Kamis, 28 Januari 2010

Menyikapi Perbedaan dalam Islam

Sahabatku,
Agama Islam ialah agama yang mewajibkan kita kaum Muslimin di manapun juga, agar selalu hidup rukun, memegang teguh silaturrahmi dalam suasana persaudaraan. Karena itu sejauh mana ada perbedaan-perbedaan dalam Islam sepatutnyalah ditanggapi dengan “husnuzh-zhan” (prasangka yang baik).

Banyak kasus perpecahan dalam Islam karena perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis oleh para ulama. Sehingga timbul bermacam-macam aliran dalam Islam. Semua itu sudah diprideksi oleh Rasulullah sewaktu beliau masih hidup, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh beberapa perawi Hadis, seperti : Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al Hakim: Wataparraqa ummati ‘ala salasa wa sab’ina farqah (Dan umatku terpecah menjadi 73 golongan).

Bahkan ada Hadis lain yang berkaitan dengan perpecahan tersebut Yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Al Hakim, yang menerangkan bahwa dari 73 farqah tersebut: hum fin naar, illa millati wahidah (mereka di dalam neraka, kecuali satu millah). Dan ketika para sahabat bertanya: Millah yang mana ya Rasulullah?, Beliau menjawab: ma ana ‘alaihi wa ashabi (yang aku berada di atasnya dan juga para sahabatku. Lalu bagaimana sikap farqah-farqah tersebut. Semua menyatakan bahwa farqah merekalah yang dimaksudkan Nabi bersama beliau dalam Hadis tersebut.

Sahabatku,
Pemerintah kita pernah menjadi tuan rumah Konferensi Negara-Negara Islam (2007) dalam rangka mencari sulosi perdamaian di Iraq sehubungan dengan terjadinya pertentangan antara Muslim Suny dan Muslim Syiah. Pertentangan paham golongan di Iraq yang sudah bermuatan politik tersebut telah melahirkan perang fisik yang banyak menimbulkan qurban jiwa. Padahal sebanyak apapun golongan paham dalam Islam, Rasululullah s.a.w. seperti Hadis tersebut di atas, tetap menyebut semuanya sebagai “ummatii”, kalimat yang menjamin bahwa semuanya akan mendapatkan safaat (perlindungan) pada hari perhitungan ketika semua manusia dibangkitkan kembali dari kuburnya nanti. Sehingga mereka yang tergolong dalam ummati Muhammad dimaksud tidaklah seburuk nasibnya orang-orang Nasrani dan Yahudi.

Lalu siapakah orang-orang yang akan dihukum Allah dengan siksa yang pedih, mereka adalah orang-orang yang secara sengaja dan jelas-jelas melanggar apa yang diharamkan Allah. Misalnya keharaman minuman khamar (minuman keras), berzina, membunuh nyawa orang yang bukan haknya, mencuri, berkhianat, dan seterusnya, serta secara sengaja meninggalkan segala yang dipardhukan oleh Allah. Semua itu adalah keharaman yang sudah muttafaqun alaih (sudah diketahui) oleh semua lapisan umat Islam. Mereka tahu bahwa semua itu haram, tapi tetap melakukannya. Kalau jenis dosa seperti itu tetap dilakukan, dengan sengaja, dengan sadar, dan tahu risikonya, maka orang-orang seperti itulah yang akan disiksa di neraka.

Saudaraku,
Lalu bagaimana dengan hukum yang masih menjadi perdebatan para ulama. Sebagian ulama mengatakan haram, tetapi sebagian mengatakan halal, sementara kedua pendapat itu berangkat dari hasil ijtihad, lantaran dalilnya masih mengandung hal-hal yang bisa ditafsirkan berbagai pemahaman.

Dalam masalah hilafiah ini, di mana aturannya tidak jelas dan masih multi tafsir, maka Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tidaklah menghakimi hambanya dengan semena-mena. Siapakah seorang Mujtahid yang boleh diikuti fatwanya. Tentunya setiap orang awam seperti kita tidak ada kewajiban untuk melakukan ijtihad sendiri. Sebab syarat sebagai seorang mujtahid tidak atau belum terpenuhi pada diri kita.

Menurut ulama besar Imam An Nawawi dan Ibnu Hajar, untuk dalil-dalil yang multi tafsir ijtihad halal dilakukan oleh para ulama mujtahid yang mu’tabar (diakui kapasitasnya). Sedangkan bagi kaum awam dibolehkan mengikuti fatwa para ulama mujtahid yang mu’tabar dimaksud. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah An Nahal Ayat 43: Fas aluu ahlaz zikri in kuntum laa ta’ lamun, artinya: maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (mujtahid/ulama) jika kamu tidak mengetahui. Dalam hal ini Allah tidak mengatakan: “Bertanyalah kepada orang yang pasti benar ijtihadnya”. Karena kita telah bertanya kepada mujtahid (ulama), kita telah mengikuti firman Allah, maka kita sudah dapat pahala.

Perkara ijtihadnya seorang ulama mu’tabar salah, maka tidak ada ayat Al Qur’an dan Hadis yang menyebutkan bahwa salahnya ijtihad para ulama akan melahirkan dosa dan siksa. Sedangkan yang akan mendapat siksa itu adalah orang dengan kapasitas bukan mujtahid, tapi berlagak sebagai mujtahid dan salah.

Sahabatku,
Berikut ada dua masalah hilafiah penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis di antara banyak masalah yang berkembang di kalangan masyarakat Muslim di negeri kita.

Pertama: penafsiaran Hadis yang diriwayatkan Bukhari yang berbunyi: “Maa aspala minal ka’baini minal izari fa fin naar” (Sarung yang dipakai hingga bawah mata kaki, maka yang demikian di dalam neraka). Hadis ini diberi keterangan: Keputusan yang demikian menurut sabda Nabi tersebut karena merupakan satu tanda kesombongan.

Keterangan tersebut terkait dengan Hadis lain yang diriwayatkan Bukhari-Muslim, yang berbunyi: ” Laa yanzurul laahu yaumal kiyaamati ilaa man jarraa-i zaazahu bathara (n)”, (Allah tidak akan melihat pada hari kiamat terhadap seseorang yang menarik (menyeret) sarungnya untuk kesombongan).

Terhadap kedua Hadis yang berkaitan ini telah lama terdapat hilafiah antara para ulama. Sebagian ulama mengharamkan secara mutlak sarung atau celana yang ujungnya di bawah mata kaki, tanpa memperhatikan niat dan motivasinya. Sementara sebagian ulama lainnya mengharamkannya selama niat dan motivasi riya ikut mengiringinya, tapi tidak mengharamkannya bila tanpa disertai rasa sombong.

Perbedaan pemahaman tersebut adalah hilafiah para ulama yang masing-masing diikuti pendapatnya. Bagi kita orang awam seyogianyalah dapat memahami dan bisa menghargai.

Saudaraku,
Masalah lain yang juga banyak dipertanyakan adalah tentang ayat Al Qur’an, Surah Al Waqiah ayat: 79, yang berbunyi: “ Laa yamassuhu illal mutahharun” (Tidaklah menyentuhnya ( Al Qur’an) kecuali mereka yang disucikan).

Di antara ulama yang mengharuskan berwudhu sebelum menyentuh mushaf Al Qur’an adalah Imam Abu Hanifa, Imam Malik, dan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Sedangkan para ulama dari kalangan Mazhab Zhahiri tidak mengharuskan berwudhu untuk menyentuh mushaf Al Qur’an.

Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pendekatan. Kelompok yang mengharuskan berwudhu, menafsirkan kata “al muthahharun’ (mereka yang disucikan), kata mereka dalam ayat ini yang dimaksud adalah manusia, dan lafadz “laa yamassuhu” bernilai larangan, bukan sekedar pemberitahuan. Jadi kesimpulan hukumnya menurut kelompok ini adalah manusia tidak boleh menyentuh mashaf Al Qur’an kecuali bila telah disucikan, yakni orang tersebut sudah berwudhu. Termasuk Al Qur’an yang dilengkapi dengan terjemahannya, karena masih ada lafadz arabnya, menyentuhnya harus dengan bersuci.

Sementara kelompok yang tidak mewajibkan wudhu menfsirkan kata al-muthahharun (mereka yang disucikan), kata mereka yang dimaksud dalam ayat ini adalah para malaikat, sehingga tidak ada kewajiban bagi manusia untuk berwudhu ketika menyentuh mushaf Al-Qur’an. Selain itu lafadz laa yamassuhu tidak bernilai larangan melainkan bernilai pemberitahuan bahwa tidak ada yang menyentuh Al Qur’an selain para malaikat. Maka tidak ada larangan apapun bagi seseorang untuk menyentuh mushaf meski tidak dalam keadaan berwudhu.

Perbedaan pemahaman tersebut adalah hilafiah para ulama yang masing-masing diikuti pendapatnya. Juga seyogianyalah kita saling memahami dan menghargai adanya perbedaan-perbedaan tersebut.

Uraian tentang lahirnya perbedaan-perbedaan dalam kalangan kaum Muslimin diuraikan lebih jauh bisa didapatkan dalam Era Muslim. Kita angkat hal ini dengan harapan semoga kita menjadi kaum Muslimin yang selalu memelihara persatuan sesama Muslim. (HRN).

Tidak ada komentar: