Senin, 23 Januari 2012

HUJAN

Memang tak kusangka sekali kemaren itu akan hujan
Karena nampaknya langit putih bersih saja
Dan sedikitpun tak ada tanda-tanda lain yang nampak
Begitu juga matahari membagi panas ke mana-mana

Tapi nyatanya ada angin dari barat bertiup lambat
Dan ini yang membawa segumpalan awan hitam
Mencari-cari penyentuhan akan turun ke bumi
Melepaskan air yang memperlambat jalannya

Akhirnya ia tertumbuk pada puncak satu gunung tinggi
Hujanpun turun lebat tiada antara waktu lagi
Melalui lereng gunung air meluncur cepat tiada rintangan
Mengisi sungai meresap terus menuju laut

Dan aku yang baru sadar dari renungan lari berteduh
Begitu juga mereka yang sama tak menyangka-nyangka
Tapi mereka semua tak ada yang sekuyup daku
Bahkan mereka bilang hujan ini memang untukku

( Ramli Nawawi, Kandangan)

Sabtu, 21 Januari 2012

TAKDIR CINTA

(Ceritera ini fiksi, pengambilan nama kota, lembaga, lokasi, orang dan lainnya hanya dibuat kebetulan), oleh Ramli Nawawi.

1. REKREASI SEKOLAH

Kandangan Kotaku Manis bunyi judul sajaknya Darmansyah Zauhidi (almarhum), seorang sasterawan Kalimantan Selatan. Di ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimantan Selatan inilah Ali dan Ana sama-sama menuntut ilmu. Mereka dipertemukan karena sama-sama bercita-cita menjadi guru bagi bangsa ini. Sebelumnya keduanya sama sekali tidak pernah saling kenal, karena sebelumnya Ali tinggal di desa sedangkan Ana tinggal di kota.

Sekolah Pendidikan Guru mempertemukan mereka berdua. Mereka merupakan peribadi masing-masing diantara 200 orang lebih siswa di sekolah tersebut. Apalagi keduanya duduk di kelas berbeda, sehingga kadang hanya bersama pada kesempatan-kesempatan tertentu saja seperti ketika mengerjakan kegiatan sekolah bersama. Sehingga selama bertahun-tahun keduanya biasa sekedar bertegur sapa.

Suatu hari ketika sekelompok para siswa mengadakan rekreasi tak resmi berkunjung ke tempat bersejarah yang tidak jauh dari sekolah, secara kebetulan karena senggang tidak ada kegiatan, kedua mereka termasuk rombongan yang ikut berangkat. Gunung Layang-Layang tidaklah tempat rekreasi yang menarik, hanya merupakan hutan belukar yang hanya ada gubung-gubuk petani tempat beristirahat melepas lelah setelah menggarap tanaman kebun mereka. Namun tempat ini dulu zaman revolusi menegakkan kemerdekaan, merupakan markas penghadangan terhadap mobil-mobil tentara Belanda yang lewat.

Apa yang mereka cari di tempat yang dari fisiknya ini sangat tidak menarik kecuali keingintahuan sekelompok siswa tersebut mengenali dan merasakan derita perjuangan pejuang-pejuang bangsa ini dalam menunaikan bakti demi bangsa dan tanah air. Di lereng gunung inilah sekelompok siswa sekolah guru tersebut mendaki menuju arah puncak yang sebenarnya tidak terlalu tinggi.

Ketika Ali berhenti mengistirahatkan kakinya, sementara kawan-kawannya yang berjarak sekitar 3 meter di depannya tetap meneruskan perjalanan, ia melihat di rombongan siswa putri yang paling belakang ada juga diantaranya menghentikan langkahnya. Merasa kasihan Ali melangkah mendekatinya.

”Mengapa...tak kuat jalan lagi...?, sapa Ali setelah dekat dengan teman perempuannya yang ia kenal namanya Ana tersebut.
”Kuat... ya kuat sih, tapi ini kakinya nih tumit lecet”, sahut Ana teman sekolah yang sebenarnya jarang bertegur sapa tersebut.
”Jadi gimana...apa mau terus naik dengan sepatu dilepas sebelah”.
”Nggak ah....”.
”Mau kembali...turun”.
”Tunggu teman-teman saja dulu”.
”Kalau begitu numpang berteduh di terasnya lampau (gubung) orang itu kali”, ajak Ali
.
Keduanyapun menuju lampau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka berdua. Ketika sampai di depan lampau tersebut Ali mengucapkan salam kepada orang yang mungkin ada penghuninya.
”Alaikum salam.....”, terdengar suara perempuan menyahut sambil membuka pintu.
“ Bu, ini ada kawan kakinya lecet, nggak bisa terus naik bersama kawan-kawan, mau numpang istirahat “, bilang Ali kepada pemilik lampau.
“Boleh, boleh, ayu masuk, tapi maklum ini kan gubung tempat istirahat saja kalu sudah lelah di kebun tu”.
“Tidak apa-apa bu, kami yang banyak terima kasih”, bilang Ana.
”Tidak ada apa-apa nih kecuali air putih”, bilang ibu lampau.
”Mau....?, kata Ali memandang Ana.
” Mereputkan aja ya bu”, kata Ana memandang ibu.
”Tidak...,seumur-umur ibu tidak pernah dapat tamu seperti kamu berdua”, kata ibu lampau yang langsung masuk ke ruang bagian dapur, dan kemudian kembali membawa sebuah cerek dan dua buah gelas.
”Silakan lah seadanya..., ini ibu mau meneruskan kerja ibu di belakang”, katanya ramah.

”Mau juga kan minum, atau puasa nih”, bilang Ana bercanda sambil menuangkan air putih kegelas.
”Kata siapa aku alim, suka puasa segala...?", bilang Ali..
”Ya mungkin ia ya...., kan situ kalau tak disapa tak bicara, ia kan?.
”Kata siapa, kata kawan-kawan perempuanku lah”, kata Ana lagi.
”Ya ...”,sahut Ali,” Kalu aku nyapa kamu atau kawan-kawan perempuanmu diacuhin, malukan..”, sahut Ali, sambil dalam benaknya tak nyangka kalau temannya yang satu ini sebelumnya sudah ada perhatian terhadapnya.
”Wah... benar nih dugaanku, pemalu ya...”, kata Ana sambil memberikan gelas air putih.
”Ya, kalau gitu mulai hari ini aku tak malu lagi menyapamu lebih dulu”. sahut Ali.
”Ya .begitu dong”, kata Ana yang tampak ceria dan sepertinya tidak menghiraukan lagi sakit pada kakinya.

Sementara dari kejauhan sudah terdengar suara kawan-kawan mereka yang turun dari bukit yang akan melewati jalan dekat lampau dimana keduanya beristirahat. Sebelum sebagian mereka yang lebih dulu turun sampai dekat lampau, mereka  berdua sudah berdiri di depan lampau beserta ibu pemilik lampau.
”Ayu... apain kamu ini berdua, tak tahunya hilang tak ikut ke atas”, kata Ani teman dekatnya Ana.
”Maaf  ya..Ni.. ini kakiku lecet, untung ni ada orang asing menemani dan singgah di lampaunya ibu ini, jadi jangan curiga macam-macam ya...” bilang Ana.
”Ah curiga juga boleh kan, dan mulai hari ini tidak jadi orang asing lagi kan ...., iya kan Li”, kata Ani lagi menggoda.
"Wah...wah, ayo kita kita turun aja yo, nanti ketinggalan lagi," sahut Ali mendengar komentarnya Ani..           

Selesai menyalami ibu lampau sambil mengucapkan terima kasih Ali dan Ana serta Ani berjalan turun bukit. Setelah sampai di kaki bukit, mereka mengambil kendaraan masing-masing di tempat penitipan kendaraan, dan pulang dengan membawa kenangan peristiwa yang terjadi di gegiatan rekreasi kali ini
.  
(bersambung ke entri posting tgl. : 30-5-2012)

Senin, 19 Desember 2011

PERANAN TENTARA PELAJAR DI DIY

PADA MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN 1945-1949

Disampaikan oleh: Ramli N (R) & Tugas TW (T)

T :Selamat malam pak Ramli.
R :Selamat malam dik Tugas, silakan masuk.
T :Kebetulan lewat di depan, pintunya pak Ramli masih terbuka, saya cobalah mampir.
R :Munggo, senang saya ada kawan ngobrol, silakan duduk.
T :Malam-malam begini masih asyik membaca.
R :Ini naskah, tentang masalah Serangan Umum tanggal 1 Maret 1949 itu.
T :Pendapat pak Ramli bagaimana?.
R :Ya kesimpang-siuran sejarah itu tentunya perlu diluruskan.
T :Caranya?.
R :Lakukan penelitian, kumpulkan data-data autentik dan beri kesempatan kepada pelaku yang masih hidup untuk menyampaikan kesaksiannya, dan ya seperti biasa lakukan seleksi, kemudian seminarkan.

T :Saya kalau berbincang tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, malah juga tertarik dan ada rasa bangga karena dalam sejarah peristiwa itu selain TNI, banyak pula peran para pemuda dan bahkan para pelajar.
R :Memang dalam sejarah perjuangan bangsa kita para pemuda dan pelajar itu tercatat selalu sebagai pelopor. Kita ingat Budi Utomo yang didirikan oleh para pelajar Sekolah Kedokteran, atau Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh wakil-wakil pemuda dari berbagai daerah negeri ini. Juga ketika Proklamasi Kemerdekaan harus dipertahankan, pemuda pelajarpun tampil dalam Batalyon-Batalyon Tentara Pelajar.
T :Ini barangkali yang dimaksudkan dengan nilai-nilai yang perlu dibangkitkan oleh para pemuda dan pelajar ya termasuk mahasiswa kita sekarang, atau lengkapnya oleh pewaris bangsa dan negara ini. Karena kitapun yakin bahwa mereka tidak mau menjadi generasi yang hanya menikmati hasil keringat pejuang-pejuang bangsa terdahulu.
R :Karena itu tidak salah kalau kita berharap supaya para pemuda dan pelajar sekarang bisa memperlihatkan diri sebagai sosok kader-kader yang siap membela kebenaran dan menghormati hukum yang berlaku.
T :Namun disatu pihak, kita merasa perihatin karena sampai saat ini kita sering mendengar adanya tauran antar pelajar, tauran antar mahasiswa, Juga banyak kasus tentang pemuda dan pelajar yang terjerat pel ekstasi, morfin, minuman keras dan yang sejenisnya.
R :Karena itu dik Tugas, saya malah berpikir, justeru dahulu ketika bangsa ini berjuang untuk merdeka, para pemuda dan pelajar malah berperan di berbagai kegiatan dan tersebar di markas-markas perjuangan.

T :Kalau berbicara soal peranan pelajar pada masa perjuangan, khususnya di daerah Yogyakarta, saya ingat tentang adanya organisasi pelajar yang disebut IPI atau Ikatan Pelajar Indonesia yang lahir tahun 1945, tepatnya segera sesudah Proklamasi Kemerdekaan.
R :Betul dik Tugas, malah kalau kita mundur lagi sedikit ke belakang, kita bisa ingat bahwa IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) tersebut merupakan jelmaan dari beberapa organisasi pelajar sekolah menengah yang tergabung dalam GASEMMA (Gabungan Sekolah Menengah Mataram).
T :Ya, memang pada masa-masa akhir kekuasaan Jepang di Indonesia, Jepang pernah mendorong agar masyarakat memperkuat benteng pertahanan rakyat. Pada kesempatan itulah organisasi boleh berdiri. Tentunya dalam rangka bisa membantu Jepang kalau diserang tentara Sekutu.
R :Memang beberapa waktu sebelum Jepang bertekuk lutut, di Yogyakarta berdiri organisasi GBPJ (Gerakan Benteng Perjuangan Jawa) yang menggerakkan masyarakat untuk memperkuat benteng pertahanan rakyat.
T :Organisasi itu didukung oleh Jepang, artinya Jepang tidak melarang.
R :Ya, Jepang merestui, dan karena itulah GASEMMA (Gabungan Sekolah Menengah Mataram) tadi juga bisa berdiri dengan mulus. Walaupun pada awalnya hanya merupakan organisasi yang bergiat di bidang olah raga.
T :Tapi seperti yang saya dengar, kegiatan GASEMMA ini malah diarahkan oleh Jepang untuk keperluan apa yang disebut KINROHOSI atau kerja bakti untuk kepentingan pemerintahan Jepang.

R :Setelah Proklamasi Kemerdekaan tersebut, tentunya peranan dan tugas para pelajar yang tergabung dalam GASEMMA tersebut semakin berat.
T :Betul, sehubungan dengan itu mereka kemudian mengadakan Kongres Pemuda Pelajar pada tanggal 25 sampai 27 September 1945.
R :Dik Tugas sudah pernah baca juga bukan, bahwa IPI (Ikatan Pemuda Pelajar) juga punya peranan membantu pejuang-pejuang kita waktu itu.
T :Ada yang saya ketahui seperti: Peranan anggota-anggota IPI Srandakan (Bantul) yang bertugas menyebarkan pamflet-pamflet tentang penyerangan dan penghadangan terhadap Belanda oleh pejuang-pejuang kita. Bahkan ada anggota IPI yang tergabung dalam Lasykar Rakyat Kauman, justeru ikut ke front Ambarawa bersama BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang bersenjata lengkap.
R :Tadi dik Tugas menyebut tentang Lasykar Rakyat. Bahwa pembentukan Lasykar Rakyat ini kan berdasarkan perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dalam Maklumat No. 5 DIY tgl. 26-10-1945 untuk membantu TKR (Tentara Keamanan Rakyat) karena situasi perjuangan semakin meningkat. Sementara IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) juga meningkatkan peranannya dengan membentuk satuan khusus yang disebut IPI Pertahanan.

T :Pembentukan Lasykar Rakyat dan IPI Pertahanan inikan tujuannya untuk memperkuat pertahanan, karena NICA Belanda yang datang membonceng tentara Sekutu secara terang-terangan berusaha berkuasa kembali di Indonesia.
R :Peristiwa adanya usaha-usaha NICA Belanda untuk berkuasa lagi di Indonesia inilah sehingga status IPI Pertahanan mendapat restu dari Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat untuk dijadikan pasukan khusus pelajar, yang kemudian disebut TP (Tentara Pelajar).
T :Dalam sejarah disebutkan bahwa TP (Tentara Pelajar) Yogyakarta yang juga meliputi daerah Jawa Tengah dibentuk dan diresmikan tanggal 17 Juli 1946 oleh DR. Mustopo dari Markas Pertahanan, bertempat di Lapangan Pingit Yogyakarta.
R :Betul, selanjutnya ada beberapa Batalyon Tentara Pelajar di tanah Jawa. Tapi untuk daerah Yogyakarta menggunakan kode TP Batalyon 300. Pernah dengar juga kan dik Tugas?.
T :Ya, dan saya masih ingat, kalau Batalyon 300 itu, untuk Yogyakarta ada 3 kompi, yakni: Kompi 310, 320, dan 350. Sedangkan untuk Kompi 330, 340 dan 360 masing-masing untuk daerah Kedu Selatan, Banyumas dan Kedu Utara.
R :Tapi satu hal yang perlu dicatat, bahwa walaupun organisasi Tentara Pelajar ini bersifat kemiliteran, tapi pelaksanaan tugas-tugasnya tetap berdasarkan kekeluargaan. Karena itu dalam organisasi Tentara Pelajar ini tidak dikenal sistem kepangkatan.

T:Mereka yang tergabung dalam Tentara Pelajar pada masa Revolusi Kemerdekaan tahun 1945-1949 masih banyak yang hidup kan pak Ramli?.
R :Ya, ketika saya penelitian tahun 2000, mereka umumnya masih sehat-sehat, walaupun usia mereka sudah sekitar 70 tahun. Saya punya kenalan beberapa orang, dan banyak berbincang-bincang dengan mereka.
T :Saya juga ada mengenal beberapa orang, dan sepertinya mereka mempunyai pengalaman yang berbeda-beda sewaktu menjadi Tentara Pelajar tersebut.
R :Ya, namun tampaknya pengalaman-pengalaman atau andil mereka para anggota Tentara Pelajar tersebut meliputi mulai dari membantu penyelenggaraan dapur umum, penyelidikan lokasi obyek yang akan diserang, sebagai kurir pembawa dokumen rahasia, selaku anggota Palang Merah, dan bahkan terlibat dalam pertempuran-pertempuran atau penghadangan-penghadangan terhadap Militer Belanda.
T :Pak Ramli pernah melakukan wawancara juga dengan beberapa orang di antara mereka eks Tentara Pelajar tersebut bukan?.
R :Ya, saya pernah berbincang-bincang dengan Bapak Ibnoe Sawabi, yang menyatakan bahwa sebagai anggota Tentara Pelajar beliau pernah bergabung dengan TNI Batalyon I yang Komandan Seksinya bernama Sugiarto. Beliau juga diberi senjata api, dan pada Clash II pernah ikut bertempur di daerah Bantul.
T :O ya, saya juga pernah membaca Biodata Bapak Ibnoe Sawabi tersebut. Beliau pernah menjadi anggota Counter Inteligence (Patriot Indonesia), juga di staf Keamanan Tentara Pelajar Batalyon 300.
R :Ada tugas khusus yang diemban Bapak Ibnoe Sawabi sebagai anggota TP ketika bergabung dengan satuan TNI. Kalau mereka akan melakukan penyerangan atau pengacauan ke kota, maka Ibnoe Sawabi-lah yang ditugaskan satuan tersebut untuk lebih dahulu menyelidiki keadaan lokasi yang akan diserang.

T :Kalau anggota TP yang bertugas sebagai Palang Merah, saya kenal dan juga pernah wawancara dengan beliau.
R :Siapa beliau dik Tugas?
T :Beliau pensiunan Kepala SPG Negeri, nama beliau Bapak Drs. Suwarno. Beliau berceritera sewaktu menjadi anggota IPI mendapat kesempatan untuk ikut kursus PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) yang diselenggarakan Pengurus TP bekerja sama dengan Rumah Sakit Bathesda, selama satu bulan. Dengan modal pengetahuan itu, beliau menjadi anggota TP, dan sering mendapat tugas sebagai anggota Palang Merah, mengikuti aksi-aksi penyerangan dan penghadangan terhadap militer Belanda.
R :Jadi jelas dik Tugas, mereka yang tergabung dalam satuan TP pada waktu perjuangan menegakkan kemerdekaan dulu itu selain terlibat langsung dalam aksi penyerangan dan penghadangan terhadap musuh, juga terlibat dalam berbagai aktifitas lainnya yang menunjang perjuangan waktu itu.
T :Benar pak Ramli, saya juga teringat di antara para eks Tentara Pelajar ini, seperti Bapak Ismantoro yang bertugas menempelkan pamflet-pamflet yang berisi berita-berita perjuangan, juga Bapak P.J. Soewardjo, B.A. yang diperbantukan pada staf Penerangan, ikut menangani berita-berita perjuangan serta penyebarluasannya.
R :Tidak terkecuali mereka yang benar-benar banyak terlibat dalam pertempuran, seperti Bapak Sardjiman yang tinggal di Jalan Nogosari Lor, serta anggota-anggota TP lainnya yang tidak sempat kita sebutkan satu persatu di sini.
T :Tapi yang jelas kita tahu dan memiliki kesaksian bahwa peranan Tentara Pelajar di DIY pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 yang lalu itu meliputi berbagai aktifitas dan kegiatan yang semuanya menunjang perjuangan bangsa saat itu.
R :Karena itulah, alangkah arifnya manakala kita hormati perjuangan dan pengorbanan mereka itu dengan berusaha melanjutkan cita-cita para pejuang bangsa, mengisi kemerdekaan, dan membenahi segala persoalan yang masih memerlukan uluran tangan dan perkobanan bangsa Indonesia pada umumnya.
(Dokumentasi: naskah disusus Drs. H. Ramli Nawawi).

Rabu, 23 November 2011

SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI PENYEBAR AJARAN ISLAM DI KALIMANTAN SELATAN

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Muhammad Arsyad dilahirkan pada tahun 1122 H atau 1710 H di Desa Lok Gabang , Martapura. Meninggal pada tahun 1227 H atau 1812 M, dimakamkan di Desa Kalampayan tidak jauh dari desa kelahirannya.

Pada waktu berumur kurang lebih 8 tahun ia dipungut oleh Sultan Banjar untuk diasuh dan dididik di istana. Kemudian ia dikawinkan dan menjelang umur 30 tahun diberangkatkan belajar memperdalam ilmu agama Islam di Mekah.

Muhammad Arsyad tiba kembali di Martapura ibu kota Kerajaan Banjar pada bulan Ramadhan tahun 1186 H (1772 M). Ia kembali setelah memperoleh kealiman khusus dalam ilmu Tauhid, ilmu Fiqh, ilmu Falaq dan ilmu Tasauf.

Usahanya dalam menyebarkan Islam di daerah Kerajaan Banjar pada wktu itu dimulai dengan melakukan pengajian, kemudian menyebarkan anak cucunya (murid-muridnya) ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan Selatan, di samping itu menulis kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu Banjar dan aksara Arab.

Sistem pengajian yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad mula-mula mengajari 2 orang cucunya yang bernama Muhammad As’ad dan Fatimah, sehingga dalam waktu yang tidak lama keduanya mewarisi kealimannya. Keduanya pun kemudian membantu usaha kakeknya . Dalam Syajaratul Arsyadiah disebutkan bahwa Muhammad As’ad kemudian menjadi guru sekalian murid laki-laki, dan Fatimah menjadi guru sekalian murid perempuan.

Dalam tulisan yang berjudul Riwayat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Zafry Zamzam (almarhum) mengemukakan bahwa dalam pengajian yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad bukanlah semata-mata belajar ilmu pengetahuan agama, tetapi disertai bekerja bersama dan memasuki kehidupan masyarakat melalui kegiatan bertani.

Sistem pengajian yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad tersebut merupakan perwujudan dari ajarannya yang menyeimbangkan antara ”hakekat” dan ”syari’at”. Sehingga dengan demikian segala peristiwa dalam kehidupan ini tetap terjadi menurut hukum sebab dan akibat.

Bukti besarnya perhatian Syekh Muhammad Arsyad dalam usaha pertanian tersebut adalah telah diwariskannya sebuah saluran air sepanjang kurang lebih 8 km yang digali atas gagasan dan pimpinan beliau, untuk mengalirkan air yang menggenangi tanah luas (baruh), sehingga baruh tersebut bisa dijadikan lokasi persawahan yang subur. Saluran air itu sekarang dikenal dengan nama ”Sungai Tuan”, artinya sungai yang penggaliannya digariskan oleh Tuan Guru Haji Besar, yakni gelar dari Syekh Muhammad Arsyad.

Kegiatan Syekh Muhammad Arsyad membimbing dan melatih anak didiknya dalam lapangan pertanian tersebut merupakan tindakan untuk memberi bekal anak didiknya untuk bisa menyusun penghidupan kelak. Dipilihnya lapangan tersebut dapat dikaitkan karena murid-muridnya tersebut umumnya berasal dari keluarga petani, sehingga kemanapun nantinya mereka tinggal dan berkeluarga mereka akan menemui jenis usaha tersebut, terutama dalam daerah Kalimantan Selatan sebagai daerah agraris.

Selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad menempuh suatu cara untuk menyebarkan sistem pengajian tersebut dengan mengharuskan setiap anak cucu dan muridnya yang telah mencapai kealiman untuk hidup berkeluarga dan tinggal menyebar ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Di mana mereka tinggal maka di tempat itupun kemudian berlangsung pula pengajian-pengajian. Demikianlah kemudian pengajian-pengajian yang diselenggarakan anak cucu Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya terdapat di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga terdapat di Pontianak Kalimantan Barat. Bahkan ada cucu beliau yang bernama Syekh Haji Abdurrakhman Siddiq yang menyelenggarakan pengajian sambil melakukan pembukaan tanah pertanian /perkebunan di Sapat-Tembilahan (Riaw).

Cara penyebaran ajaran Islam dengan menganjurkan anak cucu dan murid-muridnya yang telah mencapai kealiman untuk tinggal dan kawin mawin di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota Kerajaan Banjar waktu itu dapat dilihat dari:
Cucu beliau yang bernama Syekh Muhammad As’ad, yang kemudian juga diangkat sebagai Mufti pertama di Kerajaan Banjar, kawin dengan seorang perempuan Desa Balimau di Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Abu Talhah bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Pegatan (Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Abu Hamid bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Pontianak Kalbar.
Alimul Alamah Haji Ahmad beristeri dan mengajar di Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai Utara), kemudian juga di Desa Balimau- Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Muhammad Arsyad bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Desa Muara Sungai Pamintangan-Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Muhammad Thaib (Haji Sa’duddin) beristeri dan mengajar di Desa Hamawang-Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).

Seperti disebutkan di atas bahwa disamping menyelenggarakan pengajian Syekh Muhammad Arsyad dalam usaha penyebaran ajaran Islam juga telah menulis beberapa buah kitab agama dalam bahasa Melayu Banjar dengan aksara Arab. Kitab-kitab karya Syekh Muhammad Arsyad tersebut dapat di golongkan atas 3 kelompok:
Kitab-kitab Tauhid, yang bertujuan memantapkan keyakinan Iman dan Aqidah yang benar. Kitab-kitab tersebut adalah: a. Kitab Ushuluddin, b. Kitab Tuhfatur Raghibin.
Kitab-kitab Fiqh, yang membicarakan masalah-masalah ibadah dan amaliah, yakni tentang segala tindakan manusia baik yang mempunyai hubungan dengan Tuhan ataupun sesama manusia. Kitab-kitab ini adalah: a. Kitab Sabilall Muhtadin lit Tafaqquh fi Amriddin, b. Kitabun Nikah, c. Kitabul Faraid, d. Kitab Nustatul Ajlan, e. Kitab Hasyiah Fathil Jawab.
Kitab-kitab Tasauf, untuk mendapatkan kedamaian bathin dalam berhubungan dengan Tuhan. Kitab-kitab ini adalah: a. Kitab Kanzul Ma’rifah, b. Kitab Al Qaulul Mukhtashar.

Demikianlah dari sejumlah karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang kemudian telah tersebar luas hingga ke beberapa negara di Asia Tenggara tersebut, dapat diukur sampai dimana andil beliau dalam mengembangkan dan menyebarkan ajaraan-ajaran Islam.

Ulama besar orang (suku) Banjar yang dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari meninggal pada tahun 1227 H (1812 M) dan dimakamkan di Desa Kalampayan-Martapura (Kabupaten Banjar, Kalsel), dengan meninggalkan barisan ulama sebagai kelompok sosial yang mempunyai kedudukan khusus dalam masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. (Sumber: Buku Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Penyebar Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah, oleh Drs. H. Ramli Nawawi).

Minggu, 02 Oktober 2011

MENYIMAK PERJALANAN SEJARAH NEGARA NUSANTARA

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Timbul tenggelamnya negara-negara nasional seperti Sriwijaya dan Majapahit memberikan cerminan kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Bagaimana Sriwijaya dapat menjadi negara besar dengan wilayah yang luas, demikian pula Majapahit berhasil mengembangkan kebudayaan yang tinggi di Nusantara, bukanlah semua itu suatu kebetulan belaka.

Faktor kepemimpinan yang dimiliki raja-raja atau penguasa-penguasa pada zamannya tersebut merupakan motor ke arah kejayaan suatu bangsa. Berbanggalah kita mempunyai pelaut-pelaut yang ulung pada zamann Sriwijaya dan zaman Majapahit. Kita tidak kalah hebat dengan bangsa-bangsa lain, baik yang di barat maupun yang di timur. Bahkan bumi Nusantara yang dahulu dikenal sebagai zamberut khattulistiwa, memiliki kekayaan alam yang menarik bangsa-bangsa Barat untuk datang ke Nusantara.

Tidak akan ada Amerika dan Australia kalau tidak ada orang Portugis dan Sepanyol yang tertarik dan bertetap hati untuk mencari Nusantara tersebut. Demikianlah Nusantara yang jaya dan masyhur ditemukan oleh orang-orang Portugis. Bangsa Eropah yang mengalami perkembangan pengetahuan dan teknologi sama-sama merasa berkepentingan dengan hasil bumi Nusantara. Bangsa Barat berdatangan ke Nusantara, mereka berdagang. Portugis, Sepanyol, Inggeris, Belanda bersaing di bumi Nusantara.

Dalam perjalanan sejarah Nusantara ini kemudian ada pemimpin-pemimpin Indonesia yang tetap pada prinsif bahwa Nusantara harus tetap menjadi miliknya orang Indonesia. Tetapi prinsif ini tidak begitu saja tumbuh pada semua orang Indonesia. Kita hebat tapi kita tidak mengembangkan scient yang mampu menumbuhkan nasionalisme. Karena itu kita mudah dimuslihati.

Kecuali mereka yang mempunyai prinsif, selalu teguh dan membakar semangat orang-orang sekitarnya. Timbullah gerakan-gerakan perlawanan rakyat seperti yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Sultan Agung, Untung Surapati, Pangeran Antasari, Pangeran Diponegoro, dan lainnya yang mengangkat senjata. Mereka adalah pemimpin-pemimpin bersama rakyat yang teguh prinsif, bahwa Belanda penjajah harus diusir dari bumi Nusantara. Mereka para pemimpin rakyat ini kemudian hancur besama keteguhan hati mereka. Mereka pahlawan nasional, walaupun mereka bukan orang-orang yang mengantarkan Indonesia Merdeka secara langsung kepada generasi selanjutnya.

Negeri ini tidak kehabisan putera-putera terbaik yang hancur memepertahankan prinsif. Pada suatu kesempatan yang kemudian datang, anak bangsa ini bangkit serentak. Orang Timur tidak selalu kalah dengan orang Barat. Osterse Renaissance melahirkan pergerakan-pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya disusun secara modern dengan sistem organisasi. Kegagalan atau kekeliruan pimpinan tidaklah menghentikan perjuangan mencapai tujuan. Patah tumbuh hilang berganti. Prinsif, organisasi, kepemimpinan politik dan teknologi merupakan faktor-faktor dominan untuk menghadapi imperialisme dunia.

Demikianlah kemerdekaan ini tidak lahir begitu saja. Mungkin kemerdekaan Indonesia 1945 tidak akan ada tanpa ada putera-putra terbaik seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, Dr. Tijpto Mangunkusumo, Dr. Setia Budi, H. Saman Hudi, HOS Tjokroaminoto, Tan Malaka, Syahrir, Soekarno, Hatta, Sartono, M. Yamin, dan banyak lainnya yang tidak tersebutkan satu persatu.

Kemerdekaan negeri ini sangat mahal, ia ditebus dengan darah dan penderitaan. Revolusi telah mewariskan beribu makam pahlawan. Berjuta manusia yang rela mati karena meneriakkan kata “MERDEKA” atau menegakkan tiang dan melindungi kain berwarna “MERAH dan PUTIH”.

Tahukah Saudara untuk siapa mereka berbuat semua itu. Untuk kita semuanya, untuk diwariskan kepada generasi berikutnya, kepada kita dan anak cucu kita. Tidak ada suhada dan pahlawan yang mengucapkan pesan kepada kita. Kecuali kitalah yang harus bersikap, kemana Indonesia yang mahal ini akan kita bawa. Dan hanya mereka yang tidak mengenal sejarah yang tidak pernah mendengar bisikan semangat dan keteguhan hati patriot-patriot bangsa ketika menghadapi maut sebagai resiko perjuangannya. Mereka para pewaris kemerdekaan yang zalim lah yang saat ini tega menari-nari di atas bangkai perjuangan. (HRN: disusun dari berbagai sumber).

Jumat, 23 September 2011

UNSUR KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN


Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Kalimantan Selatan tidak hanya dihuni oleh suku bangsa Banjar. Ada pula suku bangsa Bakumpai yang mengaku dan diakui juga sebagai orang Banjar, tetapi mengembangkan bahasa sendiri (bahasa Bakumpai) yang berbeda sekali dengan bahasa Banjar. Juga di daerah pegunungan sebelah timur terdapat kelompok masyarakat terasing yang dinamakan orang Bukit, yang digolongkan kedalam suku Dayak. Penamaan orang Bukit ini lebih mengacu pada daerah tempat tinggal mereka yang berada di perbukitan.

Masyarakat suku Banjar yang merupakan penghuni terbesar di daerah ini menganut ajaran agama Islam yang kuat. Upacara keagamaan dapat dilihat baik pada acara-acara resmi pemerintah maupun yang dilakukan masyarakat umum.

Namun jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan, kebanyakan penduduknya menganut kepercayaan lama yang bersumber dari lingkungan kehidupan mereka sendiri. Kemudian datang agama Hindu dan dengan cepatnya berkembang di seluruh kawasan daerah Kalimantan Selatan. Agama ini menjadi anutan dan tuntunan kehidupan dengan mendirikan candi-candi sebagai manifestasi dari keberadaannya.

Bukti peninggalannya adalah situs bangunan Candi Agung yang terdapat di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara dan situs Candi Laras yang terletak di Margasari Kabupaten Tapin. Sehingga unsur kepercayaan yang dahulu pernah dianut masih juga tertinggal di masyarakat. Dalam beberapa hal unsur-unsur itu tercampur dalam kepercayaan menurut agama Islam. Tetapi selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, masih dikerjakan sebagai suatu tradisi yang wajar.

Sebagai penganut Islam yang taat, suku bangsa Banjar membangun tempat-tempat ibadah seperti Masjid, Langgar (Surau), dan tempat-tempat pendidikan Islam yang khusus dibangun oleh masyarakat setempat. Pengaruh agama Islam bergerak jauh ke pedalaman, yang juga ikut mempengaruhi mitologi rakyat dari suku bangsa yang ada.

Namun demikian seperti disinggung di atas, faktor kepercayaan lama pada zaman nenek moyang, yang bersumber pada unsur-unsur kosmologi tetap melekat baik secara disadari atau pun tidak. Memang sukar untuk mengukur sampai sejauh mana indikasi unsur kosmologi itu melekat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan, tapi hal itu masih dapat dilihat atau dirasakan dalam beberapa tindakan kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Kalimanatan Selatan yang hidup dalam lingkungan adat istiadat sepertinya juga tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan tindakan yang dilazimkan oleh adat. Misalnya, orang mau saja mengadakan atau melakukan sesuatu yang sudah menjadi suatu keharusan agar tidak mendapatkan kemurkaan atau kutukan dari yang dianggap mereka menciptakan peraturan yang sudah diadatkan tersebut.

Masyarakat Kalimantan Selatan baik sukubangsa Banjar maupun kelompok sukubangsa Dayak umumnya juga melaksanakan berbagai adat istiadat yang telah berpola, terutama upacara daur hidup. Contohnya, seorang isteri dari masa kehamilan pertama jika telah mencapai tujuh bulan diadakan acara mandi-mandi yang disebut “mandi tian mandaring”. Ketika lahir dilakukan palas bidan, bapalas “baayun”, diteruskan upacara tasmiah, sunatan. Setelah dewasa ada upacara perkawinan, yang didahului dengan serangkaian adat yang berlaku, mulai basusuluh, badatang, pelaksanaan akad nikah, sampai hari perkawinan penuh dengan aturan-aturan yang diadatkan.

Demikian pula halnya kematian, dilaksanakan serangkaian upacara yang telah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Dalam masyarakat suku Banjar upacara kematian berlangsung beberapa urutan, yaitu mulai turun tanah, meniga hari, menujuh hari, menyelawi, meampat puluh hari dan menyeratus. Dan setiap tahun dilaksanakan haulan. Tentu saja dalam kaitan ini dibacakan zikir dan doa kepada arwah yang meninggal secara Islam.

Dalam masyarakat sukubangsa Banjar juga mengenal adanya kelompok yang sangat kuat kesatuannya. Hal ini masih dapat ditemui hingga sekarang. Kesatuan itu biasa disebut dengan perkataan “bubuhan”, yang rasa kesatuan sosial dan sifat gotong royongnya kuat sekali.

Pengertian bubuhan kalau dalam ilmu Antropologi sama dengan keluarga luas, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari lebih dari keluarga inti yang seluruhnya merupakan sistem kesatuan sosial yang sangat erat yang biasanya tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan. Sejak zaman Hindia Belanda bubuhan-bubuhan tidak lagi tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan melainkan telah menyebar ke pemukiman yang saling berjauhan.

Biasanya seorang yang terpandang, mungkin karena memiliki kekayaan atau kedudukan yang tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian dipakai menjadi nama bubuhan, misalnya bubuhan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (penyebar ajaran Islam abad 18 di Kalimantan Selatan).

Diantara kelompok bubuhan ini ada ada yang percaya bahwa mereka dapat menarik garis keturuanan bilateral sampai tokoh zaman dahulu yang sulit ditelusuri silsilahnya dengan urut. Tokoh tersebut dipercaya menurunkan Sultan-Sultan Banjar atau seorang pejabat kesultanan. Kadang-kadang bubuhan mempunyai benda-benda pusaka yang menjadi lambang keunggulan, atau ada pula yang mempunyai sumber air (sumur) keramat yang berfungsi menghubungkan bubuhan dengan tokoh tertentu melalui dongeng atau legenda. Misalnya legenda sumur datu sebagai tempat Datu Taruna menyimpan harta pusaka.

Kepercayaan demikian itu selalu disertai dengan keharusan bubuhan yang bersangkutan untuk melakukan upacara tahunan yang disebut aruh tahun atau tradisi yang berlaku. Seperti yang pernah dilakukan kelompok masyarakat bubuhan turunan Datu Taruna di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah menyelenggarakan upacara “Manyanggar Banua” disertai berbagai keharusan atau pantangan sehubungan dengan kepercayaan tersebut (yang pernah penulis ikuti kegiatannya pada tahun 1980-an).

Pada beberapa kelompok bubuhan dengan setia melakukan aruh tahun walaupun tidak jelas adanya tokoh nenek moyang yang dapat ditelusuri asal muasalnya. Akan tetapi mereka yakin dengan menjiwai mantra atau mamangan tertentu merasa dapat berhubungan dengan nenek moyang mereka.

Selain itu bagi sebagian masyarakat sukubangsa Banjar hutan belantara, semak belukar dan gunung bukan semata-mata dihuni oleh makhluk bumi melainkan juga didiami oleh makhluk gaib, binatang gaib, datu dan sebagainya. Lingkungan kehidupan manusia merupakan personifikasi dunia gaib, sehingga di kalangan sebagian masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan untuk bumi rata adalah dunia bagi mahluk gaib yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah rawa dan lain sebagainya.

Adanya kepercayaan yang demikian itu bubuhan orang Banjar yang mendiami daerah tertentu mengadakan upacara setahun sekali, yaitu upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Para petani dalam lingkungan persawahan mengadakan selamatan padang atau menyanggar padang sebelum memulai kegiatan bertani. Para nelayan di pantai Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu setiap tahun menyelenggarakan Upacara Mapantari Tasi dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak di tahun mendatang. Demikian juga sebagai contoh lain para pendulang intan melaksanakan kegiatan selamatan (menyanggar) di lokasi pendulangan sebelum melaksanakan kegiatan pendulangan.

Demikianlah, kebudayaan dan adat istiadat yang ada dan tumbuh di Kalimantan Selatan cukup banyak variasinya sesuai dengan keadaan kelompok sukubangsa dan kepercayaan yang mereka anut. Meskipun sesungguhnya keberadaan budaya dan adat istiadat itu sudah diketahui, namun tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh semua pihak karena keterikatan pada pemahaman masing-masing individu dan kelompok. Apalagi jika budaya dan adat istiadat itu hendak dikaitkan dengan agama dan kepercayaan penganutnya secara murni dapat menimbulkan persoalan yang berbau SARA dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu diperlukan kearifan kita dalam memahaminya supaya kehidupan bermasyarakat selalu harmonis walaupun berbeda budaya, agama dan kepercayaan. (HRN: disusun dari berbagai sumber).