Rabu, 24 Maret 2010

PERIHAL KOMUNITAS ORANG BANJAR DI YOGYAKARTA

Makalah pada Kongres Budaya Banjar II

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

I. PENDAHULUAN

Komunitas orang Banjar (Kalimantan Selatan) yang berdomisili di Propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarat) saat ini diperkirakan ribuan orang lebih . Secara pasti jumlahnya memang sulit untuk diinventarisir dari data kependudukan. Orang Banjar yang berdomisili di propinsi ini mereka memang terpencar di berbagai lokasi di DIY. Secara umum di berbagai Kabupaten / Kodya terdapat keluarga asal Banjar. Tetapi yang terbanyak terdapat di Kodya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Orang Banjar yang berdomisili di Propinsi DIY ada yang merupakan komunitas pendatang yang secara beransur-ansur datang ke daerah kesultanan ini sudah ratusan tahun yang lalu. Mereka adalah para pedagang Banjar yang lama kelamaan kemudian menetap tinggal di DIY. Kelompok lain adalah para pedagang baik yang membuka usaha dagang kayu bangunan asal Kalimantan atau mereka yang membuka rumah makan atau warung masakan Banjar, serta para pegawai negeri baik yang dipindahtugaskan ke daerah ini, atau memang mereka yang diangkat sebagai pegawai negeri dan dosen termasuk para karyawan swasta yang ada di wilayah DIY. Selain itu ada pula ratusan mahasiswa dan mahasiswi asal Kalimantan Selatan yang tinggal dan berstudy di DIY. Keseluruhan orang Banjar yang berdomisili di DIY kecuali sebagian mahasiswa umumnya sudah ber KTP DIY.

Khusus bagi komunitas orang Banjar sebagai pedagang, yang datang di Yogyakarta sebagai para pedaggang intan pada ratusan tahun yang lalu, sampai saat ini mereka masih berdomisili di tempat perkampungan-perkampungan mereka dulu seperti di Kampung Katandan yang terletak tidak jauh dari pusat perekonomian Pasar Beringharjo. Selain itu komunitas pertama orang Banjar ini masih terdapat di Kampung Suryatmajan, Kauman, Tegalpanggung, Gembelaan, Cokrodirjan, juga secara sporadis ada di beberapa kampung lainnya.
Kelompok komunitas pendatang pertama ini umumnya mereka selain kawin mawin dengan sesama warga asal Banjar, juga sudah berkawin mawin dengan penduduk asli setempat. Saat ini Komunitas oarang Banjar pendatang pertama ini umumnya mereka adalah warga Banjar yang sudah lahir di bumi perantauan ini.

Berbeda dengan orang Banjar yang datang di DIY yang membuka usaha dagang kayu bangunan dan warung-warung masakan Banjar atau sebagai pegawai negeri dan dosen serta karyawan-karyawan swasta, walaupun mereka juga ber KTP DIY, umumnya mereka masih utuh sebagai keluarga Banjar yang berada di perantauan. Demikian juga para mahasiswa dan mahasiswi asal Banjar, umumnya mereka masih tinggal berkelompok sesama asal Banjar. Seperti yang tinggal di asrama-asrama Kalsel, atau yang tinggal di rumah-rumah kost-kost-an milik warga asal Banjar.

Warga Banjar di DIY ini secara sosial masih berinteraksi sesama warga perantau, umumnya melalui kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan. Kakabayo (Karukunan Kulawarga Banjar-Yogya) selalu mengadakan kegiatan pengajian rutin bulanan khusus warga Banjar. Warga Banjar juga umumnya senantiasa bertakziah manakala ada warga Banjar di DIY yang meninggal dunia.

Secara khusus warga Banjar yang tergabung dalam organisasi Kakabayo ini setiap tahun setelah Idul Fitri selalu menyelenggarakan pertemuan akbar dalam acara Halal Bilhalal warga Banjar yang berdomisili di Yogyakarta. Acara ini biasanya di hadiri pula oleh para pejabat di daerah Kalimantan Selatan, seperti Gubernur dan beberapa Bupati / Walikota dari Kalimantan Selatan.

II. SEJARAH MASUKNYA ORANG BANJAR KE KESULTANAN YOGYAKARTA

Sejak berdirinya Kerajaan Banjar sudah banyak pedagang Banjar yang berlayar membawa dagangan hasil bumi ke pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Kemampuan orang Banjar membuat jung atau kapal dari bahan kayu ulin, memberikan banyak kesempatan bagi para pedagang Banjar untuk berlayar membawa dagangan mereka ke tempat tujuan. Jiwa dagang orang Banjar konon merupakan warisan dari nenek moyang orang Banjar yang datang dari Negeri Keling, Empu Jatmika dari kasta Waisye (pedagang) mencari tanah yang panas dan wangi.

Para pedagang Banjar tersebut umumnya sudah mempunyai hubungan tetap dengan pedagang-pedagang dari luar seperti dari Jawa, Makasar, Melayu, Cina dan Arab. Jenis barang dagangan yang dibawa pedagang Banjar ke luar Kalimantan atau yang dibeli pedagang dari luar adalah berupa hasil perkebunan rakyat seperti kopra, karet dan lada. Hasil hutan yang juga dijualbelikan adalah rotan dan damar. Sementara untuk hasil kebun rakyat berupa karet dan kopi. Sedangkan dari hasil tambang yang banyak terdapat di Kalimantan Selatan seperti batu bara, serbuk emas, biji besi, tembaga, dan yang banyak dijual pedagang Banjar ke berbagai kota di Jawa adalah intan dan berlian.

Intan yang dijual ke Jawa bahkan ke Singapura itu, ditambang oleh penduduk yang umumnya bermukim di lokasi-lokasi yang tanahnya mengandung intan. Tempat-tempat yang terkenal sejak dulu banyak mengandung intan terdapat di daerah Martapura (Kabupaten Banjar), seperti di Desa Cempaka, Karang Intan, Awang Bangkal, Sungai Besar dan Matraman. Sejak dulu pula di lokasi-lokasi tersebut terdapat kegiatan pendulangan oleh penduduk yang dilakukan secara berkelompok.

Mendulang intan memerlukan kesabaran dan keuletan. Kelompok pendulang yang beranggotakan biasanya 5 orang untuk mengerjakan satu lubang, kadang-kadang berbulan-bulan tidak mendapatkan satu biji intanpun. Namun biasanya mereka tidak berputus asa, hingga akhirnya dapat juga beberapa butir intan mentah. Umumnya hasil penjualan yang didapat para pendulang tidak seberapa, kecuali mereka mendapatkan biji intan yang beratnya berpuluh-puluh karat, dan hal itu jarang terjadi.

Lain halnya dengan para pedagang intan dan berlian, mereka umumnya orang-orang berduit yang punya modal, atau setidak-tidaknya sebagai seorang sales kepercayaan dari seorang pebisnis intan dan berlian dari kota Martapura atau Banjarmasin. Para pedagang intan dan berlian yang memasarkan barang-barang tersebut dengan secara langsung menawarkan kepada pembeli, mereka disebut penggurijaan.

Para penggurijaan umumnya hanya bermodal kecil, barang yang mereka bawa seperti intan dan berlian juga perhiasan emas lainnya umumnya barang titipan dari para pedagang kaya. Di samping para pedagang kaya banyak pula para penggurijaan yang membawa intan dan berlian untuk dipasarkan ke kota-kota besar di luar Kalimantan. Kota-kota yang banyak dikunjungi para pedagang Banjar tersebut seperti Surabaya, Semarang, Jakarta, Bandung dan Surakarta.

Khusus tentang kedatangan para pedagang intan dan berlian dari Martapura dan Banjarmasin ke Surakarta (Solo) di Jawa Tengah, perdagangan mulai ramai sejak kota ini menjadi ibukota Kerajaan Mataram (1746). Para pedagang intan dan berlian yang datang ke Surakarta menjadi bertambah ramai ketika para penggurijaan Banjar banyak pula yang datang mengadu nasib ke kota Kesunanan tersebut.

Para penggurijaan yang mencari pembeli untuk mendapatkan harga yang menguntungkan biasanya harus tinggal berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan di kota Surakarta. Karena itu banyak kemudian para penggurijaan mengontrak rumah, atau bahkan kemudian mereka membeli atau membangun rumah di kota Surakarta ini. Demikian lama berlangsung sehingga akhirnya banyak orang Banjar yang kemudian bermukim di kota Surakarta.

Di Surakarta (Solo) terdapat Kampung Jayengan, sebuah perkampungan warga Banjar. Salah seorang pedagang intan asal Martapura yang merintis lahirnya Kampung Jayengan bernama Anang Atu. Kegiatan jual beli intan ini kemudian diteruskan oleh anaknya bernama Haji Yusuf yang kemudian membangun gudang penggosokan intan di Kampung Jayengan. Gudang Penggosokan intan tersebut bernama Penggosokan Intan M. Saleh Yusuf, diambil dari nama anaknya Muhammad Saleh.

Muhammad Saleh juga setelah menamatkan sekolahnya di Mambaul Ulum Solo, meneruskan usaha orang tuanya mengelola penggosokan intan M. Saleh Yusuf yang dibangun orang tuanya. Muhammad Saleh juga giat memasarkan berlian hasil penggosokannya, berkeliling ke kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan Yogyakarta.

Para penggurijaan intan dan berlian dari Banjar khususnya dari Martapura yang sebelumnya mundar-mandir menjual batu-batu permata ke Surakarta (Solo), kemudian banyak yang meneruskan perjalanannya ke kota Yogyakarta, setelah kota ini menjadi ibu kota Kesultanan Ngayogyakarta. Kerajaan Mataram Surakarta berdasarkan Perjanjian Gianti (1755) dibagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta. Sebagai sultan pertama di Kesultanan Ngayogyakarta dijabat oleh Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.

Seperti halnya Surakarta (Solo) ibukota Kerajaan Mataram yang sebelumnya merupakan tempat tujuan para pedagang intan dan berlian, maka sejak berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta, maka Yogyakarta pun semakin ramai dikunjungi para pedagang dan penggurijaan intan, termasuk juga para pedagang intan dan berlian dari Belanda. Di samping itu dari keluarga keraton sendiri banyak yang suka mengoleksi batu-batu permata.

Situasi kehidupan dagang di Yogyakarta yang semakin ramai akhirnya mengundang pedagang-pedagang intan dan berlian dari Martapura dan Banjarmasin semakin banyak datang ke Yogyakarta. Di antara beberapa pedagang dari Banjar ini sudah mulai ada pula yang menetap di Yogyakarta. Mereka umumnya tinggal di kawasan Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo, di mana sehari-hari mereka melakukan jual beli barang dagangannya.

Para pedagang intan dari Banjar yang telah tinggal di Yogyakarta tersebut beberapa orang juga sudah melakukan usaha penggosokan intan secara tradisional di rumah-rumah mereka. Kegiatan penggosokan intan tersebut terdapat di beberapa rumah warga Banjar yang bermukim di kampung Katandan.

Dengan semakin ramainya perdagangan intan dan berlian serta batu-batu permata lainnya di Yogyakarta, semakin ramai pula para pedagang intan dari Banjar yang datang membawa dagangannya. Sehingga memasuki tahun 1900-an sudah banyak orang Banjar yang menetap di beberapa kampung di Yogyakarta, seperti di kampung Suryatmajan, Kauman, Tegalpanggung, Gembelaan, Cokrodirjan, Dagen, Susrodipuran, Brotokusuman, bahkan secara sporadis tersebar di beberapa kampung lainnya di Yogyakarta.

III. PARA PEDAGANG INTAN MEMBANGUN MASJID KALIMANTAN DI PUSAT KOTA YOGYAKARTA

Warga Banjar yang sudah tinggal diberbagai kampung di Yogyakarta sejak tahun 1900-an tersebut umumnya keluarga para pedagang intan yang berasal dari Martapura. Kota Martapura yang dijuluki kota serambi Mekah di Kalimantan Selatan ini memang warganya dikenal sebagai orang-orang yang taat beragama. Kota Martapura juga pada abad ke 18 menjadi pusat penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1709-1802) adalah ulama besar yang mendalami Islam selama 30 tahun di Mekah dan Madinah telah menanamkan pondasi keislaman kepada warga Banjar dimulai dari Martapura.

Karena itulah para pedagang intan dari Martapura yang merupakan komunitas pertama yang menjadi penghuni kampung-kampung Banjar di Yogyakarta tersebut adalah warga yang taat menjalankan ibadah keagamaan. Menurut seorang warga Banjar kelahiran Martapura tahun 1927 H.M. Harun Arsyad yang mulai menetap di kampung Patuk Yogyakarta sejak tahun 1953, mengatakan bahwa tradisi orang Banjar khususnya warga Martapura, di mana mereka bermukim selalu ada pengajian agama bersama. Pengajian-pengajian itu berupa kegiatan Yasinan pada setiap malam Jum'at, pengajian memperdalam dan menambah pengetahuan keislaman (babacaan), tadarus Al Qur'an, pengajian pada peringatan atau perayaan Hari-Hari Besar Islam.

Para pedagang intan dan berlian asal Martapura yang beraktifitas di Pasar Beringharjo, ketika itu apabila mau melaksanakan shalat zuhur dan shalat asar berjamaah harus ke Masjid Agung yang ada di lingkungan keraton kesultanan yang jaraknya cukup jauh. Karena itu lahir keinginan adanya tempat untuk melaksanakan ibadah shalat barjamaah tersebut yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo. Sehingga kemudian mereka bersepakat untuk membangun sebuah musalla (langgar) dengan dana patungan (kumpulan) dari sesama para pedagang intan asal Banjar tersebut.

Sebagai pedagang intan dan berlian warga Banjar ini umumnya mempunyai hubungan dekat dengan beberapa pedagang atau pengoleksi batu-batu permata dari keluarga Kesultanan Ngayogyakarta. Melalui kalangan keluarga kesultanan inilah para pedagang Banjar yang dipelopori olah H. Hasan kemudian melakukan pendekatan kepada Sultan Yogya untuk mendapatkan izin membangun musalla (langgar) yang letaknya tidak jauh dari Pasar Beringharjo.

Dalam tahun 1940-an sewaktu Sultan Hamengku Buwono IX telah memangku jabatan sebagai Sultan Ngayogyakarta, ketika utusan Banjar dengan diantar seorang keluarga keraton menghadap Sultan ke istana, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghadiahkan sebidang tanah untuk membangun musalla di kawasan kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo. Di lokasi itulah para pedagang asal Banjar dengan swadaya dan bergotong-royong kemudian dapat membangun sebuah musalla kecil berukuran 8m x 8m yang dikenal sebagai langgar Kalimantan.

Nama Kalimantani untuk langgar yang dibangun warga Banjar ini semula diberikan oleh Bapak Andik, tetuha warga Banjar di Yogyakarta waktu itu. Sampai tahun 1950 ketika langgar tersebut mulai difungsikan sebagai masjid untuk melaksanakan shalat Jum'at namanya masih Kalimantani, yakni Masjid Kalimantani.

Perubahan nama masjid Kalimantani menjadi masjid Quwwatul Islam berlangsung pada tahun 1953 atas usulan K.H. Anwar Musaddad seorang warga Banjar yang ketika itu menjadi Ketua Takmir masjid. Bersamaan dengan itu pula dilakukan penambahan bangunan masjid pada bagian timur yang luasnya 8m x 6m. Karena warga sekitar masjid dan para pedagang lainnya yang ikut shalat Jum'at semakin banyak, kemudian tanah sisi utara masjid yang luasnya sekitar 12m x 8m juga diberi atap guna menampung jamaah yang ikut Jum'atan di Masjid Quwwatul Islam ini.

Menurut H.M. Rozi Amin, bahwa anggota kepengurusan Takmir Masjid Quwwatul Islam sudah sejak dulu mengikutsertakan masyarakat Yogya di sekitar masjid, tetapi untuk menghargai warga Banjar sebagai pendiri masjid, maka sejak awal sampai sekarang Ketua Takmir Masjid Quwwatul Islam selalu dipegang oleh warga asal Banjar (Kalsel).

IV. KEBUDAYAAN BANJAR DALAM KEHIDUPAN ORANG BANJAR DI YOGYAKARTA

Dari berbagai keterangan warga Banjar di Yogya dan pengamatan lapangan tampak bahwa unsur-unsur budaya Banjar yang hidup dalam keluarga-keluarga Banjar di Yogyakarta pola pemertahanan atau pewarisan adat budaya dalam keluarga berlangsung secara informal.

Bagi keluarga Banjar kelahiran Banjar yang tinggal di DIY, apalagi keluarga itu suami isteri asal Banjar, dalam keluarga tersebut tetap berlaku tata budaya Banjar walaupun mereka tinggal di lingkungan warga dari berbagai etnis lainnya.

Sementara dalam keluarga campuran, bapak Banjar dan ibu Jawa, atau sebaliknya, keberadaan adat budaya Banjar dalam keluarga sebagian masih dipengaruhi oleh peran orang tua yang asal Banjar. Dalam hal ini peran bapak dan ibu yang mencontohkan dalam hal berbicara ketika setiap mereka berkomunikasi dengan para orang tua mereka, atau ketika berkumpul dengan warga Banjar lainnya, secara informal mewariskan dan mencontohkan berbagai istilah-istilah panggilan serta adat perilaku yang banyak pula diikuti oleh anak-anak dalam keluarga mereka.

Sejauh mana keberadaan kebudayaan Banjar dan keterikatan warga Banjar di DIY terhadap adat budaya Banjar, dapat diamati dari beberapa hal yang terkandung dalam unsur-unsur budaya Banjar umumnya, baik yang berwujud idea, aktifitas, dan benda budaya.

1. Unsur bahasa
Bahasa yang dipakai dalam keluarga Banjar di DIY banyak ditentukan dari formasi perkawinan yang terjadi. Kalau keluarga suami isteri orang Banjar yang bermukim di Yogyakarta, maka bahasa Banjar dan istilah-istilah panggilan ulun-pian, abah mama (uma), nini kayi, dominan dipakai dalam keluarga. Sementara keluarga yang terdiri dari perkawinan campuran suami Banjar isteri Jawa atau sebaliknya, bahasa dan istilah-istilah panggilan yang dipakai dalam keluarga juga terjadi campuran
.
Berikut gambaran pemakaian bahasa dan istilah-istilah panggilan yang dipakai keluarga Banjar di Yogyakarta yang suami orang Banjar dan isteri orang Jawa:

Bahasa yang dipakai: ada suami yang lebih dominan bicara bahasa Banjar diikuti isteri dan anak campur bahasa Jawa. Ada keluarga yang pakai bahasa Jawa campur bahasa Indonesia.
Pengganti diri sendiri biasa dipakai: kulo, ulun. Untuk panggilan kepada yang lebih tua biasa dipakai: pian, panjenengan.

Panggilan kepada orang tua laki-laki adalah: ayah, papah, bapa. Panggilan kepada orang tua perempuan adalah: mamah, ibu
.
Panggilan kakek umumnya di pakai: kayi
Panggilan nenek: umumnya dipakai: nini, eyang putri.

2. Unsur kepercayaan

Orang Banjar sejak dulu sudah dikenal di berbagai daerah di Indonesia sebagai orang yang taat beragama. Orang Banjar memang umumnya beragama Islam yang kuat, karena agama Islam telah ditanamkan di masyarakat Banjar sejak ratusan tahun yang lalu oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1709-1802) seorang ulama besar kelahiran Martapura. Sehingga agama Islam merupakan agama orang Banjar yang senantiasa diwariskan kepada anak cucu oleh keluarga Banjar, tak terkecuali yang bermukim di Yogayakarta.

Sehubungan dengan itulah orang Banjar baik yang lahir di Yogyakarta, atau sejak muda telah menjadi penduduk Yogya umumnya orang-orang yang taat ibadah. Mereka tergabung dalam jamaah-jamaah pengajian agama, tadarus Al Qur'an (M. Anang Bustani: wawancara), umumnya mempunyai kemampuan yang cukup tampil sebagai imam masjid. Bahkan seorang warga Banjar bernama H. Anang Acil (74 th) yang tinggal di Kompleks Pertamina Purwomartani dituakan masyarakat sebagai tokoh agama tempat belajar Al Qur'an dan ilmu agama Islam lainnya oleh warga muslim di sekitarnya.

3. Unsur kesenian

Kesenian Banjar yang populer seperti madihin, musik panting dan lagu-lagu Banjar tetap disukai oleh keluarga Banjar di Yogyakarta. Ketika dalam even Halal Bil Halal yang diselenggarakan Kakabayo, warga Banjar antusias manakala ditampilkan kesenian Banjar, seperti madihin yang dibawakan oleh Jon Tralala atau lainnya, musik panting oleh group mahasiswa Banjar di Yogyakarta, ataupun ketika warga Banjar yang tampil membawakan lagu-lagu banua.

H. Bukhari Ketua Kakabayo mengaku memiliki kaset atau CD lagu-lagu Banjar. Lagu-lagu ciptaan H. Anang Ardiansyah seperti Paris Barantai, Kambang Goyang dan lainnya, banyak disukai warga Banjar di Yogyakarta (H. Bukhari: wawancara).

4. Unsur organisasi sosial

Sebagai wadah memperkuat silaturrahmi warga Banjar di Yogyakarta telah terbentuk organinasi yang semula bernama KATABAYO (Karukunan Tatuha Banjar Yogya), kemudian untuk bisa merangkul warga Banjar tua-muda yang tinggal di Yogyakarta nama organisasi tersebut dirubah menjadi KAKABAYO (Karukunan Kulawarga Banjar Yogya). Organisasi ini didirikan di tahun 1960-an, salah seorang pendirinya Bapak Husaini Majedi

Kegiatan organisasi ini sebelumnya pernah menangani pembangunan asrama-asrama mahasiswa Banjar di Yogyakarta. Ada 4 asrama mahasiswa yang pembangunan dan pengelolaannya pernah ditangani organisasi warga Banjar ini, yaitu Asrama Lambung Mangkurat di Jalan Sangaji, Asrama Pangeran Suriansyah di Baciro, Asrama Pangeran Antasari di kawasan Jalan Colombo, dan Asrama Pangeran Hidayatullah di kawasan Kotabaru. Keempat asrama mahasiswa Banjar tersebut sekarang dibawah binaan Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan. Saat ini hampir semua Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan telah membangun asrama mahasiswanya masing-masing, seperti Asrama Hantarukung oleh Pemda Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Asrama Balangan oleh Pemda Kabupaten Balangan, dan lainnya .

Kakabayo juga secara rutin mengadakan pertemuan dan pengajian (ceramah agama) setiap bulan. Dalam kegiatan ini selain acara siraman rokhani keislaman, juga disampaikan informasi-informasi tentang situasi daerah Kalimantan Selatan.

5. Unsur mata pencaharian.

Komunitas warga Banjar di Yogyakarta dimulai oleh datangnya pedagang-pedagang intan dan berlian ke Kesultanan Ngayogyakarta sejak pertengahan abad ke 18 yang lalu. Budaya mata pencaharian berdagang batu-batu permata ini sampai saat ini masih diwarisi oleh sebagian anak-cucu para pendatang awal tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya toko-toko emas berlian di kawasan perbelanjaan Molioboro milik warga Banjar, di samping beberapa pedagang batu-batu permata yang setiap hari menggelar dagangannya di emperan pertokoan kawasan Molioboro.
.
Bapak Anang Bustani (55 th) kelahiran Martapura yang sejak masih kecil dibawa orang tua pindah ke Yogyakarta, saat ini dia salah seorang dari beberapa warga Banjar di Yogyakarta yang mewarisi pekerjaan sebagai pedagang batu-batu permata di kawasan Molioboro. Beberapa pedagang batu-batu permata yang menggelar dagangannya di Molioboro adalah orang Banjar asal Martapura (Anang Bustani: wawancara).
Mata pencaharian warga Banjar di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) lainnya, yang berkaitan dengan kekhasan banua adalah toko atau usaha dagang kayu Kalimantan. Ada puluhan toko kayu Kalimantan di DIY pemiliknya adalah warga dari Banjar. Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan, seperti dari Alabio, Amuntai, Nagara, Barito Kuala, dan lainnya.

Para pemilik toko-toko kayu Kalimantan ini adalah termasuk kelompok warga Banjar pencari kerja. Mereka para pedagang yang umumnya telah berpengalaman ketika di tempat asalnya di Banjar ikut membantu orang tua atau keluarga yang berusaha jual-beli kayu bahan bangunan. Sehingga kemudian setelah bermukim di Yogya meneruskan pengalaman berusaha di bidang jual beli kayu bangunan pula. Umumnya mereka adalah warga Banjar yang datang ke DIY pada sekitar tahun 1990-an.

Usaha warga Banjar lainnya yang berkaitan dengan khas budaya Banjar adalah usaha rumah makan atau warung masakan Banjar. Meno utama rumah makan masakan Banjar yang ada di DIY adalah soto Banjar atau nasi sop. Selain itu tersedia juga nasi kuning, pundut nasi, buras, dan ada pula wadai-wadai seperti roti pisang, bingka dan lainnya. Di samping itu dilengkapi juga yang lebih umum seperti itik dan ayam goreng atau bakar
.
Pedagang-pedagang warung atau rumah makan masakan Banjar ini terdapat di berbagai sudut kota Yogyakarta. Ada warung masakan Banjar yang dibangun di depan rumah penjualnya, atau di warung-warung bongkar pasang yang dibangun di torotoir jalan. Dari beberapa rumah masakan Banjar yang banyak dikunjungi keluarga atau mahasiswa asal Banjar adalah Rumah Makan Khas Banjar BAMARA yang terdapat di Jln. Baru Lembah UGM Karang Malang dan Rumah Makan KINDAI di Jln. Jembatan Merah Gejayan. Kedua rumah makan ini juga ramai dikunjungi mahasiswa-mahasiswi asal berbagai daerah Indonesia lainnya.

Usaha membuka  rumah makan atau warung makan masakan Banjar di DIY dilakukan oleh warga Banjar yang setelah tinggal di Yogya melihat prospek baik berusaha di bidang masakan Banjar karena melihat warga Banjar apalagi mahasiswa-mahasiswi Banjar cukup banyak di Yogyakarta. Rumah Makan Khas Banjar Bamara milik warga Banjar yang sebelumnya study di Yogya dan kemudian menjadi dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Sedangkan Rumah Makan Kindai milik warga Banjar yang setelah menyelesaikan kuliahnya mendirikan rumah makan masakan Banjar.

Adanya bidang-bidang usaha atau mata pencaharian warga Banjar di Yogyakarta yang berkaitan dengan kekhasan kehidupan banua Banjar tersebut, merupakan gambaran bahwa orang-orang Banjar di Yogya masih dan tetap membanggakan budaya banua di bidang mata pencaharian.

6. Unsur sistem pengetahuan

Kemampuan ibu-ibu warga Banjar yang berdomisili di Yogya dalam membuat masakan Banjar merupakan pengetahuan warisan yang berasal dari ibu dan nenek mereka orang Banjar. Di samping itu para suami orang Banjar di perantauan seperti di Yogya mengaku tetap dan selalu doyan dengan masakan-masakan Banjar, seperti masak habang, masak kicap hintalu, gangan asam, tarung babanam, dan sebagainya. Dalam keluarga Banjar di Yogya walaupun isteri bukan orang Banjar tetapi umumnya bisa membuat masakan-masakan Banjar, karena mereka diajari atau belajar dari mertuanya yang orang Banjar.
Di segi lain dipakainya nama-nama tokoh sejarah atau pahlalawan negeri Banjar untuk nama-nama asrama mahasiswa Banjar di Yogyakarta, seperti Lambung Mangkurat, Sultan Suriansyah, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, dan peristiwa Hantarukung, menggambarkan bahwa warga Banjar di Yogyakarta hormat dan bangga terhadap tokoh-tokoh sejarah daerahnya, yang secara inflisit tahu dan menghayati bagian-bagian dari sejarah leluhurnya.

7. Unsur teknologi

Para pedagang batu-batu permata orang Banjar yang menggelar dagangan mereka di Molioboro, adalah orang yang mempunyai ketrampilam menggosok intan dan berbagai batu permata lainnya. Keahlian atau ketrampilan menggosok intan dan berbagai batu permata tersebut adalah warisan dari para pendahulu mereka. Di Yogyakarta penggosokan termasuk membuat bentuk berbagai batu-batu permata dengan alat penggosokan tradisional di rumah masing-masing.

Berbeda dengan di pasar permata di Solo penggosokan batu permata dilakukan di lokasi tempat berjualan, sebagian para penggosok batu-batuan tersebut juga orang Banjar. Para penjual batu-batu permata ini juga membuat berbagai bentuk bingkai cincin, baik bingkai cincin untuk pria juga cincin untuk wanita. Kalau di Solo masih ada para penggosok berbagai batu permata orang Banjar masih melakukan penggosokan, maka di Yogyakarta kegiatan penggosokan sudah mulai ditinggalkan, karena keterbatasan waktu para pedagang batu permata di Yogya lebih banyak membeli hasil olahan dari Solo, Lombok, Sukabumi.

Sementara kain atau pakaian sasirangan yang dibuat dengan teknologi khas Banjar, pada umumnya warga Banjar di Yogya memiliki, sebagai gambaran bahwa orang Banjar di Yogya masih terikat dengan sesuatu yang khas budaya Banjar. Pada even-even khusus keluarga Banjar di Yogya juga biasa mengenakan pakaian sasirangan.

V. PENUTUP

Dalam kehidupan warga Banjar di Yogyakarta keberadaan budaya Banjar dalam keluarga berlaku dan berlangsung secara alamiah, tidak ada pola atau sistem yang diprogramkan secara formal, tetapi secara informal setiap orang tua keluarga Banjar umumnya masih melakukan tata cara tradisi dan adat-istiadat Banjar dalam keluarga, sehingga secara tidak langsung kemudian diwarisi oleh anak-anak atau turunannya, termasuk juga ideologi atau pandangan hidup yang sebelumnya juga diterima dari orang tua mereka.
Umumnya juga dalam kesempatan-kesempatan berkumpul para orang tua diperantauan berceritera tentang kampung halaman ibu bapak atau nenek kakek mereka, tak terkecuali tentang tata cara kehidupan juga adat istiadat di masyarakat asal kampung halaman mereka. Ketika sebuah keluarga menyaksikan berbagai peristiwa budaya yang mereka temukan di perantauan, orangg tua dalam keluarga biasa pula menggambarkan perbedaan dan persamaan dengan budaya Banjar yang ada di kampung halaman asal mereka tanah Banjar.

Begitulah gambaran budaya Banjar dalam komunitas orang Banjar perantauan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengaruh budaya lingkungan khususnya dalam pemakaian bahasa, kecuali dalam keluarga suami-isteri Banjar bahasa Banjar masih dominan dipakai, maka dalam keluarga suami isteri campuran Banjar Jawa atau lainnya bahasa dan istilah-istilah yang dipakai juga sudah campuran.

Orang Banjar di Yogya umumnya mengerti bahasa Jawa, tetapi sebagian pendatang baru tidak lancar berbahasa Jawa, apalagi bahasa Jawa yang dipakai masyarakat Yogya umumnya bahasa kromo inggil (alus) di samping kromo madya dan ngoku, karena itu sebagian orang Banjar di Yogya lebih memilih berkomunikasi di masyarakat menggunakan bahasa Indonesia.

Yogyakarta, 25-3-2010

2 komentar:

nurmardiana mengatakan...

Assalamu alaikum wrb,salam persaudaraan,saya Nur Mardiana biasa dipanggil Nur,awalnya saya seorang pengusaha yang sangat sukses dan aset banyak,seiring berjalanya waktu kekayaan saya berkurang dan bangkrut,saya frustasi dan hampir bunuh diri tapi saya masih usaha bagaimana caranya saya bisa seperti dulu,saya hampir putus asa niat bunuh diri kembali menghantui saya,tapi saya coba buka internet dan tidak sengaja saya melihat nomor Ki Kusumo,saya coba telpon beliau,saya dikasi solusi tapi awalnya saya ragu dan sempat tidak percaya tapi tidak ada jalan lain saya hanya bermodal nekat mengikuti saran Aki syukur alhamdulillah sekarang saya bisa kembali seperti dulu,semua hutang saya lunas dan saya kembali bangun bisnis properti,saya berterimah kasih kepada pembuat room ini karna berkat room ini saya bisa ketemu nmr Aki Kusumo,Demi Allah ini pengalaman pribadi saya,ini bukan rekayasa saya hanya ingin berbagi pengalaman kepada teman2,saudara,yang sedang dalam kesusahan silahkan hub nmr Aki kusumo dinmr 085257776881 insya Allah akan diberi solusi,sekali lagi terimah kasih saya ucapkan sebesar2nya pada Ki kusumo kalau bukan karna beliau saya tidak seperti ini, maaf sebelumnya yang tidak suka dengan postingan saya ,saya Nur mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya Assalamu alaikun wrb,salam persaudaraan.

mgmpoker88 mengatakan...

Artikel yang menarik dan berguna.

Buruan Gabung Sekarang Juga Bersama raja poker
dan Dapatkan Juga Bonus Hingga Jutaan Rupiah disetiap Hari.

Untuk Informasi Lebih Jelas Silahkan Menghubungi Customer Service Kami Yang Siap Melayani Anda 24 Jam Nonstop :
- Livechat 24 jam : Official site www mgmpoker88 com.
- Pin BBM : 28CAFAB2

TERIMA KASIH
Salam Keberuntungan MGMPOKER88..