Oleh: Ramli Nawawi
Kedatangan tentara Jepang di Kalimantan Selatan pada awal bulan Februari
1942 ditandai oleh pembumihangusan dan penghancuran bangunan-bangunan vital
oleh satuan AVC (Afweer en Vernielings
Corp), yakni pasukan Pelawan dan Perusak bentukan Pemerintah Hindia
Belanda. Menghadapi peristiwa itu
tentara Jepang memperlihatkan tindakan–tindakan keras, sehingga membuat
kecut baik orang-orang Belanda yang ada di daerah ini maupun rakyat pada
umumnya.
Di Amuntai tentara Jepang melakukan pembunuhan terhadap Aspirant Controleur
dan dua orang polisi Belanda. Sedangkan di Banjarmasin Walikota Van der Meulen
dan Kepala Borneo internaat Smith dan
seorang Cina yang menyambut kedatangan mereka juga dibunuh di hadapan rakyat
karena adanya tindakan pembumihangusan tersebut.
Pada masa peralihan ini di mana-mana terjadi kekacauan. Banyak gudang-gudang dan toko-toko barang
dagangan milik orang Cina, Belanda dan orang Indonesia isinya menjadi sasaran
perampasan rakyat. Untuk mengembalikan. keamanan ini Jepang membentuk Panitia
Pemerintahan Sipil yang beranggotakan
pemuka-pemuka rakyat. Panitia ini dengan cepat berhasil mengembalikan keamanan.
Kantor-kantor kembali melakukan kegiatannya. Jembatan Coen berhasil diperbaiki
kembali. PPS juga mengusahakan penyediaan beras untuk serdadu-serdadu Jepang
supaya mereka tidak akan mengganggu rakyat.
Sejak tanggal 18 Maret 1942 tentara Jepang memegang sendiri kekuasaan
pemerintahan. Sangsi keras dan tegas merupakan ciri dari cara pemerintahan
Jepang. Tujuan yang utama adalah menggerakkan rakyat untuk membantu memenangkan
Dai Toa Senso (Perang Asia Timur Raya).
Pemerintah Jepang mengorganisasi ekonomi
perang dengan segala macam kegiatan. Pengabdian kepada negara
diindoktrinasi melalui semangat dan Kiurohasi
yang melibatkan ribuan orang kerja paksa dari orang tua sampai kepada pelajar.
Hukum militer berlaku terhadap apa yang disebut kegiatan mata-mata, sabotase
sumber bahan perang, alat telepon, penyiaran kabar bohong. Semua lapangan
pekerjaan dikuasai dan diawasi oleh Jepang. Rakyat wajib menyerahkan hasil
bahan pangan mereka. Kalau tidak maka alat-alat Kumiai melakukan penyitaan. Kerja paksa menciptakan kelompok
manusia kurus-kering dan berpenyakitan. Sementara keluarga-keluarga yang
mempunyai anak wanita muda selalui dihantui oleh paksaan untuk menyerahkan anak
mereka guna memenuhi nafsu tentara Jepang.
Akibat perang yang membawa kelumpuhan di bidang perekonomian menyebabkan
rakyat di daerah ini hidup penuh derita. Pemerintah Jepang memaksakan untuk
semua keperluan hidup dapat dipenuhi sendiri. Dalam keadaan kurang makan dan
pakaian, mereka juga melakukan kinrohasi
dan bahkan untuk keluarga-keluarga tertentu diharuskan menyerahkan intan
cukilan kepada Pemerintah Jepang.
Kesengsaraan, tekanan dan kecemasan yang berkecamuk dalam masyarakat
menimbulkan kebencian dan perasaan anti terhadap Jepang. Gerakan bawah tanah
melawan Jepang mungkin ada, tapi tak jelas aktifitasnya. Tidak banyak yang
dapat diketahui apa yang dilakukan rakyat sebagai rasa benci dan anti terhadap
Jepang tersebut ditunjukkan oleh para anggota Pasukan Tohueton Tokutai yang bermarkas di Bat-bati. Pasukan yang
terdiri dari para heiho pilihan yang digabung dengan Jepang ini telah merencanakan
suatu serangan terhadap Jepang. Peristiwa ini terjadi sewaktu ada berita bahwa
tentara Sekutu akan mendarat di Banjarmasin. Mereka merencanakan pada saat
menghadapi pendaratan Sekutu nanti semua anggota heiho yang berjaga-jaga terhadap kedatangan
Sekutu tersebut pada saatnya akan berbalik melancarkan penyerangan terhadap
serdadu-serdadu Jepang.
Para pemuka masyarakat yang tergabung dalam berbagai organisasi bentukan
Jepang umumnya bukanlah bersedia sepenuh hati. Mereka ikut dan pura-pura taat
semata-mata untuk mencari keselamatan diri dan keluarga mereka. Banyak
organisasi yang tidak jalan atau gagal dalam kegiatannya. Sebagai contoh di Banjarmasin
dan di beberapa kota di Hulu Sungai telah dibentuk pusat dan cabang-cabang
organisasi Kenkaku Doosi Kai (Himpunan Senegara), yakni sebuah organisasi guna
pengerahan tenaga rakyat. Namun kegiatannya yang nyata tidak pernah nampak.
Rakyat yang hidup menderita dan selalu dibayangi rasa ketakutan terhadap
tindakan sewenang-wenang serdadu Jepang, menunjukkan reaksi yang beragam. Semua
tingkat dan golongan di masyarakat nampak patuh namun memendam kebencian
terhadap Jepang dengan segala olah dan kegiatannya yang semata-mata untuk
kepentingan penjajahan mereka.
Sikap setiap anggota masyarakat yang dipandang kurang mendukung kegiatan
serdadu Jepang dicurigai. Setiap pegawai Jepang yang bekerja bersama penduduk
setempat umumnya bertugas sebagai mata-mata Jepang. Hal ini menciptakan suasana
saling curiga mencurigai karena itu bukan tidak mungkin fitnah pun mudah akan terjadi.
Dalam rangka politik Japanisme ini penguasa Jepang tidak segan-segan untuk
melakukan penyiksaan bahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang dicurigai.
Sikap anti Jepang yang dapat dilihat atau perkataan yang didengar oleh
mata-mata Jepang dan sampai kepada penguasa Jepang akan berakibat vatal.
Sehubungan dengan itu beratus-ratus rakyat yang terbunuh tanpa jelas
kesalahannya.
Dalam surat kabar Borneo Shimbun nomor 324 tanggal 21 Desember 2603 (1943)
diberitakan bahwa telah dihukum mati lebih dari 200 orang yang ditangkap.
Mereka itu antara lain orang Belanda, Indonesia dan Cina. Diantara mereka yang
dibunuh tersebut adalah bekas Gubernur Haga, C.M. Vischer (orang Swiss), Raden
Susilo (50 tahun) saudara dari dr. Sutomo dan Husman Babu seorang pelopor suku
Dayak yang mendirikan Pakat Dayak.
Mereka adalah orang-orang yang dicurigai dan dicap sebagai penggerak Organisasi
Gerakan Bawah Tanah yang berusaha melakukan perlawanan terhadap Jepang.
(Naskah: bagian dari buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan
Kolonialisme di Kalimantan Selatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar