Disusun: Ramli Nawawi (tim)
Dalam Perang Banjar (Kalimantan Selatan) terdapat dua
tahap aksi perlawanan rakyar Banjar terhadap kolonialisme Belanda. Secara
keseluruan Perang Banjar itu berlangsung sejak tahun 1859-1905. Tetapi selama
jangka waktu tersebut dapat dibagi atas dua tahap perlawanan, yaitu: 1859-1863
sebagai aksi ofensif, dan 1863-1905 sebagai aksi defensif. Gerakan Baratib
Baamal termasuk tahap perlawanan aksi defensif yang merupakan satu dari
episode-episode konflik bersenjata antara rakyat Banjar dengan kekuatan
kolonial Belanda.
Dalam Gerakan Baratib Baamal tampak adanya
penampilan kembali sentimen keagamaan yang kuat sekali dengan mengadakan
upacara religi-mistik di dalam usahanya untuk membangkitkan dan mengobarkan kembali
semangat dan kegairahan perang. Moral perjuangan yang nampaknya sedang menurun
di lingkungan rakyat Banjar berhasil ditingkatkan kembali di dalam suatu
pergerakan keagamaan sehingga melahirkan aksi-aksi ofensif baru di beberapa
daerah dan penuh fanatisme keagamaan.
Dalam Perang Banjar dapat disatukan kekuatan yang
diorganisir oleh elite sekular tradisional. Berhasil pula digerakkan kekuatan
dibawah pimpinan elite religius sehubungan situasinya menjadi hangat kembali
setelah ofensif menurun. Kekuatan masa rakyat yang membentuk kekuatan ofensif
baru dibawah pimpinan elite religius ini dikenal dengan sebutan ”Baratib
Baamal”.
Secara etimologis Baratib Baamal itu terdapat dua
pengertian kata, baratib yang berarti berzikir dengan menyebut: ”La ilaha illallah”
berulang-ulang dengan jumlah yang sudah ditentukan, umpama dengan jumlah
70.000 kali. Sedangkan baamal artinya
berbuat baik dengan melakukan amal perbuatan ibadah kepada Tuhan.
Baratib Baamal ialah memuji-muji Tuhan sambil
memohon sesuatu, umpama mohon panjang umur, banyak rezeki atau memohon
keselamatan. Adalah logis dalam menghadapi ancaman Belanda tersebut diperlukan moral
dan kepercayaan atas kekuatan yang ada, yaitu kekebalan. Gerakan ini bersifat
keagamaan, karena itu pimpinannya adalah seorang ”tuan guru’ atau ulama yang
berpengaruh atau tokoh elite religius.
Praktek yang dilakukan oleh gerakan ini sebagai
berikut: Para jamaah atau pengikut zikir tersebut, yaitu kaum muslimin,
mula-mula berkumpul di langgar atau masjid dan dengan pimpinan seorang tuan
guru, mereka berzikir dengan mengucap ”La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan
melainkan Allah) sebanyak sebelas kali, masing-masing dengan dilengkapi dengan
pujian-pujian dan permohonan panjang umur, murah rezeki, dan sebagainya.
Secara lengkap zikir itu berbunyi:
1. La ilaha illallah : rezeki minta murahkan, bahaya minta
jauhkan, umur minta
panjangkan
serta iman.
2. La ilaha illalla : tempat di Mekah ke Madinah, disitu tempat
Rasul Allah.
3. La ilaha illallah : tempat di Mekah ke Madinah, disitu tempat
Siti Fatimah.
4. La ilaha illallah : hati yang sidiq, ya maulana, ya Muhammad
Rasul Allah.
5. La ilaha illallah : hati yang mukmin, baik Allah.
6. La ilaha illallah : Nabi Muhammad hamba Allah.
7. La ilaha illallah : Muhammad sifat Ullah.
8. La ilaha illallah : Muhammad aulianya Allah.
9. La ilaha illallah : Muhammad Rasul Allah.
10. La ilaha illallah : Muhammad Rasul Allah.
11. La ilaha illallah : maujud Allah
Praktik berzikir berlangsung lama. Mereka
seolah-olah lupa diri, tenggelam dalam rasa keasyikan agama yang tiada
bandingnya. Pujian-pujian itu
dan permohonan tersebut mula-mula bernada rendah kemudian meninggi, keras
berupa jeritan-jeritan histeris. Badan terutama kepala mengikuti gerakan
tertentu dan dengan mengucap puji pada Allah semesta. Dalam situasi demikian
pula moral perjuangan ditingkatkan lagi sehingga siap menyerbu lagi tanpa
menghiraukan resiko maut yang dihadapinya. Dalam kelompok yang jumlahnya
ratusan mereka bergerak mencari musuh dan menghantamnya dengan penuh keberanian
di tempat manapun mereka menjumpainya.
Perlengkapan persenjataan yang dipergunakan ialah
tombak, parang, keris, dan ada juga beberapa pucuk senapan. Pakaian mereka
jubah putih dan serban putih, sedangkan pimpinan mereka memilih seluruhnya
kuning.
Dengan mengucap ”La ilaha illallah” mereka
menyerbu musuh tanpa keragu-raguan sedikit pun dan tanpa menghiraukan maut yang
mengancam mereka. Letak keberanian mereka ialah pada keyakinan bahwa tidak ada
yang dapat memberi bekas kecuali Allah dan tidak ada Tuhan lain kecuali Allah.
Fanatisme keagamaan yang sangat tinggi di samping dari tokoh tuan guru yang
memimpin Baratib Baamal memberi semangat yang membaja pada pengikutnya.
Dengan menggunakan masjid sebagai pusat
perjuangan, mereka bergerak dari satu desa ke desa lainnya dan mengajak rakyat
untuk berjuang mengusir orang kafir. Medan operasi mereka adalah desa Kalua,
Amuntai dan Alai yang terletak di daerah Hulu Sungai. Daerah ini disamping
penduduknya terbanyak, tanahnya subur, juga semangat fanatisme agama paling
tinggi.
Belanda terpaksa menggunakan ulama-ulama yang
memihak Belanda dengan menyebarluaskan bahwa Gerakan Baratib Baamal adalah
suatu pemalsuan terhadap agama Islam yang murni. Berzikir sebagai yang mereka
lakukan adalah menyesatkan karena membuat orang percaya akan kekebalan diri.
Yang akan menyeret rakyat yang tidak berdosa ke dalam lembah kesengsaraan
akibat perbuatan yang sesat melawan pemerintah yang sah. Disamping itu Belanda
mengancam pula dengan hukuman bagi orang yang menyembunyikan, mengambil bagian
ataupun melindunginya.
Masyarakat Banjar adalah berjiwa religius. Sejak
agama Islam masuk dalam abad ke 16, agama itu menjadi identifikasi
sosiokultural dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam masyarakat yang demikian
sentimen agama mudah dibangkitkan untuk kepentingan hal-hal yang sebenarnya
tidak religius. Sejak semula sebelum pergumulan pisik itu meletus, sebenarnya
faktor-faktor non religius lebih banyak tampil kedepan untuk menimbulkan
kegelisahan sosial yang kemudian meningkat menjadi perlawanan atau
pemberontakan. Dalam pergolakan tersebut aspek sekular dan religius bersifat
saling komplementer.
Baratib Baamal termasuk pergerakan keagamaan,
karena dalam usaha mencapai tujuannya gerakan ini mempergunakan cara-cara
keagamaan dengan pimpinannya adalah pimpinan agama. Karakteristik dari gerakan
ini adalah ”magico-mysticism” yaitu keyakinan diantara penganutnya tentang
adanya kekebalan-kekebalan yang diperolah dengan melakukan rite-rite religi-mistik
berupa berzikir dan beramal. Dari rite ini militansi mereka ditingkatkan.
Karakteristik kedua ialah adanya keyakinan akan kekuatan supra natural atau
magis yang dimiliki pimpinan religius mereka yang kharismatis. Karena kedua
karakteristik inilah dalam tingkah laku militansi yang memuncak akan mengabaikan
sikap hati-hati dan tidak lagi menghiraukan maut.-
(Sumber: Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme
dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke bolg lain).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke bolg lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar