Sabtu, 16 November 2013

PERANAN UNSUR SUPRA NATURAL PADA MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN (penututan eks tentara pelajar yogyakarta)



Oleh: Drs H. Ramli Nawawi

Pada masa revolusi kemerdekaan yang lalu, pejuang-pejuang kita umumnya lebih banyak yang hanya bermodalkan tekad dan keberanian untuk berjuang mengusir penjajah yang sudah terlatih berperang dan mempunyai persenjataan lengkap dan cukup modern. Hal ini bagi pejuang-pejuang kita bangsa Indonesia tentu saja merupakan sesuatu yang penuh bahaya. Apalagi para pejuang kita juga umumnya belum terlatih dan hanya dengan senjata seadanya, termasuk seperti bambu runcing. Hal ini tentu saja jauh dari seimbang.

Namun dari ketidakseimbangan persenjataan fisik ini, sama sekali tidak mengurangi keyakinan dan tekad pejuang-pejuang kita dalam usaha menegakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mengusir penjajah Belanda dari negeri ini. Apalagi para pejuang kita waktu itu di samping telah mempunyai keyakinan bahwa perjuangan yang dilakukan tersebut sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan mereka. Karena itu umumnya banyak di antara mereka yang telah membekali diri dengan “sesuatu” yang memberikan keyakinan diri akan kemenangan dan keunggulan ada di pihak mereka. Yang dimaksud “sesuatu” tersebut adalah bekal-bekal yang bersifat natural. Namun diakui mereka bahwa bekal tersebut kebanyakan bersifat pribadi, yakni masing-masing dari mereka dengan caranya sendiri, dan bahkan ada yang sifatnya rahasia.

Namun demikian ada keterangan dari para pejuang kita tersebut yang menyatakan bahwa pembekalan kekuatan supra natural waktu itu ada juga yang dilakukan secara bersama-sama. Menurut keterangan Soewardjo, seorang eks anggota TP (Tentara Pelajar) Yogyakarta, bahwa pada masa perjuangan yang lalu banyak laskar kita yang secara berombongan naik kereta api dengan membawa bambu runcing, berangkat ke Paraan (Jawa Tengah) untuk meminta kepada Kiai Subchi yang dikenal bisa mengisi do’a untuk bambu runcing mereka. Dipercayai bahwa apabila menggunakan bambu runcing yang telah diberi do’a tersebut, yang bersangkutan akan terhindar dari peluru musuh.

Dari hasil wawancara dengan para pejuang eks Tentara Pelajar Daerah Istimewa Yogyakarta, bahwa umumnya mereka yang turut berjuang waktu itu tahu tentang ada bermacam-macam ”bekal” yang dipakai atau dimiliki oleh para pejuang. Namun umumnya mereka tidak bersedia menjelaskan secara detail apa dan bagaimana isi dan bentuk dari benda supra natural yang mereka miliki sendiri. Beberapa pejuang eks Tentara Pelajar tersebut sebagian hanya mengaku bahwa apabila akan berangkat ke front atau akan melaksanakan tugas perjuangan lainnya tidak lupa berdo’a kepada Tuhan agar selamat atau terhindar dari bahaya yang akan menimpa diri mereka.

Tetapi ada juga beberaapa pejuang kita yang mau berceritera tentang pengalaman-pengalaman yang mereka ketahui dan alami selama berkumpul dengan sesama pejuang pada masa revolusi kemerdekaan yang lalu. Berikut keterangan yang diberikan oleh Sucipto: ”Saya punya teman yang bernama Adi Tjipto, ia mempunyai ilmu anti peluru. Setiap kali akan pergi bertempur dia ”amalan”. Jadi daripada membawa benda (jimat) atau senjata untuk penangkal, lebih mudah. Teman saya ini memang mempunyai hubungan dengan Patihnya Nyi Loro Kidul. Dia bisa sambung melalui bertapa, lalu diberi aji. Namanya ”Aji Pamalingka”. Apabila mau berjuang atau untuk keperluan yang berbahaya lainnya, aji ini dibaca. Selain tahan peluru, maka bagi yang mengamalkan ”Aji Pamalingka” ini, walaupun kita yang bertempur itu hanya enam atau delapan orang, tapi tampak ribuan oleh musuh”.

Menurut Sutjipto bahwa jenis-jenis jimat atau amalan yang dipakai  para pejuang dalam satuan mereka waktu itu ada bermacam-macam. Ada yang berupa keris, tombak, ikat kepala, dan dalam bentuk mantera (do’a). Keris misalnya dipakai oleh pejuang yang bernama Purwadi. Keris kepunyaan dia ini dikenal tahan peluru bagi pemiliknya. Tetapi dalam suatu pertempuran, Purwadi tertembak. Ketika itu mungkin karena yang bersangkutan bersikap takabur. Karena merasa tahan terhadap peluru, dia berteriak menantang musuh: ”Ayo tembak, ayo tembak lagi”, mungkin karena itulah dia ditembus peluru.

Sucipto juga mengaku bahwa dia juga memiliki aji yang didapat dari hasil semadi. Dia  mengaku dalam pertempuran sering kena peluru, tapi tidak terasa. Dia juga tidak bisa menjelaskannya, karena di luar jangkauan akal.

Eks anggota Tentara Pelajar lainnya, Ibnoe Sawabi yang sering mengemban tugas berbahaya seperti menyelidiki lebih dahulu keadaan lokasi sebelum dilakukan penyerangan, juga mengetahui tentang macam-macam ”modal kekuatan” yang dimiliki atau dipakai kawan-kawan seperjuangannya waktu itu. Disebutkan bahwa yang dimiliki mereka itu umumnya berupa ”keris”. Ada keris yang bernama ”Lembu Sekilan” yang dimiliki anggota Tentara Pelajar yang bernama Widodo, dikenal sebagai berhasiat kekebalan bagi pemakainya. Lain lagi dengan keris yang dimiliki anggota Tentara Pelajar  bernama Komar, menurut kepercayaan pemiliknya dan juga kawan-kawannya, bahawa kalau pada waktu pertempuran berada di belakang Komar, maka walaupun kena peluru tidak apa-apa.

Menurut Ibnoe Sawabi sebenarnya ada juga di antara mereka yang memiliki ”jimat”, seperti yang  dimiliki temannya bernama Komaruddin. Benda supra natural ini  dibungkus dengan kain putih. Memang tampaknya terbukti, karena pemiliknya dalam setiap pertempuran tidak pernah kena peluru. Bagi pemakai jimat ini pantangannya adalah tidak boleh lewat di bawah tali jemuran kain perempuan.

Selain hal-hal tersebut di atas Ibnoe Sawabi juga memberikan kesaksian sebagai berikut: ”Kalau saya sendiri setiap akan melaksanakan tugas, saya memulai dengan ”Bismillah”. Selain itu saya memang ada diberi ibu saya ”bekal” berupa daun kantel. Ibu saya mengambil satu lembar yang jatuhnya tertelungkup, dan satunya lagi yang jatuhnya telentang. Keduanya diambil lalu disatukan, ditemukan bagian mukanya. Daun tadi dibungkus dan diberikan kepada saya. Walaupun tidak mengerti maknanya, tapi ini mungkin untuk kselamatan saya. Dan saya selamat. Tapi yang penting kami juga selalu melakukan shalat bersama, dan memohon agar diberi keselamatan”.

Panggunaan daun kantel sebagai jimat tersebut di atas berkaitan dengan kepercayaan terhadap adanya kekuatan yang terdapat pada tumbuhan. Kantel berupa tumbuhan bunga ini dipercayai mempunyai kekuatan yang diharapkan berkhasiat mengantel atau tidak terpisahkan. Karena itu dalam suasana perjuangan dan keterlibatan mereka dalam perjuangan tersebut, maka yang diharapkan tentunya tidak terpisahkan antara jiwa dan raga yang bersangkutan.

Sejenis dengan pemakaian daun kantel ini adalah adanya kepercayaan terhadap khasiat ”kol buntet”. Kol buntet tentunya termasuk kekecualian atau aneh, karena tidak berkembang dengan wajar, Buntet identik dengan tidak jadi atau tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Karena itu dipercayai bahwa bedil musuh akan buntet atau tidak meletus apabila diarahkan kepada orang yang memakai ajimat tersebut.

Sementara itu ada pula kepercayaan tentang adanya kekuatan supra natuaral yang terdapat pada ”ayam cemani”. Ayam yang serba hitam ini dianggap jenis binatang kekecualian pula, karena itu apabila akan melakukan penyerangan atau pertempuran malam hari mereka lebih dahulu menelan hati ayam cemani mentah-mentah agar tidak akan terlihat oleh musuh. Dengan demikian yang bersangkutan tidak akan menjadi sasaran penembakan.

Lain lagi dengan kesaksian yang diberikan oleh Soewardjo. Dia punya teman Kapten Latif dari TNI waktu itu yang juga memiliki ajimat. Tetapi Soewardjo tidak mengetahui secara detail baik jenis maupun bentuknya. Hanya yang bersangkutan memiliki dan selalu memakainya apabila akan melakukan penyerangan atau pertempuran dengan musuh.

Sementara itu untuk Soewardjo sendiri, dia mengaku hanya diberi pesan oleh orang tuanya agar selamat supaya senantiasa berlaku jujur, jangan sekali-kali mengambil barang orang lain, apalagi mengganggu anak-isteri orang.

Sedangkan Sardjiman seorang eks Tentara Pelajar yang berpengalaman banyak dalam pertempuran, hanya mengaku bahwa dia setiap kali akan berangkat ke front selalu berserah diri kepada Tuhan. Anggota Tentara Pelajar penganut agama Katholik ini mengatakan bahwa di samping berserah diri tersebut dia berharap (berdo’a) agar misi yang diemban berhasil dan masih dipelihara oleh Tuhan. Dia juga mengetahui bahwa ada ”penangkal-penangkal” yang dimiliki kawan-kawannya untuk keselamatan diri tersebut. Bentuknya macam-macam, ada berupa benda kecil yang dibungkus dengan kain putih, ada berupa kalung, dan ada pula berupa keris.

Dalam hal do’a Sardjiman mengatakan, bahwa dalam ibadah gereja ada bermacam-macam do’a untuk menghindari hal yang mengganggu. Tetapi menurut dia tidak ada bentuk do’a untuk mempunyai kekuatan supra natural tersebut.

Memang dari semua eks Tentara Pelajar yang pernah diwawancarai bahwa pada masa perang kemerdekaan yang lalu tersebut menyatakan ada pemakaian benda-benda yang dapat digolongkan sebagai ajimat, demikian juga ada di antara mereka mempunyai do’a atau mantera yang semuanya merupakan usaha untuk menangkal bahaya serta mendapatkan keselamatan diri. Kesaksian Suwarno seorang eks Tentara Pelajar yang bertugas dalam bidang kepalangmerahan dan sering mengikuti penghadangan-penghadangan terhadap militer Belanda, juga mengetahui tentang adanya pemakaian ajimat atau segala sesuatu yang digunakan untuk keselamatan diri. Tetapi seperti halnya beberapa eks Tentara Pelajar lainnya yang diwawancarai hanya mengaku bahwa sebelum berangkat ke front mereka masing-masing berdo’a lebih dahulu.

Berbgai kesaksian yang diberikan para anggota eks Tentara Pelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut di atas, merupakan gambaran bahwa unsur-unsur supra natural pada masa perang kemerdekaan tersebut memang memberikan peran penting dalam diri para pejuang waktu itu. Ini artinya bahwa pejuang-pejuang kita yang secara heroik ikut dalam perjuangan kemerdekaan waktu itu tidak pergi dan ikut ke front dengan bekal yang hampa. Kita dengar kesaksian mereka bahwa ada berbagai jenis dan bentuk ”sesuatu” yang berfungsi sebagai ajimat. Atau ada kekuatan gaib yang lahir dari do’a yang mereka ucapkan atau amalkan dalam masa-masa ikut berjuang tersebut.

(HRN: uraian dari bagian Buku Kiprah Perjuangan Tentara Pelajar dan Peranan Unsur Supra Natural pada Masa Perang Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1945-1949, oleh Drs. H. Ramli Nawawi, ISBN. 979-9419-09-3).                  

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).