Selasa, 31 Maret 2015

HASIL WAWANCARA



HASIL WAWANCARA


KETERANGAN YANG DIBERIKAN:
1. Syekh Muhammad Arsyad adalah seorang pembaharu di zamannya. Hal itu dapat dibuktikan dalam kitab-kitab karangan beliau, bahwa tidaklah beliau begitu saja menyalin sesuatu pendapat dari kitab yang terdahulu, kecuali sesudah beliau lakukan penelitian ”kuat atau tidaknya” pendapat tersebut. Sebagai ulama di zaman itu beliau seorang pemberani dalam tindakannya, merubah dan menentang faham yang telah berkembang sebelumnya.

2. Sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad ini telah berkembang faham Wihdatul Wujud yang bersumber dari Al Hallaj. Syekh Muhammad Arsyad menentang faham tersebut. Hal itu dapat dilihat daridukungan beliau terhadap karya Nuruddin Ar Raniry, yaitu kitab ”Shirathul Mustqim” yang ditulis dalam rangka menentang faham Al Hallaj yang dikembangkan oleh Hamzah Fansyuri di Aceh. Isi kitab Shirathul Mustaqim  tersebut beliau tuliskan di tepi kitab ”Sabilal Muhtadin” hasil karya beliau.

3.  Islam yang masuk ke Indonesia ini adalah menurut Mashab Imam Syafi’i, karena itu diduga masuknya dari Gujarat. Syekh Muhammad Arsyad adalah seorang yang termasuk dalam aliran ”mujtahid mazhab”, karena beberapa faham beliau terdapat perbedaan dengan penganut-penganut mazhab Syafi’i. Hal seperti ini juga dilakukan oleh Imam Nawawi dan Imam Gazali, yang keduanya terkenal sebagai penganut aliran tersebut.

4. Sebelum Syekh Muhammad Arsyad menyebarkan Islam  di daerah ini, sudah ada pula orang-orang Arab yang datang ke daerah ini untuk berdagang. Diantara para pedagang Arab tersebut terdapat suku Arab ”Baalwi” (Sayyid keturunan puteri Rasulullah, Siti Fatimah). Mereka ini menggunakan gelar”Sayyid”. Dari mereka inilah secara tidak langsung berkembang faham Syi’ah sampai ke daerah ini, sebagai akibat fanatisme mereka itu yang sangat mengagungkan Saidina Ali dan turunannya. Para Sayyid itu mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam Keraton Banjar. Pengaruh mereka terhadap keraton ini sudah ada sejak zaman Sultan Suriansyah. Dan hal inipun dibasmi oleh Syekh Muhammad Arsyad.

5. Di daerah ini dikenal ” hukum perpantangan” yang bersumber dari Syekh Muhammad Arsyad. Beliau melihat bahwa dalam masyarakat Banjar utamanya, suami isteri mempunyai andil yang sama dalam membina kehidupan keluarga. Pada umumnya orang Banjar suami dan isteri sama-sama bekerja. Kehidupan ini jelas dapat dilihat dalam keluarga petani. Sehubungan dengan itu Syekh Muhammad Arsyad berpendapat bahwa dalam hal bercerai atau salah seorang meninggal dunia, maka hak milik yang diperoleh selama berumah tangga itu dibagi dua lebih dahulu, selanjutnya baru dilakukan pembagian menurut hukum waris dalam Islam yang biasa. Dan ini satu-satunya pendapat yang tidak pernah difatwakan oleh ulama-ulama di negeri lain, ataupun oleh Imam Syafi’i sendiri

6. Di daerah ini pada umumnya aliran Thariqat (seperti yang bersumber dari Sofi Al Hallaj, dan lain-lainnya), tidak dapat tumbuh secara terbuka, karena brtentangan dengan faham Sultan yang mengikuti fatwa-fatwa dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Juga karena pengaruh-pengaruh Syekh Muhammad Arsyad dalam masyarakat Banjar itu dapat membendung faham-faham tersebut.

7. Dalam pengajian-pengajian di daerah ini umumnya diajarkan:
1. Ilmu Fiqh, menggunakan kitab Sabilal Muhtadin, karya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
2. Ilmu Tasauf, menggunakan kitab Sairus Salikin karya Syekh Abdus Samad Al Falimbangy, yang telah dibuat sadurannya oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan nama Kanzul Ma’rifah.

8. Syekh Muhammad Arsyad dalam ajaran beliau ”tidak memisahkan Syari’at dan hakekat”. Sebab syaria’at dan hakekat bukan dua hal yang berpisah. Syaria’at tanpa hakekat adalah kosong, dan hakekat tanpa syari’at adalah fasik.

9. Untuk menyesuaikan tahun Hijriah ke tahun Masehi dapat ditempuh cara: (a) menghitung selisih kedua perhitungan tahun itu, dengan mengingat bahwa tahun Hijriah dimulai pada tahun 622 Masehi, dan (b) bahwa setiap 33 tahun, perhitungan tahun Hijriah ditambah 1 (satu) tahun karena bulan Hijriah hanya terdiri dari 29 dan 30 hari saja.


(HRN: Maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).     .    

BUBUHAN BANJAR



BUBUHAN BANJAR
(Kalimantan Selatan)

Oleh: Ramli Nawawi

Pada masyarakat Kalimantan Selatan sistem kekerabatan yang berlaku  adalah sistem bilateral, yakni kedudukan seorang suami dan isteri pada satu keluarga adalah sama. Berbeda dengan sistem kekerabatan baik yang menurut garis ayah maupun garis ibu. Dalam masyarakat Banjar suatu keluarga  yang baru membangun rumah tangga tidak harus terikat tinggal bersama pihak keluarga perempuan atau keluarga laki-laki. Tetapi diakui dalam bidang-bidang tertentu  sistem kekerabatan di daerah ini menurut garis ayah, misalnya dalam hal wali atau pembagian harta waris yang mengacu pada ajaran Islam.

Dalam masyarakat suku bangsa Banjar mengenal adanya kelompok yang sangat kuat kesatuannya. Hal ini masih dapat dirasakan atau ditemui hingga sekarang. Kesatuan itu biasa disebut dengan  istilah bubuhan, rasa kesatuan sosial dan sifat gotong- royongnya kuat sekali.

Pengertian bubuhan kalau dalam ilmu Antropologi sama dengan keluarga luas, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari lebih dari keluarga inti yang seluruhnya merupakan sistem kesatuan sosial yang sangat erat yang biasanya tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan. Sejak zaman Hindia Belanda bubuhan-bubuhan tidak lagi tinggal dalam satu rumah atau pekarangan melainkan telah menyebar ke pemukiman yang saling berjauhan.

Biasanya seseorang yang terpandang , mungkin karena memiliki kekayaan atau kedudukan yang tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian dipakai menjadinama bubuhan, misalnya bubuhan Muhammad Arsyad Al Banjari. Di antara kelompok bubuhan ini ada yang percaya bahwa mereka dapat menarik garis keturunan bilateral sampai pada tokoh zaman dahulu yasng sulit ditelusuri silsilahnya dengan urut. Tokoh tersebut dipercaya menurunkan Sultan-Sultan Banjar atau seorang pejabat kesultanan.

Sekarang konsep bubuhan ini berkembang lebih luas lagi menjadi ikatan hubungan  daerah asal. Misalnya bubuhan Tanjung, bubuhan Amuntai, bubuhan Barabai, bubuhan Kandangan, dan lainnya, bahkan sampai kelompok bubuhan kampung tertentu. Ikatan bubuhan ini menjadi semakin kuat apabila mereka sama-sama jauh dari daerah asalnya.

Selain itu bagi masyarakat suku bangsa Banjar, hutan belantara,semak belukar dan gunung ,bukan semata-mata dihuni oleh manusia dan binatang, melainkan juga dihuni oleh orang gaib, binatang gaib dan sebagainya. Lingkungan kehidupan manusia merupakan personif ikasi dunia gaib, sehingga di kalangan masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan bumi rata.  

Adanya kepercayaan yang demikian itu bubuhan orang Banjar yang mendiami daerah tertentu, seperti yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah rawa, pantai laut dan lain sebagainya, pada masa dulu umumnya mengadakan upacara tahunan yang berkaitan dengan lingkungan mereka. Para petani yang tinggal di lingkungan persawahan mengadakan selamatan padang sebelum memulai kegiatan bertani. Diemikian juga para pendulang intan di lokasi pendulangan sebelum melaksanakan kegiatannya terlebih dahulu mengandakan upacara menyanggar. Di lingkungan kampung nelayan ada upacara tahunan yang di kenal dengan  istilah Mapanteritasi, dan lain sebagainya. (HRN).