Oleh: Ramli Nawawi
Seiring
dengan berkembangnya Kota Yogyakarta yakni sejak diberlakukannya Perjanjian
Gianti tahun 1755 yang menetapkan pembangian Kerajaan Mataram atas Kesunanan
Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta, sejak itu pula banyak para pedagang dari berbagai daerah yang
mengadu nasib ke Yogyakarta. Bersamaan itu pula para penggurijaan intan dari Banjarmasin
yang sudah lama pulang-pergi membawa barang dagangan ke Kota Solo, bahkan sudah ada yang menetap di
Kampung Jayengan Solo, dan mulai banyak pula yang berdagang ke Kota Yogyakarta.
Sebagai sebuah ibu kota kerajaan, Yogyakarta semakin banyak dikunjungi pedagang termasuk
para pedagang Belanda. Di antara pedagang Belanda tersebut di antaranya banyak
juga yang ikut berjual-beli batu permata terutama intan dan berlian. Di samping
itu keluarga kraton sendiri banyak yang suka mengoleksi batu-batu permata
dimaksud. Situasi kehidupan di Yogyakarta yang semakin ramai perdagangannya
itulah yang akhirnya mengundang pedagang-pedagang intan dari Banjarmasin
semakin banyak di kota
tersebut. Beberapa di antara pedagang Banjar ini sudah mulai ada pula yang menetap
di Yogyakarta. Mereka umumnya tinggal di
kawasan Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Bringharjo, di mana sehari-hari
mereka melakukan kegiatan jual beli barang dagangannya
Sementara
itu pula para pedagang intan dan berlian dari Banjar baik yang sudah menetap di
Kampung Jayengan Solo maupun yang masih pulang-pergi Banjarmasin- Solo juga
sudah banyak yang berjualan ke Pasar Beringharjo Yogyakarta. Apalagi sejak awal
tahun 1800-an di Kampung Jayengan sudah berdiri Penggosokan Intan milik H.
Yusuf seorang pedagang dari Banjarmasin
yang telah menetap di Kota Solo. Intan dan berlian hasil penggosokan di Jayengan
yang dikerjakan orang-orang dari Banjar tersebut juga dipasarkan ke Yogyakarta di samping ke kota-kota besar lainnya di Pulau
Jawa. Saleh putra H. Yusuf sendiri setelah menamatkan sekolahnya di Mambaul
Ulum Solo kemudian juga menjadi pedagang memasarkan intan dan berlian hasil
penggosokan milik orang tuanya ke beberapa kota di Pulau Jawa. Ketika membawa dagangan
ke Yogyakarta Saleh kadang-kadang menginap di rumah keluarga, karena waktu itu
orang Banjar sudah banyak yang menetap di Yogyakarta, yang di antaranya masih
ada hubungan keluarga dengan orang tuanya.
Memasuki
tahun 1900-an para pedagang batu mulia asal Banjarmasin
yang tinggal di Yogyakarta, juga sudah ada
beberapa orang yang melakukan usaha penggosokan intan secara tradisional di
rumah-rumah mereka. Kegitan penggosokan intan terdapat di beberapa rumah warga
Banjar yang bermukim di Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo[1].
Dengan makin ramainya perdagangan batu mulia di Yogyakarta semakin ramai pula
para pedagang intan dari Banjar yang datang membawa dagangan ke kota tersebut. Sehingga
dalam bebarapa tahun kemudian warga Banjar sudah banyak yang menetap di
beberapa kampung di Yogyakarta, seperti di
Kampung Suryatmajan, Kauman, Tegalpanggung, Gembelaan, Cokrodirjan, bahkan
serara sporadis tersebar di beberapa kampung lainnya.
Para
pedagang intan dan berlian asal Banjar yang bermukim di Yogyakarta tersebut
umumnya berasal dari kota
intan Martapura. Kota Martapura sejak masa Kerajaan Banjar dulu sudah dikenal
sebagai kota
serambi Mekah, karena penduduknya umumnya taat beragama. Kota Martapura dikenal
selain sebagai ibukota Kerajaan Banjar juga merupakan pusat penyebaran agama
Islam di Kalimantan. Ajaran Islam yang menyebar dari Martapura ke berbagai
pelosok di Kalimantan tersebut erat kaitannya
dengan usaha yang dilakukan oleh seorang ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari pada akhir abad ke 19 yang lalu. Sebagai pewaris ulama besar penyebar
Islam tersebut membuat warga Martapura dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang
taat dalam menjalankan ibadah. Karena itulah di mana ada sekelompok warga
Banjar asal Martapura bermukim di tempat itu ada kegiatan-kegiatan keagamaan
seperti perkumpulan pengajian agama, perkumpulan pembacaan Surah Yasin,
perkumpulan pembacaan Barzanji, dan lainnya.
Ketaatan dalam melaksanakan ibadah wajib atau fardhu ain seperti
shalat lima waktu
bagi warga Martapura sesuatu yang mereka lakukan di manapun berada. Tuntutan
adanya tempat yang memadai dan resmi untuk melaksanakan ibadah shalat tersebut,
maka warga Martapura yang melakukan kegiatan dagang di Pasar Beringharjo bersepakat
untuk mengusahan didirikannya mushalla
yang tidak jauh dari tempat mereka berjual beli. Sebagai pedagang batu mulia
beberapa warga Banjar asal Martapura ini umumnya mempunyai hubungan dekat
dengan beberapa pedagang atau pengoleksi batu-batu permata dari keluarga Kesultanan
Ngayogyakarta. Melalui kalangan pedagang keluarga kerajaan inilah para pedagang
Banjar yang disponsori oleh H. Hasan kemudian melakukan pendekatan kepada
Sultan Yogya untuk mendapatkan ijin membangun mushalla yang letaknya tidak jauh
dari Pasar Beringharjo. Dalam tahun 1940-an sewaktu Sri Sultan Hamengku Buwono
IX telah memangku jabatan sebagai Sultan Ngayogyakarta, ketika utusan warga
Banjar dengan diantar seorang keluarga kraton menghadap sultan ke istana, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX menghadiahkan sebidang tanah untuk pembangunan
mushalla di kawasan Kampung Katandan yang sebelumnya digunakan untuk penambatan
kuda. Di lokasi itulah para pedagang
asal Banjar dengan swadaya dan bergotong royong
kemudian dapat membangun sebuah mushalla kecil ukuran 8m x 8m yang
dikenal sebagai Langgar Kalimantani[2]. Nama
Kalimantani tersebut semula diberikan oleh Bapak Andik, tetuha warga Banjar di
Yogyakarta waktu itu. Sampai pada tahun 1950 ketika langgar tersebut dijadikan
masjid atau mulai difungsikan untuk melaksanakan shalat Jum’at, namanya masih Masjid Kalimantani[3]. Perubahan
nama menjadi Masjid Quwwatul Islam berlangsung pada tahun 1953 atas usulan K.H.
Anwar Musaddad seorang warga Banjar yang ketika itu menjadi ketua takmir
masjid. Bersamaan dengan itu pula dilakukan penambahan bangunan masjid pada
bagian timur yang luasnya 8m x 6m.
Karena warga sekitar serta para pedagang lainnya yang ikut shalat Jum’at
semakin banyak, kemudian tanah sisi utara masjid yang luasnya sekitar 12m x 8m
juga diberi atap guna menampung jemaah yang ikut Jum’atan di Masjid Quwwatul
Islam ini. (HRN: disusun dari hasil wawancara dan berbagai sumber sumber).
(HRN: Maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).
(HRN: Maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar