Rabu, 06 Februari 2013

SEKILAS TENTANG SITUASI KALIMANTAN SELATAN PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG


Oleh: Ramli Nawawi

Kedatangan tentara Jepang di Kalimantan Selatan pada awal bulan Februari 1942 ditandai oleh pembumihangusan dan penghancuran bangunan-bangunan vital oleh satuan AVC (Afweer en Vernielings Corp), yakni pasukan Pelawan dan Perusak bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Menghadapi peristiwa itu  tentara Jepang memperlihatkan tindakan–tindakan keras, sehingga membuat kecut baik orang-orang Belanda yang ada di daerah ini maupun rakyat pada umumnya.

Di Amuntai tentara Jepang melakukan pembunuhan terhadap Aspirant Controleur dan dua orang polisi Belanda. Sedangkan di Banjarmasin Walikota Van der Meulen dan Kepala Borneo internaat  Smith dan seorang Cina yang menyambut kedatangan mereka juga dibunuh di hadapan rakyat karena adanya tindakan pembumihangusan tersebut.

Pada masa peralihan ini di mana-mana terjadi kekacauan. Banyak gudang-gudang dan toko-toko barang dagangan milik orang Cina, Belanda dan orang Indonesia isinya menjadi sasaran perampasan rakyat. Untuk mengembalikan. keamanan ini Jepang membentuk Panitia Pemerintahan  Sipil yang beranggotakan pemuka-pemuka rakyat. Panitia ini dengan cepat berhasil mengembalikan keamanan. Kantor-kantor kembali melakukan kegiatannya. Jembatan Coen berhasil diperbaiki kembali. PPS juga mengusahakan penyediaan beras untuk serdadu-serdadu Jepang supaya mereka tidak akan mengganggu rakyat.

Sejak tanggal 18 Maret 1942 tentara Jepang memegang sendiri kekuasaan pemerintahan. Sangsi keras dan tegas merupakan ciri dari cara pemerintahan Jepang. Tujuan yang utama adalah menggerakkan rakyat untuk membantu memenangkan Dai Toa Senso (Perang Asia Timur Raya). Pemerintah Jepang mengorganisasi ekonomi  perang dengan segala macam kegiatan. Pengabdian kepada negara diindoktrinasi melalui semangat dan Kiurohasi yang melibatkan ribuan orang kerja paksa dari orang tua sampai kepada pelajar.  

Hukum militer berlaku terhadap apa yang disebut kegiatan mata-mata, sabotase sumber bahan perang, alat telepon, penyiaran kabar bohong. Semua lapangan pekerjaan dikuasai dan diawasi oleh Jepang. Rakyat wajib menyerahkan hasil bahan pangan mereka. Kalau tidak maka alat-alat Kumiai melakukan penyitaan. Kerja paksa menciptakan kelompok manusia kurus-kering dan berpenyakitan. Sementara keluarga-keluarga yang mempunyai anak wanita muda selalui dihantui oleh paksaan untuk menyerahkan anak mereka guna memenuhi nafsu tentara Jepang.

Akibat perang yang membawa kelumpuhan di bidang perekonomian menyebabkan rakyat di daerah ini hidup penuh derita. Pemerintah Jepang memaksakan untuk semua keperluan hidup dapat dipenuhi sendiri. Dalam keadaan kurang makan dan pakaian, mereka juga melakukan kinrohasi dan bahkan untuk keluarga-keluarga tertentu diharuskan menyerahkan intan cukilan kepada Pemerintah Jepang.

Kesengsaraan, tekanan dan kecemasan yang berkecamuk dalam masyarakat menimbulkan kebencian dan perasaan anti terhadap Jepang. Gerakan bawah tanah melawan Jepang mungkin ada, tapi tak jelas aktifitasnya. Tidak banyak yang dapat diketahui apa yang dilakukan rakyat sebagai rasa benci dan anti terhadap Jepang tersebut ditunjukkan oleh para anggota Pasukan Tohueton Tokutai yang bermarkas di Bat-bati. Pasukan yang terdiri dari para heiho pilihan yang digabung dengan Jepang ini telah merencanakan suatu serangan terhadap Jepang. Peristiwa ini terjadi sewaktu ada berita bahwa tentara Sekutu akan mendarat di Banjarmasin. Mereka merencanakan pada saat menghadapi pendaratan Sekutu nanti semua anggota  heiho yang berjaga-jaga terhadap kedatangan Sekutu tersebut pada saatnya akan berbalik melancarkan penyerangan terhadap serdadu-serdadu Jepang.

Para pemuka masyarakat yang tergabung dalam berbagai organisasi bentukan Jepang umumnya bukanlah bersedia sepenuh hati. Mereka ikut dan pura-pura taat semata-mata untuk mencari keselamatan diri dan keluarga mereka. Banyak organisasi yang tidak jalan atau gagal dalam kegiatannya. Sebagai contoh di Banjarmasin dan di beberapa kota di Hulu Sungai telah dibentuk pusat dan cabang-cabang organisasi  Kenkaku Doosi Kai (Himpunan Senegara), yakni sebuah organisasi guna pengerahan tenaga rakyat. Namun kegiatannya yang nyata tidak pernah nampak.

Rakyat yang hidup menderita dan selalu dibayangi rasa ketakutan terhadap tindakan sewenang-wenang serdadu Jepang, menunjukkan reaksi yang beragam. Semua tingkat dan golongan di masyarakat nampak patuh namun memendam kebencian terhadap Jepang dengan segala olah dan kegiatannya yang semata-mata untuk kepentingan penjajahan mereka.

Sikap setiap anggota masyarakat yang dipandang kurang mendukung kegiatan serdadu Jepang dicurigai. Setiap pegawai Jepang yang bekerja bersama penduduk setempat umumnya bertugas sebagai mata-mata Jepang. Hal ini menciptakan suasana saling curiga mencurigai karena itu bukan tidak mungkin fitnah pun mudah akan terjadi.

Dalam rangka politik Japanisme ini penguasa Jepang tidak segan-segan untuk melakukan penyiksaan bahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang dicurigai. Sikap anti Jepang yang dapat dilihat atau perkataan yang didengar oleh mata-mata Jepang dan sampai kepada penguasa Jepang akan berakibat vatal. Sehubungan dengan itu beratus-ratus rakyat yang terbunuh tanpa jelas kesalahannya.

Dalam surat kabar Borneo Shimbun nomor 324 tanggal 21 Desember 2603 (1943) diberitakan bahwa telah dihukum mati lebih dari 200 orang yang ditangkap. Mereka itu antara lain orang Belanda, Indonesia dan Cina. Diantara mereka yang dibunuh tersebut adalah bekas Gubernur Haga, C.M. Vischer (orang Swiss), Raden Susilo (50 tahun) saudara dari dr. Sutomo dan Husman Babu seorang pelopor suku Dayak yang mendirikan Pakat Dayak. Mereka adalah orang-orang yang dicurigai dan dicap sebagai penggerak Organisasi Gerakan Bawah Tanah yang berusaha melakukan perlawanan terhadap Jepang.
(Naskah: bagian dari buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan).   





Tidak ada komentar: