Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Benteng Madang terletak di Desa Madang Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan). Jarak antara Desa Madang dengan Banjarmasin sekitar 140 km.
Benteng Madang dibangun seiring dengan pecahnya Perang Banjar melawan penjajah Belanda di Bumi Lambung Mangkurat. Benteng ini terdapat di atas Gunung Madang salah satu dari bagian Pegunungan Meratus. Tempat tersebut sangat strategis untuk pertahanan, karena bila kita berada di tempat tersebut, maka daerah sekeliling dapat terlihat dengan mudah. Benteng tersebut dikelilingi oleh hutan semak belukar di sana–sini ditumbuhi bambu. Gunung Madang identik dengan Benteng Madang dengan luas sekitar 400 m2.
Di kaki Gunung Madang terdapat aliran-aliran sungai yang di tepinya banyak ditumbuhi ilalang dan pohon bambu. Pada aliran-aliran sungai yang mendekati tempat penyeberangan diadakan titian atau jembatan-jembatan yang apabila diinjak titian ini bergerak, dan kalau jatuh besar kemungkinan tertusuk benda tajam yang sengaja dipasang oleh pejuang-pejuang Antaludin. Akibatnya tidak hanya luka-luka bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian. Masyarakat menyebutnya sebagai “jembatan serongga”.
Jembatan-jembatan tersebut sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang Antaludin agar apabila musuh ingin memasuki daerah Gunung Madang akan terhalang atau mudah diketahui. Untuk memperkokoh pertahanan Benteng Madang diberi perlindungan dari pepohonan agar gelap di sang hari.
Pada bagian lain dibuat jalan rahasia untuk keluar pabila kemungkinan seangan musuh bisa tembus. Konon pernah serdadu Belanda mengadakan penjajakan untuk melihat dari dekat keadaan Benteng Madang, tetapi mereka tidak melihat apa-apa kecuali hutan semak belukar. Keadaan yang ganjil ini membuat serdadu Belanda penasaran. Sehingga suatu waktu tempat tersebut ditembaki oleh serdadu Benda dari jarak jauh. Ketika para serdadu Belanda tersebut kelelahan dan kehausan, mereka meminta air kelapa muda kepada masyarakat, tetapi yang terjadi setelah mereka meminum semua sakit perut dan ada yang meninggal.
Taktik gerilya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Antaludin membuat pemerintah kolonial Belanda kebingungan dan putus asa. Banyak serdadu Belanda yang terbunuh. Para pejuang Antaludin tidak pernah menyerah dan Benteng Madang tidak pernah direbut Belanda. Baru ketika benteng tersebut ditinggalkan oleh pejuang-pejuang Antaludin untuk bergerilya ke berbagai lokasi pertempuran, tentara Belanda menemukan tempat kosong setelah dengan susah payah berusaha mengepung untuk merebutnya.
Sejarah telah mencatat Perang Banjar dimulai sejak penyerangan terhadap tambang batu bara Belanda Oranye Nassau di Desa Pengaron yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dengan mengerahkan pasukan Muning pimpinan Sultan Kuning. Peristiwa ini terjadi pda tanggal 28 April 1859. Pangeran Hidayat memerintahkan kepada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat penyerangan terhadap tambang batu bara Oranye Nassau milik Belnda tersebut.
Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan massa lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Kemudian serentak rakyat Banjar bangkit mendukung perjuangan Pangeran Antasasri untuk mengusir Belanda dari tanah Banjar. Selanjutnya Perang Banjar berlangsung sampai dengan tahun 1904, suatu peperangan yang sangat melelahkan karena tergolong perang kolonial yang paling lama di Indonesia.
Pangeran Antasari dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaludin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Benteng Madang dibangun di sebuah puncak gunung di Desa Madang. Bangunan benteng dari bahan kayu madang yang ada di sekitarnya serta pagar hidup dari pohon bambu dengan luas kurang lebih 400m2 bertingkat dua, agar mudah mengintai musuh dari bagian teratas
Benteng Madang terletak di Desa Madang Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan). Jarak antara Desa Madang dengan Banjarmasin sekitar 140 km.
Benteng Madang dibangun seiring dengan pecahnya Perang Banjar melawan penjajah Belanda di Bumi Lambung Mangkurat. Benteng ini terdapat di atas Gunung Madang salah satu dari bagian Pegunungan Meratus. Tempat tersebut sangat strategis untuk pertahanan, karena bila kita berada di tempat tersebut, maka daerah sekeliling dapat terlihat dengan mudah. Benteng tersebut dikelilingi oleh hutan semak belukar di sana–sini ditumbuhi bambu. Gunung Madang identik dengan Benteng Madang dengan luas sekitar 400 m2.
Di kaki Gunung Madang terdapat aliran-aliran sungai yang di tepinya banyak ditumbuhi ilalang dan pohon bambu. Pada aliran-aliran sungai yang mendekati tempat penyeberangan diadakan titian atau jembatan-jembatan yang apabila diinjak titian ini bergerak, dan kalau jatuh besar kemungkinan tertusuk benda tajam yang sengaja dipasang oleh pejuang-pejuang Antaludin. Akibatnya tidak hanya luka-luka bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian. Masyarakat menyebutnya sebagai “jembatan serongga”.
Jembatan-jembatan tersebut sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang Antaludin agar apabila musuh ingin memasuki daerah Gunung Madang akan terhalang atau mudah diketahui. Untuk memperkokoh pertahanan Benteng Madang diberi perlindungan dari pepohonan agar gelap di sang hari.
Pada bagian lain dibuat jalan rahasia untuk keluar pabila kemungkinan seangan musuh bisa tembus. Konon pernah serdadu Belanda mengadakan penjajakan untuk melihat dari dekat keadaan Benteng Madang, tetapi mereka tidak melihat apa-apa kecuali hutan semak belukar. Keadaan yang ganjil ini membuat serdadu Belanda penasaran. Sehingga suatu waktu tempat tersebut ditembaki oleh serdadu Benda dari jarak jauh. Ketika para serdadu Belanda tersebut kelelahan dan kehausan, mereka meminta air kelapa muda kepada masyarakat, tetapi yang terjadi setelah mereka meminum semua sakit perut dan ada yang meninggal.
Taktik gerilya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Antaludin membuat pemerintah kolonial Belanda kebingungan dan putus asa. Banyak serdadu Belanda yang terbunuh. Para pejuang Antaludin tidak pernah menyerah dan Benteng Madang tidak pernah direbut Belanda. Baru ketika benteng tersebut ditinggalkan oleh pejuang-pejuang Antaludin untuk bergerilya ke berbagai lokasi pertempuran, tentara Belanda menemukan tempat kosong setelah dengan susah payah berusaha mengepung untuk merebutnya.
Sejarah telah mencatat Perang Banjar dimulai sejak penyerangan terhadap tambang batu bara Belanda Oranye Nassau di Desa Pengaron yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dengan mengerahkan pasukan Muning pimpinan Sultan Kuning. Peristiwa ini terjadi pda tanggal 28 April 1859. Pangeran Hidayat memerintahkan kepada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat penyerangan terhadap tambang batu bara Oranye Nassau milik Belnda tersebut.
Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan massa lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Kemudian serentak rakyat Banjar bangkit mendukung perjuangan Pangeran Antasasri untuk mengusir Belanda dari tanah Banjar. Selanjutnya Perang Banjar berlangsung sampai dengan tahun 1904, suatu peperangan yang sangat melelahkan karena tergolong perang kolonial yang paling lama di Indonesia.
Pangeran Antasari dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaludin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Benteng Madang dibangun di sebuah puncak gunung di Desa Madang. Bangunan benteng dari bahan kayu madang yang ada di sekitarnya serta pagar hidup dari pohon bambu dengan luas kurang lebih 400m2 bertingkat dua, agar mudah mengintai musuh dari bagian teratas
Benteng ini diberi perlindungan agar gelap pada siang hari dan dibuat jalan rahasia untuk keluar. Hal ini untuk memperkuat pertahanan dan tentara Belanda sulit merebut tempat ini. Tercatat ada lima kali serangan Belanda terhadap benteng ini.
Tanggal 3 September 1860 terjadi serangan mendadak oleh pasukan infantri Belanda sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda bergerak dari Benteng Amawang Belanda menyelusuri Desa Karang Jawa dan Desa Ambarai langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu terjadi serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya. Sehingga serdadu Belanda mundur kembali ke benteng Amawang di Kandangan.
Tanggal 4 September 1860 pasukan infantri Belanda dari batalyon ke 13 melakukan serangan kedua kalinya. Pasukan Belanda dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian (nara pidana) untuk membawa perlengkapan perang yang dijadikan umpan dalam pertempuran. Serdadu Belnda melemparkan 3 geranat tetepi tidak berbunyi dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Ketka Letnan De Bouw dan Sersan De Varies menaki Gunung Madang hanya diikuti serdadu bangsa Belanda, sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur. Dalam pertempuran Letnan De Brouw kena tembak di paha, sehingga serdadau Belanda mundur dan kembali ke Benteng Amawang.
Tanggal 13 September 1860 serangan ketiga Belanda terhadap Benteng Madang dipimpin oleh Kapten Koch dengan bantuan serdadu Belanda dari Banjarmasin dan Amuntai. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin dengan gagah berani menghadapinya. Disaat bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Pasukan Belanda dan Kapten Koch kembali mundur ke Benteng Amawang. Kegagalan serangan ketiga ini membuat belanda sangat malu karena tersebar sampai ke Banjarmasin.
Tanggal 18 September 1860 serangan Belanda yang keempat dipimpin oleh Mayor Schuak dengan pasukan infantri batalyon ke 13 yang terdiri dari beberapa opsir bangsa Belanda, dibantu oleh Kapten Koch dengan membawa sebuah heuwitser, sebuah meriam berat dan morter. Menjelang pukul11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. Letnan Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya kena tembak oleh anak buah Tumenggung Anataludin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Dengan bergegas pasukan Belanda menggotong tubuh Kapten Koch dan meninggalkan medan pertempuran, mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang.
Setelah serangan keempat ini gagal Belanda mempersipkan kembali untuk penyerangan yang kelima. Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin juga mempersipkan siasat dan strategi untuk menghadap serangan besar-besaran Belanda dengan keluar dan tidak berpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari pasukan Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari Gunung Pamaton.
Tanggal 22 September 1860 Belanda dengan persiapan teliti, belajar dari kegagalan dan beberapa kali dipermalukan dari empat kali serangan, Belanda mempersiapkan bidak-bidak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan Benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi esok harinya dengan tembakan meriam dan lemparan geranat. Menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin mengadakan serangan besar-besaran dengan berbagai jenis senapan yang dimiliki. Pertempuran berkobar hingga menjelang subuh. Karena pertempuran berlangsung di malam hari yang gelap gulita pasukan Belanda kehilangan komando. Situasi yang tegang ini digunakan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin beserta pasukannya untuk keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng dan selanjutnya berpencar. Suatu strategi yang dilakukan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin utuk menghindari kehancuran pasukannya. Sementara Kiai Cakrawati dan pasukannya juga berhasil meneruskan perjalanan menuju Gunung Pamaton.
Tanggal 3 September 1860 terjadi serangan mendadak oleh pasukan infantri Belanda sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda bergerak dari Benteng Amawang Belanda menyelusuri Desa Karang Jawa dan Desa Ambarai langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu terjadi serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya. Sehingga serdadu Belanda mundur kembali ke benteng Amawang di Kandangan.
Tanggal 4 September 1860 pasukan infantri Belanda dari batalyon ke 13 melakukan serangan kedua kalinya. Pasukan Belanda dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian (nara pidana) untuk membawa perlengkapan perang yang dijadikan umpan dalam pertempuran. Serdadu Belnda melemparkan 3 geranat tetepi tidak berbunyi dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Ketka Letnan De Bouw dan Sersan De Varies menaki Gunung Madang hanya diikuti serdadu bangsa Belanda, sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur. Dalam pertempuran Letnan De Brouw kena tembak di paha, sehingga serdadau Belanda mundur dan kembali ke Benteng Amawang.
Tanggal 13 September 1860 serangan ketiga Belanda terhadap Benteng Madang dipimpin oleh Kapten Koch dengan bantuan serdadu Belanda dari Banjarmasin dan Amuntai. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin dengan gagah berani menghadapinya. Disaat bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Pasukan Belanda dan Kapten Koch kembali mundur ke Benteng Amawang. Kegagalan serangan ketiga ini membuat belanda sangat malu karena tersebar sampai ke Banjarmasin.
Tanggal 18 September 1860 serangan Belanda yang keempat dipimpin oleh Mayor Schuak dengan pasukan infantri batalyon ke 13 yang terdiri dari beberapa opsir bangsa Belanda, dibantu oleh Kapten Koch dengan membawa sebuah heuwitser, sebuah meriam berat dan morter. Menjelang pukul11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. Letnan Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya kena tembak oleh anak buah Tumenggung Anataludin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Dengan bergegas pasukan Belanda menggotong tubuh Kapten Koch dan meninggalkan medan pertempuran, mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang.
Setelah serangan keempat ini gagal Belanda mempersipkan kembali untuk penyerangan yang kelima. Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin juga mempersipkan siasat dan strategi untuk menghadap serangan besar-besaran Belanda dengan keluar dan tidak berpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari pasukan Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari Gunung Pamaton.
Tanggal 22 September 1860 Belanda dengan persiapan teliti, belajar dari kegagalan dan beberapa kali dipermalukan dari empat kali serangan, Belanda mempersiapkan bidak-bidak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan Benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi esok harinya dengan tembakan meriam dan lemparan geranat. Menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin mengadakan serangan besar-besaran dengan berbagai jenis senapan yang dimiliki. Pertempuran berkobar hingga menjelang subuh. Karena pertempuran berlangsung di malam hari yang gelap gulita pasukan Belanda kehilangan komando. Situasi yang tegang ini digunakan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin beserta pasukannya untuk keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng dan selanjutnya berpencar. Suatu strategi yang dilakukan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin utuk menghindari kehancuran pasukannya. Sementara Kiai Cakrawati dan pasukannya juga berhasil meneruskan perjalanan menuju Gunung Pamaton.
Sementara itu dengan hati-hati pasukan Belanda memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin, tetapi alangkah kecewanya Belanda ternyata benteng sudah kosong dan hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
Demikian lah sejarah singkat Benteng Madang, sebuah tempat pertahanan para pejuang Perang Banjar di daerah Hulu Sungai Selatan (Kandangan) dalam menghadapi pasukan Belanda. Pada dasarnya benteng tersebut tidak berhasil direbut Belanda karena Benteng Madang ditinggalkan oleh pejuang Banjar kemudian melanjutkan perlawanan berikutnya ditempat lain yang lebih strategis. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin sampai akhir hayatnya tidak pernah menyerah kepda Belanda
Dengan susah payah, biaya yang besar dan dengan perang yang melelahkan serta banyaknya korban, Belanda sangat malu dan dikecewakan karena benteng yang akan direbut tidak lebih hanyalah tempat kosong belaka.
Sekarang lokasi situs Benteng Madang tetap terpelihara, sebagai situs sejarah dengan juru peliharanya. Bila sejarah adalah pertangungjawaban masa silam, maka situs Benteng Madang dengan segala kejadiannya merupakan saksi sejarah bahwa di sini di bumi Banjar telah terjadi suatu peristiwa kepahlawanan untuk melawan kolonial Belanda.
Pejuang Banjar di sini secara konsekwen dan konsesten memegang prinsip “HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING”. Suatu slogan dalam kehidupan orang Banjar dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang. (HRN: disusun dari barbagai sumber).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Demikian lah sejarah singkat Benteng Madang, sebuah tempat pertahanan para pejuang Perang Banjar di daerah Hulu Sungai Selatan (Kandangan) dalam menghadapi pasukan Belanda. Pada dasarnya benteng tersebut tidak berhasil direbut Belanda karena Benteng Madang ditinggalkan oleh pejuang Banjar kemudian melanjutkan perlawanan berikutnya ditempat lain yang lebih strategis. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin sampai akhir hayatnya tidak pernah menyerah kepda Belanda
Dengan susah payah, biaya yang besar dan dengan perang yang melelahkan serta banyaknya korban, Belanda sangat malu dan dikecewakan karena benteng yang akan direbut tidak lebih hanyalah tempat kosong belaka.
Sekarang lokasi situs Benteng Madang tetap terpelihara, sebagai situs sejarah dengan juru peliharanya. Bila sejarah adalah pertangungjawaban masa silam, maka situs Benteng Madang dengan segala kejadiannya merupakan saksi sejarah bahwa di sini di bumi Banjar telah terjadi suatu peristiwa kepahlawanan untuk melawan kolonial Belanda.
Pejuang Banjar di sini secara konsekwen dan konsesten memegang prinsip “HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING”. Suatu slogan dalam kehidupan orang Banjar dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang. (HRN: disusun dari barbagai sumber).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar