Senin, 25 Juli 2011

MONUMEN NGOTO





(Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara)

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Monumen Perjuangan TNI AU (Angkatan Udara) dahulu dikenal dengan nama Monumen Ngoto karena monumen ini terletak di dekat Dukuh Ngoto, Kelurahan Tamanan, Kecamatan Bangun Tapan, Kabupaten Bantul, sebelah selatan kota Yogyakarta.


Monumen yang dibangun tanggal 1 Maret 1948 ini berupa sebuah bangunan tugu setinggi 7 m yang terbuat dari bahan semen cor dengan batang tubuh bersegi enam kerucut. Bangunan ini di topang lapik segi empat bersusun dua mengecil. Pada puncak tugu terdapat patung burung garuda setinggi 1,5 m yang sedang merentangkan sayapnya terbuat dari bahan tembaga. Tugu Monumen Perjuangan TNI AU ini berada dalam areal tanah yang berpagar terali besi. Pada bagian belakang tugu terdapat dinding yang berelief tentang rangkaian peristiwa sejarah Hari Bakti TNI AU tanggal 29 Juli 1947.

Monumen ini pernah dipugar pada tahun 1981 ketika Marsekal Ashadi Tjahjadi menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Kemudian tahun 2000 kembali mengalami renovasi, bahkan kemudian berdasarkan Surat Kepala Staf TNI Angkatan Udara No. Skep/78/VII/2000 tanggal 17 Juli 2000 monumen ini diresmikan dengan nama Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara.

Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) dibangun untuk mengenang semangat juang, semangat berbakti, pengorbanan serta kepahlawanan putra-putra di lingkungan Angkatan Udara Republik Indonesia dalam membela Proklamasi 17 Agustus 1945 demi kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia. Putra-putra terbaik bangsa dari kalangan TNI AU yang gugur di tempat ini dalam penerbangan menjalankan tugas perjuangan waktu itu adalah Marsekal Muda TNI (Anumerta) Agustinus Adisutjipto, Marsekal Muda TNI (Anumerta) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, serta Opser Muda Udara I Adi Sumarno Wiryokusumo.

Kini dalam areal Monumen Perjuangan TNI AU ini, di bawah cungkup yang lebarnya 40 m2, terdapat 2 buah makam di antara para pejuang yang gugur tersebut. Sesuai dengan permintaan keluarga para pahlawan tersebut, maka makam mereka didampingi oleh makam isteri masing-masing. Dua orang pahlawan bangsa yang makamnya di pindahkan dari Pemakaman Umum Kuncen I dan Kuncen II ke areal monumen ini adalah Bapak Agustinus Adisutjipto bersama isteri bernama Ny. Yosephina Rahayu Adisutjipto dan Bapak Abdulrachman Saleh beserta isteri yang bernama Ny. Ismudiati Abdulrachman Saleh. Sedangkan makam AdisumarmoWiryokusumo tetap berada di Taman Makam Pahlawan (TMP) Semaki.

Inisiatif pemindahan makam Marsekal Muda TNI (Anumerta) Agustinus Adisutjipto dan makam Marsekal Muda TNI (Anumerta) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dari pemakaman Kuncen I dan II ke lokasi Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) ini datang dari Marsekal TNI Hanafie Asnan ketika beliau menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara. Gagasan pemindahan kedua makam tersebut dilatarbelakangi karena pada setiap tahun yakni tanggal 29 Juli, TNI Angkatan Udara selalu melaksanakan upacara militer di kedua makam yang berada di Kuncen I dan II tersebut. Namun karena sempitnya lokasi makam, maka tata upacara militer tidak dapat dilaksanakan dengan hidmat, sehingga mengurangi kemegahan dan kebesaran kedua tokoh sesuai dengan jasa dan pengabdiannya.

Karena itulah kemudian TNI AU menawarkan kepada pihak keluarga Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh untuk memindahkan kedua makam tersebut ke Taman Makam Pahlawan Semaki. Tetapi pihak keluarga kedua pahlawan tersebut merasa keberatan kalau makam mereka dipisahkan dengan makam isteri masing-masing yang ada di sampingnya. Sehubungan dengan masalah tersebut ditempuh jalan keluar setelah mendapat persetujuan pihak kedua keluarga, yakni jasad kedua pahlawan tersebut beserta dengan jasad isteri masing-masing dipindahkan ke lokasi Monumen Ngoto, tempat jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA karena mendapat serangan pesawat Belanda. Pada waktu itu para pahlawan kita tersebut sedang membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya (Malaysia).

Dalam lokasi Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) selain terdapat bangunan tugu dan makam yang berada dalam cungkup, juga terdapat bangunan dinding relief yang menggambarkan kegiatan penyerangan yang dilakukan pesawat-pesawat milik Angkatan Udara RI terhadap tangsi-tangsi Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga serta relief peristiwa jatuhnya pesawat Dakota yang membawa bantuan obat-obatan dari Malaya (Malaysia) karena mendapat serangan pesawat Belanda ketika akan mendarat di Pangkalan Udara Maguwo.

Pesawat Dakota yang jatuh di dekat Dukuh Ngoto, tiga km selatan kota Yogyakarta ini selain membawa obat-obatan bantuan dari Malaya (Malaysia) juga membawa penumpang yang terdiri dari Komodor Muda Udara (Kolonel) Agustinus Adisustjipto, Komodor Udara Muda (Kolonel) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opser Muda Udara I (Lettu) Adisumarmo Wiryokusumo, pilot Alexander Noel (Australia), co pilot Roy Hazelhurst (Inggeris), juru mesin Bhidaram, Zainal Arifin (Konsol Dagang RI di Malaya) dan Ny. Noel Constantine. Semua penumpang tersebut meninggal dunia, kecuali seorang penumpang yang selamat bernama A. Gani Handoyotjokro. Nama-nama mereka yang menjadi korban jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA karena diserang pesawat tempur Belanda tersebut diabadikan pada salah satu sisi Tugu Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) tersebut.

Peristiwa jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA merupakan rangkayan dari peristiwa Agresi Militer Belanda terhadap wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu beribu kota di Yogyakarta, yakni setelah penandatangan Persetuan Linggar jati tanggal 25 Maret 1947, dimana Belanda hanya mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia hanya terdiri atas Jawa, Madura dan Sumatera. Sedangkan daerah-daerah lainnya akan dibentuk negara-negara bagian yang masuk dalam Negara Indonesia Serikat. Bahkan sesudah itu Belanda mendaratkan militer besar-besaran, tanggal 21 Juli 1947 melakukan Agresi Militer terhadap wilayah Negara RI tanpa memperdulikan Persetujuan Linggarjati, sehingga wilayah RI dalam waktu singkat hanya tinggal sebagian Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam penyerangan yang dilakukan tentara Belanda tanggal 21, kemudian juga tanggal 25 dan 27 Juli 1947 dalam Agresi Militer Belanda tersebut, hampir seluruh Pangkalan Udara RI menjadi sasaran penyerangan, termasuk Pangkalan Udara Magowo yang diketahui sebagai pusat kekuatan udara RI waktu itu. Namun karena Pangkalan Udara Magowo yang waktu penyerangan Belanda pagi itu tertutup kabut tebal maka luput dari serangan, sehingga puluhan pesawat yang menjadi modal untuk melatih calon-calon penerbang dapat diselamatkan.

Sebagai balasan atas serangan-serangan pesawat Belanda tersebut, maka Kepala Staf Angkatan Udara Suryadi Suryadarma waktu itu memerintahkan untuk menyerang tangsi-tangsi Belanda yang ada di Salatiga dan Semarang. Penyusun rencana operasi adalah Komodor Udara (Kolonel) Halim Perdana Kusuma, sedangkan pelaksana penyerangan dilakukan oleh empat kadet Sekolah Penerbang AURI, yakni Mulyono, Suharnoko Harbani, Sutardjo Sigit, dan Bambang Saptoadji. Empat pesawat yang disiapkan adalah dua buah Curen, satu Hayabusha, dan satu Guntei. Namun pada hari keberangkatan Hayabusha yang akan diterbangkan Bambang Saptoadji rusak, sehingga ia tidak ikut melaksanakan misi tersebut.

Peristiwa serangan balasan yang ditujukan ke tangsi-tangsi Belanda tersebut dilakukan pada Selasa dinihari, tanggal 29 Juli 1947. Tepat pukul 03.45 WIB tiga pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Magowo. Kadet Mulyono didampingi penembak udara Durachman menggunakan pesawat Guntei, melakukan lepas landas yang pertama. Di belakangnya dua pesawat Curen menyusul lepas landas. Kadet Sutardjo Sigit didampingi penembak udara Sutarjo, dan Kadet Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Kaput. Kadet Mulyono bertugas menyerang pelabuhan laut Semarang, sementara Kadet Sutardjo Sigit dan Kadet Suharnoko Harbani menyerang Salatiga.

Kadet Sutardjo Sigit dan Kadet Mulyono berhasil melakukan operasi udara sesuai dengan rencana. Sedangkan Kadet Suharnoko Harbani, karena kegelapan pagi kehilangan pesawat yang dikemudikan Kadet Sutardjo Sigit yang menjadi leader-nya. Sehingga ia memutuskan untuk terbang ke Salatiga ia menyusuri lereng timur Gunung Merapi. Namun dari ketinggian terbang ia kemudian melihat lampu kota Ambarawa. Ia kemudian mengarahkan pesawat ke arah timur kota tersebut, di mana tangsi Belanda dibangun. Pagi itu serangan udara dilakukan oleh para kadet tersebut. Dua bom seberat 50 kg dijatuhkan, sehingga tampak asap mengepul. Setelah itu pesawat udara Curen kembali ke Pangkalan Udara Magowo melalui rute pertama, dan tiba paling awal. Kemudian disusul pesawat udara yang dikemudikan Kadet Sutardjo dan Kadet Mulyono.

Sementara itu pada hari yang sama tanggal 29 Juli 1947 juga sebuah pesawat terbang Dakota VT-CLA pukul 1.00 siang waktu setempat meninggalkan lapangan terbang Singapura dengan membawa sumbangan obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia. Ketika mendekati Pangkalan Udara Magowo saat roda-roda pesawat mulai keluar, pesawat Dakota VT- CLA membuat satu kali putara untuk persiapan mendarat, tetapi tiba-tiba muncul dua buah pesawat pemburu Kittyhawk Belanda dan melakukan penembakan dengan gencar. Dakuta VT-CLA kemudian terbang ke arah selatan dalam keadaan terbakar dan jatuh di Jatingarang dekat Dusun Ngoto, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Seperti disebutkan di atas bahwa peristiwa itu menewaskan 8 orang penumpangnya, yang 2 orang di antaranya makamnya terdapat di areal Monumen Ngoto, yang sekarang disebut Monumen Perjuangan TNI AU.

Peristiwa gugurnya para perintis dan tokoh TNI AU dalam peristiwa ini semula diresmikan dan diperingati sebagai hari berkabung. Kemudian sejak tahun 1962 peristiwa tanggal 29 Juli 1947 tersebut ditetapkan sebagai Hari Bakti TNI AU, dan diperingati setiap tahun di Lapangan Udara Adisutjipto.

Sampai peristiwa tersebut terjadi perjuangan bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan Indonesia masih terus berlangsung. Perjuangan tidak lagi tergantung hanya pada seorang tokoh atau pimpinan. Satu gugur tampil penggantinya. Perjuangan melawan Belanda juga terjadi di seluruh tanah air dalam waktu yang bersamaan. Di mana-mana terjadi perang, rakyat melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, sehingga akhirnya mendapat perhatian Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

(Drs. H.Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional, disusun dari berbagai sumbar).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).

Selasa, 12 Juli 2011

SEKILAS TENTANG KERATON BANJAR


KERATON BANJAR

Dari: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Keraton Banjar adalah Istana Kesultanan Banjar sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banjar. Sampai saat ini lokasi-lokasi keraton dan wujud keraton Banjar tidak dapat diketahui dengan pasti, sebab tidak adanya data yang lengkap. Sebagai bekas negara terbesar di bagian selatan Borneo pada masa kejayaannya, tentunya Kesultanan Banjar memiliki pusat pemerintahan yang cukup baik. Keberadaan Keraton Banjar yang sudah punah, salah satunya dikarenakan pertentangan dan konflik dengan Belanda. Sikap Kesultanan Banjar dan orang Banjar pada umumnya yang tidak mau tunduk kepada kemauan Belanda.

KERATON KUIN

Keraton pertama dibangun di Banjarmasih (Kuin). Banjarmasih terletak di antara sungai-sungai :

Sungai Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin
Sungai Kuin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran).

Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat bertemu dan membentuk sebuah danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti menjadi ibukota Kesultanan Banjar yang pertama.

Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan (gedung gamelan/senjata), Sitiluhur (Siti Hinggil) dan Paseban.

Menurut Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa dalam Melacak Arsitektur Keraton Banjar, beranggapan lokasi keraton berada pada Komplek Makam Sultan Suriansyah saat ini.

Gambaran Kota Banjarmasin kuno menurut M. Idwar Saleh adalah sebagai berikut :

Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton.

Istana Sultan Suriansyah berupa Rumah Bubungan Tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk rumah Betang dengan bahan utama dari pohon ilayung.

Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban.

Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur.

Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja.

Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.

Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air.

Menyeberang sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap Senin atau Senenan.

Di sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap.

Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di rumah-rumah rakit, dan sebagian lagi tinggal di rumah betang di darat.

Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah.

Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan yang baru.

BERITA DINASTI MING

Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit) hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu (bahasa Banjar:pelupuh) dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi. Menurut Willy kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai.

KERATON DI KAYU TANGI (KARANG INTAN)

Pada tahun 1612 keraton Kuin mendapat serangan dari VOC, tempat tinggal Sultan hancur, sehingga pemerintahan dipindahkan oleh Sultan Mustain Billah ke hulu sungai Martapura. Majunya perdagangan Banjar setelah masa Sultan Mustain Billah membawa kemakmuran dengan kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya. Di daerah Martapura ini, keraton Banjar beberapa kali berpindah tempat, salah satunya Keraton Bumi Kencana yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Bumi Selamat pada tahun 1806.

John Andreas Paravicini utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Sepuh saat itu menulis laporannya tentang keraton Sultan di Kayu Tangi :

" .....mula-mula barisan tombak berlapis perak, dibelakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba dibahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal merah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba dibahagian kedua kraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru kebahagian kraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi dengan rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia".

PERUBAHAN NAMA BUMI KENCANA MENJADI BUMI SELAMAT:

Pada Tahun 1771, Sunan Sulaiman Saidullah I (Sunan Nata Alam) memindah keraton Banjar dari Kayutangi ke Bumi Kencana (Martapura).[1] Bumi Selamat adalah sebutan untuk kompleks keraton Sultan Banjar di Martapura. Kediaman Sultan atau nDalem Sultan disebut Dalam Sirap. Nama Keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut Keraton Bumi Kencana. Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda pada tanggal 11 Agustus 1806. Ini hormat sudah kita sempurnakan serta kita patrikan tiap-tiap dimana tempat paseban dalam negeri Bumi Kintjana jang sekarang ganti nama Bumi Selamat. Sebelas hari dari bulan Agustus tahun 1806 (seribu delapan ratus enam).

BALAI SEBA

Balai Seba adalah sebuah bangunan dalam kompleks keraton Bumi Kencana yang dibangun tahun 1780 oleh Panembahan Batuah dengan ukuran lebar 50 kaki, panjang 120 kaki dan tinggi 25 kaki.

DALEM SULTAN TAMJIDULLAH II DI KAMPUNG SUNGAI MESA

Berdekatan dengan Kampung Melayu terdapat Kampung Keraton yang kemudian namanya diubah menjadi Kampung Sungai Mesa yang didirikan oleh Kiai Maesa Jaladri alias Anang putera Tumenggung Suta Dipa. Di kampung Sungai Mesa terdapat kediaman Menteri Besar Kiai (Mesa) Maesa Jaladri, istana Sultan, Balai Kaca, dan istana Sultan Tamjidullah II. Berseberangan (sungai) dengan istana Sultan Tamjidullah II terdapat rumah Residen di Kampung Amerongan, yang di sebelah hilirnya terdapat benteng Tatas. Kampung Amerongan merupakan kampung terbesar di seberang Kampung Sungai Mesa pada saat itu.

Referensi
1. The New American encyclopaedia: a popular dictionary of general knowledge, Volume 2, D. Appleton, 1865

2. Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan, Penerbit Fadjar, 1953

3. H. Ramli Nawawi, Tamny Ruslan, Yustan Aziddin, Sejarah kota BanjarmasinDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986

4. Mohamad Idwar Saleh, Banjarmasih: sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950, Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982

Sumber "http: id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Banjar"