Disusun: Ramli Nawawi
Bagi kita umat yang beriman kepada Allah, dalam menjalani kehidupan ini dituntut untuk berikhtiar di samping berdo’a. Allah SWT juga mengisyaratkan kepada kita, bahwa Allah akan mengabulkan do’a kita, seperti firmannya dalam Surah Almu’min 60:
"Berdoalah kamu kepadaKu, niscaya Aku perkenankan permintaanmu”.
Tapi bukankah banyak orang yang merasa doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Rasulullah SAW juga sejak dulu sudah menduga tentang adanya orang-orang yang merasa doanya tidak dikabulkan, seperti sabdanya:
Bagi kita umat yang beriman kepada Allah, dalam menjalani kehidupan ini dituntut untuk berikhtiar di samping berdo’a. Allah SWT juga mengisyaratkan kepada kita, bahwa Allah akan mengabulkan do’a kita, seperti firmannya dalam Surah Almu’min 60:
"Berdoalah kamu kepadaKu, niscaya Aku perkenankan permintaanmu”.
Tapi bukankah banyak orang yang merasa doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Rasulullah SAW juga sejak dulu sudah menduga tentang adanya orang-orang yang merasa doanya tidak dikabulkan, seperti sabdanya:
"Padahal doamu itu akan dikabulkan, tapi ketika belum terlaksana, orang itu akan berkata: Sudah sering aku berdoa, tapi belum juga dikabulkan".
Ketika kita berdoa kepada Allah kita tentu tahu tata cara yang dicontohkan Rasulullah. Disamping itu mari kita perhatikan pesan seorang sufi yang bernama Ibrahim bin Adham. Sufi dari Persia yang meninggal tahun 165 H (782 M) ini, sebelumnya adalah seorang bangsawan Negeri Balkah, yang meninggalkan negerinya kemudian hidup bersama orang-orang miskin yang tinggal di pinggiran kota Mekah, karena semata-mata untuk hidup berhalwat yang sempurna guna mendapatkan cinta Allah SWT.
Ketika kita berdoa kepada Allah kita tentu tahu tata cara yang dicontohkan Rasulullah. Disamping itu mari kita perhatikan pesan seorang sufi yang bernama Ibrahim bin Adham. Sufi dari Persia yang meninggal tahun 165 H (782 M) ini, sebelumnya adalah seorang bangsawan Negeri Balkah, yang meninggalkan negerinya kemudian hidup bersama orang-orang miskin yang tinggal di pinggiran kota Mekah, karena semata-mata untuk hidup berhalwat yang sempurna guna mendapatkan cinta Allah SWT.
Ketika para sahabatnya bertanya tentang doa yang tidak diterima Allah, Ibrahim bin Adham bekata: ”Hati kalian telah mati karena 10 perkara”:
1. Kamu mengaku mengenal Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajiban kepadanya.
2. Kamu mengenal Al Qur’an, tapi tidak membacanya dan mengamalkan isinya.
3. Kamu mengaku cinta kepada Rasulullah SAW, tapi kamu tinggalkan sunahnya.
4. Kamu menyatakan bermusuhan dengan syaitan, tetapi kamu ikuti ajakannya.
5. Kamu ingin masuk surga, tetapi tidak sungguh-sungguh dalam beramal untuk memasukinya.
6. Kamu ingin selamat dari siksa neraka, tetapi kamu melemparkan dirimu sendiri ke dalamnya.
7. Kamu sibuk mengoreksi aib orang lain, tapi kamu tidak mau mengoreksi aib kamu sendiri.
8. Kamu tahu kematian itu pasti datang, tetapi kamu tidak mempersiapkan diri untuk itu.
9. Kamu menguburkan orang-orang mati, tetapi kamu tidak mengambil pelajaran dari mereka.
10. Kamu telah diberi berbagai nikmat oleh Allah SWT, tetapi kamu tidak mensyukurinya.
Mengapa Ibrahim bin Adham meninggalkan kebangsawanannya dengan kehidupan dunia yang gemerlap, ketika para sahabatnya yang bertanya sesudah mengetahui asal-usulnya. Ibrahim berkata: "Suatu hari aku memegang sebuah cermin. Tiba-tiba saja dalam cermin aku melihat sebuah kuburan yang di dalamnya tidak ada yang aku kenal. Kemudian aku harus menempuh suatu perjalanan jauh yang terbentang di hadapanku, padahal aku tidak punya bekal apa-apa. Kemudian aku melihat seorang hakim yang adil, sedangkan aku tidak mempunyai seorangpun yang membela diriku. Karena itulah aku kemudian benci terhadap kebangsawananku dengan segala kemewahannya”.
8. Kamu tahu kematian itu pasti datang, tetapi kamu tidak mempersiapkan diri untuk itu.
9. Kamu menguburkan orang-orang mati, tetapi kamu tidak mengambil pelajaran dari mereka.
10. Kamu telah diberi berbagai nikmat oleh Allah SWT, tetapi kamu tidak mensyukurinya.
Mengapa Ibrahim bin Adham meninggalkan kebangsawanannya dengan kehidupan dunia yang gemerlap, ketika para sahabatnya yang bertanya sesudah mengetahui asal-usulnya. Ibrahim berkata: "Suatu hari aku memegang sebuah cermin. Tiba-tiba saja dalam cermin aku melihat sebuah kuburan yang di dalamnya tidak ada yang aku kenal. Kemudian aku harus menempuh suatu perjalanan jauh yang terbentang di hadapanku, padahal aku tidak punya bekal apa-apa. Kemudian aku melihat seorang hakim yang adil, sedangkan aku tidak mempunyai seorangpun yang membela diriku. Karena itulah aku kemudian benci terhadap kebangsawananku dengan segala kemewahannya”.
Ibrahim kemudian meninggalkan negerinya, dan bekerja apa saja utk mendapatkan rezki yang halal. Ia bahkan hidup di antara orang-orang miskin di pinggiran kota Mekah.
Ketika Ibrahim meninggalkan Balkah negerinya, ia meninggalkan anaknya yang masih menyusu. Anak yang kemudian tumbuh sebagai seorang pemuda ini menanyakan kepada ibunya tentang bapaknya. Ibunya mengatakan kalau bapaknya telah meninggalkannya. Karena itu pemuda ini kemudian mengajak beberapa orang Balkah untuk menemaninya pergi berhaji ke Mekah sekalian untuk berdoa kepada Allah semoga dipertemukan dengan ayahnya.
Ketika sampai di Mekah, di pintu masjid pemuda dan rombongannya bertemu dengan serombongan sufi. Pemuda ini bertanya apakah mereka mengenal orang yang bernama Ibrahim bin Adham. Salah seorang menjawab, Ibrahim bin Adham adalah sahabat mereka, ia sedang mencari makanan untuk menjamu mereka. Pemuda minta diantar ke tempat Ibrahim. Pemuda lalu dibawa ke bagian kota Mekah yang dihuni orang-orang miskin. Di situ pemuda ini melihat Ibrahim tanpa alas kaki dan tanpa tutup kepala sedang memikul kayu bakar. Berlinang air mata pemuda itu, tapi ia kendalikan dirinya. Ia buntuti ayahnya sampai ke pasar. Sampai di pasar ayahnya menawarkan kayu bakar untuk ditukar dengan beberapa roti. Roti itu dibawa ayahnya dan disuguhkannya kepada para sahabatnya.
Ketika sampai di Mekah, di pintu masjid pemuda dan rombongannya bertemu dengan serombongan sufi. Pemuda ini bertanya apakah mereka mengenal orang yang bernama Ibrahim bin Adham. Salah seorang menjawab, Ibrahim bin Adham adalah sahabat mereka, ia sedang mencari makanan untuk menjamu mereka. Pemuda minta diantar ke tempat Ibrahim. Pemuda lalu dibawa ke bagian kota Mekah yang dihuni orang-orang miskin. Di situ pemuda ini melihat Ibrahim tanpa alas kaki dan tanpa tutup kepala sedang memikul kayu bakar. Berlinang air mata pemuda itu, tapi ia kendalikan dirinya. Ia buntuti ayahnya sampai ke pasar. Sampai di pasar ayahnya menawarkan kayu bakar untuk ditukar dengan beberapa roti. Roti itu dibawa ayahnya dan disuguhkannya kepada para sahabatnya.
Pemuda ini tidak langsung menemui ayahnya, karena tentu ayahnya tidak mengenalnya. Karena itu ia segera kembali ke Balkah untuk mengajak ibunya untuk menjemput ayahnya. Tapi ibunya menasihatinya agar menemuinya nanti pada saat melaksanakan ibadah haji.
Musim haji berikutnya pemuda dan ibunya berhaji ke Mekah. Pada saat melaksanakan tawaf pemuda tersebut bertemu dengan Ibrahim. Pemuda itu mendekatinya, dan Ibrahim terkesima memperhatikan pemuda tersebut. Habis tawaf teman Ibrahim bertanya mengapa ia memperhatikan pemuda itu. Ibrahim menjelaskan, ia yakin pemuda itu anaknya yang dulu ditinggalkannya.
Esoknya teman Ibrahim mencari pemuda itu. Ia bertanya apakah pemuda itu dari Balkah, dijawab ya. Siapa nama ayahmu, dijawab pemuda bahwa ayahnya bernama Ibrahim bin Adham.
Teman Ibrahim membawa pemuda itu bersama ibunya menemui Ibrahim yang sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya di pojok ka’bah. Begitu sampai, ibunya tak sabar dan berteriak: "inilah ayahmu". Tapi pemuda itu dapat menguasai dirinya, ia mengucapkan salam kepada ayahnya. Ibrahim menjawab salamnya dan merangkulnya, sambil bertanya:
Agama apa yang kau anut, pemuda itu menjawab Islam. “Alhamdulillah, apa kamu dapat membaca Al Qur’an, di jawab: dapat. “ Alhamdulillah, apakah sudah mendalami agama mu itu, dijawab sudah.
Musim haji berikutnya pemuda dan ibunya berhaji ke Mekah. Pada saat melaksanakan tawaf pemuda tersebut bertemu dengan Ibrahim. Pemuda itu mendekatinya, dan Ibrahim terkesima memperhatikan pemuda tersebut. Habis tawaf teman Ibrahim bertanya mengapa ia memperhatikan pemuda itu. Ibrahim menjelaskan, ia yakin pemuda itu anaknya yang dulu ditinggalkannya.
Esoknya teman Ibrahim mencari pemuda itu. Ia bertanya apakah pemuda itu dari Balkah, dijawab ya. Siapa nama ayahmu, dijawab pemuda bahwa ayahnya bernama Ibrahim bin Adham.
Teman Ibrahim membawa pemuda itu bersama ibunya menemui Ibrahim yang sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya di pojok ka’bah. Begitu sampai, ibunya tak sabar dan berteriak: "inilah ayahmu". Tapi pemuda itu dapat menguasai dirinya, ia mengucapkan salam kepada ayahnya. Ibrahim menjawab salamnya dan merangkulnya, sambil bertanya:
Agama apa yang kau anut, pemuda itu menjawab Islam. “Alhamdulillah, apa kamu dapat membaca Al Qur’an, di jawab: dapat. “ Alhamdulillah, apakah sudah mendalami agama mu itu, dijawab sudah.
Setelah itu Ibrahim melepaskan pelukannya, ia hendak pergi. Tapi anaknya tak mau melepaskannya. Ibunya menjerit. Tapi Ibrahim menengadahkan tangannya dan berseru: “Ya Allah selamatkanlah diriku ini”. Seketika itu juga apa yang terjadi, anaknya yang disayanginya dan menimbulkan rasa cintanya kepada anaknya yang ada dalam rangkulannya tersebut sesaat kemudian menemui ajalnya. Anak tersebut dengan tenang menghembuskan napasnya yang terakhir.
Ketika semua acara pemakaman anak tersebut telah selesai, seorang sahabat Ibrahim bertanya tentang meninggalnya anaknya tersebut kepada Ibrahim: mengapa hal itu terjadi. Ibrahim berkata: “Ketika aku merangkul anakku, timbul rasa cintaku kepadanya. Bersamaan dengan itu aku mendengar suara menyeru kepadaku: Engkau telah mencintai seseorang di samping Aku Tuhanmu, padahal engkau pernah menasihati teman-temanmu untuk tidak memandang wajah wanita dan anak-anak. Tetapi engkau sendiri lebih tertarik pada wanita dan pemuda itu.
Mendengar itu aku berdoa: Ya Allah selamatkanlah aku ini. Anak itu akan merenggut seluruh perhatianku, sehingga aku tidak dapat sepenuhnya mencintai Mu lagi Tuhan ku. Cabutlah nyawa anakku ini, atau cabutlah nyawaku sendiri. Dan rupanya kematian anakku tersebut merupakan jawaban doa ku tersebut".
Itulah pendirian seorang sufi yang tidak mau membagi cintanya kepada Allah SWT, meski itu kepada anak dan isterinya sendiri. Doanya selalu didengar oleh Allah.
Ketika semua acara pemakaman anak tersebut telah selesai, seorang sahabat Ibrahim bertanya tentang meninggalnya anaknya tersebut kepada Ibrahim: mengapa hal itu terjadi. Ibrahim berkata: “Ketika aku merangkul anakku, timbul rasa cintaku kepadanya. Bersamaan dengan itu aku mendengar suara menyeru kepadaku: Engkau telah mencintai seseorang di samping Aku Tuhanmu, padahal engkau pernah menasihati teman-temanmu untuk tidak memandang wajah wanita dan anak-anak. Tetapi engkau sendiri lebih tertarik pada wanita dan pemuda itu.
Mendengar itu aku berdoa: Ya Allah selamatkanlah aku ini. Anak itu akan merenggut seluruh perhatianku, sehingga aku tidak dapat sepenuhnya mencintai Mu lagi Tuhan ku. Cabutlah nyawa anakku ini, atau cabutlah nyawaku sendiri. Dan rupanya kematian anakku tersebut merupakan jawaban doa ku tersebut".
Itulah pendirian seorang sufi yang tidak mau membagi cintanya kepada Allah SWT, meski itu kepada anak dan isterinya sendiri. Doanya selalu didengar oleh Allah.
Bagi kita sebagai mukmin dan mukminat tentu saja tidak atau belum selevel Ibrahim bin Adham, kita tentu menyayangi dan mencintai anak-anak dan keluarga kita, karena mereka adalah titipan Allah SWT, tetapi jangan pula kecintaan dan kesayangan tersebut menjadi hambatan bagi kita untuk menunaikan segala kewajiban kita kepada Allah SWT, karena anak-anak dan keluarga kita tersebut, di samping mereka selain titipan Allah SWT juga merupakan ujian terhadap keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
.
Demikianlah sekilas tentang seorang sufi yang hidup di abad VIII di negeri Persia. Di akhir hayatnya Ibrahim bin Adham terbunuh syahid ketika mengikuti angkatan laut yang melakukan penyerangan Bizantium sekitar tahun 782 M. Catatan: naskah disarikan dari berbagai sumber(ramlinawawiutun.blogspot.com)
.
Demikianlah sekilas tentang seorang sufi yang hidup di abad VIII di negeri Persia. Di akhir hayatnya Ibrahim bin Adham terbunuh syahid ketika mengikuti angkatan laut yang melakukan penyerangan Bizantium sekitar tahun 782 M. Catatan: naskah disarikan dari berbagai sumber(ramlinawawiutun.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar