Oleh: H. Ramli Nawawi
1. Penduduk Asli
Penduduk asli Kalimantan Selatan secara umum disebut suku bangsa Banjar. Daerah Kalimantan Selatan (daerah Banjar) yang sering disebut ”Bumi Lambung Mangkurat” atau ”Bumi Antasari” atau juga ”Banua Banjar” yang wilayahnya terbentang dari utara mulai daerah Tabalong (Tanjung) hingga ke selatan Tanjung Selatan merupakan ”melting-pot” manusia-manusia yang menciptakan suku bangsa Banjar.
Beberapa suku bangsa seperti Maanyan, Lawangan, Dusun Deyah, Ngaju dan lainnya yang mengalami proses percampuran darah dengan suku bagsa Melayu, Jawa, Bugis, Mandar, juga Arab dan Cina, melahirkan suku bangsa Banjar.
Identitas utama yang mengikat suku bangsa Banjar adalah bahasa Banjar sebagai media umum dalam komunikasi yang telah menjadi ”lingua franca”. Pembanjaran dalam segi bahasa ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Selatan, juga tidak terkecuali terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
2. Latar Belakang Kebudayaan
Di daerah ini semula suku bangsa Maanyan, Lawangan, Dusun Deyah dan Ngaju dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Jawa, disatukan oleh kerajaan yang beragama Budha, Shiwa, dan paling akhir oleh Kerajaan Banjar yang beragama Islam, yang menumbuhkan kebudayaan Banjar dan bahasa Banjar dengan berbagai dialeknya
Bahasa Banjar dan agama Islam dibawah pengaruh kekuasaan dinasti Banjar di Kayu Tangi (Martapura), mengukuhkan daerah Banjar dan suku bangsa Banjar menjadi satu kesatuan wilayah. Suku bangsa Dayak yang ber kepercayaan Kaharingan dan baragama Kristen tetap menyebut diri mereka orang Dayak. Sedangkan mereka orang-orang Dayak yang memeluk agama Islam, berbahasa Banjar, meninggalkan bahasa ibu mereka, lalu mereka menyebut diri orang Banjar.
Suku bangsa Bukit di Pegunungan Meratus menyebut kepercayaan mereka ”agama Balian”. Kepercayaan terhadap ”agama balian” dan ”agama Kaharingan” oleh suku bangsa Dayak umumnya tetap bertahan Pada zaman berdirinya Kerajaan Negara Dipa dan Kerajaan Negara Daha di Kalimantan Selatan masuk unsur-unsur agama Budha dan Shiwa. Sisa peninggalan-peninggalan yang masih ada sampai sekarang adalah subsemen Candi Laras di Margasari (Rantau) dan Candi Agung (Amuntai). Pengaruh unsur-unsur religi dan budaya yang hidup sejak masa lalu tersebut sebagian masih terasa dalam kebudayaan Banjar.
Ketika Belanda masuk diikuti dengan gerakan Zending dan Missi di daerah Barito, Pulau Petak, Tamiang Layang dan Kuala Kapuas. Kebudayaan barat yang utama pengaruhnya berupa Pendidikan dari Barat, Ekonomi Keuangan, Hukum (Belanda), di samping agama Kristen, dan lainnya.
3. Bahasa Banjar
Bahasa Banjar terdiri dari berbagai dealek. Secara garis besar terdiri atas dua bagian, yaitu Bahasa Banjar Hulu dan Bahasa Banjar Kuala. Dalam Bahasa Banjar Hulu maupun Bahasa Banjar Kuala sama-sama terdapat berbagai sub dealek. Menurut Kern bahwa dealek Banjar tergantung daerah yang bersangkutan, seperti dealek Banjar Martapura, Kandangan, Kelua, Barabai, Amuntai, dan lainnya.
Tulisan atau huruf yang digunakan umumnya huruf atau tulisan Arab gundul dengan bahasa tulis bahasa Melayu. Semua naskah kuno yang ditulis dengan tangan seperti puisi, Syair Siti Zubaidah, syair Tajul Muluk, syair Burung Karuang, dan bahkan Hikayat Banjar dan Tutur Candi menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu.
Karena adanya pengaruh bahasa Jawa dan Melayu, terutama dalam bahasa Keraton yang meluas dalam kalangan atas dan menengah, terdapat pula ”Social Levels” dalam bahasa yang dipakai antara golongan penguasa dan rakyat. Dalam bahasa halus pengaruh Jawa dominan sekali, yang membedakan bahasa yang dipakai antara golongan atas kepada golongan bawah, atau antara yang tua terhadap yang muda.
Sebagai bahasa retual dalam menjalankan ibadah Islam berlaku bahasa Arab. Tetapi dalam upacara yang berhubungan dengan adat atau kepercayaan menggunakan bahasa campuran antara Arab, Melayu, Banjar dan Jawa. Dalam mantera misalnya dimulai dengan nafas Islam yaitu Bismillah, kemudian inti mantera diucapkan dalam bahasa Melayu atau bahasa Banjar, kemudian ditutup dengan nafas Islam yaitu berkat La ila ha illallah Muhammad rasulullah.
Bahasa Banjar adalah bahasa sastra lisan. Dulu apabila berpidato, menulis atau mengarang orang Banjar menggunakan bahasa Melayu Banjar dan aksara Arab. Bahasa Indonesia tidak membawa kesulitan bagi orang Banjar sampai ke daerah yang jauh di udik-udik. Rakyat biasa yang tinggal di udik-udik dapat dengan mudah memahaminya sebagai bahasa Melayu. (HRN: disusun dari berbagai sumber).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
1. Penduduk Asli
Penduduk asli Kalimantan Selatan secara umum disebut suku bangsa Banjar. Daerah Kalimantan Selatan (daerah Banjar) yang sering disebut ”Bumi Lambung Mangkurat” atau ”Bumi Antasari” atau juga ”Banua Banjar” yang wilayahnya terbentang dari utara mulai daerah Tabalong (Tanjung) hingga ke selatan Tanjung Selatan merupakan ”melting-pot” manusia-manusia yang menciptakan suku bangsa Banjar.
Beberapa suku bangsa seperti Maanyan, Lawangan, Dusun Deyah, Ngaju dan lainnya yang mengalami proses percampuran darah dengan suku bagsa Melayu, Jawa, Bugis, Mandar, juga Arab dan Cina, melahirkan suku bangsa Banjar.
Identitas utama yang mengikat suku bangsa Banjar adalah bahasa Banjar sebagai media umum dalam komunikasi yang telah menjadi ”lingua franca”. Pembanjaran dalam segi bahasa ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Selatan, juga tidak terkecuali terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
2. Latar Belakang Kebudayaan
Di daerah ini semula suku bangsa Maanyan, Lawangan, Dusun Deyah dan Ngaju dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Jawa, disatukan oleh kerajaan yang beragama Budha, Shiwa, dan paling akhir oleh Kerajaan Banjar yang beragama Islam, yang menumbuhkan kebudayaan Banjar dan bahasa Banjar dengan berbagai dialeknya
Bahasa Banjar dan agama Islam dibawah pengaruh kekuasaan dinasti Banjar di Kayu Tangi (Martapura), mengukuhkan daerah Banjar dan suku bangsa Banjar menjadi satu kesatuan wilayah. Suku bangsa Dayak yang ber kepercayaan Kaharingan dan baragama Kristen tetap menyebut diri mereka orang Dayak. Sedangkan mereka orang-orang Dayak yang memeluk agama Islam, berbahasa Banjar, meninggalkan bahasa ibu mereka, lalu mereka menyebut diri orang Banjar.
Suku bangsa Bukit di Pegunungan Meratus menyebut kepercayaan mereka ”agama Balian”. Kepercayaan terhadap ”agama balian” dan ”agama Kaharingan” oleh suku bangsa Dayak umumnya tetap bertahan Pada zaman berdirinya Kerajaan Negara Dipa dan Kerajaan Negara Daha di Kalimantan Selatan masuk unsur-unsur agama Budha dan Shiwa. Sisa peninggalan-peninggalan yang masih ada sampai sekarang adalah subsemen Candi Laras di Margasari (Rantau) dan Candi Agung (Amuntai). Pengaruh unsur-unsur religi dan budaya yang hidup sejak masa lalu tersebut sebagian masih terasa dalam kebudayaan Banjar.
Ketika Belanda masuk diikuti dengan gerakan Zending dan Missi di daerah Barito, Pulau Petak, Tamiang Layang dan Kuala Kapuas. Kebudayaan barat yang utama pengaruhnya berupa Pendidikan dari Barat, Ekonomi Keuangan, Hukum (Belanda), di samping agama Kristen, dan lainnya.
3. Bahasa Banjar
Bahasa Banjar terdiri dari berbagai dealek. Secara garis besar terdiri atas dua bagian, yaitu Bahasa Banjar Hulu dan Bahasa Banjar Kuala. Dalam Bahasa Banjar Hulu maupun Bahasa Banjar Kuala sama-sama terdapat berbagai sub dealek. Menurut Kern bahwa dealek Banjar tergantung daerah yang bersangkutan, seperti dealek Banjar Martapura, Kandangan, Kelua, Barabai, Amuntai, dan lainnya.
Tulisan atau huruf yang digunakan umumnya huruf atau tulisan Arab gundul dengan bahasa tulis bahasa Melayu. Semua naskah kuno yang ditulis dengan tangan seperti puisi, Syair Siti Zubaidah, syair Tajul Muluk, syair Burung Karuang, dan bahkan Hikayat Banjar dan Tutur Candi menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu.
Karena adanya pengaruh bahasa Jawa dan Melayu, terutama dalam bahasa Keraton yang meluas dalam kalangan atas dan menengah, terdapat pula ”Social Levels” dalam bahasa yang dipakai antara golongan penguasa dan rakyat. Dalam bahasa halus pengaruh Jawa dominan sekali, yang membedakan bahasa yang dipakai antara golongan atas kepada golongan bawah, atau antara yang tua terhadap yang muda.
Sebagai bahasa retual dalam menjalankan ibadah Islam berlaku bahasa Arab. Tetapi dalam upacara yang berhubungan dengan adat atau kepercayaan menggunakan bahasa campuran antara Arab, Melayu, Banjar dan Jawa. Dalam mantera misalnya dimulai dengan nafas Islam yaitu Bismillah, kemudian inti mantera diucapkan dalam bahasa Melayu atau bahasa Banjar, kemudian ditutup dengan nafas Islam yaitu berkat La ila ha illallah Muhammad rasulullah.
Bahasa Banjar adalah bahasa sastra lisan. Dulu apabila berpidato, menulis atau mengarang orang Banjar menggunakan bahasa Melayu Banjar dan aksara Arab. Bahasa Indonesia tidak membawa kesulitan bagi orang Banjar sampai ke daerah yang jauh di udik-udik. Rakyat biasa yang tinggal di udik-udik dapat dengan mudah memahaminya sebagai bahasa Melayu. (HRN: disusun dari berbagai sumber).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
2 komentar:
nice info
aku orang banjar tapi tidak tahu sama sekali mengenai banjar.
Tinggal diman pian..??? jadi kada tau ...
Posting Komentar