Oleh : Drs. H. Ramli Nawawi
Sejak memasuki era milenium ketiga ini, bangsa Indonesia telah melangkah dengan gerakan reformasi. Gerakan reformasi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat dengan menegakkan demokrasi dan keadilan dalam masyarakat bangsa ini, dimulai dengan melengserkan kedudukan Soeharto sebagai presiden. Mahasiswa berperan banyak dalam peristiwa ini.
Selanjutnya tuntutan gerakan reformasi memasuki berbagai lembaga, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat umum. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan masyarakat mendapat kecaman, dan dituntut untuk ditata atau dihapus sama sekali. Dalam proses penataan inilah tidak dapat dihindari timbulnya polarisasi atau kontadiksi yang berkaitan dengan visi dan misi di kalangan tokoh-tokoh reformis sendiri. Bahkan sebagian dari mereka tidak bisa menerima, atau meragukan kereformasian kelompok masyarakat lainnya.
Perbedaan visi dan misi ini kemudian semakin tajam ketika kebebasan berorganisasi dan berpolitik terbuka seluas-luasnya. Ketika para elit politik yang didukung massanya mulai menonjolkan target perjuangan yang akan dicapai, yang dapat mengancam atau menghalangi tujan yang akan dicapai kelompok lainnya, mulailah terjadi ketidakserasian diantara satu dengan lainnya. Apa yang kita temui di masyarakat dengan banyaknya partai-partai politik dan golongan yang lahir sejak memasuki era reformasi ini tujuannya menjadi kabur.
Reformasi yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran tersebut kemudian berkembang dimana sebagian pendukungnya bersikap a priori terhadap segala apapun yang tidak dari golongannya. Kebenaran yang bisa diterimapun apabila sesuai dengan kepentingan dan interpretasi yang bersangkutan. Demikian juga kalangan yang menuntut demokrasi ini kemudian secara sadar atau tidak juga telah berbuat melampaui batas-batas yang menjadi hak kelompoknya. Banyak tokoh dan pendukung-pendukung suatu ogansasi yang merasa tidak cukup untuk mencapai tujuannya dengan hanya membenahi kelompoknya, tetapi telah mengatur dan mencampuri urusan kelompok lainnya.
Sampai saat ini dapat kita saksikan dimana para elit politik yang telah terpisah-pisah dalam berbagai partai politik di negara ini, sebagian mereka telah kehilangan kepribadian sebagai seorang negarawan. Banyak ucapan dan tingkah laku diantara mereka yang sudah jauh dari kepatutan, etis dan bermoral. Sementara masyarakat kita yang kurang kritis sulit membedakan mana yang harus diikuti dan harus ditolak. Pandangan-pandangan mereka yang secara sadar bertentangan dengan ketentuan dan hukum sekalipun, tetapi tetap disajikan kepada masyarakat awan, sungguh sangat berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Dari berbagai sikap para tokoh dan berbagai kalangan, tampaknya sebagian mereka sudah ditulari prasangka-prasangka sepihak. Sehingga masyarakat umum sulit dapat memahami pemikiran-pemikiran mereka. Lebih dari itu saat ini tampak berbagai institusi di masyarakat yang pemikiran-pemikirannya sering berseberangan. Para pengamat dari berbagai disiplin ilmu sulit ada yang sependapat dalam pentrapan ilmunya. Para pengamat politik berbeda pendapat dalam mentrapkan ilmu politiknya. Para ahli ekonomi menilai ekonom lainnya umumnya melakukan tindakan yang keliru. Para ahli hukum saling mencela dan memojokkan satu sama lainnya karena berbeda dalam mentrapkan ilmu hukum yang sama-sama mereka miliki. Yang satu mengatakan bahwa kesalahan seseorang dapat dilihat dari kasat mata, sementara ahli hukm lainnya menyatakan belum tentu sebelum dapat dibuktikan. Masalah semua ini terjadi karena kebenaran ilmu yang mereka akui sangat terkait dengan kepentingan yang bersangkutan atau kelompoknya.
Prilaku para elit di berbagai bidang serta tokoh-tokoh lainnya yang menggambarkan kebebasan berpendapat dan berbuat, memberikan ekses lain di masyarakat. Maka kemudian berkaitan dengan alasan tuntutan hidup, banyak timbul prilaku dan perbuatan-perbuatan yang kurang berdasar atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Banyak contoh, seperti: Masih sering kita dengar adanya sekelompok orang melakukan penebangan hutan secara liar. Ada pula kelompok masyarakat yang memaksa dikembalikannya tanah mereka, yang sebenarnya sudah mendapat ganti rugi. Begitu juga dalam menghadapi persaingan dan perbedaan ada usaha-usaha menjatuhkan lawan dengan prilaku dan tindakan yang melanggar hukum, atau ucapan-ucapan tidak etis. Akhirnya, dengan mengangkat masalah prilaku sosial yang mencuat saat ini, yang merupakan salah satu pemicu terjadinya desintegrasi bangsa, semoga bisa disadari dan dicermati dengan segala kearifan. (HRN, peneliti utama bidang sejarah dan nilai tradisional).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Sejak memasuki era milenium ketiga ini, bangsa Indonesia telah melangkah dengan gerakan reformasi. Gerakan reformasi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat dengan menegakkan demokrasi dan keadilan dalam masyarakat bangsa ini, dimulai dengan melengserkan kedudukan Soeharto sebagai presiden. Mahasiswa berperan banyak dalam peristiwa ini.
Selanjutnya tuntutan gerakan reformasi memasuki berbagai lembaga, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat umum. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan masyarakat mendapat kecaman, dan dituntut untuk ditata atau dihapus sama sekali. Dalam proses penataan inilah tidak dapat dihindari timbulnya polarisasi atau kontadiksi yang berkaitan dengan visi dan misi di kalangan tokoh-tokoh reformis sendiri. Bahkan sebagian dari mereka tidak bisa menerima, atau meragukan kereformasian kelompok masyarakat lainnya.
Perbedaan visi dan misi ini kemudian semakin tajam ketika kebebasan berorganisasi dan berpolitik terbuka seluas-luasnya. Ketika para elit politik yang didukung massanya mulai menonjolkan target perjuangan yang akan dicapai, yang dapat mengancam atau menghalangi tujan yang akan dicapai kelompok lainnya, mulailah terjadi ketidakserasian diantara satu dengan lainnya. Apa yang kita temui di masyarakat dengan banyaknya partai-partai politik dan golongan yang lahir sejak memasuki era reformasi ini tujuannya menjadi kabur.
Reformasi yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran tersebut kemudian berkembang dimana sebagian pendukungnya bersikap a priori terhadap segala apapun yang tidak dari golongannya. Kebenaran yang bisa diterimapun apabila sesuai dengan kepentingan dan interpretasi yang bersangkutan. Demikian juga kalangan yang menuntut demokrasi ini kemudian secara sadar atau tidak juga telah berbuat melampaui batas-batas yang menjadi hak kelompoknya. Banyak tokoh dan pendukung-pendukung suatu ogansasi yang merasa tidak cukup untuk mencapai tujuannya dengan hanya membenahi kelompoknya, tetapi telah mengatur dan mencampuri urusan kelompok lainnya.
Sampai saat ini dapat kita saksikan dimana para elit politik yang telah terpisah-pisah dalam berbagai partai politik di negara ini, sebagian mereka telah kehilangan kepribadian sebagai seorang negarawan. Banyak ucapan dan tingkah laku diantara mereka yang sudah jauh dari kepatutan, etis dan bermoral. Sementara masyarakat kita yang kurang kritis sulit membedakan mana yang harus diikuti dan harus ditolak. Pandangan-pandangan mereka yang secara sadar bertentangan dengan ketentuan dan hukum sekalipun, tetapi tetap disajikan kepada masyarakat awan, sungguh sangat berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Dari berbagai sikap para tokoh dan berbagai kalangan, tampaknya sebagian mereka sudah ditulari prasangka-prasangka sepihak. Sehingga masyarakat umum sulit dapat memahami pemikiran-pemikiran mereka. Lebih dari itu saat ini tampak berbagai institusi di masyarakat yang pemikiran-pemikirannya sering berseberangan. Para pengamat dari berbagai disiplin ilmu sulit ada yang sependapat dalam pentrapan ilmunya. Para pengamat politik berbeda pendapat dalam mentrapkan ilmu politiknya. Para ahli ekonomi menilai ekonom lainnya umumnya melakukan tindakan yang keliru. Para ahli hukum saling mencela dan memojokkan satu sama lainnya karena berbeda dalam mentrapkan ilmu hukum yang sama-sama mereka miliki. Yang satu mengatakan bahwa kesalahan seseorang dapat dilihat dari kasat mata, sementara ahli hukm lainnya menyatakan belum tentu sebelum dapat dibuktikan. Masalah semua ini terjadi karena kebenaran ilmu yang mereka akui sangat terkait dengan kepentingan yang bersangkutan atau kelompoknya.
Prilaku para elit di berbagai bidang serta tokoh-tokoh lainnya yang menggambarkan kebebasan berpendapat dan berbuat, memberikan ekses lain di masyarakat. Maka kemudian berkaitan dengan alasan tuntutan hidup, banyak timbul prilaku dan perbuatan-perbuatan yang kurang berdasar atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Banyak contoh, seperti: Masih sering kita dengar adanya sekelompok orang melakukan penebangan hutan secara liar. Ada pula kelompok masyarakat yang memaksa dikembalikannya tanah mereka, yang sebenarnya sudah mendapat ganti rugi. Begitu juga dalam menghadapi persaingan dan perbedaan ada usaha-usaha menjatuhkan lawan dengan prilaku dan tindakan yang melanggar hukum, atau ucapan-ucapan tidak etis. Akhirnya, dengan mengangkat masalah prilaku sosial yang mencuat saat ini, yang merupakan salah satu pemicu terjadinya desintegrasi bangsa, semoga bisa disadari dan dicermati dengan segala kearifan. (HRN, peneliti utama bidang sejarah dan nilai tradisional).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar