Kamis, 27 November 2014

GERAKAN BARATIB BAAMAL



BARATIB BA AMAL

Disusun: Ramli Nawawi

Dalam Perang Banjar (Kalimantan Selatan) terdapat dua tahap aksi perlawanan rakyar Banjar terhadap kolonialisme Belanda. Secara keseluruan Perang Banjar itu berlangsung sejak tahun 1859-1905. Tetapi selama jangka waktu tersebut dapat dibagi atas dua tahap perlawanan, yaitu: 1859-1863 sebagai aksi ofensif, dan 1863-1905 sebagai aksi defensif. Gerakan Baratib Baamal termasuk tahap perlawanan aksi defensif yang merupakan satu dari episode-episode konflik bersenjata antara rakyat Banjar dengan kekuatan kolonial Belanda.

Dalam Gerakan Baratib Baamal tampak adanya penampilan kembali sentimen keagamaan yang kuat sekali dengan mengadakan upacara religi-mistik di dalam usahanya untuk membangkitkan dan mengobarkan kembali semangat dan kegairahan perang. Moral perjuangan yang nampaknya sedang menurun di lingkungan rakyat Banjar berhasil ditingkatkan kembali di dalam suatu pergerakan keagamaan sehingga melahirkan aksi-aksi ofensif baru di beberapa daerah dan penuh fanatisme keagamaan.

Dalam Perang Banjar dapat disatukan kekuatan yang diorganisir oleh elite sekular tradisional. Berhasil pula digerakkan kekuatan dibawah pimpinan elite religius sehubungan situasinya menjadi hangat kembali setelah ofensif menurun. Kekuatan masa rakyat yang membentuk kekuatan ofensif baru dibawah pimpinan elite religius ini dikenal dengan sebutan ”Baratib Baamal”
.
Secara etimologis Baratib Baamal itu terdapat dua pengertian kata, baratib yang berarti berzikir dengan menyebut: ”La ilaha illallah” berulang-ulang dengan jumlah yang sudah ditentukan, umpama dengan jumlah 70.000  kali. Sedangkan baamal artinya berbuat baik dengan melakukan amal perbuatan ibadah kepada Tuhan.
Baratib Baamal ialah memuji-muji Tuhan sambil memohon sesuatu, umpama mohon panjang umur, banyak rezeki atau memohon keselamatan. Adalah logis dalam menghadapi ancaman Belanda tersebut diperlukan moral dan kepercayaan atas kekuatan yang ada, yaitu kekebalan. Gerakan ini bersifat keagamaan, karena itu pimpinannya adalah seorang ”tuan guru’ atau ulama yang berpengaruh atau tokoh elite religius.

Praktek yang dilakukan oleh gerakan ini sebagai berikut: Para jamaah atau pengikut zikir tersebut, yaitu kaum muslimin, mula-mula berkumpul di langgar atau masjid dan dengan pimpinan seorang tuan guru, mereka berzikir dengan mengucap ”La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan melainkan Allah) sebanyak sebelas kali, masing-masing dengan dilengkapi dengan pujian-pujian dan permohonan-permohonan.

Pujian-pujian itu antara lain bahwa Muhammad hamba Allah, Muhammad aulia Allah, Muhammad rasul Allah, Muhammad sifat Ullah, La ilaha illallah maujud Allah, dll
. Sedangkan permintaan-permintaan antara lain seperti: rezeki minta dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta dipanjangkan, iman minta ditetapkan, dll.

Praktik berzikir berlangsung lama. Mereka seolah-olah lupa diri, tenggelam dalam rasa keasyikan agama yang tiada bandingnya. Pujian-pujian itu dan permohonan tersebut mula-mula bernada rendah kemudian meninggi, keras berupa jeritan-jeritan histeris. Badan terutama kepala mengikuti gerakan tertentu dan dengan mengucap puji pada Allah semesta. Dalam situasi demikian pula moral perjuangan ditingkatkan lagi sehingga siap menyerbu lagi tanpa menghiraukan resiko maut yang dihadapinya. Dalam kelompok yang jumlahnya ratusan mereka bergerak mencari musuh dan menghantamnya dengan penuh keberanian di tempat manapun mereka menjumpainya.

Perlengkapan persenjataan yang dipergunakan ialah tombak, parang, keris, dan ada juga beberapa pucuk senapan. Pakaian mereka jubah putih dan serban putih, sedangkan pimpinan mereka memilih seluruhnya kuning.

Dengan mengucap ”La ilaha illallah” mereka menyerbu musuh tanpa keragu-raguan sedikit pun dan tanpa menghiraukan maut yang mengancam mereka. Letak keberanian mereka ialah pada keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi bekas kecuali Allah dan tidak ada Tuhan lain kecuali Allah. Fanatisme keagamaan yang sangat tinggi di samping dari tokoh tuan guru yang memimpin Baratib Baamal memberi semangat yang membaja pada pengikutnya.
Dengan menggunakan masjid sebagai pusat perjuangan, mereka bergerak dari satu desa ke desa lainnya dan mengajak rakyat untuk berjuang mengusir orang kafir. Medan operasi mereka adalah desa Kalua, Amuntai dan Alai yang terletak di daerah Hulu Sungai. Daerah ini disamping penduduknya terbanyak, tanahnya subur, juga semangat fanatisme agama paling tinggi.

Belanda terpaksa menggunakan ulama-ulama yang memihak Belanda dengan menyebarluaskan bahwa Gerakan Baratib Baamal adalah suatu pemalsuan terhadap agama Islam yang murni. Berzikir sebagai yang mereka lakukan adalah menyesatkan karena membuat orang percaya akan kekebalan diri. Yang akan menyeret rakyat yang tidak berdosa ke dalam lembah kesengsaraan akibat perbuatan yang sesat melawan pemerintah yang sah. Disamping itu Belanda mengancam pula dengan hukuman bagi orang yang menyembunyikan, mengambil bagian ataupun melindunginya.

Masyarakat Banjar adalah berjiwa religius. Sejak agama Islam masuk dalam abad ke 16, agama itu menjadi identifikasi sosiokultural dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam masyarakat yang demikian sentimen agama mudah dibangkitkan untuk kepentingan hal-hal yang sebenarnya tidak religius. Sejak semula sebelum pergumulan pisik itu meletus, sebenarnya faktor-faktor non religius lebih banyak tampil kedepan untuk menimbulkan kegelisahan sosial yang kemudian meningkat menjadi perlawanan atau pemberontakan. Dalam pergolakan tersebut aspek sekular dan religius bersifat saling komplementer.

Baratib Baamal termasuk pergerakan keagamaan, karena dalam usaha mencapai tujuannya gerakan ini mempergunakan cara-cara keagamaan dengan pimpinannya adalah pimpinan agama. Karakteristik dari gerakan ini adalah ”magico-mysticism” yaitu keyakinan diantara penganutnya tentang adanya kekebalan-kekebalan yang diperolah dengan melakukan rite-rite religi-mistik berupa berzikir dan beramal. Dari rite ini militansi mereka ditingkatkan. Karakteristik kedua ialah adanya keyakinan akan kekuatan supra natural atau magis yang dimiliki pimpinan religius mereka yang kharismatis. Karena kedua karakteristik inilah dalam tingkah laku militansi yang memuncak akan mengabaikan sikap hati-hati dan tidak lagi menghiraukan maut.
  
(RN: Harap naskah ini tidak diposting ke blog lain).

Senin, 24 November 2014

SEKILAS PERJALANAN SEJARAH KOTA BANJARMASIN



SEKILAS PERJALANAN SEJARAH KOTA BANJARMASIN

Disusun oleh: Ramli Nawawi

Kota Banjarmasin sekarang menjadi ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin termasuk kota tertua, pertama kali menjadi ibu kota kerajaan  dari Kesultanan Banjarmasin. Sultan Suriansyah, sultan pertama yang menjadikan kota ini sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan serta pusat penyebaran agama Islam sejak 24 September 1526.

Kota Banjarmasin terletak di bagian selatan dari Kalimantan Selatan dan terbelah dua oleh Sungai Martapura anak Sungai Barito. Kota Banjarmasin terletak di bawah permukaan laut hampir 0,50 m di bawah permukaan laut.

Pada Abad ke 15 sebelum menjadi Kota Banjarmasin, di daerah ini merupakan perkampungan beberapa kelompok etnis antara lain adalah etnis Dayak Ngaju dan etnis Melayu. Pemukiman penduduk waktu itu berada di sekitar Muara Cerucuk dan Kuwen. Perkampungan orang Melayu, oleh orang suku Dayak Ngaju disebut Banjarmasih. Banjar berarti kampung dalam bahasa Melayu, sedangkan Masih adalah sebutan dalam bahasa Ngaju untuk menyebut orang Melayu. Dengan demikian Banjarmasih berarti perkampungan orang Melayu. Banjarmasih adalah ibu kota dari Kesultanan Banjar dengan raja pertamanya Sultan Suriansyah, raja pertama yang menganut agama Islam.

Pada abad ke 16 dan 17 Banjarmasin sebagai perkampungan orang Melayu terletak di antara sungai-sungai. Sungai Barito dengan anak Sungai Sigaling, Sungai Pandai dan Sungai Kuwen. Sungai Kuwen dengan anak sungainya Sungai Keramat, Sungai Jagabaya dan Sungai Pangeran atau Pageran. Sungai-sungai tersebut pada daerah hulunya bertemu dan membentuk danau kecil bersimpang lima. Daerah inilah yang nanti menjadi daerah ibu kota Kerajaan Banjar, yaitu Banjaramasin. Pusat pertama terletak di antara Sungai Keramat dengan Sungai Jagabaya dengan Sungai Kuwen sebagai induk. Di sinilah tetletak rumah Patih Masih, patihnya orang Melayu.

Desa berubah menjadi sebuah bandar perdagangan pada tahun 1526 setelah  Kerajaan Daha yang dibawah Pangeran Tumenggung mengakui Sultan Suriansyah sebagai raja di Kerajaan Banjar, sebagian besar penduduk Daha diangkut sebagai tambahan penduduk ibu kota kerajaan. Rumah Patih Msih dijadikan keraton setelah dibesarkan dibuat Pagungan, Sitilohor dan Paseban.

Rumah-rumah dibangun di sepanjang tepi sungai dihubungkan satu dengan lainnya dengan titian sepanjang sungai dengan angkutan terdiri dari jukung atau perahu. Perahu atau jukung merupakan alat angkutan yang utama. Di samping rumah di tepi sungai terdapat lagi sejumlah rumah di atas lanting diikat dengan rotan ke pohon-pohon besar di tepi sungai.

Pada tahun 1612 kota ini diserbu oleh armada Belanda sehingga terpaksa ibu kota kerajaan dipindahkan ke Kayu Tangi dekat Telok Selong Martapura sekarang., sedangkan pusat kota dipindahkan ke Pamakuan, Kuliling Benteng. Dengan demikian kemudian terdapat sebutan untuk Banjar Lama dan Banjar Hanyar. Banjar Lama adalah bekas pusat  pemerintahan kerajaan yang ditinggalkan, sedangkan Banjar Hanyar adalah Kayu Tangi Martapura. Pada tahun 1663 Pangeran Surianata atau Pangeran Adipati Anom merebut kekuasaan. Pusat pemerintahannya dikembalikan ke Banjar Lama dengan pusat di daerah Sungai Pangeran.

Pada tahun 1677 Banjarmasin diserbu orang-orang dan pengikut Daeng Tello dibantu lanun orang Melayu, Soelongh. Keraton kembali musnah, tetapi musuh dapat dihalau. Pada tahun 1701 kembali Banjarmasin mengalami kehancuran dan pembakaran karena pertentangan dengan Inggeris, akibatnya Pulau Tatas menjadi sangat penting, sehingga sejak itu Pulau Tatas menggantikan tempat pusat kegiatan perdagangan menggantikan Banjarmasin di daerah Sungai Kuwen dan Sungai Pangeran.

Pada tanggal 4 Mei 1826 antara Kerajaan Banjar dengan Belanda diadakan kontrak dagang. Perjanjian itu membagi dua kota Banjarmasin. Daerah Pacinan Laut menyeberang ke Sungai Miai, ke Kuwen, Sungai Kelayan, Pemurus dan terus Pegunungan Meratus adalah daerah Kerajaan Banjar. Daerah Kerajaan Banjar ini kampung yang terpenting adalah kampung keraton, yang kemudian disebut Kampung Sungai Mesa. Di sekitar kampung ini terdapat rumah kediaman Menteri Besar Kiai Maesa Jaladeri, istana Sultan Tamjidillah, Balai Kaca. Berseberangan dengan istana Sultan Tamjidillah, diantaranya Sungai Martapura, terletak rumah Residen Belanda di Kampung Amerongan dan ke hilirnya terdapat Benteng Tatas, kesemuanya terletak di Pulau Tatas.

Kampung Amerongan adalah perkampungan orang Eropah, teratur, suasana lingkungan nyaman dengan penerangan lampu pada malam hari. Kampung Amerongan adalah kampung terbesar kedua setelah kampung Cina, Pacinan. Daerah Pulau Tatas inilah sampai menjelang abad ke 19 berkembang menjadi pusat kegiatan kekuasaan dan administerasi penjajah Belanda, baik sipil maupun militer.

Akhir Perang Banjar (1859-1905) membawa sejumlah kegiatan baru bagi Kota Banjarmasin. Antara Banjarmasin dengan Surabaya sarana hubungan laut Koninklijk Pakketvaart Maatschappij (KPM) memegang peranan baru lalu lintas laut. Untuk menampung volume kegiatan angkutan laut ini dibangun Boom Baru (pelabuhan) pada tahun 1861.

Boom ini terletak di pelabuhan lama sekarang di Sungai Martapura. Prasarana hubungan darat dibuat Pemerintah Belanda, yang guna dan tujuan dari hubungan darat ini ialah mempermudah ruang gerak militer Belanda. Jalan Banjarmasin – Martapura mulai dirintis melalui Pacinan Darat, Sungai Bilu Darat, Sungai Lulut, Sungai Tabuk, Panggalaman, Sungai Rangas terus ke Martapura yang sekarang dikenal dengan Jalan Martapura Lama.

(RN: Harap naskah ini tidak diposting ke blog lain).   
 .