Oleh: Drs H. Ramli Nawawi
Pada masa revolusi kemerdekaan yang lalu,
pejuang-pejuang kita umumnya lebih banyak yang hanya bermodalkan tekad dan
keberanian untuk berjuang mengusir penjajah yang sudah terlatih berperang dan
mempunyai persenjataan lengkap dan cukup modern. Hal ini bagi pejuang-pejuang
kita bangsa Indonesia tentu saja merupakan sesuatu yang penuh bahaya. Apalagi
para pejuang kita juga umumnya belum terlatih dan hanya dengan senjata
seadanya, termasuk seperti bambu runcing. Hal ini tentu saja jauh dari
seimbang.
Namun dari ketidakseimbangan persenjataan fisik
ini, sama sekali tidak mengurangi keyakinan dan tekad pejuang-pejuang kita
dalam usaha menegakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mengusir
penjajah Belanda dari negeri ini. Apalagi para pejuang kita waktu itu di
samping telah mempunyai keyakinan bahwa perjuangan yang dilakukan tersebut
sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan mereka. Karena itu umumnya banyak di
antara mereka yang telah membekali diri dengan “sesuatu” yang memberikan
keyakinan diri akan kemenangan dan keunggulan ada di pihak mereka. Yang dimaksud “sesuatu” tersebut adalah
bekal-bekal yang bersifat natural. Namun diakui mereka bahwa bekal tersebut
kebanyakan bersifat pribadi, yakni masing-masing dari mereka dengan caranya
sendiri, dan bahkan ada yang sifatnya rahasia.
Namun demikian ada keterangan dari para pejuang kita tersebut yang
menyatakan bahwa pembekalan kekuatan supra natural waktu itu ada juga yang dilakukan
secara bersama-sama. Menurut keterangan Soewardjo, seorang eks anggota TP
(Tentara Pelajar) Yogyakarta, bahwa pada masa perjuangan yang lalu banyak
laskar kita yang secara berombongan naik kereta api dengan membawa bambu
runcing, berangkat ke Paraan (Jawa Tengah) untuk meminta kepada Kiai Subchi
yang dikenal bisa mengisi do’a untuk bambu runcing mereka. Dipercayai bahwa
apabila menggunakan bambu runcing yang telah diberi do’a tersebut, yang
bersangkutan akan terhindar dari peluru musuh.
Dari hasil wawancara dengan para pejuang eks Tentara Pelajar Daerah
Istimewa Yogyakarta, bahwa umumnya mereka yang turut berjuang waktu itu tahu
tentang ada bermacam-macam ”bekal” yang dipakai atau dimiliki oleh para
pejuang. Namun umumnya mereka tidak bersedia menjelaskan secara detail apa dan
bagaimana isi dan bentuk dari benda supra natural yang mereka miliki sendiri.
Beberapa pejuang eks Tentara Pelajar tersebut sebagian hanya mengaku bahwa
apabila akan berangkat ke front atau akan melaksanakan tugas perjuangan lainnya
tidak lupa berdo’a kepada Tuhan agar selamat atau terhindar dari bahaya yang
akan menimpa diri mereka.
Tetapi ada juga beberaapa pejuang kita yang mau berceritera tentang
pengalaman-pengalaman yang mereka ketahui dan alami selama berkumpul dengan
sesama pejuang pada masa revolusi kemerdekaan yang lalu. Berikut keterangan
yang diberikan oleh Sucipto: ”Saya punya teman yang bernama Adi Tjipto, ia
mempunyai ilmu anti peluru. Setiap kali akan pergi bertempur dia ”amalan”. Jadi
daripada membawa benda (jimat) atau senjata untuk penangkal, lebih mudah. Teman
saya ini memang mempunyai hubungan dengan Patihnya Nyi Loro Kidul. Dia bisa sambung melalui bertapa, lalu diberi
aji. Namanya ”Aji Pamalingka”. Apabila mau berjuang atau untuk keperluan yang
berbahaya lainnya, aji ini dibaca. Selain tahan peluru, maka bagi yang
mengamalkan ”Aji Pamalingka” ini, walaupun kita yang bertempur itu hanya enam
atau delapan orang, tapi tampak ribuan oleh musuh”.
Menurut Sutjipto bahwa jenis-jenis jimat atau amalan yang dipakai para pejuang dalam satuan mereka waktu itu ada
bermacam-macam. Ada yang berupa keris, tombak, ikat kepala, dan dalam bentuk
mantera (do’a). Keris misalnya dipakai oleh pejuang yang bernama Purwadi. Keris
kepunyaan dia ini dikenal tahan peluru bagi pemiliknya. Tetapi dalam suatu
pertempuran, Purwadi tertembak. Ketika itu mungkin karena yang bersangkutan
bersikap takabur. Karena merasa tahan terhadap peluru, dia berteriak menantang
musuh: ”Ayo tembak, ayo tembak lagi”, mungkin karena itulah dia ditembus
peluru.
Sucipto juga mengaku bahwa dia juga memiliki aji yang didapat dari hasil
semadi. Dia mengaku dalam pertempuran
sering kena peluru, tapi tidak terasa. Dia juga tidak bisa menjelaskannya,
karena di luar jangkauan akal.
Eks anggota Tentara Pelajar lainnya, Ibnoe Sawabi yang sering mengemban
tugas berbahaya seperti menyelidiki lebih dahulu keadaan lokasi sebelum
dilakukan penyerangan, juga mengetahui tentang macam-macam ”modal kekuatan”
yang dimiliki atau dipakai kawan-kawan seperjuangannya waktu itu. Disebutkan
bahwa yang dimiliki mereka itu umumnya berupa ”keris”. Ada keris yang bernama
”Lembu Sekilan” yang dimiliki anggota Tentara Pelajar yang bernama Widodo,
dikenal sebagai berhasiat kekebalan bagi pemakainya. Lain lagi dengan keris
yang dimiliki anggota Tentara Pelajar
bernama Komar, menurut kepercayaan pemiliknya dan juga kawan-kawannya,
bahawa kalau pada waktu pertempuran berada di belakang Komar, maka walaupun
kena peluru tidak apa-apa.
Menurut Ibnoe Sawabi sebenarnya ada juga di antara mereka yang memiliki
”jimat”, seperti yang dimiliki temannya
bernama Komaruddin. Benda supra natural ini
dibungkus dengan kain putih. Memang tampaknya terbukti, karena
pemiliknya dalam setiap pertempuran tidak pernah kena peluru. Bagi pemakai
jimat ini pantangannya adalah tidak boleh lewat di bawah tali jemuran kain perempuan.
Selain hal-hal tersebut di atas Ibnoe Sawabi juga memberikan kesaksian
sebagai berikut: ”Kalau saya sendiri setiap akan melaksanakan tugas, saya
memulai dengan ”Bismillah”. Selain itu saya memang ada diberi ibu saya ”bekal”
berupa daun kantel. Ibu saya mengambil satu lembar yang jatuhnya tertelungkup,
dan satunya lagi yang jatuhnya telentang. Keduanya diambil lalu disatukan,
ditemukan bagian mukanya. Daun tadi dibungkus dan diberikan kepada saya.
Walaupun tidak mengerti maknanya, tapi ini mungkin untuk kselamatan saya. Dan
saya selamat. Tapi yang penting kami juga selalu melakukan shalat bersama, dan
memohon agar diberi keselamatan”.
Panggunaan daun kantel sebagai jimat tersebut di atas berkaitan dengan
kepercayaan terhadap adanya kekuatan yang terdapat pada tumbuhan. Kantel berupa
tumbuhan bunga ini dipercayai mempunyai kekuatan yang diharapkan berkhasiat
mengantel atau tidak terpisahkan. Karena itu dalam suasana perjuangan dan
keterlibatan mereka dalam perjuangan tersebut, maka yang diharapkan tentunya
tidak terpisahkan antara jiwa dan raga yang bersangkutan.
Sejenis dengan pemakaian daun kantel ini adalah adanya kepercayaan terhadap
khasiat ”kol buntet”. Kol buntet tentunya termasuk kekecualian atau aneh,
karena tidak berkembang dengan wajar, Buntet identik dengan tidak jadi atau
tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Karena itu dipercayai bahwa bedil musuh
akan buntet atau tidak meletus apabila diarahkan kepada orang yang memakai ajimat
tersebut.
Sementara itu ada pula kepercayaan tentang adanya kekuatan supra natuaral
yang terdapat pada ”ayam cemani”. Ayam yang serba hitam ini dianggap jenis
binatang kekecualian pula, karena itu apabila akan melakukan penyerangan atau
pertempuran malam hari mereka lebih dahulu menelan hati ayam cemani mentah-mentah
agar tidak akan terlihat oleh musuh. Dengan demikian yang bersangkutan tidak
akan menjadi sasaran penembakan.
Lain lagi dengan kesaksian yang diberikan oleh Soewardjo. Dia punya teman
Kapten Latif dari TNI waktu itu yang juga memiliki ajimat. Tetapi Soewardjo
tidak mengetahui secara detail baik jenis maupun bentuknya. Hanya yang
bersangkutan memiliki dan selalu memakainya apabila akan melakukan penyerangan
atau pertempuran dengan musuh.
Sementara itu untuk Soewardjo sendiri, dia mengaku hanya diberi pesan oleh
orang tuanya agar selamat supaya senantiasa berlaku jujur, jangan sekali-kali
mengambil barang orang lain, apalagi mengganggu anak-isteri orang.
Sedangkan Sardjiman seorang eks Tentara Pelajar yang berpengalaman banyak
dalam pertempuran, hanya mengaku bahwa dia setiap kali akan berangkat ke front
selalu berserah diri kepada Tuhan. Anggota Tentara Pelajar penganut agama
Katholik ini mengatakan bahwa di samping berserah diri tersebut dia berharap
(berdo’a) agar misi yang diemban berhasil dan masih dipelihara oleh Tuhan. Dia
juga mengetahui bahwa ada ”penangkal-penangkal” yang dimiliki kawan-kawannya
untuk keselamatan diri tersebut. Bentuknya macam-macam, ada berupa benda kecil
yang dibungkus dengan kain putih, ada berupa kalung, dan ada pula berupa keris.
Dalam hal do’a Sardjiman mengatakan, bahwa dalam ibadah gereja ada
bermacam-macam do’a untuk menghindari hal yang mengganggu. Tetapi menurut dia
tidak ada bentuk do’a untuk mempunyai kekuatan supra natural tersebut.
Memang dari semua eks Tentara Pelajar yang pernah diwawancarai bahwa pada
masa perang kemerdekaan yang lalu tersebut menyatakan ada pemakaian benda-benda
yang dapat digolongkan sebagai ajimat, demikian juga ada di antara mereka
mempunyai do’a atau mantera yang semuanya merupakan usaha untuk menangkal
bahaya serta mendapatkan keselamatan diri. Kesaksian Suwarno seorang eks
Tentara Pelajar yang bertugas dalam bidang kepalangmerahan dan sering mengikuti
penghadangan-penghadangan terhadap militer Belanda, juga mengetahui tentang
adanya pemakaian ajimat atau segala sesuatu yang digunakan untuk keselamatan
diri. Tetapi seperti halnya beberapa eks Tentara Pelajar lainnya yang
diwawancarai hanya mengaku bahwa sebelum berangkat ke front mereka
masing-masing berdo’a lebih dahulu.
Berbgai kesaksian yang diberikan para anggota eks Tentara Pelajar di Daerah
Istimewa Yogyakarta tersebut di atas, merupakan gambaran bahwa unsur-unsur
supra natural pada masa perang kemerdekaan tersebut memang memberikan peran
penting dalam diri para pejuang waktu itu. Ini artinya bahwa pejuang-pejuang
kita yang secara heroik ikut dalam perjuangan kemerdekaan waktu itu tidak pergi
dan ikut ke front dengan bekal yang hampa. Kita dengar kesaksian mereka bahwa
ada berbagai jenis dan bentuk ”sesuatu” yang berfungsi sebagai ajimat. Atau ada
kekuatan gaib yang lahir dari do’a yang mereka ucapkan atau amalkan dalam
masa-masa ikut berjuang tersebut.
(HRN: uraian dari bagian Buku Kiprah Perjuangan Tentara Pelajar dan Peranan
Unsur Supra Natural pada Masa Perang Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 1945-1949, oleh Drs. H. Ramli Nawawi, ISBN. 979-9419-09-3).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar