Selasa, 28 Agustus 2012

QUWWATUL ISLAM MASJID PARA PEDAGANG INTAN DI YOGYAKARTA


                                                              Oleh: Ramli Nawawi
Seiring dengan berkembangnya Kota Yogyakarta yakni sejak diberlakukannya Perjanjian Gianti tahun 1755 yang menetapkan pembangian Kerajaan Mataram atas Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta, sejak itu pula banyak  para pedagang dari berbagai daerah yang mengadu nasib ke Yogyakarta. Bersamaan itu pula para penggurijaan intan dari Banjarmasin yang sudah lama pulang-pergi membawa barang dagangan ke Kota Solo, bahkan sudah ada yang menetap di Kampung Jayengan Solo, dan mulai banyak pula yang berdagang ke Kota Yogyakarta. Sebagai sebuah ibu kota kerajaan, Yogyakarta semakin banyak dikunjungi pedagang termasuk para pedagang Belanda. Di antara pedagang Belanda tersebut di antaranya banyak juga yang ikut berjual-beli batu permata terutama intan dan berlian. Di samping itu keluarga kraton sendiri banyak yang suka mengoleksi batu-batu permata dimaksud. Situasi kehidupan di Yogyakarta yang semakin ramai perdagangannya itulah yang akhirnya mengundang pedagang-pedagang intan dari Banjarmasin semakin banyak di kota tersebut. Beberapa di antara pedagang Banjar ini sudah mulai ada pula yang menetap di Yogyakarta. Mereka umumnya tinggal di kawasan Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Bringharjo, di mana sehari-hari mereka melakukan kegiatan jual beli barang dagangannya
Sementara itu pula para pedagang intan dan berlian dari Banjar baik yang sudah menetap di Kampung Jayengan Solo maupun yang masih pulang-pergi Banjarmasin- Solo juga sudah banyak yang berjualan ke Pasar Beringharjo Yogyakarta. Apalagi sejak awal tahun 1800-an di Kampung Jayengan sudah berdiri Penggosokan Intan milik H. Yusuf seorang pedagang dari Banjarmasin yang telah menetap di Kota Solo. Intan dan berlian hasil penggosokan di Jayengan yang dikerjakan orang-orang dari Banjar tersebut juga dipasarkan ke Yogyakarta di samping ke kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa. Saleh putra H. Yusuf sendiri setelah menamatkan sekolahnya di Mambaul Ulum Solo kemudian juga menjadi pedagang memasarkan intan dan berlian hasil penggosokan milik orang tuanya ke beberapa kota di Pulau Jawa. Ketika membawa dagangan ke Yogyakarta Saleh kadang-kadang menginap di rumah keluarga, karena waktu itu orang Banjar sudah banyak yang menetap di Yogyakarta, yang di antaranya masih ada hubungan keluarga dengan orang tuanya.
Memasuki tahun 1900-an para pedagang batu mulia asal Banjarmasin yang tinggal di Yogyakarta, juga sudah ada beberapa orang yang melakukan usaha penggosokan intan secara tradisional di rumah-rumah mereka. Kegitan penggosokan intan terdapat di beberapa rumah warga Banjar yang bermukim di Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo[1]. Dengan makin ramainya perdagangan batu mulia di Yogyakarta semakin ramai pula para pedagang intan dari Banjar yang datang membawa dagangan ke kota tersebut. Sehingga dalam bebarapa tahun kemudian warga Banjar sudah banyak yang menetap di beberapa kampung di Yogyakarta, seperti di Kampung Suryatmajan, Kauman, Tegalpanggung, Gembelaan, Cokrodirjan, bahkan serara sporadis tersebar di beberapa kampung lainnya.
Para pedagang intan dan berlian asal Banjar yang bermukim di Yogyakarta tersebut umumnya berasal dari kota intan Martapura. Kota Martapura sejak masa Kerajaan Banjar dulu sudah dikenal sebagai kota serambi Mekah, karena penduduknya umumnya taat beragama. Kota Martapura dikenal selain sebagai ibukota Kerajaan Banjar juga merupakan pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan. Ajaran Islam yang menyebar dari Martapura ke berbagai pelosok di Kalimantan tersebut erat kaitannya dengan usaha yang dilakukan oleh seorang ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada akhir abad ke 19 yang lalu. Sebagai pewaris ulama besar penyebar Islam tersebut membuat warga Martapura dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat dalam menjalankan ibadah. Karena itulah di mana ada sekelompok warga Banjar asal Martapura bermukim di tempat itu ada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti perkumpulan pengajian agama, perkumpulan pembacaan Surah Yasin, perkumpulan pembacaan Barzanji, dan lainnya.
Ketaatan dalam melaksanakan ibadah wajib atau fardhu ain seperti shalat lima waktu bagi warga Martapura sesuatu yang mereka lakukan di manapun berada. Tuntutan adanya tempat yang memadai dan resmi untuk melaksanakan ibadah shalat tersebut, maka warga Martapura yang melakukan kegiatan dagang di Pasar Beringharjo bersepakat  untuk mengusahan didirikannya mushalla yang tidak jauh dari tempat mereka berjual beli. Sebagai pedagang batu mulia beberapa warga Banjar asal Martapura ini umumnya mempunyai hubungan dekat dengan beberapa pedagang atau pengoleksi batu-batu permata dari keluarga Kesultanan Ngayogyakarta. Melalui kalangan pedagang keluarga kerajaan inilah para pedagang Banjar yang disponsori oleh H. Hasan kemudian melakukan pendekatan kepada Sultan Yogya untuk mendapatkan ijin membangun mushalla yang letaknya tidak jauh dari Pasar Beringharjo. Dalam tahun 1940-an sewaktu Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah memangku jabatan sebagai Sultan Ngayogyakarta, ketika utusan warga Banjar dengan diantar seorang keluarga kraton menghadap sultan ke istana, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghadiahkan sebidang tanah untuk pembangunan mushalla di kawasan Kampung Katandan yang sebelumnya digunakan untuk penambatan kuda. Di lokasi  itulah para pedagang asal Banjar dengan swadaya dan bergotong royong  kemudian dapat membangun sebuah mushalla kecil ukuran 8m x 8m yang dikenal sebagai Langgar Kalimantani[2]. Nama Kalimantani tersebut semula diberikan oleh Bapak Andik, tetuha warga Banjar di Yogyakarta waktu itu. Sampai pada tahun 1950 ketika langgar tersebut dijadikan masjid atau mulai difungsikan untuk melaksanakan shalat Jum’at, namanya masih  Masjid Kalimantani[3]. Perubahan nama menjadi Masjid Quwwatul Islam berlangsung pada tahun 1953 atas usulan K.H. Anwar Musaddad seorang warga Banjar yang ketika itu menjadi ketua takmir masjid. Bersamaan dengan itu pula dilakukan penambahan bangunan masjid pada bagian timur  yang luasnya 8m x 6m. Karena warga sekitar serta para pedagang lainnya yang ikut shalat Jum’at semakin banyak, kemudian tanah sisi utara masjid yang luasnya sekitar 12m x 8m juga diberi atap guna menampung jemaah yang ikut Jum’atan di Masjid Quwwatul Islam ini. (HRN: disusun dari hasil wawancara dan berbagai sumber sumber).

(HRN: Maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).   


 




Tidak ada komentar: