Jumat, 29 Oktober 2010

MENSYUKURI NIKMAT ALLAH

Oleh: Ramli Nawawi

Saudaraku,
Kalau kita lagi mengikuti ceramah atau khotbah biasanya penyampai selalu mengajak kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita.
Memang Allah SWT dalam Al Qur’anul Karim surah Ibrahim ayat 34 telah berfirman, bahwa Allah SWT akan memberi apa yang kita minta.
“Wa ataakum min kulli saaltumuuhu, wa inta’udduu ni’matallahi laa tuhshuha, innal insaana lazhaluumun kaffaru” (Dia (Allah) memberimu segala yang kamu minta, dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah sanggup kamu menghitungnya, sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan mengingkari (tidak mengakui akan) nikmat Allah).

Saudaraku,
Benarkah bahwa manusia ini banyak yang ingkar terhadap nikmat Allah? Coba kalau kita tanya seseorang tentang nakmat Allah ini. Umumnya mereka ada yang menjawab:
“Aku selalu bersyukur dengan mengatakan Alhamdulillah”. Ada juga yang mengatakan :
“Aku selalu bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan Alhamdulillah, dan juga dengan melakukan ibadah kepada Allah serta melakukan amaliah kepada sesama hamba-Nya”.
Tapi mungkin ada juga mereka yang sebelum menjawab pertanyaan kita di atas, sebelumnya mereka bertanya balik, apa saja ya nikmat Allah yang diberikan kepada kita?.

Saudaraku,
Mari kita lihat diri kita saja, di bagian kepala: ada rambut tumbuh, mata melihat, hidung bernafas, telinga mendengar, mulut bicara dan makan minum, otak berpikir dan merekam ingatan. Dari mana kita dapat, semua diberi. Ada mereka yang diberi tidak lengkap, tetap mereka bersyukur daripada tidak diberi sama sekali.
Mari kita lihat lagi, kita diberi tangan dan kaki, juga diberi ada yang namanya jantung, paru-paru, hati, ginjal,.dll, dll, lagi. Sanggup kita menghitung nilainya, atau harganya?. Bayangkan kalau ada salah satu yang diambil lagi oleh Pemberinya.

Saudaraku,
Apa yang sebagian disebut di atas baru nikmat yang ada pada diri kita langsung. Ada nikmat-nikmat lainnya yang sering banyak orang melupakannya. Allah menciptakan matahari dan pelanet-pelanet, tanaman, binatang, pohon (hutan), air, udara, serta benda-benda berharga yang dikandung bumi.
Kita diberi hidup berkeluarga (isteri, anak-anak), hidup berkecukupan, bertetangga, berbangsa dan bernegara yang merdeka. Bukankah semua itu nikmat yang diberikan Allah?. Dan biasanya kita baru sadar kalau ketika ada yang sudah diambil-Nya dari kita?.

Saudaraku,
Tapi Allah bersifat rahman dan rahim (kasih sayang). Dan selalu mengingatkan agar manusia tidak zalim dan tidak ingkar terhadap nikmat yang diberikan-Nya. Seperti dalam Surah Arrahman, yang jumlah ayatnya ada 41 ayat, sebanayk 31 ayat mengingatkan manusia tentang nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.
“Fabiayyi alaaai rabbuka tukazzibani” (Maka nikmat Allah manakah yang engkau dustakan?).

Saudaraku,
Mungkin timbul pula pertanyaan, mengapa masih banyak orang hidup dalam kemiskinan. Allah berjanji “ Wa atakum min kulli saaltumuuhu” (Dia (Allah) akan memberimu apa-apa yang kamu minta). Karena itu jawabnya adalah mari meminta (berdoa’a) kepada Allah. “Iyya kana’budu wa iyya kanasta’in”. (Kepada-Mu aku menyembah dan kepada-Mu aku meminta). Allah menargetkan kita menyembah dan kemudian meminta kepada-Nya sekurang-kurangnya 5 kali dalam sehari semalam. Kalau hal itu kita sudah lakukan dan tidak lalai, Allah tentu akan memenuhi janji-Nya. Insya Allah. Terkecuali seperti diberitakan dalam Al Qur’an memang ada orang-orang shaleh yang mendapat ujian kesabaran dari Allah, mereka lulus dan mereka adalah ahli surga.

Saudaraku,
Kalau kita sejenak introspeksi diri, tentu kita sadar begitu banyak nikmat yang diberikan Allah kepada kita umat-Nya. Karena itu wajar kalau kita senantiasa bersyukur dengan selalu melaksanakan perintahnya: aqimis shalah wa atuzzakah, kutiba alaikumus siam, qala la ilaha illa Allah, dan bagi yang telah diberi-NYA kemampuan bersegera memenuhi panggilan-NYA menunaikan ibadah haji berhadir di padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah.
Tapi bagi mereka yang zalim dan ingkar akan nikmat Allah, maka seperti firman-Nya dalam Al Qur’an surah Iberahim ayat 7: “Wa iz taazzana rabbukum: lain syakartum la azidannakum, wa lain kafartum inna ‘azaba lasyadiid”. (Dan Tuhan mu memberitahukan: jika kamu bersyukur akan Ku-tambah nikmatmu, tapi bila ingkar siksa-Ku amat pedih).

Saudaraku,
Memperhatikan keberadaan masyarakat di negeri kita saat ini, apakah ini gambaran dari masyarakat yang senantiasa bersyukur kepada Allah, atau gambaran dari masih banyak masyarakat yang zalim dan ingkar kepada Allah?. Bagaimana pengamatan anda?. (HRN)

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).

Minggu, 24 Oktober 2010

penampilan "musik panting" mahasiswa kalsel di halal bil halal warga Banjar di Yogyakarta tgl. 3-10-2010



kalu ini penampilan "musik panting"nya orang di banua


CARA ORANG BANJAR "DOELOE" MENETAPKAN UKURAN BANGUNAN RUMAH

Oleh: Ramli Nawawi

Sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" tentang cara membangun rumah ini adalah hasil "bapapandiran" (bicara santai) ketika tahun 1980-an Penulis mengikuti Tim Survey Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru dalam kunjungan ke beberapa lokasi masyarakat penangkap ikan di Kabupaten Tanah Laut, ketika menginap di Desa Takisung sempat bertandang ke rumah seseorang "tetuha" masyarakat di daerah tersebut. Banyak ragam istiadat lama yang diceriterakan dalam suatu percakapan dengan anggota Tim Survey.

Di antara banyak aspek budaya orang Banjar "doeloe" yang hanya sedikit orang mengetahuinya adalah bagaimana orang Banjar "doeloe" menetapkan panjang dan lebar bangunan rumah yang dibangunnya. Sebaliknya orang lebih banyak tahu tentang berbagai "pamali" dari suatu bangunan rumah, seperti bangunan rumah yang bertingkat pada bagian belakang, dan sebagainya.

Orang Banjar "doeloe" dalam membangun rumah umumnya menggunakan ukuran '"depa" ada juga dengan meter. Namun untuk tepatnya diukur kembali dengan tapak kaki pemiliknya yang dilakukan secara bergantian dan bersambung, yakni tapak kaki kanan-kiri-kanan dan seterusnya.

Falsafah bahwa setiap bentuk, gerak, bunyi / aksara (seperti sebuah nama), rasa dan lain sebagainya mempunyai makna tertentu, tampaknya mempunyai kaitan erat dengan masalah ukuran bangunan bagi orang Banjar "doeloe". Dari pandangann tersebut di atas cara menetapkan ukuran sebuah rumah yang dimulai dengan kata: raja – cina – sahaya disesuaikan dengan tindakan mengukur dengan mulai kaki kanan – kiri – kanan dan seterusnya, dianggap mempunyai nilai magis (atau keinginan sama dengan perlambangnya) bagi pemiliknya. Siapa dan bagaimana kehidupan tokoh seorang raja, orang Cina, dan seorang hamba sahaya yang dikenal masyarakat orang Banjar "doeloe" di daerah ini, diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan yang mereka cita-citakan melalui pemikiran dan karsa sesuai dengan falsafah serba makna dan nilai tersebut di atas. Atas dasar itulah kiranya budaya tradisional dalam menetapkan ukuran bangunan rumah tersebut tumbuh di sebagian masyarakat Banjar "doeloe"
.
Sementara itu sebutan "raja" sebagai pengganti "datu" dan kata "sahaya" sebagai sahaya yang punya kewajiban berbakti, baru dikenal oleh masyarakat sesudah masuknya kebudayaan Hindu dari India, serta adanya ceritera tentang "orang-orang Cina" sebagai pelayar dan pedagang kaya yang dikenal jauh sebelum zaman Seriwijaya dapat dijadikan patokan dasar bahwa aspek budaya ini tumbuh di masyarakat Banjar khususnya sesudah masuknya budaya dari luar tersebut. Dari perjalanan kehidupan masyarakat yang mereka tangkap saat masuknya pola-pola kehidupan dari luar itulah timbulnya gagasan serta pemikiran yang mengandung keinginan dan harapan serta cita-cita, sehingga lahirlah simbol-simbol yang diwujudkan dalam perilaku dan tindakan yang kemudian berkembang di masyarakat. Karena itulah dengan mengukur panjang bangunan rumah yang diakhiri dengan tapak kaki yang menyebut "raja" (datu), diharapkan bahkan dipercayai pemilik rumah akan dituakan atau setidak-tidaknya menjadi sosok yang disegani di masyarakatnya. Lalu untuk melengkapi dalam kehidupannya di masyarakatnya tersebutnya, maka mereka mengukur pula lebar rumahnya berhenti ketika tapak kakinya menyebut kata "Cina", sebagai perlambang dari cita-cita dan keinginan pemiliknya masuk dalam golongan mereka yang berada. Karena itulah orang Banjar "doeloe" dalam menentukan panjang dan lebar bangunan rumah menghindari ukuran berhenti ketika tapak kakinya menyebutkan kata "sahaya" yang melambangkan kehidupan tidak banyak berarti dalam masyarakat.
Begitulah salah satu sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" yang tidak semua orang juga tahu, kata sumber Informan, karena aspek ini memang diwariskan juga tidak secara terbuka. Karena itulah wajar dalam perkembangan masyarakat yang semakin modern aspek budaya seperti ini tidak dikenal lagi dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).