4. LIKA-LIKU CINTA (1)
(Ceritera ini fiksi, kalau ada kesamaan nama dan tempat serta lainnya, hanya dibuat kebetulan, sambungan posting: tgl. 2-6-2012, oleh
Ramli Nawawi)
Kedekatan Ana dan Ali setelah masing-masing menyimpan secarik kertas
dokumen cinta mereka berdua semakin hari semakin tampak di kalangan teman-teman
mereka. Bahkan kadang pada hari Minggu dengan alasan konsultasi sesuatu kepda
guru pimpinan asrama tempat Ali, Ana dan Ani temannya datang ke asrama Ali.
”Li, ada tamu istimewa tuh di depan”, bilang temannya kepada Ali yang lagi
asyik di kamarnya.
”Siapa”, kata Ali dingin, walaupun ia dapat menduga kalau itu Ana dan
temannya.
”Lihat dulu lah...”, sambung temannya.
”Ngga, tanya dulu mau ketemu siapa mereka”, bilang Ali.
Teman Ali pergi ke depan, sambil menyilakan Ana dan temannya masuk.
”Mau ketemu siapa......”, bilang teman Ali.
”Bapak ada....”, tanya Ana.
Ana sungkan kalau bilang mau ketemu Ali, karena itu biar ia bilang mau
ketemu bapak asrama saja.
”Ada .....”, bilang teman Ali yang dalam benaknya ”kok mau ketemu guru,
bukannya mau ketemu Ali yang selama ini selalu dekat.
”Pa...ada tamu”, bilang teman Ali sambil mengetuk pintu kamar gurunya.
”Sebentar...., silakan duduk dulu”, sahut bapak asrama.
Mendengar percakapan mereka Ali sadar bahwa tamu tersebut adalah Ana. Tapi
mengapa Ana bilang mau ketemu bapak asrama, bukan mau ketemu dia. Apa memang ia
begitu, atau karena Ana jengkel Ali tidak keluar menemuinya. Ada penyesalan
dalam hati Ali. Karena itu ia memutuskan tetap tidak keluar menemui Ana.
”Oh... kamu-kamu, ayo mari masuk aja”, kata bapak asrama begitu keluar
kamarnya, sambil mengajak masuk Ana dan kawannya.
Memang biasanya setiap ada tamu bapak asrama mengajak mereka masuk ke
kamarnya, baik tamu laki-laki atau perempuan yang datang tidak sendirian. Di
kamar bapak asrama ini memang ada kursi tamunya.
”Tumben ada apa, libur-libur datang ke asrama”, kata bapak asrama sambil menyilakan keduanya duduk.
”Jalan-jalan aja pak”, bilang teman Ana.
”Ya pak dari pada sepi, di asrama kami banyak teman yang pulang kampung”,
sambung Ana.
”Kamu berdua tidak pulang”, bilang bapak asrama.
”Kita berdua kan rumah masih dalam kota, jadi tidak hari libur juga bisa
pulang sebentar”, bilang teman Ana yang diiyakan oleh Ana.
Setelah bincang-bincang mengenai pelajaran yang diberikan pak guru di
sekolah, Ana memberi isyarat kepada temannya kalau ia mengajak pulang. Karena
sebenarnya tujuan Ana datang bukan untuk bertemu guru asrama, maka tidak berapa
lama Ana dan temannya pamit untuk pulang.
”Pa... maaf nih kami mau permisi aja”, bilang Ana kepada pak guru.
”Loo...sebentar aja, mau kemana lagi”, sahut pak guru.
”Ya... namanya juga jalan-jalan pak, jadi serba sebentar aja”, bilang teman
Ana, sambil keduanya berdiri pamit kepada bapak asrama
”Na..kemana lagi kita”, tanya teman Ana, setelah mengambil kendaraan dan
keluar pekarangan asramanya Ali.
”Ke rumah aku yu”, sahut Ana yang ingin menggunakan waktu senggang hari itu
untuk menemui ibunya.
”Ayu..setuju..”, teman Ana meiyakan.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, rasa kecewa Ana saat berkunjung ke asrama
Ali masih mengganggunya. Namun semua itu ia coba untuk menyimpannya agar tidak tampak
mempengaruhinya. Ia berusaha agar tetap wajar ketika betemu dengan ibunya dan
keluarganya yang lain.
Ketika memasuki pekarangan rumah ibu Ana, rumah tampak sepi. Karena itu Ana
mengajak temannya masuk lewat pintu tiras samping. Karena pintunya terbuka Ana
langsung masuk bersama temannya sambil mengucapkan salam.
”Assalamualaikum, mana orangnya nih”, cari Ana.
”Alaikum salam, oh kamu Na”, sahut ibunya yang baru saja melepas pekerjaan
rumahnya.
“Wah ibu pasti selalu bersih-bersih rumah”, sapa teman Ana yang sudah kenal benar dengan ibu Ana, dan tahu kalau ibu
Ana sangat menjaga kebersihan rumahnya.
“Ngga lagi santai aja” tukas ibu Ana, ”mari mau duduk dimana, di ruang depan...?”,
tanya ibu Ana.
“Sini aja bu, saya dan Ana juga hari ini lagi santai bu”, kata teman Ana
sambil duduk di lantai yang tampak sangat bersih.
”Maunya santai di sini ya, mari bisa”,
bilang ibu Ana, sambil ia juga duduk bersama temannya Ana.
Ana masih di dapur, ia menyiapkan minuman dan kue simpanan ibunya. Kemudian
menggabung dengan keduanya sambil membawa minuman untuk mereka.
”Seadanya Ni lah”, kata Ana sambil
mengajak Ani temannya mencicipi hidangannya.
”Silakan”, kata ibu Ana, ” lagi sepi
ya di asrama jadi bisa pulang”, sambung ibu Ana.
”Ya bu, kawan-kawan banyak yang
menyempatkan pulang juga”, sahut teman Ana sambil mulai mengambil kue yang
dihidangkan Ana.
”Minumnya lagi?”, tanya Ana melihat
gelas minum temannya sudah separo. Ana yang tadinya banyak diam karena
kecewanya belum hapus, kini sudah mulai bisa senyum. Melihat Ana mulai tampak
ceria, temannya juga mulai berani bicara bercanda kepda ibunya Ana.
”Bu, Ana sudah punya pilihan lo”,
cetus temannya.
”Pilihan apa...”, tanggap ibunya
curiga.
”Ya... teman pilihanan lah bu”,
jelas Ani temannya.
”Ani ngarang bu”, sanggah Ana.
”Belajar yang baik dulu lah...”. pinta ibu
Ana, ”dan nanti hati-hati kalu menetapkan pilihan”, pesannya.
”Nah dengar tuh Na”, ucap Ani kepada Ana.
”Ah... kamu Ni yang macam-macam”, elak Ana, sambil mengajaknya kembali ke
asrama.
”Ni sudah siang benar, ke asrama yu”, sambungnya.
”Makan dulu masakan ibu”, pinta ibu Ana.
”Sayang bu, jatah makan di asrama hari ini banyak bu karena banyak yang
pulang kampung”, jelas Ani kepada ibu Ana.
”Ma... kembali ke asrama dulu”, Ana menjabat tangan ibunya dan menciumnya.
Diikuti pula oleh Ani temannya.
”Hati-hati di jalan”, kata ibu Ana sambil berdiri.mau melepas kepergian Ana
dan temannya.
Ana dan temannya meninggalkan rumah ibu Ana dengan kendaraan berboncengan
menuju asrama mereka. Tiba di asrama Ana langsung masuk kamar dan merebahkan
dirinya. Teringat peristiwa pagi tadi, lahir kembali rasa kecewanya juga
secercah tanda tanya di hatinya ”mengapa Ali bersikap acuh seperti tidak tahu kedatangannya”.
Tapi kegalauan hatinya sirna seketika karena dari arah pintu kamarnya ada
suara memangglnya: ”Na makan...!”, seru salah seorang teman giliran pikat
asrama.
.”Teman-teman yang tidak pulang kampung, ayu makan siang....sudah
siaap....”, seru anggota pikat lainnya.
Makan bersama di meja makan yang biasa dibaringi canda ria penghuni asrama pada
siang itu, membuat Ana bisa menghilangkan pertanyaan-pertanyaan yang timbul
gara-gara kegagalannya bertemu Ali hari tersebut.
Malam hari ketika waktu belajar bersama, Ana sudah bersikap wajar-wajar
saja, tak tampak bekas-bekas kekecewaan yang hari itu membuatnya sangat
kecewa.
Besok paginya sehabis upacara bendera, Ali sengaja lewat di teras depan kelas
Ana. Ana yang sedang kumpul dengan teman sekelasnya, tampak sengaja tidak
menoleh lewatnya Ali. Memang kecewanya di hari Minggu kemaren masih berbekas
di hatinya. Ali sadar akan kekecewaan
Ana kemaren itu. Tapi Ana tidak tahu kalau Ali juga sangat menyesal akan
perilakunya terhadap tamu yang sebenarnya dari isyarat kawannya ia tahu kalau
tamu itu Ana. Tapi mengapa Ana juga tidak berterus terang kalau ia sebenarnya
datang untuk bertemu Ali.
Sudah seminggu berlalu, kesempatan Ali untuk mengucapkan kata maaf kepada
Ana belum juga tersampaikan. Tidak ada momen yang baik yang bisa mempertemukan
keduanya. Ali sungkan mendekati Ana ketika ia berkumpul dengan teman-teman
sekelasnya. Apalagi sepertinya Ana sengaja tidak memberikan ruang waktu
kesempatan mereka bertemu berdua saja. Ia sengaja memberi ujian kepada Ali,
sejauh mana kebenaran Ali menjatuhkan pilihan kepadanya.
(bersambung ke posting tgl.: 1-9-2012)
(bersambung ke posting tgl.: 1-9-2012)
.
1 komentar:
Cieeee...bagus banget "Fiksi"nya eyang...seperti kisah nyata..kayaknya sudah terpatri abadi di dalam hati nich..Kalo ada sempatnya, di tunggu kisah selanjutnya..he he he..
Sungkem Kami sekeluarga dari Yogya Kagem Eyang Ali dan Eyang Ana ..Selamat Menjalankan Ibadah Puasa..
Posting Komentar