SEKILAS PERJALANAN SEJARAH KOTA BANJARMASIN
Disusun oleh: Ramli
Nawawi
Kota Banjarmasin sekarang menjadi ibu kota
Propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin termasuk kota tertua, pertama
kali menjadi ibu kota kerajaan dari
Kesultanan Banjarmasin. Sultan Suriansyah, sultan pertama yang menjadikan kota
ini sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan serta pusat penyebaran
agama Islam sejak 24 September 1526.
Kota Banjarmasin terletak di bagian selatan dari Kalimantan
Selatan dan terbelah dua oleh Sungai Martapura anak Sungai Barito. Kota
Banjarmasin terletak di bawah permukaan laut hampir 0,50 m di bawah permukaan
laut.
Pada Abad ke 15 sebelum menjadi Kota Banjarmasin,
di daerah ini merupakan perkampungan beberapa kelompok etnis antara lain adalah
etnis Dayak Ngaju dan etnis Melayu. Pemukiman penduduk waktu itu berada di
sekitar Muara Cerucuk dan Kuwen. Perkampungan orang Melayu, oleh orang suku
Dayak Ngaju disebut Banjarmasih. Banjar berarti kampung dalam bahasa Melayu,
sedangkan Masih adalah sebutan dalam bahasa Ngaju untuk menyebut orang Melayu.
Dengan demikian Banjarmasih berarti perkampungan orang Melayu. Banjarmasih
adalah ibu kota dari Kesultanan Banjar dengan raja pertamanya Sultan
Suriansyah, raja pertama yang menganut agama Islam.
Pada abad ke 16 dan 17 Banjarmasin sebagai
perkampungan orang Melayu terletak di antara sungai-sungai. Sungai Barito
dengan anak Sungai Sigaling, Sungai Pandai dan Sungai Kuwen. Sungai Kuwen
dengan anak sungainya Sungai Keramat, Sungai Jagabaya dan Sungai Pangeran atau
Pageran. Sungai-sungai tersebut pada daerah hulunya bertemu dan membentuk danau
kecil bersimpang lima. Daerah inilah yang nanti menjadi daerah ibu kota
Kerajaan Banjar, yaitu Banjaramasin. Pusat pertama terletak di antara Sungai
Keramat dengan Sungai Jagabaya dengan Sungai Kuwen sebagai induk. Di sinilah
tetletak rumah Patih Masih, patihnya orang Melayu.
Desa berubah menjadi sebuah bandar perdagangan pada
tahun 1526 setelah Kerajaan Daha yang
dibawah Pangeran Tumenggung mengakui Sultan Suriansyah sebagai raja di Kerajaan
Banjar, sebagian besar penduduk Daha diangkut sebagai tambahan penduduk ibu
kota kerajaan. Rumah Patih Msih dijadikan keraton setelah dibesarkan dibuat
Pagungan, Sitilohor dan Paseban.
Rumah-rumah dibangun di sepanjang tepi sungai dihubungkan
satu dengan lainnya dengan titian sepanjang sungai dengan angkutan terdiri dari
jukung atau perahu. Perahu atau jukung merupakan alat angkutan yang utama. Di
samping rumah di tepi sungai terdapat lagi sejumlah rumah di atas lanting
diikat dengan rotan ke pohon-pohon besar di tepi sungai.
Pada tahun 1612 kota ini diserbu oleh armada
Belanda sehingga terpaksa ibu kota kerajaan dipindahkan ke Kayu Tangi dekat
Telok Selong Martapura sekarang., sedangkan pusat kota dipindahkan ke Pamakuan,
Kuliling Benteng. Dengan demikian kemudian terdapat sebutan untuk Banjar Lama
dan Banjar Hanyar. Banjar Lama adalah bekas pusat pemerintahan kerajaan yang ditinggalkan,
sedangkan Banjar Hanyar adalah Kayu Tangi Martapura. Pada tahun 1663 Pangeran
Surianata atau Pangeran Adipati Anom merebut kekuasaan. Pusat pemerintahannya
dikembalikan ke Banjar Lama dengan pusat di daerah Sungai Pangeran.
Pada tahun 1677 Banjarmasin diserbu orang-orang
dan pengikut Daeng Tello dibantu lanun orang Melayu, Soelongh. Keraton kembali
musnah, tetapi musuh dapat dihalau. Pada tahun 1701 kembali Banjarmasin
mengalami kehancuran dan pembakaran karena pertentangan dengan Inggeris,
akibatnya Pulau Tatas menjadi sangat penting, sehingga sejak itu Pulau Tatas
menggantikan tempat pusat kegiatan perdagangan menggantikan Banjarmasin di
daerah Sungai Kuwen dan Sungai Pangeran.
Pada tanggal 4 Mei 1826 antara Kerajaan Banjar
dengan Belanda diadakan kontrak dagang. Perjanjian itu membagi dua kota
Banjarmasin. Daerah Pacinan Laut menyeberang ke Sungai Miai, ke Kuwen, Sungai
Kelayan, Pemurus dan terus Pegunungan Meratus adalah daerah Kerajaan Banjar.
Daerah Kerajaan Banjar ini kampung yang terpenting adalah kampung keraton, yang
kemudian disebut Kampung Sungai Mesa. Di sekitar kampung ini terdapat rumah
kediaman Menteri Besar Kiai Maesa Jaladeri, istana Sultan Tamjidillah, Balai
Kaca. Berseberangan dengan istana Sultan Tamjidillah, diantaranya Sungai
Martapura, terletak rumah Residen Belanda di Kampung Amerongan dan ke hilirnya
terdapat Benteng Tatas, kesemuanya terletak di Pulau Tatas.
Kampung Amerongan adalah perkampungan orang
Eropah, teratur, suasana lingkungan nyaman dengan penerangan lampu pada malam
hari. Kampung Amerongan adalah kampung terbesar kedua setelah kampung Cina,
Pacinan. Daerah Pulau Tatas inilah sampai menjelang abad ke 19 berkembang
menjadi pusat kegiatan kekuasaan dan administerasi penjajah Belanda, baik sipil
maupun militer.
Akhir Perang Banjar (1859-1905) membawa sejumlah
kegiatan baru bagi Kota Banjarmasin. Antara Banjarmasin dengan Surabaya sarana
hubungan laut Koninklijk Pakketvaart Maatschappij (KPM) memegang peranan baru
lalu lintas laut. Untuk menampung volume kegiatan angkutan laut ini dibangun
Boom Baru (pelabuhan) pada tahun 1861.
Boom ini terletak di pelabuhan lama sekarang di
Sungai Martapura. Prasarana
hubungan darat dibuat Pemerintah Belanda, yang guna dan tujuan dari hubungan
darat ini ialah mempermudah ruang gerak militer Belanda. Jalan Banjarmasin –
Martapura mulai dirintis melalui Pacinan Darat, Sungai Bilu Darat, Sungai
Lulut, Sungai Tabuk, Panggalaman, Sungai Rangas terus ke Martapura yang
sekarang dikenal dengan Jalan Martapura Lama.
(RN: Harap naskah ini tidak diposting ke blog
lain).
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar