Rabu, 30 Maret 2016

suku dayak



 Siapa Sebenarnya Suku Dayak Itu ?

Apabila ada orang yang menyebut “Suku Dayak”, maka dengan cepat terlintas dalam pikiran kita , bahwa suku ini terdapat di Kalimantan. Tapi mungkin pula banyak yang belum mengetahui sebab munculnya  istilah “Dayak “ itu sendiri.

Menurut Fridolin Ukur, pemakaian istilah Dayak dalam arti yang positif untuk menandai suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, baru mulai diintrodusir oleh Dr. August Harderland (1858). Sebelumnya istilah itu dipergunakan sebagai kata ejekan atau kata penghinaan bagi penduduk asli yang masih jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan suku-suku lainnya di bagian pantai yang datang kemudian.

Penduduk asli itu sendiri pada mulanya tidak mengenal nama Dayak untuk penamaan bagi suku-suku secara keseluruhan. Mereka menyebut diri suku mereka menurut tempat atau daerah kediaman mereka masing-masing yang umumnya dihubungkan dengan sungai. Seperti Oloh Kapuas, Oloh Kahayan, Oloh Katingan, Oloh Barito, dan sebagainya.

Sejak dipergunakannya nama Dayak ini secara positif oleh Handerland, maka selanjutnya kata tersebut dipergunakan untuk memberikan identitas bagi seluruh ”penduduk asli” di Kalimantan, yakni untuk mereka yang tergolong pada keturunan bangsa Melayu pertama (Proto Melayu).

Pemakaian istilah Dayak tidak dapat dikatakan seakan-akan mencakup satu kesatuan etnis, tapi satu wilayah yang meliputi sejumlah suku-suku bangsa Dayak. Pada umumnya istilah Dayak ditujukan kepada penduduk yang menghuni pedalaman Kalimantan, dan sekarang istilah Dayak sudah diterima oleh penduduk pedalaman Kalimantan, sebagai identitas mereka atau nama sukunya tanpa ada kandungan arti yang negatif.

Penduduk Dayak meliputi beratus-ratus suku, yang biasanya dibedakan atas beberapa kelompok suku. W. Stohr mengelompokkan penduduk Dayak berdasarkan kekeluargaan atau persamaan upacara kematian atas (1) Ot Danum, yang meliputi ot Danum dan Ngaju serta Maanyan dan Lawangan, (2) Murut, yang meliputi Dusun Murut dan Kelabit, (3) Klemantan, yang meliputi Klemantan dan Dayak Barat.

Tjilik Riwut, mantan Gubernur Kalimantan Tengah mengemukakan tujuh macam suku Dayak, yaitu: (1) Dayak Ngaju, (2) Dayak Ot Danum, (3) Dayak Apukayan, (4) Dayak Iban atau Hiban, (5) Dayak Klemantan atau Dayak Darat, (6) Dayak Murut, dan (7) Dayak Punan. Pengelompokan ini hanya berdasarkan hasil pengamatan dan tidak dijelaskan berdasarkan perbedaan bahasa atau ciri-ciri  perbedaan sosial  budaya lainnya.

(bersambung)        

Selasa, 29 Maret 2016

kehidupan dan perjuangan kartini



Mengungkap Sejarah:
KEHIDUPAN DAN PERJUANGAN KARINI

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia, khususnya kaum wanita Indonesia kembali mengadakan perayaan da peringatan Hari Kartini. Perayaan dan peringatan dengan tujuan untuk membangkitkan kembali semangat ide dan perjuangan Kartini, jelas mempunyai arti yang besar bagi seluruh bangsa Indonesia, terlebih bagi kaum wanitanya, di saat-saat kita banga Indonesia sekarang sedang melakukan pembangunan.

Kartini yang dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 yang lalu , adalah seorang pelopor pergerakan wanita Indonesia pertama yang memperjuangkan pendidikan dan pengajaran bagi puteri-puteri bangsa kita. Apabila sebelumnya wanita Indonesia oleh adat yang berlaku hanya dipersiapkan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya , maka sesuadah Kartini tampil dengan ide dan perjuangannya mulai terjadilah perubahan-perubahan.

Kartini menyadari keterbelakangan wanita Indonesia pada waktu itu, karena sebagai anak Bupati Jepara ia sering bertukar pikiran dengan tamu-tamu yang datang ke tempat kediamannya. Baik tamu itu keluarga bangsa Indonesia atau keluarga bangsa Belanda. Kartini bertukar pikiran dan pengalaman-pengalaman dengan mereka. Dengan demikian ia dapat membandingkan dengan apa yang dialami oleh wanita Indonesia dan apa yang telah dicapai oleh wanita bangsa lain.

Kartini berpendapat bahwa keterbelakangan wanita indonesia pada waktu itu adalah akibat dari kekurangan pendidikan dan pengajaran. Pengajaran untuk anak perempuan masih sedikit sekali, bukan hanya karena kekurangan gedung-gedung sekolah, juga oleh karena orang tua tidak mengizinkan anak-anak gadis pergi ke sekolah berhubung dengan adart istiadat. (bersambung).