, yang perlu dikembangkan. Ada pantangan-pantangan yang bisa disimak mengandung makna tata susila, sehingga perlu dicermati seperti dalam bangunan rumah dan sebagainya.

Masalah kondisi lingkungan hidup yang telah menempa kehidupan suatu kelompok masyarakat yang berdiam di suatu lokasi, sangat perlu dipertimbangkan karena tidak semua orang dapat segera atau bisa berhasil beradaptasi dengan lingkngan hidup yang lain, atau karena ada perubahan dampak dari suatu pembangunan.

Dari semua uraian di atas, maka untuk semua pembangunan di bidang apapun dalam suatu daerah, dengan karakter dan budaya yang khas daerahnya, usaha ke arah pembangunan perlu mengkaji aspek-aspek budaya yang terkait di dalamnya.

DAFTAR BACAAN

Amat Asnawi, Drs. H. et al., Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (Periode1945-1949), Pemda Tk I Kalsel, Banjarmasin, 1994.
Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Bandjarmasin, 1953
Gazali Usman, Drs. H.A. et al., Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P2NB Kalsel, Banjamasin, 1996.
Idwar Saleh, Drs.M. et al. Adat Istiadat Kalimantan Selatan, Proyek IDKD, Jakarta, 1982.
Idwar Saleh, Drs. M. et al., Adat Istiadat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek IPNB, Banjarmasin, 1991.
Idwar Saleh, M. Banjarmasih, Museum Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 1980.
Idwar Saleh, Drs. M. et al., Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek PPKD, Jakarta, 1978.
Idwar Saleh, Drs. M., Sekelumit Mengenai Rumah-Rumah Tradisional Banjar, Makalah Seminar
Arsitektur Tradisional Kalimantan Selatan, Banjarmasin,1983.
Ramli Nawawi, Drs. H., Peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Penyebaran Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah di Kalimantan Selatan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, 1998.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P3NB, Banjarmasin, 1992.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Proyek IDSN, Jakarta, 1984.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sistem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P3NB, Banjarmasin, 1995.
Zulkarimen Nasution, Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1987.