Rabu, 25 Mei 2011

LINTASAN SEJARAH BANJAR

(Kalimantan Selatan)

Menurut Hikayat Banjar, pada abad ke 14 di tanah Banjar berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan ini dibangun oleh seorang saudagar dari Negeri Keling yang bernama Empu Jatmika. Ia datang ke daerah ini memenuhi wasiat almarhum ayahnya yang bernama Mangkubumi. Empu Jatmika disuruh agar sepeninggal ayahnya supaya meninggalkan Negeri Keling dan mencari tempat tinggal baru yang tanahnya panas dan berbau harum (pen: subur dan aman).

Empu Jatmika dan keluarganya setelah berlayar ke utara kemudian sampai di suatu daerah bernama Hujung Tanah. Di sinilah ia kemudian menemukan tanah yang panas dan berbau harum tersebut. Empu Jatmika bersama anak-anak dan pembantunya kemudian mendirikan tempat tinggal dan membangun daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah Kahuripan atau Kuripan, yakni daerah Kota Amuntai sekarang. Untuk upacara keagamaan, ia mendirikan sebuah candi, yang kemudian dikenal dengan Candi Agung.

Sebagai tokoh pimpinan, yang kemudian diakui pula oleh penduduk di daerah tersebut, Empu Jatmika kemudian bergelar Maharaja di Canndi. Bahkan Kerajaan Negara Dipa ini semakin bertambah kuat dan wilayahnya semakin bertambah luas berkat usaha penaklukan terhadap daerah-daerah sekitarnya oleh para patih yang bernama Patih Magatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa.

Empu Jatmika memandang dirinya tidak lebih dari seorang saudagar. Ketaatannya memegang ajaran Trimurti, merupakan tonggak kukuh atas pandangannya bahwa kasta Waisye tidak mempunyai hak untuk memerintah. Sehubungan pandangannya itulah ia berwasiat kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat, bahwa sepeninggalnya nanti supaya dicari seorang raja yang sebenarnya.

Disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa setelah Empu Jatmika meninggal, Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat segera mencari orang yang berhak memerintah di Negara Dipa sesuai wasiat orang tua mereka. Disebutkan bahwa Lambung Mangkurat akhirnya menemukan seorang putri penjelmaan yang keluar dari pusaran air yang berbuaih, sehingga ia dikenal dengan sebutan Putri Junjung Buih.

Selanjutnya untuk mendapatkan seorang raja yang berhak memerintah di Negara Dipa, Patih Lambung Mangkurat menjodohkan Putri Junjung Buih dengan seorang putra raja Majapahit yang bernama Suryanata.

Pusat Kerajaan Negara Dipa yang dibangun oleh Empu Jatmika tersebut kemudian oleh raja yang ketiga sesudah Suryanata, yang bernama Sari Kaburungan dipindahkan ke daerah selatan. Pusat kerajaan yang baru ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Negara Daha. Bandar perdagangan juga dipindahkan dari bandar lama di Muara Rampiau ke bandar baru di Muara Bahan (Marabahan). Tidak lama setelah perpindahan kerajaan inilah Patih Lambung Mangkurat meninggal dan kemudian digantikan oleh Patih Aria Trenggana.

Sari Kaburungan kemudian digantikan oleh anaknya bernama Maharaja Sukarama (lihat silsilah Lambung Mangkurat, posting: 18-2-09). Raja yang baru ini mempunyai tiga orang anak, dua orang putra yakni Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung serta seorang putri bernama Ratu Intan (Putri Galuh). Dari anak putrinya ini Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu bernama Raden Samudera.

Diterangkan bahwa menjelang akhir hayatnya Maharaja Sukarama telah mewasiatkan kepada Patih Trenggana, bahwa apabila ia meninggal maka yang berhak menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Karena itulah sepeninggal Sukarama di Negara Dipa terjadi perebutan tahta. Maka untuk keselamatan Raden Samudera, Patih Aria Trenggana menyuruhnya agar meninggalkan istana. Sehingga Raden Samudera harus hidup menyamar sebagai anak nelayan di daerah orang Serapat, Belandian, Kuwen di muara Sungai Kuwen.

Sebagai anak yang tertua maka Pangeran Mangkubumi kemudian naik tahta mengganikan Sukarama. Namun karena suatu fitnah Pangeran Mangkubumi dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, adiknya sendiri.

Sementara itu seorang penguasa bandar di daerah di mana Raden Samudera menyamar sebagai anak nelayan bernama Patih Masih kemudian menemukan putra mahkota yang terbuang tersebut. Dan atas kesepakatan 5 orang patih, yakni Patih Masih, Patih Muhur, Patih Balit, Patih Kuwen dan Patih Balitung, maka Raden Samudera dirajakan di daerah Banjarmasin.

Tindakan para patih ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara Negara Daha dan Banjarmasin. Pertentangan yang timbul antara paman dan kemanakan (keponakan) ini membuat sejarah baru dengan adanya permintaan (atas usul Patih Masih) bantuan oleh Raden Samudera kepada Sultan Demak. Sultan Demak waktu itu (Sultan Trenggono) bersedia membantu dengan syarat kalau sudah menang Raden Samudera harus beragama Islam. Dan persyaratan ini diterima baik oleh Raden Samudera.

Disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa kelompok-kelompok yang membantu Raden Samudera terdiri atas 1000 orang Demak; serta rakyat di daerah yang dahulu merupakan daerah kekuasaan Maharaja Sukarama seperti Sambas, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Kutai, Berau, Pasir, Pamukan, Pulau Laut, Satui, Asam-asam, Kintap, Takisung, Tabanio, dan beberapa daerah lainnya; juga terdapat kelompok pedagang yakni orang Melayu, Cina, Bugis, Makasar dan orang Jawa yang ada di Banjarmasin

Perang ini berakhir dengan pengakuan secara tulus yang diberikan oleh Pangeran Tumenggung terhadap keponakannya (Raden Samudera) yang memang berhak atas kerajaan waktu itu. Atas pengakuan dan ketulusan Pangeran Tumenggung menyerahkan kerajaan kepada keponakannya tersebut, maka Raden Samudera kemudian menyerahkan daerah Batang Alai dan Batang Amandit untuk tetap diperintah oleh pamannya yang tetap bermukim di Negara Dipa.

Selanjutnya sesuai dengan perjanjian dengan Sultan Demak, maka Raden Samudera kemudian memeluk agama Islam. Ia kemudian bernama Sultan Suriansyah, dan sebagai pusat kerajaan ditetapkan di Banjarmasin yakni di daerah Desa Kuwen. Karena itulah Sultan Suriansyah dikenal sebagai raja pertama pendiri Kerajaan Banjar (Banjarmasin) yang beragama Islam. Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526-1550.

Kerajaan Banjar (Banjarmasin) ini selanjutnya oleh Sultan Mustainullah (Sultan yang ke 4) ibu kotanya dipindahkan ke daerah Martapura. Perpindahan ini berlangsung pada tahun 1612. Perpindahan tersebut didasari pertimbangan bahwa ditempat baru itu selain tanahnya bertuah, maka karena tempatnya jauh di pedalaman akan sukar didatangi oleh orang-orang asing (Inggeris dan Belanda yang waktu itu kapal-kapalnya sudah sampai di Banjarmasin).

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah (1761-1801) penyebaran Islam di Kerajaan Banjar mengalami penyebaran pesat. Pada waktu itu di ibu kota Kerajaan Banjar hidup seorang ulama besar bernama Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang telah kembali setelah belajar agama selama 32 tahun di Mekah.

Salah seorang sultan yang pada masa pemerintahannya berusaha menanamkan ajaran Islam kepada rakyatnya adalah Sultan Adam Alwasikh Billah (1825-1857). Sultan Adam telah memberlakukan suatu undang-undang yakni Undang-Undang Sultan Adam yang mewajibkan rakyatnya menjalankan syaria’at Islam dalam kehidupannya di masyarakat.

Kerajaan yang dibangun Sultan Suriansyah pada abad ke 16 dan bermula dari cikal bakal di Negara Dipa ini akhirnya dihapuskan secara sepihak oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 11 Juni 1860, dengan terlebih dahulu menurunkan dari tahta kerajaan sultan terakhir ialah Sultan Tamjidillah.

Namun Perang Banjar yang dicetuskan Pangeran Antasari bersama dengan Pangeran Hidayatullah (1859-1905) terus berlangsung secara sepuradis di bumi Banjar. Walaupun Pangeran Hidayatullah kemudian diasingkan ke Cianjur dan Pangeran Antasari meninggal karena sakit tahun 1862, perlawanan terus berkobar di bawah pimpinan Gusti Muhammad Seman putra Pangeran Antasari. ( Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional BKSNT Yogyakarta)..

Minggu, 15 Mei 2011

PERISTIWA 20 MEI 1908



PERISTIWA 20 MEI 1908 KEBANGKITAN YANG BELUM SEPENUHNYA TERWARISI


Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi


Menurut pandangan sejarah peristiwa 20 Mei 1908 merupakan titik pangkal dari kegiatan perjuangan nasional bangsa Indonesia. Peristiwa yang ditandai oleh berdirinya sebuah organisasi yang bernama Budi Utomo itu kemudian dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Karena arti penting dari kejadian itu dinyatakan sebagai awal lahirnya cita-cita kemerdekaan nusa dan bangsa secara menyeluruh, di samping timbulnya tekad untuk bersatu dalam menghadapi segala kesukaran bersama.

Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 telah didahului oleh suatu peristiwa yang bersifat internasional. Peristiwa yang membuka mata dan memutuskan belenggu mental “minderwaardeg” bangsa-bangsa Asia, suatu anggapan bahwa bangsa Timur tidak akan dapat sejajar apalagi melebihi bangsa Barat.

Sesuatu yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya telah terjadi. Jepang waktu itu sebagai sebuah negara kecil yang baru bangun di Asia, diluar dugaan telah berhasil mengalahkan Rusia sebuah negara besar di Eropah Timur dalam perang tahun 1904-1905. Kejadian inilah yang menggerakkan palu canang genderang di seluruh Asia, yang menimbulkan kesadaran bahwa bangsa Asia pun dapat mencapai tingkat kemajuan yang sebelumnya dikira hanya dapat dicapai oleh bangsa Barat saja.

Peristiwa kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia tersebut merupakan suatu ledakan di Asia sebagai “Costerse Renaissance”. Bangsa-bangsa Timur yang waktu itu dijuluki bangsa kulit berwarna telah bangkit dari tidurnya., mereka telah sadar akan harga diri bangsanya sendiri. Sejak itulah bangsa-bangsa Timur sadar akan tujuan utama hendak mencapai persamaan hak dan martabat dengan bangsa Barat.

Di Indonesia ide mengangkat derajat bangsa ini diwujudkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo melalui sebuah lembaga “Studie Fonds” yang berusaha mengumpulkan dana untuk membiayai pemuda-pemuda yang cakap tapi tidak mampu membiayai sekolahnya.
Himbauan yang dikumandangkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dalam usaha mengumpulkan dana tersebut ternyata mendapat respon positif dari beberapa mahasiswa sekolah dokter di Jakarta.

Di antara mereka itu kemudian dikenal dengan nama Dr. Sutomo dan Dr. Gunawan Mangunkusumo. Dalam rangka mewujudkan ide mengangkat derajat bangsa itu kedua mahasiswa tersebut telah membuat suatu program yang lebih luas di dalam suatu wadah yang disebut “Budi Utomo”.

Demikian Budi Utomo lahir dan bergerak dalam pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan teknik-industri, kebudayaan, ilmu, cita-cita kemanusiaan, dan segala yang perlu untuk menjamin kehidupan bangsa yang terhormat. Tidak dimungkiri apabila Budi Utomo dalam masa permulaannya masih berada dalam “Fase Locaal patriotisme” fase kedaerahan. Namun dalam kongresnya yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 5 Oktober 1908 Budi Utomo telah menunjukkan peranannya sebagai suatu organisasi yang berhasil mempersatukan segenap unsur yang mewakili lapisan masyarakat.

Dalam kongres itu hadir dari kaum tua dan muda, golongan Islam, Kristen, Katholik, golongan rakyat dari yang tak bergelar sampai kepada para Pangeran. Suatu peristiwa sejarah yang patrut ditekuni, bahwa bangasa Indonesia sejak saat itu telah dapat dipersatukan apabila ada kepentingan bersama yang sungguh-sungguh “dirasai” dan “diinsafi” bersama. Sementara adanya fase local patriotisme pada masa-masa permulaan dari Budi Utomo lebih ditekankan karena masalah komunikasi dan transportasi.

Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 telah menimbulkan akibat sosial di kawasan Nusantara ini. Organisasi ini kemudian diikuti oleh munculnya organisasi-organisasi lain dengan berbagai macam azas dan programnya. Ada yang bersikap kooperasi ada pula yang bersifat non kooperasi terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Cara yang ditempuh berbeda-beda, tetapi tujuan yang hendak diwujudkan pada hakekatnya sama “Indonesia Merdeka”.

Organisasi-organisasi rakyat yang lahir di Jawa yang dimulai dan dirintis oleh Budi Utomo tersebut, banyak kemudian yang mempunyai cabang-cabangnya di beberapa daerah di Indonesia. Dan adanya organisasi-organisasi ini, merupakan pola baru bagi sistem perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda. Peralawanan yang bersifat “gerakan” yang lebih ditentukan oleh siapa pemimpinnya telah ditinggalkan. Perlawanan pola baru terhadap penjajah telah menggunakan sifat “pergerakan”, yang lebih menekankan pada “organisasi yang teratur”. Sehingga dengan cara yang baru ini, perlawanan terhadap penjajah tidak lagi akan berhenti atau bubar apabila sang pemimpin tewas atau menyerah, karena dengan sifat organiosasi seseorang pemimpin atau ketua selalu mungkin untuk diganti dengan orang lain apabila yang bersangkutan ternyata tidak mampu mengemban atau menjalankan tugasnya lagi.

Organisasi-organisasi yang lahir sejak Budi Utomo tersebut merupakan potensi baru dalam perjuangan melawan penjajah Belanda . Timbulnya rasa persatuan yang dilandasi “antithese” yakni masa pertentangan antara penjajah dengan yang dijajah , antara faham kolonial dengan faham nasional, antara kekuasaan asing dengan masyarakat kebangsaan.

Demikianlah lahirnya Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 merupakan tonggak awal timbulnya keinsafan dan keyakinan bahwa hanya kesatuan tekad yang revolusioner dan nasional untuk mencapai Indonesia Merdeka. Kebangkitan 20 Mei 1908 akhirnya membuahkan Proklamasi 17 Agustus 1945, membuahkan kemerdekaan Indonesia.

Pada saat ini bangsa Indonesia sudah berada pada fase Repormasi, sesuai dengan cita-cita Budi Utomo yang menghendaki berubahnya segala yang merintangi kemajuan bangsa, supaya bangsa ini dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain serta supaya semua lapisan masyarakat Indonesia dapat mengecap kesejahteraan yang layak sebagai manusia, maka dengan semangatnya Hari Kebangkitan Nasional ini, seyogianyalah bangsa ini bangkit dari “moral” yang menjadikan rakyat ini tidak beranjak dari keterbelakangan martabat dan keterbelakangan kehidupan.

Peristwa 20 Mei 1908 adalah bukti adanya kesadaran orang-orang Asia, termasuk pendahulu-pendahulu bangsa ini (Indonesia) untuk membawa bangsa dan negara ini ketingkat sama dan sederajat dengan bangsa Barat yang dianggap lebih maju, lebih kuat dan lebih jaya. Para pemimpin bangsa-bangsa di Asia ketika itu sadar bahwa kita juga bisa unggul seperti Barat, setelah melihat ternyata ada negara di Asia (Jepang) yang dapat menunjukkan bahwa bangsa mereka dapat lebih unggul dari bangsa Barat (Rusia).

Apakah kesadaran itu sudah terwarisi oleh bangsa Indonesia, oleh para tokoh, oleh para pemuka, oleh para pemimpin. Bumi negeri ini kaya, padahal ada beberapa negeri di Asia yang kerdil, tapi mereka maju berjaya. Bisakah bangsa Indonesia sama dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain?. Mengapa tidak, kalau kita mau bangkit dari ketidak sadaran saat ini.

Apa yang dilupakan bangsa ini untuk bisa maju dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Sadarkah kita bahwa bangsa yang maju identik dengan bangsa yang ber “disiplin”. Bangsa yang makmur identik dengan bangsa yang “jujur”. Bangsa yang dikagumi identik dengan bangsa yang “menjaga harga diri”, malu melakukan yang salah.


Mampukah kita bangsa ini "berdisiplin" dalam berbagai hal, maukah kita bangsa ini berlaku “jujur” dalam berbagai hal, sediakah kita bangsa ini “menjaga harga diri” atau adakah “rasa malu” dalam melakukan yang salah. Walahu a’lam. Tapi menurut saya itulah sekurang-kurangnya indikator dari kebangkitan bangsa yang harus dipenuhi pada saat ini. (HRN: Peneliti Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional).