SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL
BANJARI
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Syekh Muhammad Arsyad adalah seorang pembaharu di
zamannya. Hal itu dapat dibuktikan dalam kitab-kitab karangan beliau, bahwa
tidaklah beliau begitu saja menyalin sesuatu pendapat dari kitab yang
terdahulu, kecuali sesudah beliau lakukan penelitian ”kuat atau tidaknya”
pendapat tersebut. Sebagai ulama di zaman itu beliau seorang pemberani dalam
tindakannya, merubah dan menentang faham yang telah berkembang sebelumnya.
Sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad ini telah
berkembang faham Wihdatul Wujud yang bersumber dari Al Hallaj. Syekh Muhammad
Arsyad menentang faham tersebut. Hal itu dapat dilihat dari dukungan beliau
terhadap karya Nuruddin Ar Raniry, yaitu kitab ”Shirathul Mustqim” yang ditulis
dalam rangka menentang faham Al Hallaj yang dikembangkan oleh Hamzah Fansyuri
di Aceh. Isi kitab Shirathul Mustaqim
tersebut beliau tuliskan di tepi kitab ”Sabilal Muhtadin” hasil karya
beliau.
Islam yang masuk ke Indonesia ini adalah menurut
Mazhab Imam Syafi’i, karena itu diduga masuknya dari Gujarat. Syekh Muhammad
Arsyad adalah seorang yang termasuk dalam aliran ”mujtahid mazhab”, karena
beberapa faham beliau terdapat perbedaan dengan penganut-penganut mazhab
Syafi’i. Hal seperti ini juga dilakukan oleh Imam Nawawi dan Imam Gazali, yang
keduanya terkenal sebagai penganut aliran tersebut.
Sebelum Syekh Muhammad Arsyad menyebarkan
Islam di daerah ini, sudah ada pula
orang-orang Arab yang datang ke daerah ini untuk berdagang. Diantara para
pedagang Arab tersebut terdapat suku Arab ”Baalwi” (Sayyid keturunan puteri
Rasulullah, Siti Fatimah). Mereka ini menggunakan gelar”Sayyid”. Dari mereka
inilah secara tidak langsung berkembang faham Syi’ah sampai ke daerah ini,
sebagai akibat fanatisme mereka itu yang sangat mengagungkan Saidina Ali dan
turunannya. Para Sayyid itu mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam Keraton
Banjar. Pengaruh mereka terhadap keraton ini sudah ada sejak zaman Sultan
Suriansyah. Dan hal inipun dibasmi oleh Syekh Muhammad Arsyad.
Di daerah ini dikenal ” hukum perpantangan” yang
bersumber dari Syekh Muhammad Arsyad. Beliau melihat bahwa dalam masyarakat
Banjar utamanya, suami isteri mempunyai andil yang sama dalam membina kehidupan
keluarga. Pada umumnya orang Banjar suami dan isteri sama-sama bekerja.
Kehidupan ini jelas dapat dilihat dalam keluarga petani. Sehubungan dengan itu
Syekh Muhammad Arsyad berpendapat bahwa dalam hal bercerai atau salah seorang
meninggal dunia, maka hak milik yang diperoleh selama berumah tangga itu dibagi
dua lebih dahulu, selanjutnya baru dilakukan pembagian menurut hukum waris
dalam Islam yang biasa. Dan ini satu-satunya pendapat yang tidak pernah
difatwakan oleh ulama-ulama di negeri lain, ataupun oleh Imam Syafi’i sendiri
Di daerah ini pada umumnya aliran Thariqat
(seperti yang bersumber dari Sofi Al Hallaj, dan lain-lainnya), tidak dapat
tumbuh secara terbuka, karena brtentangan dengan faham Sultan yang mengikuti
fatwa-fatwa dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Juga karena
pengaruh-pengaruh Syekh Muhammad Arsyad dalam masyarakat Banjar itu dapat
membendung faham-faham tersebut.
Dalam pengajian-pengajian di daerah ini umumnya
diajarkan:
1. Ilmu Fiqh, menggunakan kitab Sabilal Muhtadin,
karya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
2. Ilmu Tasauf, menggunakan kitab Sairus Salikin
karya Syekh Abdus Samad Al Falimbangy, yang telah dibuat sadurannya oleh Syekh
Muhammad Arsyad dengan nama Kanzul Ma’rifah.
Syekh Muhammad Arsyad dalam ajaran beliau ”tidak
memisahkan Syari’at dan hakekat”. Sebab syaria’at dan hakekat bukan dua hal
yang berpisah. Syaria’at tanpa hakekat adalah kosong, dan hakekat tanpa
syari’at adalah fasik.
Untuk menyesuaikan tahun Hijriah ke tahun Masehi
dapat ditempuh cara: (a) menghitung selisih kedua perhitungan tahun itu, dengan
mengingat bahwa tahun Hijriah dimulai pada tahun 622 Masehi, dan (b) bahwa
setiap 33 tahun, perhitungan tahun Hijriah ditambah 1 (satu) tahun karena bulan
Hijriah hanya terdiri dari 29 dan 30 hari saja.
(Catatan:
Semua isi naskah ini hasil wawancara saya dengan seorang Dosen Fakultas
Syari’ah IAIN Banjarmasin tahun 1976, waktu sebagai mahasiswa doktoral jurusan
Sejarah Fkg UNLAM Banjarmasin).
(HRN: Maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain). .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar