Upacara Tradisional Suku Banjar Hulu
Oleh:
Ramli Nawawi
Upacara Tradisional Babunga Tahun dikenal pula sebagai Upacara Manyanggar
Banua. Upacara ini berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan yang
dilakukan oleh suku Banjar Hulu. Kepercayaan ini merupakan sisa dari
kepercayaan lama, karena itu maka pelaksanaan upacara ini hanya oleh kelompok
keluarga tertentu dan lingkungan desa tertentu pula. Namun demikian upacara ini
umumnya dilakukan tiap tahun sekali sebagai suatu tradisi yang sudah menyatu
dengan kelompok penduduk pendukung upacara, sebagai bagian dari kepercayaan
mereka. Upacara ini dilakukan secara
besar-besaran dan meriah karena pendukungnya memang besar jumlahnya.
Upacara yang sejenis dengan
ini dulu juga terdapat di beberapa tempat dari kelompok suku Banjar Batang
Banyu, namun pelaksanaannya hanya oleh sejumlah warga pemilik padang dalam
waktu yang singkat, berbeda dengan upacara Babunga Tahun yang dilaksanakan
secara besar-besaran dan meriah.
Upacara tradisional Suku
Banjar Batang Banyu yang terdapat di beberapa desa umumnya disebut Upacara Mambaiki Padang. Acaranya adalah Maulah Wadai
Tahun, yakni membuat 40 jenis kue sebagai sesajen untuk para roh halus penguasa padang atau
penguasa hutan. Upacara Mambaiki Padang ini dalam perkembangannya kemudian
kue-kue tersebut disiapkan oleh semua pemilik padang, sehingga jumlahnya
berlimpah. Kue-kue tersebut dibawa ke
padang (sawah), setelah dibacakan doa selamat kemudian dimakan bersama-sama oleh
warga yang hadir.
Khusus untuk Upacara Babunga
Tahun yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 1980-an penulis pernah menyaksikan
yang diselenggarakan di Desa Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kurang
lebih 150 km ke utara dari kota Banjarmasin.
Menurut warga penyelenggara
upacara, kegiatan tersebut dilaksanakan agar segala usaha warga desa tidak
mendapat gangguan, penduduk mendapat keselamatan, sawah menghasilkan padi yang
baik, dan suasana lingkungan pergaulan tentram, aman dan harmonis. Ketentraman
dan keharmonisan pergaulan merupakan hasil dari kehidupan yang sejahtera dan
kemakmuran yang diperoleh. Kesemuanya itu adalah karena hasil padi yang baik
dan berlimpah. Sehingga menurut mereka upacara ini berkaitan dengan lingkungan
alam dan kepercayaan penduduk setempat. Jadi pada dasarnya tujuan dari
diselenggrakannya upacara ini adalah agar padi menghasilkan dengan baik,
terhindar dari segala macam hama, penduduknya sehat-sehat, terhindar dari berbagai
penyakit.
Sementara adanya gangguan pada
tanaman padi karena dirusak oleh Sangkala atau Batara Kala.yang menyebabkan
padi rusak dan panen gagal. Hal itu terjadi karena penduduknya lupa atau tidak
menghiraukan Sang Kala dimaksud. Karena Sang Kala tidak diberi sesajen sehingga
Sang Kala marah. Supaya jangan terjadi Sang Kala marah yang berakibat panen
gagal, maka diselenggarakanlah Upacara Babunga Tahun. Karena itu para pendukung
upacara yakin bahwa sesudah upacara dilaksanakan mereka akan memperoleh hasil panen yang lumayan, mendapatkan kesesejahteraan
hidup dan pergaulan yang harmonis.
Upacara ini dilaksanakan
setiap tahun sesudah panen, sehingga hasil padi yang baru dipanen dapat
diikutsertakan dalam upacara. Hal ini dimaksudkan agar Batara Kala atau Sang
Kala puas dengan sesajen yang disajikan dari hasil panen yang baru diperoleh.
Disamping sesajen dari hasil panen, sesajen juga dilengkapi dengan daging
kambing dan ayam yang juga dipersembahkan kepada Batara Kala atau Sang Kala.
Lama kegiatan upacara umumnya
3 hari 3 malam. Sedangkan waktu kegiatan
upacara bisa dilaksanakan dalam waktu mulai sesudah
turun bulan Qamariah yaitu sesudah tanggal 16 sampai bulan habis dan berakhir
dengan bulan sabit.
Sedangkan pelaksanaan upacara
biasanya dimulai sesudah shalat Jumat, yaitu warga mulai melakukan pekerjaan persiapan, bersambung pada malam
hari hingga hari Sabtu.
Sabtu sore upacara inti pun dilaksanakan,
diteruskan malam Minggu dan hari Minggu, dan berakhir pada malam Senin.
Penyelenggara teknis upacara
adalah Dadalang (Dalang), bersama dengan penabuh gamelan dan para turunan Datu
Taruna yang merupakan pewaris tradisi upacara ini. Selain itu para Panopengan,
atau penari Topeng juga harus turunan Datu Taruna. Penopengan atau penari
topeng inilah yang berperan sebagai perwujudan yang menerima sesajen yang
dipersebahkan.
Kaum wanita keluarga dekat
dari Dadalang menyiapkan kue sesajen khusus untuk upacara. Pembuatan kue
sesajen ini merupakan keahlian sendiri yang mengerti tentang kue untuk upacara.
Kegiatan lain dalam rangkaian
upacara ini adalah pertunjukan wayang kulit, wayang gong atau wayang orang,
serta pertunjukan tari topeng. Semua pelaksana upacara, yaitu mulai pembuat kue
sesajen, penabuh gamelan, pemain wayang kulit, wayang gong dan penari topeng
adalah semuanya turunan Datu Taruna. Tradisi ini berlaku konon sejak sebelum
Islam datang dan kemudian menjadi tradisi keluarga turunan Datu Taruna.
Tahap-tahap pelaksanaan
upacara, dimulai dengan kegiatan persiapan. Yakni sehari sebelum upacara,
berupa ”manakar baras” sebagai bahan untuk membuat kue sesajen. Manakar baras
ini dilakukan dengan tatacara melakukan ”mamangan” atau pembacaan
mantra-mantra. Berbagai jenis kue sesajen disiapkan untuk mengisi ”ancak”
Bersamaan dengan itu dibuat
pula panggung secara bergotong royong dengan perlengkapan khusus pula, berupa
anak pisang, daun kambat, tilambung nyiur gading, serta hiasan panggung dengan
janur.
Dilakukan pula penyembelihan
kambing dan ayam untuk dipapah dijadikan sesajen. Bersama itu disiapkan juga
beras ”piduduk”.
Setelah persiapan panggung
selesai, Perangkat gamelan disiapkan, dan dibunyikan dengan lagu Gala Ganjur selama
upacara berlangsung.
Sebagai acara puncak dari
Upacara babunga Tahun ini adalah ”Acara Maantar Ancak”. Acara dilakukan pada
hari berikutnya, yakni hari Ahad dimulai
sekitar pukul 14..00 siang, setelah mulai pagi melakukan persiapan-persiapan. Pimpinan
upacara adalah seorang Dalang berpakaian serba hitam dengan beberapa orang
pengiring berpakaian serba kuning. Rombongan keluarga keturunan Datu Taruna ini
berjalan kaki dari rumah seorang warga
dengan membawa sesajen menuju Sumur Datu tempat berlangsungnya
penyanggaran atau penyerahan sesajen. Selama dalam perjalanan menempuh jarak
kurang lebih 800 m maka gamelan yang mengikuti terus menerus dibunyikan Acara penyanggaran atau penyerahan sesajen di
Sumur Datu ini merupakan persembahan kepada Datu Taruna, nenek moyang mereka
yang menurut kepercayaan mereka telah gaib dalam sumur ini.
Begitu selesai acara
penyanggaran, tampak banyak anggota masyarakat yang hadir membasuh muka mereka
dengan air Sumur Datu untuk mendapatkan berkat. Selesai acara penyanggaran
pelaksana membubarkan diri. Mereka bersiap untuk melaksanakan lanjutan acara
pada malam harinya.
Acara lanjutan pada malam
harinya adalah ”Upacara Bawayang”, yakni pertunjukan Wayang Sampir (wayang
kulit). Acara ini dilaksanakan sesudah shalat Isya bertempat di panggung yang
telah dipersiapkan. Untuk tancapan wayang digunakan batang pisang jaranang atau
pisang kidung.
Sebelum pertunjukan wayang
dimulai, ancak atau sesajen yang dipersiapkan untuk acara bawayang ini yaitu
ancak wayang dan ancak topeng digantung di atas panggung tempat pertunjukan
wayang. Dalang sebagai pimpinan upacara membakar kemenyan dan mengucapkan
mantra-mantra. Pada acara ini Dalang mempersembahkan pada Batara Kala atau
Sangkala, juga kepada segala macam ”kuyang” dan roh halus lainnya yang satu
persatu disebutkan atau dipanggil untuk datang berhadir pada acara tersebut.
Begitu pula dalang menyebut
satu persatu nama penyumbang agar Batara Kala jangan mengganggu orang yang
telah berbuat baik dan ikut melakukan persembahan kepada Batara Kala. Setelah
selesai membaca mantra-mantra dan penyerahan kepada Batara Kala, baru dimulai
pertunjukan wayang semalam suntuk.
Subuh sekitar pukul 5.00 pagi
pertunjukan wayang selesai dan dilanjutkan dengan acra ”Baayun Wayang”. Semua
anak balita yang orang tuanya peserta
upacara dibangunkan, dan diayunkan di atas panggung. Acara ini juga dipimpin
oleh Dalang dengan membaca mantra-mantra pula. Selesai acara para pelaksana
kegiatan beristirahat dan melakukan persiapan untuk kegiatan acara berikutnya.
Sebagai acara terakhit dari
Upacara Babunga Tahun adalah acara ”Manopeng”, yaitu mengadakan pertunjukan
tari topeng.
Acara ini dimulai oleh Dalang
yang memakai topeng dan menari topeng sambil membakar kemenyan dan mengucapkan
mantra-mantra disertai dengan menghamburkan beras kuning. Setelah itu baru
tampil penari topeng wanita. Satu persatu jenis topeng dipasang dan ditarikan
dengan iringan gamelan yang disesuaikan dengan jenis topengnya.
Setelah selesai acara menopeng
tersebut, kemudian dilanjutkan ”Baayun Topeng”, yakni meayun beberapa anak
balita yang sebelumnya sudah diayun pada acara Maayun Wayang, kini kembali
diayun di ayunan yang disiapkan di panggung, dipimpin oleh Panopengan (wanita
penari topeng)
Setelah acara ”meayun Topeng”
selesai, sebelum upacara ditutup Dalang melakukan acara kecil, yaitu
mengembalikan segala roh halus, Batara Kala dan para Kuyang yang telah
diundang. Oleh Dalang mereka
dikembalikan ke tempat asalnya masing-masing.
Kemudian Dalang menutup acara
dengan menyampaikan kepada seluruh warga keturunan Datu Taruna berupa pamali
atau pantangan yang dilarang setelah upacara selesai, sepertti dilarang
mematikan rumput dan mematikan hewan selama 3 hari 3 malam.
Kemudian upacara dinyatakan
selesai.
(HRN: Salam dan koreksinya untuk Sdr. M. Syaibaini, tokoh seniman Desa Barikin).
(HRN: Salam dan koreksinya untuk Sdr. M. Syaibaini, tokoh seniman Desa Barikin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar