BERAKHIRNYA KEKUASAAN BELANDA DI
KALIMANTAN SELATAN (2)
(sambungan)
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Situasi vacum pemerintahan ini, karena pemerintah
Belanda tidak ada lagi, sedangkan Jepang belum mengatur pemerintahan ( yang ada
hanya beberapa orang serdadu Jepang)
kesempatan tersebut digunakan oleh beberapa orang pencuri, dan yang terutama
menjadi sasaran adalah orang Cina. Orang-orang Cina ada yang lari ke kampung
menyelamatkan diri dan diantara mereka ada yang masuk Islam.
Berita tentang kedatangan tentara Jepang ini yang
didesuskan dalam jumlah yang besar, menimbulkan hati kecut bagi Belanda di
daerah sebelah selatannya. Berita pendudukan kota Amuntai ini menyebabkan kota
selanjutnya , Barabai, Kandangan, Rantau, Mar tapura membuka
seluas-luasnya terhadap kedatangan
Jepang. Tak ada satupun perlawanan yang etrjadi.
Baru saja terdengar bahwa kota Amuntai telah jatuh
ke tangan Jepang, KNIL dan pemerintah sipil Belanda melarikan diri ke daerah Dayak Besar,
sehingga membiarkan seluruh wilayah Kalimantan Selatan jatuh ke tangan Jepang
tanpa perlawanan apa-apa. Untuk menyerahkan kota Banjarmasin kepada Jepang ,
ditugaskan kepada Wali Kota Banjarmasin Van der Meulen dan kepada Javache Bank
Konig. Pembumihangusan terhadap kota pun dilaksanakan oleh AVC pada malam Minggu
tanggal 9 dan 10 Februari 1942 kota Banjarmasin menjadi lautan api , seluruh
kendaraan militer dirusak dan di jejer di jalan Simpang Sungai Bilu, jembatan
Coen di ledakkan, satu-satunya jembatan yang menyeberangi sungai Martapura sehingga menggetarkan seluruh kota. Begitu
pula percetakan ”Suara Kalimantan”
betul-betul dibumihanguskan, dirusak mesin-mesinnya, sedangkan
letter-letter yang masih merupakan
zetsel yang ada dalam raam, dibuang ke sungai. Sementara itu percetakan De
Endracht yang mencetak” Borneo Post” dan ”Bintang Borneo”, bukan dirusak, akan
tetapi turut terbakar dalm komplek toko-toko dan pasar yang dibakar oleh tentara Belanda (Vernielingscorps).
Percetakan ”Suara Kalimantan” memang satu-satunya yang menentang penjajahan,
karena itu dinomorsatukan untuk dibumihanguskan. Sedang percetakan lain seperti
BanjarmasinsheDrukkery hanya dibuka bagian-bagian pentingnya saja, seperti piringan tinta dan rol tinta bagian tersebut
disembunyikan agar tidak dapat dipergunakan dengan segera oleh Jepang.
Pengrusakan seperti ini juga berlaku di seluruh Kalimantan Selatan, begitu
juga yang terjadi di Barabai.
Akan tetapi
sebelum kota Banjarmasin diserahkan terlebih dahulu kota dibumihanguskan oleh
AVC dengan baik.. Seluruh persediaan bensin dekat masjid Jami, bensin kapal terbang di Banua
Anyar, bensin di Bagau, karet di gudang-gudang Mac Laine Watson di Ujung Murung, bangunan
Port Tatas dibakar habis. Sentral
Listrik ANIEM dan pabrik karet Hoktong
hancur sampai tinggal pondasinya saja.
Rakyat dikerahkan untuk mengangkut persediaan
beras di gudang Borsumy dan Big Five lainnya serta diakhiri dengan penggedoran
toko-toko Cina dan rumah Belanda yang kosong.
Seluruh alat kekuasaan Belanda menghilang setelah membuka pakaian
seragamnya.
Tentara Rikugun
Jepang (Angkatan Darat)yang datang memasuki Banjarmasin lewat Hulu
Sungai pada tanggal 13 Februari 1942 , sebagian datang dengan sepeda, sebagian
lagi berjalan kaki. Serah terima kota tidak jadi dilaksanakan karena alasan
politik bumi hangus AVC. Walikota Van der Meulen dan Kela Borneo Internaat Smith
dan seorang Cina yang menyambut Jepang
dipancung di atas sisa-sisa reruntuhan jembatan Coen.
Tiga hari kemudian barulah Jepang memulai
konsolidasi kekuasaannya yang dilakukan
mula-mula oleh Rikugun (Angkatan Darat) yang dikenal oleh rakyat dengan
sebutan ”Cap Bintang”, kemudian diambil oper oleh Kaigun (Angkatan Darat).
(bersambung). (HRN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar