Jumat, 28 Januari 2011

APAKAH SEJARAH SUBYEKTIF ITU

Oleh:
Drs. H. Ramli Nawawi

Di sini saya tidak akan berbicara tentang sejarah secara detail. Umumnya semua orang sudah pernah belajar sejarah, karena sejarah diajarkan di semua tingkat pendidikan di negara kita Indonesia ini. Semua yang kita terima dari pelajaran sejarah di bangku pendidikan tersebut umumnya ceritera tentang peristiwa-peristiwa masa lalu. Seperti tentang raja dengan segala aktifitasnya, tentang perang antar bangsa, tentang kebudayaan manusia pada masa lalu, dan sebagainya.

Memang ada, tetapi jarang guru-guru sejarah tersebut di samping berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lalu juga kemudian menelaah masa kini, dan selanjutnya mencoba memberikan alternatif-alternatif yang akan terjadi di masa yang akan datang. Padahal mempersoalkan materi sejarah, yakni tentang peristiwa-peristiwa masa lampau di abad modern saat ini sebagai tujuan, mungkin tidak begitu penting lagi. Rekontruksi masa lalu untuk kepentingan masa lalu juga sangat tidak banyak gunanya.

Sejarah sebenarnya ibarat seorang yang naik kereta duduk menghadap ke belakang, juga dapat melihat ke kiri dan melihat ke kanan. Satu-satunya kendala ia tidak begitu saja dapat melihat ke depan. Tetapi dengan memperhatikan situasi yang terdapat di belakang, dan memperhatikan pula situasi-situasi yang terdapat di samping kiri dan di samping kanannya, maka ia setidaknya dapat memperkirakan bagaimana keadaan yang terdapat di depannya.

Pada umumnya istilah sejarah dipakai untuk ceritera sejarah, pengetahuan sejarah, gambaran sejarah, yang semuanya itu sebenarnya adalah sejarah dalam arti subyektif. Disebut subyektif karena merupakan hasil penggambaran atau rekonstruksi dari pengarang, yang mau tidak mau dipengaruhi oleh sifat-sifatnya, gaya bahasanya, struktur pemikirannya, pandangannya, dan lain sebagainya.

Sementara sejarah dalam arti obyektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, yakni proses sejarah dalam aktualitasnya. Dalam hal ini kejadian tersebut hanya terjadi sekali, tidak diulang atau terulang lagi. Bahkan orang yang mengalami kejadian tersebut-pun hanya terlibat dalam sebagian kecil dari peristiwa tersebut. Sehingga dia waktu itu tidak mungkin mempunyai gambaran secara umum. Sampai dengan demikian proses itu berlangsung terlepas dari subyek manapun juga. Jadi obyektif dalam arti tidak memuat unsur-unsur dari pengamat atau pencerita.

Hakekat pelajaran sejarah bahwa peristiwa yang terjadi pada masa lampau dapat terjadi lagi pada masa kini dan masa depan. Tentu saja peristiwa yang menyenangkan yang ingin kita alami lagi. Sedangkan peristiwa yang tidak menyenangkan tentunya kita usahakan untuk menghindarinya.

Kemungknan terjadinya lagi peristiwa-peristiwa masa lampau, seperti yang dikatakan orang “sejarah berulang”, maka kalau peristiwa-peristiwa itu dapat berulang maka itu tidak merupakan suatu “unikum” atau suatu yang unik, melainkan merupakan anggota sesuatu jenis umum peristiwa.

Dalam sejarah juga dikenal ada mazhab-mazhab dengan kelompok-kelompok pendukungnya. Sehubungan dengan keterkaitan dengan pembahasan kita saat ini, kita hanya akan menyinggung 2 mazhab.

Pertama, mazhab Generalisasi yang terbatas dengan ketat, yang terdiri atas sejarawan narratif-deskriptif. Mereka hanya melukiskan peristiwa-peristiwa sejarah, dan tidak akan menyatakan pendapat mengenai antar hubungan antara peristiwa-peristiwa yang mereka lukiskan, juga tentang pentingnya pelbagai peristiwa itu dibandingkan satu sama lainnya.

Kedua, adalah mazhab Interpretatif yang berusaha untuk menemukan benang merah di dalam sejarah yang akan memungkinkan mereka membuat sintesa dari peristiwa-peristiwa sejarah yang saling berhubungan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, juga dengan pandangan tentang sejarah obyektif dan sejarah subyektif, sesuai dengan pendapat Gottschalk bahwa sejarawan dapat dibagi atas 2 golongan, yakni golongan sejarawan deskriptif dan golongan sejarawan teoretis.

Selanjutnya dapat kita ketahui bahwa dari para sejarawan teoretislah dapat kita harapkan penulisan sejarah yang mempunyai guna pendidikan dan dapat memberikan pelajaran-pelajaran masa lampau kepada kita yang hidup pada masa kini untuk selanjutnya berusaha menyoroti masa depan yang gelap yang kita hadapi. Sedangkan dari pihak sejarawan deskriptif hal itu tidak dapat kita harapkan, kecuali jika kisah mereka itu kita tafsirkan sendiri.

Satu hal lagi yang berkaitan dengan sejarah, bahwa buku sejarah yang dapat dicatat sebagai karya yang memang khusus direncanakan untuk diterbitkan secara mandiri ialah biografi. Sekarang banyak sekali buku biografi yang beredar, hampir sebanyak tokoh-tokoh nasional kita. Bahkan dari seorang tokoh masih terdapat lagi yang diterbitkan, seperti buku kenangan 50 tahunan, 80 tahunan, dan sebagainya.

Buku-buku seperti yang disebutkan terakhir ini biasanya berisi riwayat singkat sang tokoh, dan selebihnya kesan-kesan dan kenangan dari orang-orang yang mengenalnya. Menurut DR. Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, banyak biografi seperti yang disebutkan di atas bukanlah buku sejarah yang baik, karena banyak yang tidak memperhatikan aturan kerja yang benar, seperti data-data dokumentasi yang diperlukan. Namun tentu saja penulis biografi tidak dapat dipersalahkan, karena kebanyakan mereka bukan sejarawan, tetapi umumnya para jurnalis dan pengarang yang banyak menulis biografi.

Bahkan sekarang banyak tokoh yang meminta kepada penulis atau sejarawan untuk dibuatkan biografinya. Namun sampai seberapa jauh kebenaran sejarah dari tulisan tentang orang yang ditokohkan tersebut, kita perlu tahu lebih banyak.

Namun demikian tidak dapat dimungkiri bahwa biografi yang ditulis “secara baik” sangat mampu membangkitkan inspirasi kepada pembaca, sehingga dipandang dari sudut ini biografi mempunyai fungsi penting dalam pendidikan. (bahan dari berbagai sumber).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).

Tidak ada komentar: