Oleh: Ramli Nawawi
Sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" tentang cara membangun rumah ini adalah hasil "bapapandiran" (bicara santai) ketika tahun 1980-an Penulis mengikuti Tim Survey Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru dalam kunjungan ke beberapa lokasi masyarakat penangkap ikan di Kabupaten Tanah Laut, ketika menginap di Desa Takisung sempat bertandang ke rumah seseorang "tetuha" masyarakat di daerah tersebut. Banyak ragam istiadat lama yang diceriterakan dalam suatu percakapan dengan anggota Tim Survey.
Di antara banyak aspek budaya orang Banjar "doeloe" yang hanya sedikit orang mengetahuinya adalah bagaimana orang Banjar "doeloe" menetapkan panjang dan lebar bangunan rumah yang dibangunnya. Sebaliknya orang lebih banyak tahu tentang berbagai "pamali" dari suatu bangunan rumah, seperti bangunan rumah yang bertingkat pada bagian belakang, dan sebagainya.
Orang Banjar "doeloe" dalam membangun rumah umumnya menggunakan ukuran '"depa" ada juga dengan meter. Namun untuk tepatnya diukur kembali dengan tapak kaki pemiliknya yang dilakukan secara bergantian dan bersambung, yakni tapak kaki kanan-kiri-kanan dan seterusnya.
Falsafah bahwa setiap bentuk, gerak, bunyi / aksara (seperti sebuah nama), rasa dan lain sebagainya mempunyai makna tertentu, tampaknya mempunyai kaitan erat dengan masalah ukuran bangunan bagi orang Banjar "doeloe". Dari pandangann tersebut di atas cara menetapkan ukuran sebuah rumah yang dimulai dengan kata: raja – cina – sahaya disesuaikan dengan tindakan mengukur dengan mulai kaki kanan – kiri – kanan dan seterusnya, dianggap mempunyai nilai magis (atau keinginan sama dengan perlambangnya) bagi pemiliknya. Siapa dan bagaimana kehidupan tokoh seorang raja, orang Cina, dan seorang hamba sahaya yang dikenal masyarakat orang Banjar "doeloe" di daerah ini, diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan yang mereka cita-citakan melalui pemikiran dan karsa sesuai dengan falsafah serba makna dan nilai tersebut di atas. Atas dasar itulah kiranya budaya tradisional dalam menetapkan ukuran bangunan rumah tersebut tumbuh di sebagian masyarakat Banjar "doeloe"
.
Sementara itu sebutan "raja" sebagai pengganti "datu" dan kata "sahaya" sebagai sahaya yang punya kewajiban berbakti, baru dikenal oleh masyarakat sesudah masuknya kebudayaan Hindu dari India, serta adanya ceritera tentang "orang-orang Cina" sebagai pelayar dan pedagang kaya yang dikenal jauh sebelum zaman Seriwijaya dapat dijadikan patokan dasar bahwa aspek budaya ini tumbuh di masyarakat Banjar khususnya sesudah masuknya budaya dari luar tersebut. Dari perjalanan kehidupan masyarakat yang mereka tangkap saat masuknya pola-pola kehidupan dari luar itulah timbulnya gagasan serta pemikiran yang mengandung keinginan dan harapan serta cita-cita, sehingga lahirlah simbol-simbol yang diwujudkan dalam perilaku dan tindakan yang kemudian berkembang di masyarakat. Karena itulah dengan mengukur panjang bangunan rumah yang diakhiri dengan tapak kaki yang menyebut "raja" (datu), diharapkan bahkan dipercayai pemilik rumah akan dituakan atau setidak-tidaknya menjadi sosok yang disegani di masyarakatnya. Lalu untuk melengkapi dalam kehidupannya di masyarakatnya tersebutnya, maka mereka mengukur pula lebar rumahnya berhenti ketika tapak kakinya menyebut kata "Cina", sebagai perlambang dari cita-cita dan keinginan pemiliknya masuk dalam golongan mereka yang berada. Karena itulah orang Banjar "doeloe" dalam menentukan panjang dan lebar bangunan rumah menghindari ukuran berhenti ketika tapak kakinya menyebutkan kata "sahaya" yang melambangkan kehidupan tidak banyak berarti dalam masyarakat.
Begitulah salah satu sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" yang tidak semua orang juga tahu, kata sumber Informan, karena aspek ini memang diwariskan juga tidak secara terbuka. Karena itulah wajar dalam perkembangan masyarakat yang semakin modern aspek budaya seperti ini tidak dikenal lagi dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" tentang cara membangun rumah ini adalah hasil "bapapandiran" (bicara santai) ketika tahun 1980-an Penulis mengikuti Tim Survey Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru dalam kunjungan ke beberapa lokasi masyarakat penangkap ikan di Kabupaten Tanah Laut, ketika menginap di Desa Takisung sempat bertandang ke rumah seseorang "tetuha" masyarakat di daerah tersebut. Banyak ragam istiadat lama yang diceriterakan dalam suatu percakapan dengan anggota Tim Survey.
Di antara banyak aspek budaya orang Banjar "doeloe" yang hanya sedikit orang mengetahuinya adalah bagaimana orang Banjar "doeloe" menetapkan panjang dan lebar bangunan rumah yang dibangunnya. Sebaliknya orang lebih banyak tahu tentang berbagai "pamali" dari suatu bangunan rumah, seperti bangunan rumah yang bertingkat pada bagian belakang, dan sebagainya.
Orang Banjar "doeloe" dalam membangun rumah umumnya menggunakan ukuran '"depa" ada juga dengan meter. Namun untuk tepatnya diukur kembali dengan tapak kaki pemiliknya yang dilakukan secara bergantian dan bersambung, yakni tapak kaki kanan-kiri-kanan dan seterusnya.
Falsafah bahwa setiap bentuk, gerak, bunyi / aksara (seperti sebuah nama), rasa dan lain sebagainya mempunyai makna tertentu, tampaknya mempunyai kaitan erat dengan masalah ukuran bangunan bagi orang Banjar "doeloe". Dari pandangann tersebut di atas cara menetapkan ukuran sebuah rumah yang dimulai dengan kata: raja – cina – sahaya disesuaikan dengan tindakan mengukur dengan mulai kaki kanan – kiri – kanan dan seterusnya, dianggap mempunyai nilai magis (atau keinginan sama dengan perlambangnya) bagi pemiliknya. Siapa dan bagaimana kehidupan tokoh seorang raja, orang Cina, dan seorang hamba sahaya yang dikenal masyarakat orang Banjar "doeloe" di daerah ini, diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan yang mereka cita-citakan melalui pemikiran dan karsa sesuai dengan falsafah serba makna dan nilai tersebut di atas. Atas dasar itulah kiranya budaya tradisional dalam menetapkan ukuran bangunan rumah tersebut tumbuh di sebagian masyarakat Banjar "doeloe"
.
Sementara itu sebutan "raja" sebagai pengganti "datu" dan kata "sahaya" sebagai sahaya yang punya kewajiban berbakti, baru dikenal oleh masyarakat sesudah masuknya kebudayaan Hindu dari India, serta adanya ceritera tentang "orang-orang Cina" sebagai pelayar dan pedagang kaya yang dikenal jauh sebelum zaman Seriwijaya dapat dijadikan patokan dasar bahwa aspek budaya ini tumbuh di masyarakat Banjar khususnya sesudah masuknya budaya dari luar tersebut. Dari perjalanan kehidupan masyarakat yang mereka tangkap saat masuknya pola-pola kehidupan dari luar itulah timbulnya gagasan serta pemikiran yang mengandung keinginan dan harapan serta cita-cita, sehingga lahirlah simbol-simbol yang diwujudkan dalam perilaku dan tindakan yang kemudian berkembang di masyarakat. Karena itulah dengan mengukur panjang bangunan rumah yang diakhiri dengan tapak kaki yang menyebut "raja" (datu), diharapkan bahkan dipercayai pemilik rumah akan dituakan atau setidak-tidaknya menjadi sosok yang disegani di masyarakatnya. Lalu untuk melengkapi dalam kehidupannya di masyarakatnya tersebutnya, maka mereka mengukur pula lebar rumahnya berhenti ketika tapak kakinya menyebut kata "Cina", sebagai perlambang dari cita-cita dan keinginan pemiliknya masuk dalam golongan mereka yang berada. Karena itulah orang Banjar "doeloe" dalam menentukan panjang dan lebar bangunan rumah menghindari ukuran berhenti ketika tapak kakinya menyebutkan kata "sahaya" yang melambangkan kehidupan tidak banyak berarti dalam masyarakat.
Begitulah salah satu sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" yang tidak semua orang juga tahu, kata sumber Informan, karena aspek ini memang diwariskan juga tidak secara terbuka. Karena itulah wajar dalam perkembangan masyarakat yang semakin modern aspek budaya seperti ini tidak dikenal lagi dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar