Makalah pembekalan Lawatan Sejarah 2005
Regional Propinsi DIY, Jateng dan Jatim
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional DIY
"Menelusuri Tapak Kerajaan".
DARI KOTAGEDE KE KERATON YOGYA
DAN PAKU ALAMAN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Kotagede adalah sebuah kota lama dari abad ke 16 yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mataram Islam, didirikan oleh Ki Gede Pemanahan. Ki Gede Pemanahan adalah seorang abdi perajurit Kerajaan Pajang dengan rajanya bernama Sultan Adiwijaya (dikenal juga dengan nama Mas Karebet atau Jaka Tengkir). Sultan Adiwijaya mempunyai musuh seorang keturunan Demak bernama Arya Penangsang (Adipati Jipang), yang selalu mengancam akan menyerangnya. Sehubungan dengan hal itulah Sultan Adiwijaya berjanji akan memberikan tanah Mataram dan Pati kepada siapa yang dapat membunuh Arya Penangsang.
Ki Gede Pemanahan bersama putranya Sutawijaya dengan dibantu sahabatnya Ki Penjawi kemudian berhasil membunuh Arya Penangsang. Peristiwa tersebut juga kemudian mengakhiri perang Pajang dengan Jipang tahun 1558. Sehubungan dengan itu juga mereka dihadiahi Sultan Adiwijaya daerah Pati dan Mataram. Ki Gede Pemanahan memilih daerah Mataram karena tanahnya subur walaupun masih berupa hutan. Karena itu Ki Penjawi mendapat daerah Pati yang sudah merupakan daerah terbuka dan sudah ramai. Ki Penjawi dan keluarganya segera berpindah ke Pati, sedangkan tanah Mataram masih ditunda penyerahannya oleh Sultan Adiwijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan lebih dulu disuruh ke bukit Danaraja memberi tahu Kalinyamat tentang terbunuhnya Arya Penangsang. Kalinyamat melakukan tapa setelah saudaranya (Sunan Prawata raja Demak) dibunuh oleh Arya Penangsang. Setelah mendengar berita itu Kalinyamat memberi beberapa hadiah pusaka kepada Ki Gede Pemanahan termasuk dititipi beberapa putri pingitan untuk disampaikan ke Pajang. Salah seorang dari putri tersebut kemudian tinggal bersama Ki Gede Pemanahan, yang kelak menjadi isteri Senapati (raja Mataram pertama). Konon penundaan penyerahan tanah Mataram kepada Ki Gede Pemanahan tersebut ada kaitannya dengan ucapan Sunan Giri yang mengatakan bahwa kelak akan ada raja yang sangat berkuasa dan akan menguasai seluruh tanah Jawa. Karena itu setelah Ki Gede Pemanahan berjanji di hadapan Sunan Kalijaga bahwa ia akan tetap setia kepada Kerajaan Pajang, barulah Sultan Adiwijaya bersedia menyerahkan tanah Mataram kepada Ki Gede Pemanahan.
Ki Gede Pemanahan dan keluarga serta pengikut-pengikutnya mulai bermukim di tanah Mataram dan menempati istananya di Kotagede pada tahun 1577. Ki Gede Pemanahan terus membangun daerahnya yang berupa hutan tersebut. Daerah Mataram kemudian semakin lama menjadi daerah besar dan berpengaruh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran juga bagi Sultan Adiwijaya, sebab hal itu bisa mengancam eksistensi Kerajaan Pajang.
Sementara itu Ki Gede Pemanahan semakin yakin kalau dari tanah Mataram akan lahir penguasa atau raja besar yang akan menguasai tanah Jawa. Hal itu karena ketika ia berkunjung ke rumah temannya Ki Ageng Giring seorang nderes aren di Gunung Kidul, secara kebetulan ia meminum air kelapa muda milik Ki Ageng Giring, yang menurut pemiliknya pernah ada suara memberi tahu kepadanya bahwa siapa yang akan minum air kelapa muda tersebut sampai habis, maka seluruh keturunannya akan menjadi raja menguasai tanah Jawa. Hal itu ditafsirkan bahwa wahyu keraton jatuh kepada Ki Gede Pemanahan. Tetapi walaupun demikian karena Ki Gede Pemanahan telah berjanji kepada Sultan Adiwijaya untuk tidak menjadi raja Mataram, maka sampai ia meninggal pada tahun 1584 ia selalu taat sebagai bawahan raja Pajang.
Setelah Ki Gede Pemenahan meninggal, Sultan Pajang kemudian menunjuk Sutawijaya (anak Ki Gede Pemanahan yang diambil anak angkat oleh Sultan Adiwijaya) menggantikan Ki Gede Pemanahan sebagai penguasa Mataram, dan diberi gelar Senapati Ing Alaga.
Senapati yang masih muda itu setelah resmi menjadi penguasa di Mataram, iapun mulai mengadakan persiapan untuk memerdekakan tanah Mataram dari kekuasaan Pajang. Ia mulai membangun tembok keliling istananya di Kotagede. Bersamaan dengan itu Adipati Kedu dan Bagelen juga sudah membangkang tidak membayar pajak kepada Pajang. Kemudian Senapati Mataram pun mengabaikan kewajibannya terhadap Pajang. Ia tidak datang memberikan penghormatan tahunan ke Pajang, bahkan ia menggagalkan hukuman yang harus dilaksanakan atas perintah raja terhadap keluarga Tumenggung Mayang karena pelanggaran yang dilakukan anaknya, dan Senapati bahkan melindunginya.
Karena itulahh raja Pajang marah, sehingga bersama pasukannya menyerang ke Mataram. Tetapi dekat Perambanan pasukannya cerai berai akibat letusan Gunung Merapi dan meluapnya Sungai Opak. Sultan Adiwijaya beserta sisa-sisa pasukannya kembali lewat Tembayat, di mana ia merasa bahwa kerajaannya telah berakhir. Setelah sampai di kotapraja Pajang Sultan Adiwijaya jatuh sakit, dan pada tahun 1587 akhirnya meninggal dunia. Putranya bernama Pangeran Benowo disingkirkan oleh Arya Pengiri dari Demak dan dijadikan Adipati Jipang. Tetapi sebagai sultan Pajang Arya Pengiri karena tindakan-tindakannya tidak disenangi rakyat. Sementara itu Pangeran Benowo minta bantuan kepada Senapati Mataram untuk menyerang Arya Pengiri. Pajang pun diserang dari dua jurusan, sehingga Arya Pengiri menyerah kepada Senapati. Pangeran Banowo yang merasa tidak sanggup menghadapi Senapati temannya itu, kemudian bersedia mengakui kekuasaan Senapati. Sehingga keraton Pajang pun dipindahkan ke Mataram.
Pusat kekuasaan Kerajaan Mataram berada di Kotagede, 6 km dari Yogyakarta. Kotagede sebagai ibu kota kerajaan bisa juga disebut Pasargede sebagai pusat perdagangan. Di sini tinggal orang-orang kaya karena usaha dagangnya yang maju. Di Kotagede terdapat peninggalan yang tampak saat ini, seperti Masjid Mataram Kotagede, Watu Gilang dan Watu Gateng. Senapati meninggal tahun 1601, makamnya juga terdapat di Kotagede. Penggantinya anaknya yang bernama Mas Jolang (Penembahan Seda Kerapyak) yang pada masa pemerintahannya menghadapi banyak pemberontakan, mulai dari Demak, Ponorogo dan Surabaya. Mas Jolang wafat pada tahun 1613. Makamnya juga terdapat di Kotagede.
Penggati Mas Jolang adalah Adipati Martapura, yang karena sakit-sakitan tidak sanggup memerintah. Ia digantikan oleh saudaranya yang bernama Raden Rangsang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya (1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan.
Sultan Agung memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram ke Kerta. Keraton itu mulai dibangun secara besar-besaran pada tahun 1625, dua belas tahun setelah Sultan Agung naik tahta. Sebelumnya keraton Sultan Agung masih sangat sederhana. Menurut Jan Vons duta VOC yang mengunjungi Mataram tahun 1624 menyebutkan bahwa keseluruhan kompleks bangunannya masih terbuat dari kayu, bagian sitinggilnya (tempat penghadapan) belum ada. Sitinggil dibangun baru dibangun pada tahun 1625 atau tahun 1547 Saka yang ditandai dengan candrasengkala kuda awarna yaksa, dengan mengerahkan banyak sekali tenaga kerja dari berbagai penjuru daerah untuk menyelesaikannya. Hebatnya pembangunan kompleks keraton Sultan Agung tersebut digambarkan dari berita tentang banyaknya penduduk yang melarikan diri karenna tidak dapat lagi beristirahat akibat banyaknya pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka oleh raja.
Sultan Agung dikenal juga sebagai raja besar yang bergelar Senapati Ing Alaga Ngabdur Rachman. Ia berhasil menguasai seluruh wilayah pantai utara Jawa yang terbentang dari Karawang hingga Pasuruan. Serta daerah yang disebut mancanegara (Priaman Timur, Banyumas, Madiun, Jipan, dan Grobogan). Sultan Agung juga pernah menyerang Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1629 walaupun hasilnya gagal karena kekurangan makanan dan persenjataan yang tidak seimbang.
Sultan Agung meninggal tahun 1645, ia digantikan oleh putranya bernama Sunan Amangkurat I. Raja Mataram yang baru ini ternyata tidak mau menempati keraton ayahnya. Ia memindahkan pusat kerajaan dan mendirikan keraton baru di Plered. Diduga keraton telah rusak sebagai akibat bencana kebakaran yang cukup meluas di keraton Kerta. Lokasi keraton Plered tidak begitu jauh dari Kerta.
Pembangunan keraton Plered oleh Sunan Amangkurat I tidak kalah dengan keraton Kerta ketika dibangun oleh Sultan Agung. Pekerjaan yang paling banyak menyita waktu dan tenaga dalam pembangunan keraton Plered adalah ketika pembuatan bendungan-bendungan. Amangkurat I pada waktu itu sangat mengidamkan sebuah keraton di sebuah pulau buatan. Oleh karena itulah ia membangun telaga buatan yang sedemikian besar dan bendungan-bendungan tersebut. Cita-citanya itu memang terkabul. Seorang utusan VOC bernama Abraham Verspreet yang pada tanggal 16 Oktober 1668 berkunjung ke keraton Plered menceritakan bahwa ia telah melewati jembatan di atas parit yang mengelilingi keraton dan baru kemudian tiba di alun-alun. Dengan demikian Sunan Amangkurat I bagaikan tinggal di sebuah istana di atas sebuah pulau kecil.
Kejayaan keraton Amangkurat I yang megah itu tidak berlangsung lama. Tanggal 2 Juli 1677 keraton Plered diserang pasukan dari Madura dibawah pimpinan Trunajaya (Pangeran dari Madura yang kesal karena besarnya pengaruh Belanda di Mataram). Keraton dapat direbut oleh pasukan Trunajaya, dan Sunan Amangkurat I berhasil meloloskan diri. Segala alat-alat pusaka kerajaan kemudian dibawa oleh Trunajaya ke Kediri. Sementara itu dalam pelariannya Sunan Amangkurat I jatuh sakit sehingga meninggal (1667). Ia dimakamkan di Tegalarum (selatan Tegal).
Adipati Anom menggantikan ayahnya sebagai Sunan Amangkurat II. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Puger juga menyebut dirinya sebagai sunan. Sunan Amangkurat II dengan bantuan Kompeni Belanda (setelah bersedia menandatangani perjanjian yang merugikan Mataram) kemudian merebut Kediri yang dijadikan markas pasukan Trunajaya. Tanggal 27 Nopember 1678 Speelman sebagai Direktur Jenderal Kompeni (diwakili Anthony Hurt pimpinan penyerangan ke Kediri), menyerahkan kembali alat-alat pusaka kerajaan yang dibawa Trunajaya dari Plered kepada Sunan Amangkurat II. Sementara itu Trunajaya dengan pasukannya yang bertahan dan terkurung di Gunung Kelud akhirnya menyerah kepada pasukan Kompeni dibawah pimpinan Kapten Jongker (1679). Ia diserahkan kepada Sunan Amangkurat II, yang akhirnya membunuhnya beberapa hari kemudian (2 Januari 1680).
Sekarang yang menjadi musuh besar bagi Amangkurat II adalah adiknya sendiri, yakni Pangera Puger yang menamakan dirinya sebagai sultan dan berkedudukan di Plered. Setelah keraton Plered dapat direbut oleh tentara Mataram, ternyata Pangeran Puger sudah melarikan diri. Amangkurat II juga tidak mau lagi tinggal di keraton lama tersebut. Hal itu selain keadaan keraton sudah banyak yang rusak serta terlantar tidak terpelihara, lebih-lebih karena menurut kepercayaan, sebuah keraton yang pernah diduduki musuh berarti tidak suci lagi dan akan mendatangkan bencana. Karena itu ia menyuruh membuat keraton baru di Wonokerto yang terletak di sebelah barat Pajang. Ibu kota Kerajaan Mataram yang baru ini dinamakan Kartasura. Menurut Babad Tanah Jawi Sunan Amangkurat II menempati istananya yang baru tersebut pada tanggal 11 September 1680 (27 Ruwah 1603).
Keadaan Kerajaan Mataram Kartasura yang berdiri selama kurang lebih 60 tahun (1680-1746) mengalami pasang surut. Sejak Amangkurat II naik tahta ia terus bersengketa dengan adiknya Pangearan Puger. Bahkan ketika ia digantikan oleh anaknya, yakni Sunan Mas yang bergelar Sunan Amangkurat III, Pangeran Puger dapat merebut tahta kerajaan pada tahun 1709. Pangeran Puger kemudian bergelar Sunan Paku Buwana I. Perebutan kekuasaan oleh Pangeran Puger terhadap Amangkuurat III inipun juga karena adanya bantuan Kompeni Belanda. Perang ini berakhir setelah Kompeni Belanda dapat menagkap Sunan Amangkurat III, dan kemudian membuangnya ke Srilangka.
Suunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) meninggal tahun 1719 putranya yang bernama Pangeran Mangkunegara dengan dukungan Kompeni Belanda menggantikannya dan bergelar Sunan Amangkurat IV. Namun dua saudaranya, yakni Pangeran Purbaya dan Pangeran Belitar berusaha untuk merebut kekuasaan. Kedua pangeran itu pindah ke Kerta keraton yang pernah dibangun oleh Sultan Agung. Demikian pula saudaranya yang lain, yakni Pangeran Diponegoro pergi bergabung dengan pemberontak dari Surabaya.
Keadaan menjadi semakin rumit ketika saudara Sunan Paku Buwana I, yakni Pangeran Arya Mataram pergi ke Pati dan juga mengaku sebagai sunan. Perselisihan antara Sunan Amangkurat IV dengan Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, Pangeran Diponegoro dan Arya Mataram ini berakhir setelah keempatnya berhasil ditangkap dan dibuang ke Srilangka.
Sunan Amangkurat IV meninggal pada tahun 1727. Ia diganti oleh putranya, yakni Sunan Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pula perpecahan dalam istana. Kedua saudaranya, yakni Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara terlibat dalam pertarungan terbuka. Pada masa pemerintahannya terjadi pula geger yang dilakukan oleh orang-orang Cina (Pemberontakan Cina tahun 1740). Pemberontakan Cina ini terjadi di Batavia yang menjalar ke berbagai kota di Jawa sebagai akibat tekanan pajak yang dibebankan kepada mereka. Paku Buwana II yang memihak Kompeni Belanda dan bahkan memecat Patih Natakusuma yang memihak perlawanan Cina, Gencarnya perlawanan orang-orang Cina membuat orang-orang Belanda meraca terancam keselamatannya. Kompeni memutuskan untuk meminta bantuan kepada Pangeran Cakraningrat dari Madura, yang sejak lama ingin melepaskan diri dari Mataram. Cakraningrat bersedia membantu asal diperbolehkan melepaskan diri dari Kartasura. Kompeni mengizinkan dan bahkan membiarkan Cakraningrat menduduki beberapa daerah di Jawa Timur (Gersik, Lamongan dan Tuban).
Tanggal 30 Juni 1742 para pemberontak Cina bersama dengan pemberontak-pemberontak lain, antara lain Bupati Pati, Bupati Grobogan, serta Mas garendi (putra Pangeran Tepasana), berhasil merebut keraton Kertasura sehingga Sunan Paku Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. Orang-orang Cina kemudian mengangkat Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) sebagai sultan tandingan dan menjadi raja di Kartasura menggantikan Sunan Paku Buwana II.
Pasukan Kompeni segera memberikan bantuan kepada Sunan Paku Buwana II untuk merebut kembali keraton Kartasura. Tetapi ternyata sudah didahului Pangeran Cakraningrat merebut keraton Kartasura dari Mas Garendi. Karena itu Kompeni lewat pembesar Belanda di Semarang Raynier de Klerk meminta secara baik-baik agar Cakraningrat kembali ke Madura.
Mas Garendi (Sunan Kuning) yang sempat bertahta di keraton Kartasura kemudian dapat ditangkap dan diserahkan kepada Gubernur Belanda di Semarang.
Tanggal 24 Desember 1742 Sunan Paku Buwana II dapat kembali dari Ponorogo ke keraton Kartasura. Tetapi sejak kembali ke Kartasura Sunan Paku Buwana II tidak tenang. Istananya dalam keadaan rusak sehingga ia memutuskan untuk membangun istana di tempat lain. Ia menginginkan keratonnya nanti dibangun di sebuah tempat yang terletak di sebelah timur Kartasura. Untuk itu para patihnya mengusulkan ada tiga tempat, yakni Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sanasewu. Akhirnya atas dasar beberapa pertimbangan para patihnya menetapkan untuk mengusulkan Desa Sala.
Tetapi Sunan Paku Buwana II kembali meminta kepada empat orang pejabat istana lainnya untuk melakukan penelitian dan pengecekan lebih lanjut. Hasilnya didapat keterangan dari sesepuh Desa Sala yang bernama Kyai Gede Sala bahwa daerah itu merupakan tempat di mana dimakamkan Raden Pabelan dari Tumenggung Mayang yang dibunuh karena tertangkap basah bermain asmara dengan putri Ratu Emas putri Sultan Adiwijaya raja Pajang. Mayatnya dihanyutkan di sungai Laweyan dan terdampar di tepi sungai di sebelah timur Desa Sala. Penguasa Desa bernama Bekel Kyai Sala menemukannya dan kemudian mengebumikannya. Karena Bakel Kyai sala tidak tahu nama mayat itu maka disebutnya Kyai Bathang. Ketika itu ia mendapat wangsit bahwa di belakang hari tempat itu akan menjadi sebuah kerajaan besar dan sejahtera.
Setelah mendapat penjelasan dari Kyai Gede Sala, keempat utusan sunan segera mengunjungi makam Kyai Bathang. Tempat itu ternyata sebuah kawasan yang indah. Kekurangannya adalah karena dekat dengan rawa yang lebar dan dalam. Diceritakan bahwa untuk menutup sumber air rawa tersebut telah diterima wangsit agar sultan menggunakan gung dan ledek, yang ditafsirkan harus dengan menyerahkan uang kepada pemilik tanah, yakni Kyai Gede Sala. Karena itu kemudian Sunan Paku Buwono II menyerahkan uang 10.000 ringgit kepada Kyai Gede Sala sebagai konsesi atas penyerahan tanah di kawasan Desa Sala tersebut.
Kyai Gede Sala atas hasil semedi di makam Kyai Bathang berhasil menutup sumber air rawa tersebut dengan menggunakan bunga delima dan daun lumbu, di samping menggunakan beribu-ribu balok-balok kayu yang diminta Sultan kepada para adipati daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya.
Setelah rawa mulai kering, maka pembangunan istana pun dimulai. Pembangunan keraton dinyatakan selesai pada tahun 1745, walaupun pagar kelilingnya masih dibuat dari bambu. Pada tanggal 17 Februari 1746 Sunan Paku Buwono II pindah menempati keraton barunya di Desa Sala. Pemindahan ibu kota kerajaan Mataram dari Kartasura ke Desa Sala tersebut digambarkan berlangsung dalam upacara prosisi sesuai adat yang lazim dilakukan para raja. Sunan Paku Buwana II kemudian menyampaikan pernyataan bahwa Desa Sala sebagai ibu kota kerajaan dirubah namanya menjadi Surakarta Adiningrat.
Selanjutnya Sunan Paku Buwana II di samping terus membangun keraton, juga harus menangani masalah perpecahan dalam istana dan adik-adiknya yang masih memberontak. Ada Pangeran Arya Buminata dan Pangeran Arya Singasari (dua adiknya), Raden Mas Said serta Pangeran Mangkubumi. Perpecahan dalam istana ini kemudian dapat diatasi dengan bantuan Kompeni Belanda. Tapi harus dibayar dengan mahal, karena Sunan Paku Buwana II harus menyerahkan Mataram pada tanggal 11 Desember 1749 kepada Kompeni Belanda, dan sejak itu raja Mataram hanya hanya disebut vassal (pimpinan). Penendatanganan surat kontrak penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda tersebut berlangsung saat Sunan Paku Buwana II dalam keadaan sakit keras.
Pangeran Mangkubumi (saudara kandung Sunan Paku Buwana II) yang waktu itu sudah meninggalkan istana, ketika tahu kelicikan Kompeni Belanda tersebut, dia tidak bisa menerima dan kemudian menyatakan dirinya sebagai sunan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana karena kecewa kepada Sunan Paku Buwana II yang tidak menepati janji akan memberikan hadiah tanah sewaktu dia dapat meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Mas Said dan Tumenggung Martapura. Karena itu Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana melakukan perlawanan, dan bahkan bergabung dengan Raden Mas Said dan Tumenggung Martapura yang dahulu menjadi lawannya. Mereka kemudian bersama-sama melawan Sunan Paku Buwana II dan Kompeni Belanda.
Setelah Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana pada akhir tahun 1749 tersebut, Sunan Paku Buwana II jatuh sakit. Dalam keadaan sakit itulah Suan Paku Buwana II menandatangani kontrak yang sangat merugikan Mataram tersebut. Sembilan hari setelah menandatangani kontrak, yakni tanggal 20 Desember 1749 Sunan Paku Buwana II meninggal dunia. Penggantinya Adipati Anom dinobatkan sebagai Sunan Paku Buwana III sebagai wakil Kompeni Belanda memerintah Mataram. Ia harus menandatangani surat kontrak yang menyatakan kekuasaannya diperoleh atas kebaikan hati Pemerintah Kompeni Belanda.
Selanjutnya untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said maka Kompeni Belanda melakukan politik devide et impera, yang berhasil memisahkan keduanya. Perlawanan Pangeran Mangkubumi baru berakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Gianti tanggal 13 Februari di Desa Gianti. Isinya Kerajaan Mataram dibagi dua sama antara Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi yang selanjutnya bergelar Sultan Hamengku Buwana I. Sunan Paku Buwana III tetap bertahta di Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta, sedangkan Sultan Hamengku Buwana I bertahta di Kesultanan Ngayogyakarta (Yogyakarta) Adiningrat yang beribu kota di Yogyakarta di Desa Bringharjo.
Setelah Perjanjian Gianti pergolakan dalam kerajaan masih juga terjadi. Raden Mas Said terus melanjutkan perang melawan Kompeni Belanda, Sunan Paku Buwana III dan Sultan Hamengku Buwana I. Raden Mas Said adalah kemanakan dan menantu Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) dan pernah menjadi wazirnya, bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara. Tetapi kekuatan gabungan dari Sunan Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwana I dan Kompeni Belanda ternyata terlalu kuat bagi Raden Mas Said. Setelah mengalami kekalahan di daerah Kuwu, Raden Mas Said menyingkir ke Desa Lawang kemudian ke Sukawati, di tempat ini ia diminta utusan Sunan ntuk berdamai dan diajak kembali ke Kartasura. Setelah Sunan Paku Buwana III dapat menyetujui permintaan Raden Mas Said yang meminta agar semua daerah yang pernah dikuasainya menjadi miliknya, tanggal 24 Februari 1757 atas kemauan sendiri ia datang menghadap Sunan Paku Buwana III di Desa Grogol (7 km dari Sala).
Selanjutnya dengan perantaraan Gubernur Nicolas Harthgh, diadakan perundingan antara Raden Mas Said dengan Sunan Paku Buwana III pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga, disaksikan Raden Adipati Danurejo sebagai wakil Sultan Hamengku Buwana I. Dalam Perjanjian Salatiga tersebut ditetapkan bahwa Raden Mas Said mendapat tanah sebagian dari Kesunanan Surakarta yang kemudian disebut Mangkunegaran, dan ia menjadi pangeran merdeka dengan gelar Mangkunegaran I. Demikian Mataram telah dipecah menjadi tiga bagian: Kesunanan Surakarta, Kesultanan Ngayogyakarta Adiningrat, dan Mangkunegaran.
Sultan Hamengku Buwana I dengan nama lengkapnya Sultan Hamengku Buwana Sinapati Ing Alaga Abdulrahman Sayi'din Pnatagama Kalifatullah I, pada tanggal 13 Maret 1755, sebulan setelah Perjanjian Gianti mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwa separo dari Negara Mataram yang dikuasainya itu, diberi nama Ngayoyakarta Adiningrat, beribu kota di Yogyakarta. Nama tersebut dipilih oleh Sultan diperkirakan untuk menghormatitempat yang bersejarah yaitu hutan beringin yang pada waktu Sunan Amangkurat I yang lalu sudah merupakankota kecil yang indah,dan ada istana (tempat) pesanggrahan bernama Gerjitawati. Kemudian pada masa Sunan Paku Buwana II yang bertahta di Kartasura, nama pesanggrahan tersebut diganti dengan Ngayogya, yang masa itu digunakan untuk tempat pemberhentian jenazah yang akan dimakamkan di Imogiri, sehingga pesanggrahan tersebut dipandang suci.
Setelah Sultan Hamangku Buwana I menetapkan Ngayogya sebagai pusat kerajaan baru tersebut, Sultan segera memerintahkan untuk membangunnya yang dimulai dengan keraton sebagai pusat dan permulaan bangunannya. Sementara itu Sultan bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya menempati pesanggrahan Gamping, yang letaknya sekitar 5 km di sebelah barat ibu kota yang sedang dibangun. Pesanggrahan yang ditempati Sultan Hamangku Buwana I bersama dengan keluarga dan pengikutnya tersebut dikenal sebagai Istana (Ngambar) Ambar Ketawang. Pesanggrahan ini mempunyai sifat-sifat pertahanan, karena letaknya di samping sebuah gunung gamping, yang memberi perlindungan kuat kepada penghuninya. Sayang sekali gunung gamping yang bersejarah itu sekarang sudah hampir habis sama sekali, karena telah digempur oleh rakyat untuk bahan kapur, kini masih sedikit saja yang bisa diselamatkan. Konon dari gunung gamping yang terletak membujur ke sebelah timur laut Istana Ambar Ketawang tersebut terdapat gua yang menghubungkan keduanya. Gua yang dari bekas-bekasnya tampak dibuat sengaja tersebut itu, sangat mirip dengan lubang perlindungan atau sebagai benteng pertahanan, karena pintu gua yang di sebelah barat mempunyai hubungan langsung dengan Istana Ambar Ketawang.
Istana Ambar Ketawang sebelumnya dikenal dengan nama Purapara, yaitu gedung tempat orang yang tengah bepergian. Bangunan yang berukuran 80 x 150 meter tersebut bila dihubungkan dengan sejarah hutan beringin yang berasal dari kata-kata pabringan, yaitu tempat untuk memberi tanda-tanda pada wktu orang ramai berburu hewan di hutan, maka besar kemungkinan Istana Ambar Ketawang tersebut dulu merupakan pesanggrahan pada waktu Sultan Mataram dengan pengiringnya sedang berburu hewan di hutan beringin.
Sultan Hamangku Buwana I mulai menempati Istana Ambar Ketawang pada hari Kamis tanggal 9 Oktober 1755, dan kira-kira setahun kemudian setelah sebagian dari bangunan-bangunan di dalam keraton selesai, Sultan berkenan memasuki Keraton Ngayogyakarta (Yogyakarta) pada hari Kamis tanggal 7 Oktober 1756. Kepindahan Sultan tersebut diperingati dengan lukisan dua ekor naga yang ekornya saling melilit, ditempatkan di atas Banon renteng (tembok serupa perisai) pada gapura belakang. Lukisan itu disebut "candra sengkala memet", artinya angka-angka dari tahun Jawa yang dilukiskan dengan kata-kata yang berwujud gambaran. Gambaran itu berbunyi Dwi naga rasa tunggal = 1682 C (1756 M).
Bahwa pembangunan keraton Yogyakarta dirancang dan diawasi sendiri oleh Sultan Hamangku Buwana I, demikian juga dengan pembangunan Taman Sari. Taman Sari adalah salah satu tempat istirahat yang letaknya ada di samping keraton sebelah barat. Tentang tempat dibangunnya ibu kota Ngayogyakarta condong kepada "pertahanan" dapat diperkuat dengan berdirinya Taman Sari, yang merupakan bagian dari keraton. Orang Barat mengenalnya sebagai "water kastel". Pada bagian-bagian sebelah dalam, di antaranya terdapat juga jalan-jalan kecil di dalam tanah yang menembus ke beberapa jurusan, berbeluk-beluk, di anataranya ada yang menembus sampai ke luar kota. Sehingga Taman Sari tidak hanya hanya tempat beristirahat, tetapi pada hakekatnya mempunyai arti lain yang berhubungan dengan pertahanan.
Ketika Daendels tahun 1808 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ia mengangkat wakil-wakilnya di keraton Jawa dengan sebutan Manteri Raja Belanda yang harus diperlakukan sama dengan para raja. Kalau Sultan Surakarta mau tunduk, maka Sultan Yogyakarta tidak. Akibatnya tahun 1810 Daendels mengganti Sultan Hamangku Buwana I dengan Sultan Hamangku Buwana II yang juga bersedia menyerahkan sebagian daerah kesultanan kepada Belanda di samping harus bersedia memenuhi keinginan Daendels lainnya.
Tahun 1811 Hindia Belanda jatuh ke tangan Pemerintah Inggeris. Ketika itu pula Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta bersama-sama menentang kekuasaan Inggeris. Akibatnya pada tahun 1812 keraton Yogyakarta diserbu oleh tentara Inggeris. Harta kekayaan keraton disita dan Sultan Hamangku Buwana II diganti dengan Sultan Hamangku Buwana III. Demikian pula Kesunanan Surakarta kemudian dipaksa untuk menyerahkan beberapa obyek seperti hutan jati, rumah cukai, pasar dan beberapa fasilitas lainnya.
Dalam suasana keruh tersebut di Kesultanan Yogyakarta lahir Pemerintahan Kadipaten Paku Alaman pada tanggal 17 Maret 1813. Pangeran Notokusomo, putra Hamangku Buwana I diangkat menjadi Pangeran merdeka dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Hal ini dinyatakan dalam kontrak yang ditandatangani oleh Sri Paku Alam I dengan John Crawfurd pada tanggal 17 Maret 1813.
Dengan lahirnya pemerintahan Kadipaten Pakualaman maka ibu kota Yogyakarta Adiningrat menjadi berubah, karena ibu kota Paku Alaman ada di dalam ibu kota Yogyakarta Adiningrat. Ibu kota Paku Alaman tersebut menempati sebagian kecil sebelah timur Sungai Code terdiri dari Kampung Notokusuman, yakni kampung kediaman Sri Paku Alam I selagi masih menjadi Pangeran Miji. Kampung itu kemudian diberi berpagar, sehingga juga merupakan sebuah benteng.
Demikian Kerajaan Mataram yang dirintis oleh Ki Ageng Pemanahan dengan rajanya yang pertama Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Alaga (1584-1601), setelah berlangsung diperintah silih berganti di bawah turunannya, akhirnya pecah di bawah empat kekuasaan, yakni Kesunanan Surakarta, dan Mangkunegaran yang saat ini masuk dalam wlayah Propinsi Jawa Tengah, serta Kesultanan Ngayogyakarta, dan Kadipaten Paku Alaman yang sekarang berada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
DAFTAR BACAAN
H.J. de Graaf, Distegrasi Mataram Di Bawah Mangkurat I, GrafitiPers, Jakarta, 1987.
H.J. de Graaf & TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama Di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke 15 dan ke 16, Grafiti Pers, Jakarta, 1985.
Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Proyek IDSN Ditjen Kebudayaan Depdikbud, Jakarta, 1999.
S.Ilmi Albiladiyah, Paku Alaman Selayang Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, 1944.
Teguh Asmar, et.al., Masyarakat Tradisional Kotagede, Proyek Sasana Budaya, Yogyakarta, 1982.
Kota Yogyakarta 200 tahun, Panitia Peringatan Kota Yogyakarta, Yogyakarta, 1956.
Senin, 09 Maret 2009
Jumat, 06 Maret 2009
Rabu, 04 Maret 2009
PEMBANGUNAN BERWAWASAN BUDAYA: PERSPEKTIF BUDAYA BANJAR (KALSEL)
Makalah disampaikan pada kegiatan
Lokakarya Nasional Pembangunan
Berwawasan Budaya, UGM 7-1-2004
PEMBANGUNAN BERWAWASAN BUDAYA:
PERSPEKTIF BUDAYA BANJAR (KALSEL)
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
I. PENDAHULUAN
Daerah Banjar identik dengan Propinsi Kalimantan Selatan. Luas wilayah Propinsi ini hanya 40.387 km2. Sedangkan jumlah penduduknya pada akhir tahun 2000 berjumlah 2.970.244 jiwa, terdiri dari laki-laki 1.484.945 jiwa dan perempuan 1.485.299 jiwa. Dengan tingkat pertumbuhan 1,94%.
Propinsi Kalimantan Selatan merupakan propinsi yang wilayahnya tersempit di antara propinsi-propinsi di seluruh Kalimantan. Disebut daerah selatan karena propinsi ini sebelum tahun 1957 wilayahnya meliputi Propinsi Kalimantan Tengah, yang sebagian besar daerahnya berada di bagian selatan pulau tersebut.
Penduduk yang mendiami Kalimantan Selatan sekarang disebut Urang Banjar. atau Orang Banjar atau etnik Banjar. Tetapi bukan seluruh penduduk Kalimantan Selatan etnik Banjar, karena ada etnik-etnik lain yang mendiami Kalimantan Selatan sebagai penduduk atau warga.
Kata "Banjar" berasal dari kata Banjarmasih. Nama Banjarmasih berarti kampung pedukuhan, jajaran rumah di muara Sungai Kuin, sebuah anak Sungai Barito. Banjarmasih berasal dari kata "banjar" dan "masih". Banjar adalah kampung yang rumahnya berjajar, sedangkan kata "masih" adalah berasal dari nama kepala suku orang Melayu yang oleh orang suku Dayak Ngaju disebut Oloh Masih (orang Melayu) karena kepala sukunya disebut Patih Masih. Dengan demikian Patih Masih berarti Patihnya orang Melayu.
Orang-orang Melayu memang ada sejak zaman datangnya agama Islam ke Kalimantan dan juga sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar telah membuat pemukiman di sekitar muara Kuin. Mereka berdampingan hidup dengan suku-suku Dayak di sekitarnya. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Patih. Dengan demikian di samping terdapat Patih Masih yaitu patihnya orang Melayu terdapat pula Patih Kuin, Patih Balit, Patih Balitung dan Patih Muhur.
Dengan demikian di muara Sungai Kuin terdapat lima kelompok suku bangsa yang hidup berdampingan secara damai dan terdapat persahabatan antara kelima kelompok tersebut. Dalam hal ini Patih Masih lebih menonjol di antara kelima patih itu, karena Patih Masih membuat sebuah bandar yang dikenal pula sebagai Bandar Patih Masih. Di bandar ini bertemu segala suku bangsa dan terjadilah kontak hubungan dagang antar suku dan terjadi pula kontak antar budaya antar suku.
Dalam Sejarah Banjar diketahui bahwa bandar dari Patih Masih yang dikenal pula sebagai "BANDARMASIH" yang terdapat di kampung BANJARMASIH merupakan tempat transaksi perdagangan suku Banjar dengan pedagang dari Nusantara, dari Jawa, Palembang, Bugis, Cina, Arab dan India.
Kata "Banjarmasih" ini lambat laun berubah menjadi Banjarmasin. Perubahan ini diakibatkan catatan yang dibuat Belanda. Dalam tahun 1664 nama Banjarmasih masih dipakai Belanda, dalam catatan Belanda yang menulis: Pangeran Suryanata in Banjarmach (masih), Pangeran Ratu in Banjarmach (masih), Prinnce Banjarmach, dan lainnya. Tapi tahun 1773 Belanda menulis berubah menjadi Banjermasing dan menjadi Banjarmasin tahun 1845.
Kata "Banjar" lambat laun tidak lagi berarti kampung tetapi menjadi sebuah sebutan untuk menyatakan identitas suatu negeri, bahasa, kerajaan, suku, orang, dan sebagainya.
Suku Banjar asal mula berada di hulu Sungai Tabalong di utara dari Negara Daha. Perpaduan etnis lama kelamaan menimbulkan perpaduan kultural. Dalam penggunaan bahasa yang dikenal sebagai Bahasa Banjar, terdapat unsur bahasa Melayu dominan sekali. Melalui periode Negara Daha masuk kebudayaan Jawa Timur dari daerah Kediri utara, di samping masuk pula unsur budaya dari Majapahit. Pada permulaan abad ke 16 terjadi perebutan keraton, dan pusat pemerintahan berpindah ke sebelah hilir Sungai Barito, yaitu di muara Kuin dengan nama Kerajaan Banjarmasin. Penduduk negeri baru ini terjadi dari perpaduan antara penduduk Dayak Oloh Ngaju dan Oloh Masih (orang Melayu).
Kerajaan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan yang mendapat pengaruh dominan dari agama Islam, sehingga kemudian agama Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. Di samping itu Kerajaan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan maritim yang mengandalkan kehidupan kerajaan dari hasil perdagangan. Masuknya pedagang-pedagang Nusantara dan pedagang asing ke Banjarmasin menyebabkan terjadinya percampuran, dan budaya itu dikenal sebagai budaya Banjar.
II. ASPEK BUDAYA BANJAR DALAM PEMBANGUNAN
Budaya Banjar sebagai kebudayaan kelompok atau kebudayaan lokal adalah manifestasi cara berpikir dari sekelompok orang di daerah Kalimantan Selatan yang didominasi oleh budaya Islam. Penduduknya yang mayoritas beragama Islam dan sangat fanatik menganut ajaran agama tersebut menyebabkan budaya luar yang bertentangan agama maupun budaya lokal sisa-sisa kebudayaan lama tidak bisa berkembang. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa agama Islam adalah sebagai indikator dan sekaligus sebagai filter bagi masuknya budaya luar atau budaya lokal yang muncul yang bertentangan dengan agama Islam.
Aspek-aspek kebudayaan Banjar umumnya sangat didasari oleh agama Islam. Kerajaan Banjar atau Banjarmasin yang dibangun pada awal XVI (1526) oleh Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) yang menjadi pelarian politik akibat terjadinya perebutan tahta di Negara Dipa, dengan dukungan Patih Masih (pimpinan masyarakat orang Melayu di muara Sungai Barito), adalah kerajaan pertama yang menjadikan Islam sebagai agama negara. Kebijaksanaan kerajaan yang kemudian mengirim warganya untuk bersekolah ke Mekah, menghasilkan seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang kemudian dapat mewujudkan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan berprilaku budaya yang selalu mengacu kepada ajaran-ajaran Islam. Namun tentu saja tidak bisa dimungkiri bahwa sisa-sisa kepercayaan lama, Budha dan Hindu yang pernah berkembang sebelumnya, kemudian diberi warna Islam masih terdapat dan berlangsung di kalangan masyarakat tertentu.
Sehubungan dengan kuatnya peran Islam dalam budaya masyarakat Banjar tersebut, dalam kehidupan masyarakat Banjar dulu terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk limas. Lapisan yang paling atas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan atau "bubuhan raja-raja" yang sebagian memangku jabatan borokrasi, sebagian lagi sebagai pedagang atau pemilik usaha. Di bawahnya terdapat golongan ulama dan para pejabat seperti Mufti (hakim tinggi agama), penghulu, dan pembantu-pembantunya. Ulama sangat berpengaruh di masyarakat, karena di samping sebagai tetuha masyarakat juga menyampaikan ajaran Islam, seperti memberikan pengajian, dakwah, atau menjadi guru di pesantren, sehingga selalu dekat dengan masyarakat. Seangkan Mufti sebagai pejabat formal mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Lapisan yang ketiga adalah pedagang yang jumlahnya cukup besar. Lapisan terakhir yang terbesar adalah petani, pedagang kecil, nelayan, industri kerajinan dan pertukangan. Ketika Pemerintah Belanda pada tahun 1860, memaksakan struktur dengan menempatkan urutan teratas bagi orang Belanda dan Eropah lainnya, kemudian golongan Indo, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putra, sehingga menggerakkan perlawanan yang bernafaskan Islam dalam Perang Banjar.
Setelah kemerdekaan struktur sosial secara resmi tidak terdapat seperti pada masa kerajaan dan pemerintahan Belanda. Di Kalimantan Selatan gelar-gelar kebangsawanan seperti raden, pangeran, daeng, antung dan gusti, juga sudah jarang dipakai. Perjalanan sejarah dari masa kerajaan, masa penjajahan yang berpuncak pada masa revolusi, kemudian melahirkan sebuah tatanan dalam masyarakat Banjar yang menempatkan tokoh-tokoh informal atau informal tradisional sebagai figur yang dihormati dalam masyarakat. Tokoh ulama dan "orang kuat" yang berani, tegas, adil, dan arif adalah figur-figur yang sangat disegani dalam masyarakat. Pemimpin-pemimpin formal yang mengenyampingkan figur ulama dan orang kuat di masyarakat tidak akan mendapat dukungan masyarakat.
Komunitas masyarakat Banjar yang sebagian besar berjiwa dagang, pengusaha dan petani sebagai warisan dari nenek moyang mereka, yang juga merupakan insan-insan yang agamis, dalam kehidupan dan berusaha selalu menghendaki kejujuran dan kebersamaan. Cara-cara licik, pemaksaan, dan menghalalkan segala cara ditolak dalam masyarakat Banjar. Tindakan Cornelis de Huotman merampok jung-jung pedagang dari Banjar yang berlabuh di Banten pada tahun 1596, berakibat ketika kapal-kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Koopman Gillis Michieszoom tahun 1607 tiba di Banjarmasin dan menginginkan monopoli, terjadi pembakaran terhadap kapal-kapal Belanda tersebut. Sementara kebersamaan dalam komunitas masyarakat Banjar selain merupakan warisan dari adat "baarian" (saling peduli dan membantu sesama), juga tidak terlepas dari ajaran agama.
Orang Banjar terdiri dari orang Banjar Kuala dan orang Banjar Hulu yang berbeda watak, tempramen, dan kebiasaan dalam kehidupan. Orang Banjar Kuala yang dalam kehidupan tidak menghadapi alam yang lebih keras, bersifat lebih lembut dan toleran. Sementara orang Banjar Hulu yang dalam kehidupan melawan alam yang keras dan kemudian sejak abad ke XVIII hingga masa revolusi menjadi basis perlawanan terhadap penjajah Belanda, merupakan warga Banjar yang umumnya berkarakter keras. Segala perencanaan ke depan, terutama menyikapi masalah kebijakan dalam pembangunan diperlukan pendekatan dan kesesuaian dengan pandangan hidup dan lingkungan alam mereka.
Berikut aspek-aspek budaya Banjar yang patut diperhatikan dalam pembangunan:
Sosial Ekonomi
Sejak dihapusnya struktur sosial dalam kerajaan Banjar oleh Belanda dan juga hapusnya struktur sosial masa penjajahan bersama dengan berakhirnya penjajahan di Indonesia, orang Banjar secara resmi tidak mengenal lagi adanya tingkatan-tingkatan dalam masyarakat. Walaupun dalam kehidupan berbeda-beda pekerjaan, kalau yang dilakukan tidak bertentangan dengan agama, tidak ada yang merendahkan. Dalam komunitas Banjar sebagai warisan kehidupan beragama yang kuat dan pengalaman perjuangan melawan penjajah yang berbeda syariat dan prilaku, maka setelah kemerdekaan lahir suatu tatanan yang menempatkan tokoh-tokoh informal sebagai figur-figur yang dihormati masyarakat. Yokoh Ulama dan "orang kuat" yang berani, tegas, adil dan arif adalah figur-figur yang sangat disegani dalam masyarakat.
Masyarakat Banjar yang sejak dihapusnya Kerajaan Banjar tahun 1860 dan berlakunya pemerintahan langsung (direct rool) oleh Belanda meninggalkan bekas adanya jarak antara rakyat dengan pemerintah. Rasa tidak ikut memiliki segala yang menjadi milik pemerintah bukan tidak mungkin masih tersisa dalam masa kemerdekaan ini. Karena itu kebijakan pemerintah yang berjalan sendiri, apalagi kalau memaksakan kehendak seperti Koopman Gillis Michieszoom tahun 1607 yang datang di Banjarmasin dan mau monopoli sulit dibayangkan.
Sebagai masyarakat yang sebagian besar memegang kuat ajaran Islam maka setiap kebijakan pemerintah yang tidak tercela menurut agama tentu bukan masalah. Apalagi kalau kebijakan yang dijalankan pimpinan formal juga memperhatikan pendapat dan saran dari figur-figur informal terutama ulama yang disegani di masyarakat.
Seperti disebutkan di atas bahwa komunitas masyarakat Banjar sebagian besar berjiwa dagang, pengusaha dan petani. Sejak zaman Kerajaan Banjar pedagang dari Banjarmasin sudah banyak yang berlayar membawa dagangan terutama hasil bumi ke pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Orang Banjar juga membuat sendiri jung (kapal) dari kayu ulin (kayu besi) untuk berlayar mengarungi lautan. Bahkan jung buatan Banjar tersebut pada masa Kerajaan Banjar juga digunakan untuk berlayar pergi haji ke Mekah.
Pedagang orang Banjar yang mewarisi nenek moyangnya tersebut selain banyak berusaha di daerah sendiri, juga terdapat di berbagai kota besar di Indonesia. Sejak dulu golongan pedagang besar, jumlahnya cukup banyak di Banjarmasin. Mereka mempunyai hubungan tetap dengan pedagang-pedagang dari luar seperti Jawa, Bugis, Makasar, Melayu, Cina dan Arab. Mereka mempunyai kapal sendiri untuk membawa hasil-hasil bumi dan pertambangan ke luar Kalimantan. Usaha berdagang dipandang terhormat oleh masyarakat Banjar. Pengaruh pedagang kaya cukup besar dalam masyarakat. Pedagang itu menjunjung tinggi adat leluhur, cinta sesama makhluk serta belas kasihan pada pihak yang lemah. Berikut gambaran pedagang yang dihormati dan ditaati masyarakat pada masa Kerajaan Banjar, seperti yang tertulis dalam Suluh Sejarah Kalimantan Karya Amir Hasan Bondan (1953):
"Bubuhan saudagar zaman bahari pada umumnya dalam masyarakat sangat ditaati oleh rakyat, karena mereka tetap memegang teguh adat kepusakaan, yakni : Menjunjung tinggi dasar kecintaan hati pada sesama makhluk serta belas kasihan pada pihak yang lemah harus ditolong. Adat leluhur yang dijunjung tinggi oleh bubuhan saudagar-saudagar pada zaman bahari di antarnya yaitu apabila pulang dari pelayaran berdagang, maka selalu tidak dilupakan meadakan "aturan-aturan" (bingkisan) kepada raja dan sungsungan (oleh-oleh) untuk keluarga dan sahabat. Juga tidak dilupakan bersedekah kepada anak yatim dan fakir miskin. Setelah dipenuhi adat itu, barulah dimulai berjual beli. Ada nyanyian orang bahari tentang pedagang: Bubuhan saudagar asli tebal imannya. Rohani jasmani rasuk tujuannya. Nang ngaran lautan jadi idamannya. Kemajuan hidup terus dipikirnya."
Pedagang Banjar tidak khawatir adanya persaingan sejauh itu persaingan sehat dan jujur. Di Banjarmasin toko-toko pedagang Cina bersebelahan dengan toko-toko pedagang Banjar. Tidak pernah terjadi anti pedagang Cina atau anti pedagang Arab di Banjarmasin. Orang Banjar percaya dan tawakkal bahwa rezeki itu dari Allah. Dan kenyataannya tidak hanya di Banjarmasin, juga di beberapa kota di Kalimantan pedagang Banjar sanggup bersaing dengan para pedagang lainnya.
Golongan yang terbesar dalam masyarakat adalah petani. Selain itu terdapat juga pedagang kecil, nelayan, usaha kerajinan, industri dan pertukangan. Bertani adalah kehidupan masyarakat Banjar yang tinggal di pedesaan. Peralatannya tak banyak mengalami perubahan dari dulu sampai kini. Dal;am usaha dan penghidupan, mereka bervariasi sesuai dengan apa yang dapat dikerjakan menurut musim setiap tahun. Apabila pada tahun itu kurang baik mengerjakan sawah ladangnya, maka kebanyakan mereka melakukan pekerjaan bebas, seperti menangkap ikan, mencari kayu, dan bahkan kadang-kadang berurbanisasi. Tetapi petani dan keluarganya sebagai produsen dan konsumen, sebagai anggota suatu masyarakat dengan wataknya sendiri, merupakan bagian yang penting yang tak dapat diabaikan dari perekonomian rakyat dan dan negara.
Karena pertanian bukan dilakukan dengan sistem irigasi dan karena perbedaan-perbedaan lainnya, maka peralatanpun tidak menggunakan bajak dan kerbau. Ketergantungan sistem pertanian kepada alam menyebabkan petani Banjar tidak banyak mengalami perubahan dalam menyelenggarakan pertanian. Keuntungan mereka ialah mempunyai tanah yang luas dan subur terutama di daerah rawa dan dataran rendah. Di samping itu kepadatan penduduk relatif rendah sehingga petani umumnya masih bisa memenuhi keperluan hidup dan menjual hasil pertanian mereka.
Sejak sekitar tahun 1980-an sebagian petani yang sawahnya berbatasan atau tidak jauh dengan perkotaan tergiur dengan harga yang cukup mahal sehingga banyak yang menjual tanah sawahnya kepada develouper yang membangun kompleks-kompleks perumahan. Mereka kemudian menggunakan uang penjualan sawahnya untuk keperluan barang-barang yang tidak produktif, dan sebagian lagi digunakan untuk modal usaha di luar bidang pertanian. Pengalaman ini menyedihkan karena kebanyakan mereka bukan orang yang bisa menggeluti pekerjaan di luar pertanian. Kehidupan tenteram sebagai petani, tidak didapat lagi setelah mereka kemudian ada yang menjadi buruh pabrik, mengojek, makelar, dan sebagainya, (kasus di Desa Pelambuan Kodya Banjarmasin).
Politik
Orang Banjar yang umumnya pedagang dan petani atau nelayan dan lainnya, umumnya tidak menggandrungi polotik. Para ulama yang kokoh mau berada di atas semua golongan umumnya juga menghindar dari aktifitas politik.
Kalau pada masa Orde Baru kaum birokrat ada dalam Golkar, sebagian mereka menjadi kader-kader Golkar. Sementara aktifitas partai-partai lainnya dari kelompok pengusaha menengah, sebagian para pedagang, serta para pensiunan. Hanya ada beberapa gelintir mereka yang mau meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai negeri untuk secara resmi menjadi anggota suatu partai.
Masyarakat Banjar umumnya dalam ikut berpolitik sangat ditentukan oleh keterkaitan dan keberpihakan kepada organisasi politik yang memihak kepada kepentingan Islam. Tujuan-tujuan lainnya tidak banyak mempengaruhi sikap dan pandangan mereka.
Faktor figur pimpinan suatu organisasi politik sangat berperan untuk mendapatkan keberpihakan dan dukungan dalam masyarakat. Sistem kepemimpinan yang menempatkan figur tokoh informal sebagai anutan berlaku pula dalam kehidupan organisasi politik dalam masyarakat Banjar.
Pendidikan
Jauh sebelum masuknya pendidikan umum yang dibawa Pemerintah Belanda ke Kalimantan Selatan, dalam masyarakat Banjar sudah berlangsung pendidikan yang diselenggarakan para alim ulama. Syekh Muhammad Arsyad uang menimba ilmu selama 30 tahun di Mekah setelah kembali ke Kerajaan Banjar pada tahun 1772 M (1186 H) telah merintis pendidikan dengan sistem pengajian. Hasilnya melahirkan ulama-ulama dan guru-guru mengaji yang merupakan cikal bakal lahirnya pesantren-pesantren yang tersebar di Kalimantan Selatan. Masuknya pendidikan Barat oleh Belanda pada tahun 1912 tidak mempengaruhi kehidupan pesantren-pesantren tersebut. Mensikapi kemajuan yang berkembang dalam masyarakat pesantren-pesantren di Kalimantan Selatan secara beransur-ansur juga menyerap dan memasukkan pula ilmu pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Dampaknya membuat lembaga ini tidak pudar dalam pandangan masyarakat.
Para orang tua dalam masyarakat Banjar yang sangat sadar tentang tanggung jawab pendidikan anaknya terhadap Tuhan, umumnya memilih pendidikan anaknya ke pesantren, atau ke lembaga pendidikan madrasah di bawah Depag, terutama untuk anak-anak putri mereka. Umumnya sebagian masyarakat Banjar memberikan bekal pendidikan agama di pesantren atau di madrasah lebih dahulu sebelum ke perguruan tinggi.
Dalam masalah pendidikan orang Banjar mengambil sikap dalam pendidikan untuk putra-putrinya agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
Pertahanan dan Keamanan (Hankam)
Dalam masyarakat Banjar dulu hingga sekarang peran "orang kuat atau tetuha" yang bijaksana dan arif masih dihargai masyarakat, lebih-lebih dalam hal menegakkan kebenaran dan keamanan dalam masyarakat. Di samping peran Ketua RT sebagai pimpinan resmi dalam suatu komunitas, maka keberadaan orang kuat atau tetuha di masyarakat adalah tempat warga mengadu dan perlindungan. Sehingga kebijakan mengatur untuk terselenggaranya kehidupan tenteram dalam masyarakat dapat diterima dengan sadar.
Dalam masyarakat pedesaan yang umumnya para petani, keterkaitan mereka satu sama lain sangat erat. Dalam penyelenggaraan pertanian terdapat sistem "baarian" (menyelenggarakan pekerjaan sawah seorang warga secara bersama-sama, yang dilakukan bergiliran untuk warga lainnya) Sistem baarian mengikat anggota masyarakat dalam suatu kehidupan saling menjaga dan membela. Seorang anggota masyarakat acuh dan merasa bersalah kalau tidak bertindak mengamankan gangguan yang mengancam keluarga dan hak milik warganya yang lain.
Birokrasi
Orang Banjar umumnya orang yang tidak suka pada keterikatan. Mereka orang-orang yang ulet dan memahami usaha atau pekerjaan yang diwariskan pendahulunya.
Bagi orang Banjar hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi dulu merupakan urusan kerajaan, dan mereka yang menjadi pegawai kerajaan, atau kemudian pada zaman penjajahan mereka yang bekerja pada Belanda.
Sejak zaman Kerajaan Negara Dipa seperti diriwayatkan dalam Hikayat Banjar ketika Lambung Mangkurat yang seorang Weisya harus mencari keturunan kesatria untuk menjadi raja di Negara Dipa, sehingga ketika seorang Suryanata yang dibawanya sebagai salah seorang putra Brawijaya, kapal mereka dicegat oleh tetuha-tetuha masyarakat di muara Sungai Kuin, tidak boleh masuk sebelum ada kesepakatan-kesepakatan. Suryanata diterima sebagai raja setelah bersedia meninggalkan adat istiadat negerinya dan akan memelihara adat istiadat di Kerajaan Negara Dipa.
Sikap dan sifat keterbukaan masyarakat Banjar terhadap mereka yang berprestasi di tanah Banjar, ditentukan oleh pemahaman terhadap sikap hidup orang Banjar yang agamis dengan segala tatanan budaya yang hidup dalam masyarakat Banjar.
Keagamaan
Masyarakat Banjar umumnya penganut Islam Ahlusunnah wal Jama'ah Mazhab Imam Syafi'I, sebagaimana yang dimasyarakatkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada priode akhir abad ke 18 di Kerajaan Banjar waktu itu. Syekh Muhammad Arsyad juga dalam ajarannya menyeimbangkan antara faham hakekat dan syari'at. Sehubungan dengan itu di daerah Banjar sering orang bicara soal "kitab barincong" (kitab bentuk segitiga) yang dibawa Muhammad Arsyad ketika kembali dari Mekah. Dua faham yang terpisah dipertemukan sehngga lengkap menjadi suatu ajaran tentang ketentuan dari Tuhan dan usaha manusia.
Berkaitan dengan ajarannya maka pengajian Syekh Muhammad Arsyad dengan sistem "sorogan" dan "balagan"nya di samping untuk mendapatkan kealiman juga mengerjakan pertanian bersama murid-muridnya. Di daerah Martapura terdapat sebuah sungai bernama Sungai Tuan (sebutan Tuan Guru penghormatan untuk seorang Ulama), merupakan sebuah sungai yang mengalirkan air dari rawa ke Sungai Martapura, yang dibuat atas gagasan Syekh Muhammad Arsyad dalam rangka membangun persawahan di daerah tersebut.
Aliran lain dari Ahlussunnah wal Jama'ah Mazhab Imam Syafi'I, seperti Muhammadyah baru mulai berkembang sekitar tahun 1950-an. Penganut agama non Muslim yang ada di Kalimantan Selatan umumnya warga pendatang atau bertugas kerja yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Teknologi
Sesuai dengan kehidupan dan kegiatan yang terdapat dalam masyarakat Banjar, di daerah ini terdapat keahlian warisan berupa teknologi pembuatan perahu tambangan dan kapal layar, pembangunan rumah, serta pandai besi.
Keahlian pembuatan kapal dari kayu ulin (kayu besi) berupa perahu tambangan, kapal mesin dan kapal layar. Perahu tambangan adalah perahu kecil yang bisa digunakan penduduk yang tinggal di dekat sungai baik untuk transportasi ke tempat-tempat yang sulit dijangkau dengan transportasi darat. Tempat pembuatan perahu-perahu tambangan tersebut saat ini terdapat di Kampung Kuin di daerah selatan Kotamadya Banjarmasin. Sedangkan pembuatan kapal-kapal besar dari bahan kayu ulin untuk pelayaran antar pulau baik yang menggunakan mesin maupun menggunakan layar terdapat di daerah Pagatan, yang saat ini menjadi ibukota Kabupaten Tanah Bumbu. Kapal-kapal tersebut dulu umumnya digunakan untuk membawa barang dagangan dari pelabuhan Banjarmasin ke pelabuhan-pelabuhan lain di pantai utara Pulau Jawa atau ke pelabuhan-pelabuhan di Pulau Sulawisi pulang pergi.
Teknologi pembangunan rumah juga merupakan warisan. Dalam masyarakat Banjar dulu dikenal berbagai tipe bangunan rumah, seperti : Rumah Bubungan Tinggi, Rumah Gajah Baliku, Rumah Gajah Manyusu, Rumah Palimasan, Rumah Palimbangan, Rumah Bangun Gudang, Rumah Balai Bini, Rumah Balai Laki, Rumah Tadah Alas, Rumah Cacak Burung atau Anjung Surung, Rumah Joglo Gudang, dan rumah Cara Obos. Masing-masing tipe rumah tersebut ada pembagian ruang yang letak dan ukurannya disesuaikan dengan fungsinya. Bangunan yang dominan terbuat dari bahan kayu pilihan ini tergolong rumah panggung yang memakai tiang dan tongkat untuk menupang lantainya, sehingga bangunan rumah Banjar asli selalu ada kolongnya.
Rumah dengan tipe asli tersebut sudah jarang dibangun untuk tempat tinggal. Kecuali untuk bangunan sebuah lembaga milik pemerintah atau lembag lainnya, seperti: Museum, Guest House, Aula Kantor,Gedung DPRD, dan lainnya.
Masyarakat Banjar dewasa ini sudah banyak yang membangun rumah dengan konstruksi besi beton tanpa tongkat dengan berbagai variasi. Penggunaan sirap untuk atap sampai tahun 1990-an masih dominan, karena selain kukuh juga aman karena tidak mudah dibuka sebab pasangannya berlapis. Tetapi kemudian berbarengan dengan semakin langkanya atap sirap dari kayu ulin tersebut, dan munculnya berbagai macam atap "Metal Roof" yang lebih praktis, masyarakat sudah mulai meninggalkan sirap sebagai atap rumah atau bangunan lainnya. Sementara bangunan dengan menggunakan atap dari genting tidak banyak ditemukan di Kalimantan Selatan.
Umumnya masyarakat Banjar tidak menyukai rumah tingkat. Kalau di beberapa daerah rumah tingkat memberi kesan kaya pemiliknya, di masyarakat Banjar tidak ada kesan demikian. Orang kaya di Banjar lebih condong memilih lokasi yang strategis, rumah bagus dengan lingkungan dan pekarangan yang cukup luas. Rumah tingkat pada bagian belakang (dapur) umumnya dianggap "pamali" dan berisiko bagi pemiliknya. Sehingga masyarakat yang memang harus dan terpaksa membuat rumah tingkat karena keterbatasan luas tanah, mereka membuat tingkat penuh seluruh bagian rumah mulai depan hingga bagian belakang.
Teknologi pandai besi sejak zaman Kerajaan Banjar dimiliki masyarakat Nagara, sebuah daerah berstatus kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di kota kecil yang terletak di tepi sungai yang sejak dulu menjadi prasarana transportasi tersebut terdapat banyak pandai besi yang umumnya masing-masing memproduk alat rumah tangga dan peralatan pertanian yang jenisnya tetap. Ada kelompok khusus pembuat pisau, khusus parang, khusus cangkul, khusus senjata seperti tombak, dan lainnya. Barang-barang tersebut dipasarkan tidak hanya di Kalimantan Selatam, juga melalui toko-toko besi yang ada dipropinsi sekitarnya. Produk pandai besi dari Nagara yang pemesannya hingga dari beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa adalah b Baling-baling kapal aling-baling kapal.buatan Nagara di Kalimantan Selatan tersebut biasanya terbuat dari tembaga. Sulitnya mendapatkan bahan tembaga untuk bahan membuat baling-baling tersebutmembuat produk berjalan lambat.
Hukum
Masyarakat Kalimantan Selatan umumnya masih terbatas tentang pengetahuan hukum yang diatur dalam hukum pidana dan perdata. Hukum belum memasyarakat karena masih terbatasnya baik usaha pemasyarakatannya maupun minat masyarakat memahaminya. Tetapi secara naluri orang Banjar umumnya mengetahui perbuatan-perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang mempunyai sanksi hukum pidana maupun perdata.
Dalam masyarakat Banjar dikenal hukum waris dan perpantangan yanmg ditaati ketentuannya karena berhubungan dengan ketentuan dalam agama. Sehingga masalah perdata ini kalau keputusan hakim berbeda dengan hukum tersebut di atas umumnya sulit diterima masyarakat.
Dalam Kerajaan Banjar juga mengenal Undang-Undang Sultan Adam yang diundangkan pada tahun 1835 dalam mengatur kehidupan dalam masyarakat di Kerajaan Banjar waktu itu. Sebagian berisi mengatur tentang peribadatan, tentang kerukunan masyarakat, pengaturan masalah tanah, dan lainnya.
Pada umumnya hukum yang berlaku dalam masyarakat Banjar serasi dengan ketentuan dalam agama Islam dan dirasakan adil oleh masyarakatnya.
Lingkungan Hidup
Alam Kalimantan Selatan ada dataran tinggi, dataran rendah dan daerah aliran sungai. Lingkungan hidup mereka sejak kecil menempa baik fisik maupun kemampuan dalam usaha memenuhi kehidupan mereka. Karena itu sukses yang didapatkan kelompok daerah aliran sungai tidak tentu dapat dicapai dari kelompok lain yang dibesarkan dan ditempa pengalaman dan kemampuan di lingkungan yang berbeda.
Demikian pula Orang Banjar ada Orang Banjar Kuala yang dalam kehidupan dan penghidupan mereka berada dalam lingkungan tidak sekeras yang dialami oleh Orang Banjar Hulu pada umumnya. Orang Banjar Hulu yang mendiami daerah Benua Lima tidak hanya lebih keras dalam memenuhi penghidupan, juga dalam daerah yang menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda dengan puncaknya pada masa revolusi tersebut, juga menempa turunannya berkrakter keras dalam keseharian.
Berkaitan dengan pengaruh lingkungan alam dan lingkungan kehidupan tersebut karena terabaikannya, ada kasus-kasus yang tidak menguntungkan. Kasus usaha Depsos tahun 1980-an yang melakukan migrasi penduduk suku Bukit yang mendiami Pegunungan Meratus dengan mendomisilikan keluarga-keluarga mereka ke daerah persawahan pasang surut dengan fasilitas rumah dan tanah pertanian, berakhir dengan kegagalan total. Ketrampilan mereka mengolah padi ladang tidak begiti saja mampu mengelola persawahan di lingkungan yang airnya pasang surut. Lebih mengenaskan karena setelah beberapa lama mereka tinggal di darah perairan tersebut keluarga mereka satu persatu jatuh sakit, sehingga akhirnya mereka kembali ke kampung asalnya.
Demikian pula kebijakan penempatan tranmigrasi dari Jawa ke daerah pertanian pasang surut membuat kehidupan para pendatang tersebut tidak bisa berkembang. Banyak usaha mereka yang gagal karena lingkungan yang mereka hadapi asing bagi mereka sebelumnya. Sawah yang tidak jadi membuat kehidupan yang serba sulit. Karena itu manakala ada ibu-ibu dengan membawa anak mereka meminta-minta di lampu stopan di Banjarmasin, bila ditanya mereka adalah keluarga tranmigrasi
III. KESIMPULAN / REKOMENDASI
Pembangunan dalam arti suatu proses perubahan sosial dengan partisipasi yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambahnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka, merupakan sistem pembangunan yang perlu diterapkan untuk daerah yang berbeda kondisi wilayah dan pandangan hidup masyarakatnya. Pembangunan dalam berbagai aspek yang seragam untuk daerah-daerah di Indonesia akan rapuh karena tidak tentu sesuai dengan kondisi dan budaya yang hidup dalam masyarakatnya.
Di Kalimantan Selatan dengan budaya Banjar yang khas, yang tercipta dari perjalanan sejarah masyarakatnya, pembangunan akan kukuh sejauh mempunyai ciri-ciri yang hanya bisa diterima masyarakatnya. Kehidupan beragama yang tertanam kuat, menempatkan ulama sebagai panutan. Sementara pengalaman perjuangan yang panjang melawan penjajahan, memberikan tempat bagi "orang kuat" sebagai figur yang dihormati dan disegani. Usaha apapun yang meninggalkan peran tokoh-tokoh informal dalam budaya Banjar sulit mendapatkan dukungan dan melahirkan rasa memiliki di kalangan masyarakat.
Selama ini pembangunan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan untuk kemajuan ekonomi masyarakat umumnya, merupakan kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat. Pembangunan jalan tol di Kalimantan Selatan yang menghubungkan Kabupaten Banjar langsung ke pelabuhan laut Trisakti terutama untuk kenderaan berat yang membawa barang-barang dari dan ke luar propinsi tidak lagi mengganggu jalan dalam kota Banjarmasin. Pembangunan jalan tembus dari Benua Lima ke Batu Licin, tidak hanya memberikan kemudahan transportasi, juga akan memberikan lahan baru bagi para petani untuk mengolah tanah yang tadinya sulit dijangkau sebelum adanya prasarana jalan tersebut. Demikian pula peningkatan lapangan terbang Syamsudin Noor menjadi lapangan terbang bertarap internasional yang bisa didarati pesawat besar, tidak hanya memperlancar transportasi ekonomi (barang), juga memberi kemudahan bagi Jema'ah Haji Kalimantan Selatan sehingga bisa berangkat langsung menuju tanah suci dari daerah sendiri, merupakan kebijakan yang memahami kepentingan masyarakat Kalimantan Selatan yang dominan beragama Islam.
Demikian pula dengan pembangunan yang berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Suatu pembangunan yang berlandaskan pola pikir dan sikap masyarakatnya tentu akan memberi dampak positif bagi daerahnya. Karena itu pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi: sosial ekonomi, politik, pendidikan, hankam, hukum, birokrasi, keagamaan, industri dan teknologi, serta lingkungan hidup, perlu memperhatikan kondisi yang terdapat dalam masyarakat dan lingkungannya.
Ada hal-hal yang perlu dipahami dan disikapi dalam pengambilan kebijakan dalam masyarakat Banjar. Orang Banjar sejak dulu menyerahkan masalah kenegaraan kepada kerajaan. Dengan kata lain orang Banjar umumnya menyerahkan sesuatu urusan kepada ahlinya, dengan ketentuan kepentingan, hak dan keyakinan mereka tidak terhambat.
Pembangunan dalam bidang agama tidak akan menyimpang dari keyakinan yang berkembang di masyarakat saat ini. Usaha pengembangan agama non Islam yang bisa mempengaruhi masyarakat Banjar yang umumnya sejak lahir sudah menganut Islam, merupakan hal yang tidak etis.
Ada berbagai industri teknologi yang terdapat dalam masyarakat Banjar sebagai warisan turun temurun, yang perlu dikembangkan. Ada pantangan-pantangan yang bisa disimak mengandung makna tata susila, sehingga perlu dicermati seperti dalam bangunan rumah dan sebagainya.
Masalah kondisi lingkungan hidup yang telah menempa kehidupan suatu kelompok masyarakat yang berdiam di suatu lokasi, sangat perlu dipertimbangkan karena tidak semua orang dapat segera atau bisa berhasil beradaptasi dengan lingkngan hidup yang lain, atau karena ada perubahan dampak dari suatu pembangunan.
Dari semua uraian di atas, maka untuk semua pembangunan di bidang apapun dalam suatu daerah, dengan karakter dan budaya yang khas daerahnya, usaha ke arah pembangunan perlu mengkaji aspek-aspek budaya yang terkait di dalamnya.
DAFTAR BACAAN
Lokakarya Nasional Pembangunan
Berwawasan Budaya, UGM 7-1-2004
PEMBANGUNAN BERWAWASAN BUDAYA:
PERSPEKTIF BUDAYA BANJAR (KALSEL)
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
I. PENDAHULUAN
Daerah Banjar identik dengan Propinsi Kalimantan Selatan. Luas wilayah Propinsi ini hanya 40.387 km2. Sedangkan jumlah penduduknya pada akhir tahun 2000 berjumlah 2.970.244 jiwa, terdiri dari laki-laki 1.484.945 jiwa dan perempuan 1.485.299 jiwa. Dengan tingkat pertumbuhan 1,94%.
Propinsi Kalimantan Selatan merupakan propinsi yang wilayahnya tersempit di antara propinsi-propinsi di seluruh Kalimantan. Disebut daerah selatan karena propinsi ini sebelum tahun 1957 wilayahnya meliputi Propinsi Kalimantan Tengah, yang sebagian besar daerahnya berada di bagian selatan pulau tersebut.
Penduduk yang mendiami Kalimantan Selatan sekarang disebut Urang Banjar. atau Orang Banjar atau etnik Banjar. Tetapi bukan seluruh penduduk Kalimantan Selatan etnik Banjar, karena ada etnik-etnik lain yang mendiami Kalimantan Selatan sebagai penduduk atau warga.
Kata "Banjar" berasal dari kata Banjarmasih. Nama Banjarmasih berarti kampung pedukuhan, jajaran rumah di muara Sungai Kuin, sebuah anak Sungai Barito. Banjarmasih berasal dari kata "banjar" dan "masih". Banjar adalah kampung yang rumahnya berjajar, sedangkan kata "masih" adalah berasal dari nama kepala suku orang Melayu yang oleh orang suku Dayak Ngaju disebut Oloh Masih (orang Melayu) karena kepala sukunya disebut Patih Masih. Dengan demikian Patih Masih berarti Patihnya orang Melayu.
Orang-orang Melayu memang ada sejak zaman datangnya agama Islam ke Kalimantan dan juga sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar telah membuat pemukiman di sekitar muara Kuin. Mereka berdampingan hidup dengan suku-suku Dayak di sekitarnya. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Patih. Dengan demikian di samping terdapat Patih Masih yaitu patihnya orang Melayu terdapat pula Patih Kuin, Patih Balit, Patih Balitung dan Patih Muhur.
Dengan demikian di muara Sungai Kuin terdapat lima kelompok suku bangsa yang hidup berdampingan secara damai dan terdapat persahabatan antara kelima kelompok tersebut. Dalam hal ini Patih Masih lebih menonjol di antara kelima patih itu, karena Patih Masih membuat sebuah bandar yang dikenal pula sebagai Bandar Patih Masih. Di bandar ini bertemu segala suku bangsa dan terjadilah kontak hubungan dagang antar suku dan terjadi pula kontak antar budaya antar suku.
Dalam Sejarah Banjar diketahui bahwa bandar dari Patih Masih yang dikenal pula sebagai "BANDARMASIH" yang terdapat di kampung BANJARMASIH merupakan tempat transaksi perdagangan suku Banjar dengan pedagang dari Nusantara, dari Jawa, Palembang, Bugis, Cina, Arab dan India.
Kata "Banjarmasih" ini lambat laun berubah menjadi Banjarmasin. Perubahan ini diakibatkan catatan yang dibuat Belanda. Dalam tahun 1664 nama Banjarmasih masih dipakai Belanda, dalam catatan Belanda yang menulis: Pangeran Suryanata in Banjarmach (masih), Pangeran Ratu in Banjarmach (masih), Prinnce Banjarmach, dan lainnya. Tapi tahun 1773 Belanda menulis berubah menjadi Banjermasing dan menjadi Banjarmasin tahun 1845.
Kata "Banjar" lambat laun tidak lagi berarti kampung tetapi menjadi sebuah sebutan untuk menyatakan identitas suatu negeri, bahasa, kerajaan, suku, orang, dan sebagainya.
Suku Banjar asal mula berada di hulu Sungai Tabalong di utara dari Negara Daha. Perpaduan etnis lama kelamaan menimbulkan perpaduan kultural. Dalam penggunaan bahasa yang dikenal sebagai Bahasa Banjar, terdapat unsur bahasa Melayu dominan sekali. Melalui periode Negara Daha masuk kebudayaan Jawa Timur dari daerah Kediri utara, di samping masuk pula unsur budaya dari Majapahit. Pada permulaan abad ke 16 terjadi perebutan keraton, dan pusat pemerintahan berpindah ke sebelah hilir Sungai Barito, yaitu di muara Kuin dengan nama Kerajaan Banjarmasin. Penduduk negeri baru ini terjadi dari perpaduan antara penduduk Dayak Oloh Ngaju dan Oloh Masih (orang Melayu).
Kerajaan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan yang mendapat pengaruh dominan dari agama Islam, sehingga kemudian agama Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. Di samping itu Kerajaan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan maritim yang mengandalkan kehidupan kerajaan dari hasil perdagangan. Masuknya pedagang-pedagang Nusantara dan pedagang asing ke Banjarmasin menyebabkan terjadinya percampuran, dan budaya itu dikenal sebagai budaya Banjar.
II. ASPEK BUDAYA BANJAR DALAM PEMBANGUNAN
Budaya Banjar sebagai kebudayaan kelompok atau kebudayaan lokal adalah manifestasi cara berpikir dari sekelompok orang di daerah Kalimantan Selatan yang didominasi oleh budaya Islam. Penduduknya yang mayoritas beragama Islam dan sangat fanatik menganut ajaran agama tersebut menyebabkan budaya luar yang bertentangan agama maupun budaya lokal sisa-sisa kebudayaan lama tidak bisa berkembang. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa agama Islam adalah sebagai indikator dan sekaligus sebagai filter bagi masuknya budaya luar atau budaya lokal yang muncul yang bertentangan dengan agama Islam.
Aspek-aspek kebudayaan Banjar umumnya sangat didasari oleh agama Islam. Kerajaan Banjar atau Banjarmasin yang dibangun pada awal XVI (1526) oleh Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) yang menjadi pelarian politik akibat terjadinya perebutan tahta di Negara Dipa, dengan dukungan Patih Masih (pimpinan masyarakat orang Melayu di muara Sungai Barito), adalah kerajaan pertama yang menjadikan Islam sebagai agama negara. Kebijaksanaan kerajaan yang kemudian mengirim warganya untuk bersekolah ke Mekah, menghasilkan seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang kemudian dapat mewujudkan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan berprilaku budaya yang selalu mengacu kepada ajaran-ajaran Islam. Namun tentu saja tidak bisa dimungkiri bahwa sisa-sisa kepercayaan lama, Budha dan Hindu yang pernah berkembang sebelumnya, kemudian diberi warna Islam masih terdapat dan berlangsung di kalangan masyarakat tertentu.
Sehubungan dengan kuatnya peran Islam dalam budaya masyarakat Banjar tersebut, dalam kehidupan masyarakat Banjar dulu terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk limas. Lapisan yang paling atas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan atau "bubuhan raja-raja" yang sebagian memangku jabatan borokrasi, sebagian lagi sebagai pedagang atau pemilik usaha. Di bawahnya terdapat golongan ulama dan para pejabat seperti Mufti (hakim tinggi agama), penghulu, dan pembantu-pembantunya. Ulama sangat berpengaruh di masyarakat, karena di samping sebagai tetuha masyarakat juga menyampaikan ajaran Islam, seperti memberikan pengajian, dakwah, atau menjadi guru di pesantren, sehingga selalu dekat dengan masyarakat. Seangkan Mufti sebagai pejabat formal mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Lapisan yang ketiga adalah pedagang yang jumlahnya cukup besar. Lapisan terakhir yang terbesar adalah petani, pedagang kecil, nelayan, industri kerajinan dan pertukangan. Ketika Pemerintah Belanda pada tahun 1860, memaksakan struktur dengan menempatkan urutan teratas bagi orang Belanda dan Eropah lainnya, kemudian golongan Indo, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putra, sehingga menggerakkan perlawanan yang bernafaskan Islam dalam Perang Banjar.
Setelah kemerdekaan struktur sosial secara resmi tidak terdapat seperti pada masa kerajaan dan pemerintahan Belanda. Di Kalimantan Selatan gelar-gelar kebangsawanan seperti raden, pangeran, daeng, antung dan gusti, juga sudah jarang dipakai. Perjalanan sejarah dari masa kerajaan, masa penjajahan yang berpuncak pada masa revolusi, kemudian melahirkan sebuah tatanan dalam masyarakat Banjar yang menempatkan tokoh-tokoh informal atau informal tradisional sebagai figur yang dihormati dalam masyarakat. Tokoh ulama dan "orang kuat" yang berani, tegas, adil, dan arif adalah figur-figur yang sangat disegani dalam masyarakat. Pemimpin-pemimpin formal yang mengenyampingkan figur ulama dan orang kuat di masyarakat tidak akan mendapat dukungan masyarakat.
Komunitas masyarakat Banjar yang sebagian besar berjiwa dagang, pengusaha dan petani sebagai warisan dari nenek moyang mereka, yang juga merupakan insan-insan yang agamis, dalam kehidupan dan berusaha selalu menghendaki kejujuran dan kebersamaan. Cara-cara licik, pemaksaan, dan menghalalkan segala cara ditolak dalam masyarakat Banjar. Tindakan Cornelis de Huotman merampok jung-jung pedagang dari Banjar yang berlabuh di Banten pada tahun 1596, berakibat ketika kapal-kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Koopman Gillis Michieszoom tahun 1607 tiba di Banjarmasin dan menginginkan monopoli, terjadi pembakaran terhadap kapal-kapal Belanda tersebut. Sementara kebersamaan dalam komunitas masyarakat Banjar selain merupakan warisan dari adat "baarian" (saling peduli dan membantu sesama), juga tidak terlepas dari ajaran agama.
Orang Banjar terdiri dari orang Banjar Kuala dan orang Banjar Hulu yang berbeda watak, tempramen, dan kebiasaan dalam kehidupan. Orang Banjar Kuala yang dalam kehidupan tidak menghadapi alam yang lebih keras, bersifat lebih lembut dan toleran. Sementara orang Banjar Hulu yang dalam kehidupan melawan alam yang keras dan kemudian sejak abad ke XVIII hingga masa revolusi menjadi basis perlawanan terhadap penjajah Belanda, merupakan warga Banjar yang umumnya berkarakter keras. Segala perencanaan ke depan, terutama menyikapi masalah kebijakan dalam pembangunan diperlukan pendekatan dan kesesuaian dengan pandangan hidup dan lingkungan alam mereka.
Berikut aspek-aspek budaya Banjar yang patut diperhatikan dalam pembangunan:
Sosial Ekonomi
Sejak dihapusnya struktur sosial dalam kerajaan Banjar oleh Belanda dan juga hapusnya struktur sosial masa penjajahan bersama dengan berakhirnya penjajahan di Indonesia, orang Banjar secara resmi tidak mengenal lagi adanya tingkatan-tingkatan dalam masyarakat. Walaupun dalam kehidupan berbeda-beda pekerjaan, kalau yang dilakukan tidak bertentangan dengan agama, tidak ada yang merendahkan. Dalam komunitas Banjar sebagai warisan kehidupan beragama yang kuat dan pengalaman perjuangan melawan penjajah yang berbeda syariat dan prilaku, maka setelah kemerdekaan lahir suatu tatanan yang menempatkan tokoh-tokoh informal sebagai figur-figur yang dihormati masyarakat. Yokoh Ulama dan "orang kuat" yang berani, tegas, adil dan arif adalah figur-figur yang sangat disegani dalam masyarakat.
Masyarakat Banjar yang sejak dihapusnya Kerajaan Banjar tahun 1860 dan berlakunya pemerintahan langsung (direct rool) oleh Belanda meninggalkan bekas adanya jarak antara rakyat dengan pemerintah. Rasa tidak ikut memiliki segala yang menjadi milik pemerintah bukan tidak mungkin masih tersisa dalam masa kemerdekaan ini. Karena itu kebijakan pemerintah yang berjalan sendiri, apalagi kalau memaksakan kehendak seperti Koopman Gillis Michieszoom tahun 1607 yang datang di Banjarmasin dan mau monopoli sulit dibayangkan.
Sebagai masyarakat yang sebagian besar memegang kuat ajaran Islam maka setiap kebijakan pemerintah yang tidak tercela menurut agama tentu bukan masalah. Apalagi kalau kebijakan yang dijalankan pimpinan formal juga memperhatikan pendapat dan saran dari figur-figur informal terutama ulama yang disegani di masyarakat.
Seperti disebutkan di atas bahwa komunitas masyarakat Banjar sebagian besar berjiwa dagang, pengusaha dan petani. Sejak zaman Kerajaan Banjar pedagang dari Banjarmasin sudah banyak yang berlayar membawa dagangan terutama hasil bumi ke pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Orang Banjar juga membuat sendiri jung (kapal) dari kayu ulin (kayu besi) untuk berlayar mengarungi lautan. Bahkan jung buatan Banjar tersebut pada masa Kerajaan Banjar juga digunakan untuk berlayar pergi haji ke Mekah.
Pedagang orang Banjar yang mewarisi nenek moyangnya tersebut selain banyak berusaha di daerah sendiri, juga terdapat di berbagai kota besar di Indonesia. Sejak dulu golongan pedagang besar, jumlahnya cukup banyak di Banjarmasin. Mereka mempunyai hubungan tetap dengan pedagang-pedagang dari luar seperti Jawa, Bugis, Makasar, Melayu, Cina dan Arab. Mereka mempunyai kapal sendiri untuk membawa hasil-hasil bumi dan pertambangan ke luar Kalimantan. Usaha berdagang dipandang terhormat oleh masyarakat Banjar. Pengaruh pedagang kaya cukup besar dalam masyarakat. Pedagang itu menjunjung tinggi adat leluhur, cinta sesama makhluk serta belas kasihan pada pihak yang lemah. Berikut gambaran pedagang yang dihormati dan ditaati masyarakat pada masa Kerajaan Banjar, seperti yang tertulis dalam Suluh Sejarah Kalimantan Karya Amir Hasan Bondan (1953):
"Bubuhan saudagar zaman bahari pada umumnya dalam masyarakat sangat ditaati oleh rakyat, karena mereka tetap memegang teguh adat kepusakaan, yakni : Menjunjung tinggi dasar kecintaan hati pada sesama makhluk serta belas kasihan pada pihak yang lemah harus ditolong. Adat leluhur yang dijunjung tinggi oleh bubuhan saudagar-saudagar pada zaman bahari di antarnya yaitu apabila pulang dari pelayaran berdagang, maka selalu tidak dilupakan meadakan "aturan-aturan" (bingkisan) kepada raja dan sungsungan (oleh-oleh) untuk keluarga dan sahabat. Juga tidak dilupakan bersedekah kepada anak yatim dan fakir miskin. Setelah dipenuhi adat itu, barulah dimulai berjual beli. Ada nyanyian orang bahari tentang pedagang: Bubuhan saudagar asli tebal imannya. Rohani jasmani rasuk tujuannya. Nang ngaran lautan jadi idamannya. Kemajuan hidup terus dipikirnya."
Pedagang Banjar tidak khawatir adanya persaingan sejauh itu persaingan sehat dan jujur. Di Banjarmasin toko-toko pedagang Cina bersebelahan dengan toko-toko pedagang Banjar. Tidak pernah terjadi anti pedagang Cina atau anti pedagang Arab di Banjarmasin. Orang Banjar percaya dan tawakkal bahwa rezeki itu dari Allah. Dan kenyataannya tidak hanya di Banjarmasin, juga di beberapa kota di Kalimantan pedagang Banjar sanggup bersaing dengan para pedagang lainnya.
Golongan yang terbesar dalam masyarakat adalah petani. Selain itu terdapat juga pedagang kecil, nelayan, usaha kerajinan, industri dan pertukangan. Bertani adalah kehidupan masyarakat Banjar yang tinggal di pedesaan. Peralatannya tak banyak mengalami perubahan dari dulu sampai kini. Dal;am usaha dan penghidupan, mereka bervariasi sesuai dengan apa yang dapat dikerjakan menurut musim setiap tahun. Apabila pada tahun itu kurang baik mengerjakan sawah ladangnya, maka kebanyakan mereka melakukan pekerjaan bebas, seperti menangkap ikan, mencari kayu, dan bahkan kadang-kadang berurbanisasi. Tetapi petani dan keluarganya sebagai produsen dan konsumen, sebagai anggota suatu masyarakat dengan wataknya sendiri, merupakan bagian yang penting yang tak dapat diabaikan dari perekonomian rakyat dan dan negara.
Karena pertanian bukan dilakukan dengan sistem irigasi dan karena perbedaan-perbedaan lainnya, maka peralatanpun tidak menggunakan bajak dan kerbau. Ketergantungan sistem pertanian kepada alam menyebabkan petani Banjar tidak banyak mengalami perubahan dalam menyelenggarakan pertanian. Keuntungan mereka ialah mempunyai tanah yang luas dan subur terutama di daerah rawa dan dataran rendah. Di samping itu kepadatan penduduk relatif rendah sehingga petani umumnya masih bisa memenuhi keperluan hidup dan menjual hasil pertanian mereka.
Sejak sekitar tahun 1980-an sebagian petani yang sawahnya berbatasan atau tidak jauh dengan perkotaan tergiur dengan harga yang cukup mahal sehingga banyak yang menjual tanah sawahnya kepada develouper yang membangun kompleks-kompleks perumahan. Mereka kemudian menggunakan uang penjualan sawahnya untuk keperluan barang-barang yang tidak produktif, dan sebagian lagi digunakan untuk modal usaha di luar bidang pertanian. Pengalaman ini menyedihkan karena kebanyakan mereka bukan orang yang bisa menggeluti pekerjaan di luar pertanian. Kehidupan tenteram sebagai petani, tidak didapat lagi setelah mereka kemudian ada yang menjadi buruh pabrik, mengojek, makelar, dan sebagainya, (kasus di Desa Pelambuan Kodya Banjarmasin).
Politik
Orang Banjar yang umumnya pedagang dan petani atau nelayan dan lainnya, umumnya tidak menggandrungi polotik. Para ulama yang kokoh mau berada di atas semua golongan umumnya juga menghindar dari aktifitas politik.
Kalau pada masa Orde Baru kaum birokrat ada dalam Golkar, sebagian mereka menjadi kader-kader Golkar. Sementara aktifitas partai-partai lainnya dari kelompok pengusaha menengah, sebagian para pedagang, serta para pensiunan. Hanya ada beberapa gelintir mereka yang mau meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai negeri untuk secara resmi menjadi anggota suatu partai.
Masyarakat Banjar umumnya dalam ikut berpolitik sangat ditentukan oleh keterkaitan dan keberpihakan kepada organisasi politik yang memihak kepada kepentingan Islam. Tujuan-tujuan lainnya tidak banyak mempengaruhi sikap dan pandangan mereka.
Faktor figur pimpinan suatu organisasi politik sangat berperan untuk mendapatkan keberpihakan dan dukungan dalam masyarakat. Sistem kepemimpinan yang menempatkan figur tokoh informal sebagai anutan berlaku pula dalam kehidupan organisasi politik dalam masyarakat Banjar.
Pendidikan
Jauh sebelum masuknya pendidikan umum yang dibawa Pemerintah Belanda ke Kalimantan Selatan, dalam masyarakat Banjar sudah berlangsung pendidikan yang diselenggarakan para alim ulama. Syekh Muhammad Arsyad uang menimba ilmu selama 30 tahun di Mekah setelah kembali ke Kerajaan Banjar pada tahun 1772 M (1186 H) telah merintis pendidikan dengan sistem pengajian. Hasilnya melahirkan ulama-ulama dan guru-guru mengaji yang merupakan cikal bakal lahirnya pesantren-pesantren yang tersebar di Kalimantan Selatan. Masuknya pendidikan Barat oleh Belanda pada tahun 1912 tidak mempengaruhi kehidupan pesantren-pesantren tersebut. Mensikapi kemajuan yang berkembang dalam masyarakat pesantren-pesantren di Kalimantan Selatan secara beransur-ansur juga menyerap dan memasukkan pula ilmu pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Dampaknya membuat lembaga ini tidak pudar dalam pandangan masyarakat.
Para orang tua dalam masyarakat Banjar yang sangat sadar tentang tanggung jawab pendidikan anaknya terhadap Tuhan, umumnya memilih pendidikan anaknya ke pesantren, atau ke lembaga pendidikan madrasah di bawah Depag, terutama untuk anak-anak putri mereka. Umumnya sebagian masyarakat Banjar memberikan bekal pendidikan agama di pesantren atau di madrasah lebih dahulu sebelum ke perguruan tinggi.
Dalam masalah pendidikan orang Banjar mengambil sikap dalam pendidikan untuk putra-putrinya agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
Pertahanan dan Keamanan (Hankam)
Dalam masyarakat Banjar dulu hingga sekarang peran "orang kuat atau tetuha" yang bijaksana dan arif masih dihargai masyarakat, lebih-lebih dalam hal menegakkan kebenaran dan keamanan dalam masyarakat. Di samping peran Ketua RT sebagai pimpinan resmi dalam suatu komunitas, maka keberadaan orang kuat atau tetuha di masyarakat adalah tempat warga mengadu dan perlindungan. Sehingga kebijakan mengatur untuk terselenggaranya kehidupan tenteram dalam masyarakat dapat diterima dengan sadar.
Dalam masyarakat pedesaan yang umumnya para petani, keterkaitan mereka satu sama lain sangat erat. Dalam penyelenggaraan pertanian terdapat sistem "baarian" (menyelenggarakan pekerjaan sawah seorang warga secara bersama-sama, yang dilakukan bergiliran untuk warga lainnya) Sistem baarian mengikat anggota masyarakat dalam suatu kehidupan saling menjaga dan membela. Seorang anggota masyarakat acuh dan merasa bersalah kalau tidak bertindak mengamankan gangguan yang mengancam keluarga dan hak milik warganya yang lain.
Birokrasi
Orang Banjar umumnya orang yang tidak suka pada keterikatan. Mereka orang-orang yang ulet dan memahami usaha atau pekerjaan yang diwariskan pendahulunya.
Bagi orang Banjar hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi dulu merupakan urusan kerajaan, dan mereka yang menjadi pegawai kerajaan, atau kemudian pada zaman penjajahan mereka yang bekerja pada Belanda.
Sejak zaman Kerajaan Negara Dipa seperti diriwayatkan dalam Hikayat Banjar ketika Lambung Mangkurat yang seorang Weisya harus mencari keturunan kesatria untuk menjadi raja di Negara Dipa, sehingga ketika seorang Suryanata yang dibawanya sebagai salah seorang putra Brawijaya, kapal mereka dicegat oleh tetuha-tetuha masyarakat di muara Sungai Kuin, tidak boleh masuk sebelum ada kesepakatan-kesepakatan. Suryanata diterima sebagai raja setelah bersedia meninggalkan adat istiadat negerinya dan akan memelihara adat istiadat di Kerajaan Negara Dipa.
Sikap dan sifat keterbukaan masyarakat Banjar terhadap mereka yang berprestasi di tanah Banjar, ditentukan oleh pemahaman terhadap sikap hidup orang Banjar yang agamis dengan segala tatanan budaya yang hidup dalam masyarakat Banjar.
Keagamaan
Masyarakat Banjar umumnya penganut Islam Ahlusunnah wal Jama'ah Mazhab Imam Syafi'I, sebagaimana yang dimasyarakatkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada priode akhir abad ke 18 di Kerajaan Banjar waktu itu. Syekh Muhammad Arsyad juga dalam ajarannya menyeimbangkan antara faham hakekat dan syari'at. Sehubungan dengan itu di daerah Banjar sering orang bicara soal "kitab barincong" (kitab bentuk segitiga) yang dibawa Muhammad Arsyad ketika kembali dari Mekah. Dua faham yang terpisah dipertemukan sehngga lengkap menjadi suatu ajaran tentang ketentuan dari Tuhan dan usaha manusia.
Berkaitan dengan ajarannya maka pengajian Syekh Muhammad Arsyad dengan sistem "sorogan" dan "balagan"nya di samping untuk mendapatkan kealiman juga mengerjakan pertanian bersama murid-muridnya. Di daerah Martapura terdapat sebuah sungai bernama Sungai Tuan (sebutan Tuan Guru penghormatan untuk seorang Ulama), merupakan sebuah sungai yang mengalirkan air dari rawa ke Sungai Martapura, yang dibuat atas gagasan Syekh Muhammad Arsyad dalam rangka membangun persawahan di daerah tersebut.
Aliran lain dari Ahlussunnah wal Jama'ah Mazhab Imam Syafi'I, seperti Muhammadyah baru mulai berkembang sekitar tahun 1950-an. Penganut agama non Muslim yang ada di Kalimantan Selatan umumnya warga pendatang atau bertugas kerja yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Teknologi
Sesuai dengan kehidupan dan kegiatan yang terdapat dalam masyarakat Banjar, di daerah ini terdapat keahlian warisan berupa teknologi pembuatan perahu tambangan dan kapal layar, pembangunan rumah, serta pandai besi.
Keahlian pembuatan kapal dari kayu ulin (kayu besi) berupa perahu tambangan, kapal mesin dan kapal layar. Perahu tambangan adalah perahu kecil yang bisa digunakan penduduk yang tinggal di dekat sungai baik untuk transportasi ke tempat-tempat yang sulit dijangkau dengan transportasi darat. Tempat pembuatan perahu-perahu tambangan tersebut saat ini terdapat di Kampung Kuin di daerah selatan Kotamadya Banjarmasin. Sedangkan pembuatan kapal-kapal besar dari bahan kayu ulin untuk pelayaran antar pulau baik yang menggunakan mesin maupun menggunakan layar terdapat di daerah Pagatan, yang saat ini menjadi ibukota Kabupaten Tanah Bumbu. Kapal-kapal tersebut dulu umumnya digunakan untuk membawa barang dagangan dari pelabuhan Banjarmasin ke pelabuhan-pelabuhan lain di pantai utara Pulau Jawa atau ke pelabuhan-pelabuhan di Pulau Sulawisi pulang pergi.
Teknologi pembangunan rumah juga merupakan warisan. Dalam masyarakat Banjar dulu dikenal berbagai tipe bangunan rumah, seperti : Rumah Bubungan Tinggi, Rumah Gajah Baliku, Rumah Gajah Manyusu, Rumah Palimasan, Rumah Palimbangan, Rumah Bangun Gudang, Rumah Balai Bini, Rumah Balai Laki, Rumah Tadah Alas, Rumah Cacak Burung atau Anjung Surung, Rumah Joglo Gudang, dan rumah Cara Obos. Masing-masing tipe rumah tersebut ada pembagian ruang yang letak dan ukurannya disesuaikan dengan fungsinya. Bangunan yang dominan terbuat dari bahan kayu pilihan ini tergolong rumah panggung yang memakai tiang dan tongkat untuk menupang lantainya, sehingga bangunan rumah Banjar asli selalu ada kolongnya.
Rumah dengan tipe asli tersebut sudah jarang dibangun untuk tempat tinggal. Kecuali untuk bangunan sebuah lembaga milik pemerintah atau lembag lainnya, seperti: Museum, Guest House, Aula Kantor,Gedung DPRD, dan lainnya.
Masyarakat Banjar dewasa ini sudah banyak yang membangun rumah dengan konstruksi besi beton tanpa tongkat dengan berbagai variasi. Penggunaan sirap untuk atap sampai tahun 1990-an masih dominan, karena selain kukuh juga aman karena tidak mudah dibuka sebab pasangannya berlapis. Tetapi kemudian berbarengan dengan semakin langkanya atap sirap dari kayu ulin tersebut, dan munculnya berbagai macam atap "Metal Roof" yang lebih praktis, masyarakat sudah mulai meninggalkan sirap sebagai atap rumah atau bangunan lainnya. Sementara bangunan dengan menggunakan atap dari genting tidak banyak ditemukan di Kalimantan Selatan.
Umumnya masyarakat Banjar tidak menyukai rumah tingkat. Kalau di beberapa daerah rumah tingkat memberi kesan kaya pemiliknya, di masyarakat Banjar tidak ada kesan demikian. Orang kaya di Banjar lebih condong memilih lokasi yang strategis, rumah bagus dengan lingkungan dan pekarangan yang cukup luas. Rumah tingkat pada bagian belakang (dapur) umumnya dianggap "pamali" dan berisiko bagi pemiliknya. Sehingga masyarakat yang memang harus dan terpaksa membuat rumah tingkat karena keterbatasan luas tanah, mereka membuat tingkat penuh seluruh bagian rumah mulai depan hingga bagian belakang.
Teknologi pandai besi sejak zaman Kerajaan Banjar dimiliki masyarakat Nagara, sebuah daerah berstatus kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di kota kecil yang terletak di tepi sungai yang sejak dulu menjadi prasarana transportasi tersebut terdapat banyak pandai besi yang umumnya masing-masing memproduk alat rumah tangga dan peralatan pertanian yang jenisnya tetap. Ada kelompok khusus pembuat pisau, khusus parang, khusus cangkul, khusus senjata seperti tombak, dan lainnya. Barang-barang tersebut dipasarkan tidak hanya di Kalimantan Selatam, juga melalui toko-toko besi yang ada dipropinsi sekitarnya. Produk pandai besi dari Nagara yang pemesannya hingga dari beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa adalah b Baling-baling kapal aling-baling kapal.buatan Nagara di Kalimantan Selatan tersebut biasanya terbuat dari tembaga. Sulitnya mendapatkan bahan tembaga untuk bahan membuat baling-baling tersebutmembuat produk berjalan lambat.
Hukum
Masyarakat Kalimantan Selatan umumnya masih terbatas tentang pengetahuan hukum yang diatur dalam hukum pidana dan perdata. Hukum belum memasyarakat karena masih terbatasnya baik usaha pemasyarakatannya maupun minat masyarakat memahaminya. Tetapi secara naluri orang Banjar umumnya mengetahui perbuatan-perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang mempunyai sanksi hukum pidana maupun perdata.
Dalam masyarakat Banjar dikenal hukum waris dan perpantangan yanmg ditaati ketentuannya karena berhubungan dengan ketentuan dalam agama. Sehingga masalah perdata ini kalau keputusan hakim berbeda dengan hukum tersebut di atas umumnya sulit diterima masyarakat.
Dalam Kerajaan Banjar juga mengenal Undang-Undang Sultan Adam yang diundangkan pada tahun 1835 dalam mengatur kehidupan dalam masyarakat di Kerajaan Banjar waktu itu. Sebagian berisi mengatur tentang peribadatan, tentang kerukunan masyarakat, pengaturan masalah tanah, dan lainnya.
Pada umumnya hukum yang berlaku dalam masyarakat Banjar serasi dengan ketentuan dalam agama Islam dan dirasakan adil oleh masyarakatnya.
Lingkungan Hidup
Alam Kalimantan Selatan ada dataran tinggi, dataran rendah dan daerah aliran sungai. Lingkungan hidup mereka sejak kecil menempa baik fisik maupun kemampuan dalam usaha memenuhi kehidupan mereka. Karena itu sukses yang didapatkan kelompok daerah aliran sungai tidak tentu dapat dicapai dari kelompok lain yang dibesarkan dan ditempa pengalaman dan kemampuan di lingkungan yang berbeda.
Demikian pula Orang Banjar ada Orang Banjar Kuala yang dalam kehidupan dan penghidupan mereka berada dalam lingkungan tidak sekeras yang dialami oleh Orang Banjar Hulu pada umumnya. Orang Banjar Hulu yang mendiami daerah Benua Lima tidak hanya lebih keras dalam memenuhi penghidupan, juga dalam daerah yang menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda dengan puncaknya pada masa revolusi tersebut, juga menempa turunannya berkrakter keras dalam keseharian.
Berkaitan dengan pengaruh lingkungan alam dan lingkungan kehidupan tersebut karena terabaikannya, ada kasus-kasus yang tidak menguntungkan. Kasus usaha Depsos tahun 1980-an yang melakukan migrasi penduduk suku Bukit yang mendiami Pegunungan Meratus dengan mendomisilikan keluarga-keluarga mereka ke daerah persawahan pasang surut dengan fasilitas rumah dan tanah pertanian, berakhir dengan kegagalan total. Ketrampilan mereka mengolah padi ladang tidak begiti saja mampu mengelola persawahan di lingkungan yang airnya pasang surut. Lebih mengenaskan karena setelah beberapa lama mereka tinggal di darah perairan tersebut keluarga mereka satu persatu jatuh sakit, sehingga akhirnya mereka kembali ke kampung asalnya.
Demikian pula kebijakan penempatan tranmigrasi dari Jawa ke daerah pertanian pasang surut membuat kehidupan para pendatang tersebut tidak bisa berkembang. Banyak usaha mereka yang gagal karena lingkungan yang mereka hadapi asing bagi mereka sebelumnya. Sawah yang tidak jadi membuat kehidupan yang serba sulit. Karena itu manakala ada ibu-ibu dengan membawa anak mereka meminta-minta di lampu stopan di Banjarmasin, bila ditanya mereka adalah keluarga tranmigrasi
III. KESIMPULAN / REKOMENDASI
Pembangunan dalam arti suatu proses perubahan sosial dengan partisipasi yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambahnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka, merupakan sistem pembangunan yang perlu diterapkan untuk daerah yang berbeda kondisi wilayah dan pandangan hidup masyarakatnya. Pembangunan dalam berbagai aspek yang seragam untuk daerah-daerah di Indonesia akan rapuh karena tidak tentu sesuai dengan kondisi dan budaya yang hidup dalam masyarakatnya.
Di Kalimantan Selatan dengan budaya Banjar yang khas, yang tercipta dari perjalanan sejarah masyarakatnya, pembangunan akan kukuh sejauh mempunyai ciri-ciri yang hanya bisa diterima masyarakatnya. Kehidupan beragama yang tertanam kuat, menempatkan ulama sebagai panutan. Sementara pengalaman perjuangan yang panjang melawan penjajahan, memberikan tempat bagi "orang kuat" sebagai figur yang dihormati dan disegani. Usaha apapun yang meninggalkan peran tokoh-tokoh informal dalam budaya Banjar sulit mendapatkan dukungan dan melahirkan rasa memiliki di kalangan masyarakat.
Selama ini pembangunan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan untuk kemajuan ekonomi masyarakat umumnya, merupakan kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat. Pembangunan jalan tol di Kalimantan Selatan yang menghubungkan Kabupaten Banjar langsung ke pelabuhan laut Trisakti terutama untuk kenderaan berat yang membawa barang-barang dari dan ke luar propinsi tidak lagi mengganggu jalan dalam kota Banjarmasin. Pembangunan jalan tembus dari Benua Lima ke Batu Licin, tidak hanya memberikan kemudahan transportasi, juga akan memberikan lahan baru bagi para petani untuk mengolah tanah yang tadinya sulit dijangkau sebelum adanya prasarana jalan tersebut. Demikian pula peningkatan lapangan terbang Syamsudin Noor menjadi lapangan terbang bertarap internasional yang bisa didarati pesawat besar, tidak hanya memperlancar transportasi ekonomi (barang), juga memberi kemudahan bagi Jema'ah Haji Kalimantan Selatan sehingga bisa berangkat langsung menuju tanah suci dari daerah sendiri, merupakan kebijakan yang memahami kepentingan masyarakat Kalimantan Selatan yang dominan beragama Islam.
Demikian pula dengan pembangunan yang berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Suatu pembangunan yang berlandaskan pola pikir dan sikap masyarakatnya tentu akan memberi dampak positif bagi daerahnya. Karena itu pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi: sosial ekonomi, politik, pendidikan, hankam, hukum, birokrasi, keagamaan, industri dan teknologi, serta lingkungan hidup, perlu memperhatikan kondisi yang terdapat dalam masyarakat dan lingkungannya.
Ada hal-hal yang perlu dipahami dan disikapi dalam pengambilan kebijakan dalam masyarakat Banjar. Orang Banjar sejak dulu menyerahkan masalah kenegaraan kepada kerajaan. Dengan kata lain orang Banjar umumnya menyerahkan sesuatu urusan kepada ahlinya, dengan ketentuan kepentingan, hak dan keyakinan mereka tidak terhambat.
Pembangunan dalam bidang agama tidak akan menyimpang dari keyakinan yang berkembang di masyarakat saat ini. Usaha pengembangan agama non Islam yang bisa mempengaruhi masyarakat Banjar yang umumnya sejak lahir sudah menganut Islam, merupakan hal yang tidak etis.
Ada berbagai industri teknologi yang terdapat dalam masyarakat Banjar sebagai warisan turun temurun, yang perlu dikembangkan. Ada pantangan-pantangan yang bisa disimak mengandung makna tata susila, sehingga perlu dicermati seperti dalam bangunan rumah dan sebagainya.
Masalah kondisi lingkungan hidup yang telah menempa kehidupan suatu kelompok masyarakat yang berdiam di suatu lokasi, sangat perlu dipertimbangkan karena tidak semua orang dapat segera atau bisa berhasil beradaptasi dengan lingkngan hidup yang lain, atau karena ada perubahan dampak dari suatu pembangunan.
Dari semua uraian di atas, maka untuk semua pembangunan di bidang apapun dalam suatu daerah, dengan karakter dan budaya yang khas daerahnya, usaha ke arah pembangunan perlu mengkaji aspek-aspek budaya yang terkait di dalamnya.
DAFTAR BACAAN
Amat Asnawi, Drs. H. et al., Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (Periode1945-1949), Pemda Tk I Kalsel, Banjarmasin, 1994.
Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Bandjarmasin, 1953
Gazali Usman, Drs. H.A. et al., Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P2NB Kalsel, Banjamasin, 1996.
Idwar Saleh, Drs.M. et al. Adat Istiadat Kalimantan Selatan, Proyek IDKD, Jakarta, 1982.
Idwar Saleh, Drs. M. et al., Adat Istiadat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek IPNB, Banjarmasin, 1991.
Idwar Saleh, M. Banjarmasih, Museum Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 1980.
Idwar Saleh, Drs. M. et al., Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek PPKD, Jakarta, 1978.
Idwar Saleh, Drs. M., Sekelumit Mengenai Rumah-Rumah Tradisional Banjar, Makalah Seminar
Arsitektur Tradisional Kalimantan Selatan, Banjarmasin,1983.
Ramli Nawawi, Drs. H., Peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Penyebaran Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah di Kalimantan Selatan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, 1998.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P3NB, Banjarmasin, 1992.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Proyek IDSN, Jakarta, 1984.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sistem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P3NB, Banjarmasin, 1995.
Zulkarimen Nasution, Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1987.
Rabu, 18 Februari 2009
Selasa, 17 Februari 2009
Lambung Mangkurat
PERANAN LAMBUNG MANGKURAT
DALAM MEMBANGUN KERAJAAN NEGARA DIPA
DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Dari Negeri Keling ke Hujung Tanah
Dalam buku Negara Kertagama disebutkan bahwa di Jawa Timur terdapat suatu daerah bernama Keling, yang pada saat itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sebagai daerah kekuasaan Majapahit maka negeri ini tentunya mempunyai kewajiban menyampaikan upeti kepada raja Majapahit. Adanya kewajiban yang dirasakan memberatkan itulah menyebabkan penduduk negeri kecil ini tidak merasa tenteram. Usaha kaum pedagang umumnya sudah tidak menguntungkan lagi. Hal inilah yang menyebabkan seorang saudagar yang sudah berusia lanjut di negeri Keling ini, bernama Mangkubumi dan isterinya Sitira pada suatu hari berwasiat kepada anaknya yang bernama Empu Jatmika. Dalam wasiatnya itu Mangkubumi mengatakan bahwa apabila ia meninggal nanti supaya Empu Jatmika beserta isteri, anak-anak dan pengikutnya meninggalkan negeri Keling ini berpindah mencari suatu tempat kediaman yang tanahnya panas dan wangi baunya.
Demikianlah ketika peristiwa kematian orang tuanya tersebut telah berlalu, Empu Jatmika bersama keluarga dan sejumlah pengiringnya meninggalkan negeri Keling di daerah Jawa Timur sesuai wasiat orang tuanya. Pelayaran ke utara untuk mencari negeri yang tanahnya panas dan berbau wangi tersebut dipimpin sendiri oleh Empu Jatmika dengan menggunakan kapal layar bernama Prabayaksa dan beberapa buah kapal layar lainnya. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit terakhir.
Setelah berlayar lama mengarungi lautan, rombongan kapal layar yang dipimpin oleh Mpu Jatmika tersebut akhirnya sampai di Pulau Hujung Tanah. Rombongan kemudian memasuki muara sungai Barito. Mengingat bahwa sesuai dengan pesan orang tuanya untuk mencari lokasi yang tanahnya panas dan berbau wangi, Empu Jatmika yang memperhatikan keadaan tanah di sepanjang tepi Sungai Barito tersebut merupakan rawa-rawa yang senantiasa digenangi air, sehingga selama beberapa hari mereka harus meneruskan pelayarannya menuju ke daerah hulu sungai tersebut. Karena setelah lama berlayar belum juga menemui lokasi tepi sungai yang bebas dari rawa, akhirnya mereka mencoba membelok menyusuri anak Sungai Barito yang kemudian dikenal sebagai Sungai Negara. Dengan harapan agar segera mendapatkan lokasi sesuai dengan petunjuk orang tuanya, yakni tanah yang panas dan berbau harum, yang ditafsirkan sebagai daerah yang tanahnya subur.
Demikianlah ketika rombongan sampai pada lokasi yang menjadi pertemuan anatara Sungai Negara dan Sungai Balangan, konon Empu Jatmika dan rombongannya memutuskan untuk bermukim di sekitar daerah tersebut. Dibawah pimpinan Empu Jatmika mereka mulai membuka hutan di daerah tersebut. Selanjutnya mereka kemudian mendirikan tempat tinggal (astana) dengan balairung dan pengadapan serta beberapa buah rumah perbendaharaan. Bahkan sebagai kelompok yang berasal dari masyarakat beragama Hindu, mereka juga mendirikan sebuah candi yang kemudian disebut Candi Agung. Candi ini untuk tempat menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut di daerah asalnya.
Tempat pemukiman keluarga Empu Jatmika tersebut sekarang terdapat di lokasi Sungai Malang, di pinggiran kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Pemukiman tersebut seperti diceriterakan dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat, kemudian terus berkembang dan bertambah luas karena makin ramainya perdagangan dengan datangnya pedagang-pedagang dari Jawa maupun pedagang-pedagang dari Tanah Melayu.
Negeri baru yang tadinya dibangun oleh Empu Jatmika beserta pengikut-pengikutnya tersebut kemudian diberi nama Negara Dipa, dan Empu Jatmika sendiri kemudian bergelar Maharaja di Candi. Diceriterakan bahwa oleh karena Mpu Jatmika takut "ketulahan" (kualat) bergelar Maharaja di Candi, sebab ia bukan keturunan raja, maka ia memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk membikin patung dari kayu cendana dan patung itu ditaruhnya di dalam candi untuk dipuja sebagai ganti raja di negeri Negara Dipa tersebut.
Bersamaan dengan itu pula beberapa daerah di sekitarnya seperti daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Labuan Amas, telah melakukan hubungan dengan Negara Dipa.
Diceriterakan juga bahwa dalam mengatur negeri, Empu Jatmika memakai adat istiadat yang berlaku di Kerajaan Majapahit. Selain itu Empu Jatmika juga kemudian menyuruh beberapa pengikutnya untuk kembali ke Negeri Keling guna mengambil harta benda milik keluarganya yang masih ketinggalan di negerinya.
Sementara itu ketika Patung Kayu Cendana yang diletakkan di dalam Candi Agung sebagai perlambang raja di negeri Negara Dipa tersebut telah lapuk, maka untuk menggantikannya Empu Jatmika memesan sebuah patung "gangsa" bikinan orang Cina. Patung itupun kemudian diantarkan sendiri oleh utusan dari Tiongkok ke Negara Dipa.
Lambung Mangkurat membangun kerajaan
Setelah beberapa tahun memimpin masyarakat yang dibangunnya tersebut, Empu Jatmika di akhir usianya sempat berpesan kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Ia mengingatkan kepada kedua anaknya bahwa apabila ia meninggal nanti supaya patung gangsa yang ditempatkan di dalam Candi Agung itu supaya dibuang ke laut, dan anaknya berdua agar pergi bertapa memohon kepada Dewa Batara supaya menunjukkan seorang raja untuk bertahta di Negara Dipa dan negeri-negeri sekitarnya. Diingatkan pula oleh Empu Jatmika bahwa jangan sekali-kali keduanya mengangkat diri sebagai raja, karena keluarga mereka bukan turunan raja,
Demikianlah setelah Empu Jatmika meninggal kedua anaknya tersebut melakukan apa yang dipesankan orang tuanya. Sementara untuk mencari petunjuk Dewa Batara guna menemukan raja bagi negeri Negara Dipa, Empu Mandastana melakukan pertapaan di darat sedangkan Lambung Mangkurat melakukan pertapaan di atas air. Dua tahun lamanya mereka melakukan pertapaan namun tidak juga mendapatkan petunjuk apa-apa.
Dalam keadaan putus asa tersebut pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi, di mana ayahnya mmenyuruh ia membuat rakit yang dihiasi mayang pinang. Agar ia (Lambung Mangkurat) duduk di rakit tersebut yang dihayutkan di sungai pada waktu malam hari. Nanti ia akan bertemu dengan seorang putri yang akan menjadi raja di Negara Dipa.
Dari petunjuk mimpi itu Lambung Mangkurat memang kemudian menemukan seorang putri, yang kemudian terkenal dengan nama Putri Junjung Buih (Tunjung Buih), karena ia ditemukan di "ulak" sungai (bagian sungai yang arusnya berputar) sehingga menimbulkan buih. Setelah Lambung Mangkurat berdialog dengan putri tersebut, dan setelah segala permintaan putri termasuk upacara dalam rangka penyambutannya di istana dipenuhi oleh Lambung Mangkurat, putri tersebut bersedia dibawa ke istana Negara Dipa.
Kehadiran Putri Junjung Buih yang disiapkan untuk menjadi raja di Negara Dipa ternyata meragukan bagi Lambung Mangkurat. Kehawatiran Lambung Mangkurat tersebut karena kedua kedua keponakannya yang bernama Patmaraga dan Sukmaraga (putra Mpu Mandastana) telah saling jatuh cinta dengan Putri Junjung Buih. Dimana apabila terjadi perkawinan dengan salah satu keponakannya dengan putri tersebut, berarti kekuasaan sebagai raja di Negara Dipa masih ada sangkut-pautnya dengan keturunan Empu Jatmika, orang tuanya. Sehubungan dengan itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah, yakni dengan dalih mengajak kedua keponakannya naik perahu pergi "melunta" (menjala ikan) Lambung Mangkurat membunuh Sukmaraga dan Patmaraga keponakannya sendiri.
Setelah peristiwa tersebut Lambung Mangkurat berusaha agar kekuasaan di Negara Dipa supaya betul-betul orang yang mempunyai tutus (turunan) raja. Karena itulah ia kemudian bersama dengan beberapa pembantunya berlayar ke tanah Jawa untuk menghadap raja Majapahit, meminta salah seorang putra raja Majapahit untuk menjadi raja di Negara Dipa. Permohonan Lambung Mangkurat tersebut ternyata disambut baik oleh raja Majapahit. Sehubungan dengan itu kemudian berangkatlah putra raja Majapahit yang bernama Pangeran Suryanata bersama Lambung Mangkurat menuju Negara Dipa.
Setelah berlayar empat hari empat malam kapal yang membawa Pangeran Suryanata dan Lambung Mangkurat beserta pengiringnya sampai di muara Sungai Barito. Tetapi ketika memasuki sungai Barito kapal yang membawa mereka kandas. Dalam Hikayat Banjar digambarkan dengan bahasa "kias" dimana kedatangan Pangeran Suryanata disambut oleh tetuha-tetuha adat dengan berbagai upacara adat daerah serta saling sapa dan berdialog, yang digambarkan dalam Hikayat Banjar perahu yang dipakai Suryanata karena dicegat oleh beberapa Naga Putih rakyatnya Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata turun menyelam ke dalam air untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga setelah delapan hari delapan malam dalam air, Pangeran Suryanata melakukan pertemuan dengan beberapa Naga Putih tersebut, kemudian ia (yang digambarkan tidak punya kaki dan tangan tersebut sebagai perlambang belum punya kekuasaan) muncul di permukaan air sambil berdiri di atas gong, lengkap kaki tanganya, serta telah memakai keris (sebagai perlambang telah mendapat restu dari tetuha-tetuha dan tokoh-tokoh adat di daerah tersebut).
Demikianlah ketika Pangeran Suryanata beserta Lambung Mangkurat dan para pengiringnya sampai di Negara Dipa, mereka disambut oleh rakyat yang berduyun-duyun datang dari daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Negara Dipa.
Peristiwa selanjutnya adalah pelaksanaan "pedudusan" (pelantikan) raja di Balai Pedudusan. Kepada Pangeran Suryanata lebih dahulu dipakaikan mahkota, kemudian "bedudus" dan "berarak".
Mahkota yang ternyata cocok dengan kepala Pangeran Suryanata, mengisyaratkan bahwa yang memakainya telah direstui untuk menjadi raja di negeri tersebut. Peristiwa ini sekaligus juga pelaksanaan perkawinan Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dibawa kedalam pedudusan, keduanya berdiri di atas kepala empat ekor kerbau. Lambung Mangkurat sebagai pemimpin upacara pelantikan Pangeran Suryanata menjadi raja dan sekaligus perkawinannya dengan Putri Junjung Buih, kemudian menyiramkan air ke ubun-ubun Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih sebagai pemberian selamat kepada keduanya. Pembertian selamat ini selanjutnya diikuti oleh para pemuka masyarakat antara lain Arya Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan tokoh-tokoh tua lainnya. Selanjutnya keduanya, raja dan permaisuri duduk bersanding di astana sambil menyantap nasi "adap-adap". Sementara itu bunyi-bunyian dipalu serta beberapa meriam disulut sehingga menimbulkan bunyi yang gemuruh. Upacara pedudusan dan perkawinan Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih tersebut dirayakan selama tigahari tiga malam. (Demikian digambarkan tentang kedatangan dan pelantikan Pangeran Suryanata sebagai raja serta perkawinannya dengan Putri Junjung Buih sebagaimana termuat dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat).
Suryanata dan Putri Junjung Buih mempunyai dua orang putra, yakni Pangeran Surya Ganggawangsa dan Pangeran Suryawangsa. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat berapa lamanya Suryanata memerintah. Hanya dikatakan bahwa setelah raja dan permaisurinya tersebut wafat, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Surya Ganggawangsa. Raja baru ini ketika naik tahta ia masih membujang, dan ia menyatakan baru akan kawin dengan anak seorang perempuan yang bernama Diang Dipraja. Karena itu pula Lambung Mangkurat sebagai Patih kerajaan yang setia, kemudian berusaha mencari wanita yang namanya Diang Dipraja tersebut. Dan setelah ditemukan ternyata Diang Dipraja tersebut seorang wanita yang belum bersuami dan masih perawan. Tetapi untuk kepentingan raja wanita tersebut tetap dibawa oleh Lambung Mangkurat ke istana. Walaupun kedua orang tuanya semula keberatan, tetapi akhirnya mengijinkan juga dengan pesan agar anak mereka jangan disia-siakan.
Usaha Lambung Mangkurat barsama-sama para pejabat istana lainnya untuk menjodohkan raja dengan gadis tersebut ditolak oleh Surya Ganggawangsa dan tetap baru bersedia kawin dengan anak dari wanita tersebut. Sehubungan dengan itu para pejabat istana sepakat agar Lambung Mangkurat mengawini gadis dimaksud. Demi pengorbanan untuk raja dan Kerajaan Negara Dipa maka Lambung Mangkurat bersedia mengawininya.
Dari perkawinan Lambung Mangkurat dengan Diang Dipraja tersebut kemudian lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Kuripan (Putri Kabuwaringin). Sesuai dengan maksud semula maka ketika putri ini cukup usianya, ia dikawinkan dengan raja Surya Ganggawangsa. Dan dari perkawinan mereka ini selanjutnya lahir seorang perempuan yang bernama Putri Kalarangsari. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat siapa yang menjadi suami Putri Kalarangsari, namun tercatat bahwa ia mempunyai seorang anak yang bernama Putri Kalungsu. Disebutkan bahwa Putri Kalungsu lah yang kemudian menggantikan Surya Ganggawangsa sebagai raja di Negara Dipa. Demikian pula dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Putri Kalungsu tersebut jabatan Patih di Kerajaan Negara Dipa masih dipegang oleh Lambung Mangkurat.

Masa sesudah Lambung Mangkurat
Dalam silsilah Lambung Mangkurat terlihat bahwa Putri Kalungsu bersuamikan seorang pria sepupu ibunya bernama Raden Carang Lalean, yakni anak Suryawangsa (saudara Surya Ganggawangsa). Dari perkawinan Putri Kalungsu dengan Raden Carang Lalean inilah kemudian lahir seorang putra mahkota bernama Raden Sekar Sungsang, yang kemudian setelah naik tahta menggantikan ibunya dikenal pula dengan nama Maharaja Sari Kaburungan. Disebutkan juga bahwa pada masa pemerintahan Sekar Sungsang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke daerah selatan, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Negara Daha. Sementara itu Putri Kalungsu sendiri memilih tidak ikut pindah ke lokasi baru tersebut. Ia tetap tinggal di Negara Dipa sampai dengan akhir hayatnya.
Demikian pula halnya dengan Patih Lambung Mangkurat, tidak lama setelah perpindahan pusat kerajaan tersebut, ia pun juga meninggal dunia. Untuk menggantikannya sebagai Patih Kerajaan Negara Daha kemudian diangkat Patih Aria Taranggana, seorang yang cerdik dan bijaksana.
Periode Negara Daha ini hanya berlangsung selama dua masa pemerintahan, yakni pemerintahan Raden Sekar Sungsang (Maharaja Sari Kaburungan) dan pemerintahan putranya yang bernama Maharaja Sukarama. Disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat bahwa setelah Maharaja Sukarama meninggal dunia terjadi perebutan tahta kerajaan antara anak-anaknya.
Peristiwa kekacawan di Kerajaan Negara Daha sepeninggal Sukarama tersebut, sekaligus merupakan proses lahirnya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan besar di daerah Kalimantan Selatan. Diceritakan bahwa Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu yang bernama Raden Samudera. Raden Samudera pewaris darah murni dari Maharaja Sari Kaburungan pendiri Kerajaan Negara Daha, karena ia cucu dari dari kedua putranya, yakni cucu dari Maharaja Sukarama dan Raden Suryawangsa. Yakni Maharaja Sukarama mempunyai anak perempuan bernama Putri Galuh yang kawin dengan putra dari Raden Suryawangsa yang bernama Mantri Alu. Dari perkawinan Putri Galuh dan Mantri Alu itulah lahir Raden Samudera. Karena Mantri Alu ayahnya meninggal ketika ia masih belum dewasa, maka Raden Samudera bersama ibunya tinggal di istana bersama Maharaja Sukarama kakeknya.
Sebenarnya Maharaja Sukarama sendiri juga mempunyai dua orang anak laki-laki masing-masing bernama Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Tetapi karena melihat kepribadian Raden Samudera yang melebihi dari kepribadian kedua putranya, maka Maharaja Sukarama mewasiatkan kepada Patih Aria Taranggana bahwa apabila ia meninggal maka nanti yang menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Wasiat tersebut lambat laun akhirnya sampai juga beritanya kepada anak-anak Maharaja Sukarama. Karena itulah tidak berapa lama setelah Maharaja Sukarama wafat terjadi kekacawan di istana Kerajaan Negara Daha. Melihat keadaan tersebut maka demi keselamatan jiwa Raden Samudera, Patih Aria Taranggana menasihatkan kepadanya agar sesegeranya meninggalkan istana. Sehubungan dengan itulah Raden Samudera kemudian secara diam-diam pergi meninggalkan istana, untuk kemudian hidup "menyungaian" (tinggal dalam sebuah perahu) menyamar sebagai seorang nelayan di daerah muara Sungai Martapura.
Sementara itu di Kerajaan Negara Daha terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dengan menghilangnya Raden Samudera sebagai putra mahkota sebagaimana wasiat Maharaja Sukarama, maka pewaris kerajaan jatuh kepada Pangeran Mangkubumi sebagai anak tertua. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Tumenggung, yang haus kekuasaan kemudian membunuh kakaknya untuk selanjutnya menduduki tahta Kerajaan Negara Daha.
Peristiwa terjadinya kekacauan dan perebutan kekuasaan di pusat Kerajaan Negara Daha tersebut menambah keyakinan rakyat Negara Daha mengapa Sukarama pada akhir masa hidupnya mewasiatkan agar yang menggantikannya adalah Raden Samudera. Karena itulah ketika tersiar kabar bahwa Raden Samudera telah meninggalkan istana dan hidup menyamar sebagai seorang nelayan, para pemuka masyarakat di daerah muara Sungai Martapura berusaha menemukan putra mahkota kerajaan yang menyamar tersebut. Usaha pencarian akhirnya juga berhasil menemukan seorang pemuda yang diduga sebagai Raden Samudera. Semula yang bersangkutan tidak mengakui bahwa dirinya adalah putra mahkota. Tetapi setelah dijelaskan bahwa mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat yang akan menyelamatkannya, akhirnya yang bersangkutan mengakui bahwa dirinya adalah Raden Samudera.
Setelah diyakini benar bahwa yang bersangkutan adalah Raden Samudera yang berhak mewarisi Kerajaan Negara Daha, maka dibawah pimpinan Patih Masih (patihnya kelompok orang Melayu di daerah tersebut) bersama-sama para patih kelompok lainnya, kemudian menobatkan Raden Samudera sebagai Sultan (raja) yang sah. Tindakan para Patih tersebut menimbulkan reaksi dari Pangeran Tumenggung, sehingga pecah perang antara rakyat pengikut Pangeran Tumenggung dengan rakyat pengikut Raden Samudera. Demikianlah terjadi peperangan beberapa lama dan banyak jatuh korban di kedua belah pihak, dan bahkan Raden Samudera atas usaha Patih Masih telah mendapatkan bantuan tentara dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Namun pertentangan ini kemudian berakhir dengan kesedian Pangeran Tumenggung untuk menyerahkan Kerajaan Negara Daha kepada Raden Samudera, keponakannya sendiri, setelah keduanya dipertemukan di atas dua buah perahu telangkasan di muara Sungai Martapura. Acara perang tanding antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung yang merupakan kesepakatan antara Patih Masih dan Patih Aria Taranggana ini bertujuan untuk mengakhiri perang karena sudah terlalu banyak rakyat yang tewas sementara perang tak kunjung selesai. Namun ketika kedua Pangeran yang sudah siap dengan senjata berdiri di depan perahu yang masing-masing dikayuh di belakangnya oleh Patih Masih dan Patih Aria Taranggana tersebut bertemu, Raden Samudera berucap menyilahkan pamannya untuk membunuhnya, "silahkan pamanku tombak", dan mendengar kata-kata itu Pangeran Tumenggung malah memeluk Raden Samudera. Pangeran Tumenggung dengan sukarela menyerahkan keraajan kepada keponakanya. Walaupun kemudian perangkat kerajaan di serahkan untuk di bawa ke daerah Banjar, Raden Samudera masih memberikan kekuasaan kepada Pangeran Tumenggung untuk mengatur rakyatnya di Negara Daha.
Dengan demikian lahirlah Kerajaan Banjar dan sebagai raja pertamanya adalah Raden Samudera, yang setelah memeluk agama Islam sesuai perjanjian dan permintaan Sultan Demak, dia bernama Sultan Suriansyah. Disebutkan bahwa Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526 – 1550. Pusat Kerajaan Banjar terdapat di Kampung Kuin sekarang, dimana terdapat makam beliau besarta anak dan cucunya yang manggantikannya.
Pusat Kerajaan Banjar kemudian dipindahkan ke daerah Martapura (Teluk Selong) oleh raja Banjar yang keempat Mustakim Billah, karena pada waktu itu sudah terjadi kontak perang dengan Belanda yang telah sampai di Banjarmasin.
Demikianlah Kerajaan Banjar berlangsung, yang kemudian berakhir dengan pecahnya Perang Banjar melawan Kolonial Belanda, yang dimulai dengan penyerangan Benteng Pengaron (daerah tambang batu bara Oranye Nassau milik Belanda) pada tanggal 28 April 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Wafatnya Pangeran Antasari pada tahun 1862 dan diasingkannya Pangeran Hidayatullah ke Cianjur (Jawa Barat) tidak memadamkan perlawanan rakyat terhadap Belanda. Perang Banjar terus berlangsung dibawah pimpinan anak-anak Pangeran Antasari, seperti Mohammad Said yang memimpin perlawanan di daerah Hulu Sungai (Benua Lima) dan Mohammad Seman yang memusatkan perlawanannya di daerah Muara Tewe (Kalimatan Tengah sekarang), perlawanan berlangsung hingga meninggalnya tahun 1905.- (HRN, Peneliti sejarah & nilai tradisional).
DALAM MEMBANGUN KERAJAAN NEGARA DIPA
DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Dari Negeri Keling ke Hujung Tanah
Dalam buku Negara Kertagama disebutkan bahwa di Jawa Timur terdapat suatu daerah bernama Keling, yang pada saat itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sebagai daerah kekuasaan Majapahit maka negeri ini tentunya mempunyai kewajiban menyampaikan upeti kepada raja Majapahit. Adanya kewajiban yang dirasakan memberatkan itulah menyebabkan penduduk negeri kecil ini tidak merasa tenteram. Usaha kaum pedagang umumnya sudah tidak menguntungkan lagi. Hal inilah yang menyebabkan seorang saudagar yang sudah berusia lanjut di negeri Keling ini, bernama Mangkubumi dan isterinya Sitira pada suatu hari berwasiat kepada anaknya yang bernama Empu Jatmika. Dalam wasiatnya itu Mangkubumi mengatakan bahwa apabila ia meninggal nanti supaya Empu Jatmika beserta isteri, anak-anak dan pengikutnya meninggalkan negeri Keling ini berpindah mencari suatu tempat kediaman yang tanahnya panas dan wangi baunya.
Demikianlah ketika peristiwa kematian orang tuanya tersebut telah berlalu, Empu Jatmika bersama keluarga dan sejumlah pengiringnya meninggalkan negeri Keling di daerah Jawa Timur sesuai wasiat orang tuanya. Pelayaran ke utara untuk mencari negeri yang tanahnya panas dan berbau wangi tersebut dipimpin sendiri oleh Empu Jatmika dengan menggunakan kapal layar bernama Prabayaksa dan beberapa buah kapal layar lainnya. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit terakhir.
Setelah berlayar lama mengarungi lautan, rombongan kapal layar yang dipimpin oleh Mpu Jatmika tersebut akhirnya sampai di Pulau Hujung Tanah. Rombongan kemudian memasuki muara sungai Barito. Mengingat bahwa sesuai dengan pesan orang tuanya untuk mencari lokasi yang tanahnya panas dan berbau wangi, Empu Jatmika yang memperhatikan keadaan tanah di sepanjang tepi Sungai Barito tersebut merupakan rawa-rawa yang senantiasa digenangi air, sehingga selama beberapa hari mereka harus meneruskan pelayarannya menuju ke daerah hulu sungai tersebut. Karena setelah lama berlayar belum juga menemui lokasi tepi sungai yang bebas dari rawa, akhirnya mereka mencoba membelok menyusuri anak Sungai Barito yang kemudian dikenal sebagai Sungai Negara. Dengan harapan agar segera mendapatkan lokasi sesuai dengan petunjuk orang tuanya, yakni tanah yang panas dan berbau harum, yang ditafsirkan sebagai daerah yang tanahnya subur.
Demikianlah ketika rombongan sampai pada lokasi yang menjadi pertemuan anatara Sungai Negara dan Sungai Balangan, konon Empu Jatmika dan rombongannya memutuskan untuk bermukim di sekitar daerah tersebut. Dibawah pimpinan Empu Jatmika mereka mulai membuka hutan di daerah tersebut. Selanjutnya mereka kemudian mendirikan tempat tinggal (astana) dengan balairung dan pengadapan serta beberapa buah rumah perbendaharaan. Bahkan sebagai kelompok yang berasal dari masyarakat beragama Hindu, mereka juga mendirikan sebuah candi yang kemudian disebut Candi Agung. Candi ini untuk tempat menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut di daerah asalnya.
Tempat pemukiman keluarga Empu Jatmika tersebut sekarang terdapat di lokasi Sungai Malang, di pinggiran kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Pemukiman tersebut seperti diceriterakan dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat, kemudian terus berkembang dan bertambah luas karena makin ramainya perdagangan dengan datangnya pedagang-pedagang dari Jawa maupun pedagang-pedagang dari Tanah Melayu.
Negeri baru yang tadinya dibangun oleh Empu Jatmika beserta pengikut-pengikutnya tersebut kemudian diberi nama Negara Dipa, dan Empu Jatmika sendiri kemudian bergelar Maharaja di Candi. Diceriterakan bahwa oleh karena Mpu Jatmika takut "ketulahan" (kualat) bergelar Maharaja di Candi, sebab ia bukan keturunan raja, maka ia memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk membikin patung dari kayu cendana dan patung itu ditaruhnya di dalam candi untuk dipuja sebagai ganti raja di negeri Negara Dipa tersebut.
Bersamaan dengan itu pula beberapa daerah di sekitarnya seperti daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Labuan Amas, telah melakukan hubungan dengan Negara Dipa.
Diceriterakan juga bahwa dalam mengatur negeri, Empu Jatmika memakai adat istiadat yang berlaku di Kerajaan Majapahit. Selain itu Empu Jatmika juga kemudian menyuruh beberapa pengikutnya untuk kembali ke Negeri Keling guna mengambil harta benda milik keluarganya yang masih ketinggalan di negerinya.
Sementara itu ketika Patung Kayu Cendana yang diletakkan di dalam Candi Agung sebagai perlambang raja di negeri Negara Dipa tersebut telah lapuk, maka untuk menggantikannya Empu Jatmika memesan sebuah patung "gangsa" bikinan orang Cina. Patung itupun kemudian diantarkan sendiri oleh utusan dari Tiongkok ke Negara Dipa.
Lambung Mangkurat membangun kerajaan
Setelah beberapa tahun memimpin masyarakat yang dibangunnya tersebut, Empu Jatmika di akhir usianya sempat berpesan kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Ia mengingatkan kepada kedua anaknya bahwa apabila ia meninggal nanti supaya patung gangsa yang ditempatkan di dalam Candi Agung itu supaya dibuang ke laut, dan anaknya berdua agar pergi bertapa memohon kepada Dewa Batara supaya menunjukkan seorang raja untuk bertahta di Negara Dipa dan negeri-negeri sekitarnya. Diingatkan pula oleh Empu Jatmika bahwa jangan sekali-kali keduanya mengangkat diri sebagai raja, karena keluarga mereka bukan turunan raja,
Demikianlah setelah Empu Jatmika meninggal kedua anaknya tersebut melakukan apa yang dipesankan orang tuanya. Sementara untuk mencari petunjuk Dewa Batara guna menemukan raja bagi negeri Negara Dipa, Empu Mandastana melakukan pertapaan di darat sedangkan Lambung Mangkurat melakukan pertapaan di atas air. Dua tahun lamanya mereka melakukan pertapaan namun tidak juga mendapatkan petunjuk apa-apa.
Dalam keadaan putus asa tersebut pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi, di mana ayahnya mmenyuruh ia membuat rakit yang dihiasi mayang pinang. Agar ia (Lambung Mangkurat) duduk di rakit tersebut yang dihayutkan di sungai pada waktu malam hari. Nanti ia akan bertemu dengan seorang putri yang akan menjadi raja di Negara Dipa.
Dari petunjuk mimpi itu Lambung Mangkurat memang kemudian menemukan seorang putri, yang kemudian terkenal dengan nama Putri Junjung Buih (Tunjung Buih), karena ia ditemukan di "ulak" sungai (bagian sungai yang arusnya berputar) sehingga menimbulkan buih. Setelah Lambung Mangkurat berdialog dengan putri tersebut, dan setelah segala permintaan putri termasuk upacara dalam rangka penyambutannya di istana dipenuhi oleh Lambung Mangkurat, putri tersebut bersedia dibawa ke istana Negara Dipa.
Kehadiran Putri Junjung Buih yang disiapkan untuk menjadi raja di Negara Dipa ternyata meragukan bagi Lambung Mangkurat. Kehawatiran Lambung Mangkurat tersebut karena kedua kedua keponakannya yang bernama Patmaraga dan Sukmaraga (putra Mpu Mandastana) telah saling jatuh cinta dengan Putri Junjung Buih. Dimana apabila terjadi perkawinan dengan salah satu keponakannya dengan putri tersebut, berarti kekuasaan sebagai raja di Negara Dipa masih ada sangkut-pautnya dengan keturunan Empu Jatmika, orang tuanya. Sehubungan dengan itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah, yakni dengan dalih mengajak kedua keponakannya naik perahu pergi "melunta" (menjala ikan) Lambung Mangkurat membunuh Sukmaraga dan Patmaraga keponakannya sendiri.
Setelah peristiwa tersebut Lambung Mangkurat berusaha agar kekuasaan di Negara Dipa supaya betul-betul orang yang mempunyai tutus (turunan) raja. Karena itulah ia kemudian bersama dengan beberapa pembantunya berlayar ke tanah Jawa untuk menghadap raja Majapahit, meminta salah seorang putra raja Majapahit untuk menjadi raja di Negara Dipa. Permohonan Lambung Mangkurat tersebut ternyata disambut baik oleh raja Majapahit. Sehubungan dengan itu kemudian berangkatlah putra raja Majapahit yang bernama Pangeran Suryanata bersama Lambung Mangkurat menuju Negara Dipa.
Setelah berlayar empat hari empat malam kapal yang membawa Pangeran Suryanata dan Lambung Mangkurat beserta pengiringnya sampai di muara Sungai Barito. Tetapi ketika memasuki sungai Barito kapal yang membawa mereka kandas. Dalam Hikayat Banjar digambarkan dengan bahasa "kias" dimana kedatangan Pangeran Suryanata disambut oleh tetuha-tetuha adat dengan berbagai upacara adat daerah serta saling sapa dan berdialog, yang digambarkan dalam Hikayat Banjar perahu yang dipakai Suryanata karena dicegat oleh beberapa Naga Putih rakyatnya Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata turun menyelam ke dalam air untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga setelah delapan hari delapan malam dalam air, Pangeran Suryanata melakukan pertemuan dengan beberapa Naga Putih tersebut, kemudian ia (yang digambarkan tidak punya kaki dan tangan tersebut sebagai perlambang belum punya kekuasaan) muncul di permukaan air sambil berdiri di atas gong, lengkap kaki tanganya, serta telah memakai keris (sebagai perlambang telah mendapat restu dari tetuha-tetuha dan tokoh-tokoh adat di daerah tersebut).
Demikianlah ketika Pangeran Suryanata beserta Lambung Mangkurat dan para pengiringnya sampai di Negara Dipa, mereka disambut oleh rakyat yang berduyun-duyun datang dari daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Negara Dipa.
Peristiwa selanjutnya adalah pelaksanaan "pedudusan" (pelantikan) raja di Balai Pedudusan. Kepada Pangeran Suryanata lebih dahulu dipakaikan mahkota, kemudian "bedudus" dan "berarak".
Mahkota yang ternyata cocok dengan kepala Pangeran Suryanata, mengisyaratkan bahwa yang memakainya telah direstui untuk menjadi raja di negeri tersebut. Peristiwa ini sekaligus juga pelaksanaan perkawinan Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dibawa kedalam pedudusan, keduanya berdiri di atas kepala empat ekor kerbau. Lambung Mangkurat sebagai pemimpin upacara pelantikan Pangeran Suryanata menjadi raja dan sekaligus perkawinannya dengan Putri Junjung Buih, kemudian menyiramkan air ke ubun-ubun Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih sebagai pemberian selamat kepada keduanya. Pembertian selamat ini selanjutnya diikuti oleh para pemuka masyarakat antara lain Arya Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan tokoh-tokoh tua lainnya. Selanjutnya keduanya, raja dan permaisuri duduk bersanding di astana sambil menyantap nasi "adap-adap". Sementara itu bunyi-bunyian dipalu serta beberapa meriam disulut sehingga menimbulkan bunyi yang gemuruh. Upacara pedudusan dan perkawinan Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih tersebut dirayakan selama tigahari tiga malam. (Demikian digambarkan tentang kedatangan dan pelantikan Pangeran Suryanata sebagai raja serta perkawinannya dengan Putri Junjung Buih sebagaimana termuat dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat).
Suryanata dan Putri Junjung Buih mempunyai dua orang putra, yakni Pangeran Surya Ganggawangsa dan Pangeran Suryawangsa. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat berapa lamanya Suryanata memerintah. Hanya dikatakan bahwa setelah raja dan permaisurinya tersebut wafat, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Surya Ganggawangsa. Raja baru ini ketika naik tahta ia masih membujang, dan ia menyatakan baru akan kawin dengan anak seorang perempuan yang bernama Diang Dipraja. Karena itu pula Lambung Mangkurat sebagai Patih kerajaan yang setia, kemudian berusaha mencari wanita yang namanya Diang Dipraja tersebut. Dan setelah ditemukan ternyata Diang Dipraja tersebut seorang wanita yang belum bersuami dan masih perawan. Tetapi untuk kepentingan raja wanita tersebut tetap dibawa oleh Lambung Mangkurat ke istana. Walaupun kedua orang tuanya semula keberatan, tetapi akhirnya mengijinkan juga dengan pesan agar anak mereka jangan disia-siakan.
Usaha Lambung Mangkurat barsama-sama para pejabat istana lainnya untuk menjodohkan raja dengan gadis tersebut ditolak oleh Surya Ganggawangsa dan tetap baru bersedia kawin dengan anak dari wanita tersebut. Sehubungan dengan itu para pejabat istana sepakat agar Lambung Mangkurat mengawini gadis dimaksud. Demi pengorbanan untuk raja dan Kerajaan Negara Dipa maka Lambung Mangkurat bersedia mengawininya.
Dari perkawinan Lambung Mangkurat dengan Diang Dipraja tersebut kemudian lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Kuripan (Putri Kabuwaringin). Sesuai dengan maksud semula maka ketika putri ini cukup usianya, ia dikawinkan dengan raja Surya Ganggawangsa. Dan dari perkawinan mereka ini selanjutnya lahir seorang perempuan yang bernama Putri Kalarangsari. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat siapa yang menjadi suami Putri Kalarangsari, namun tercatat bahwa ia mempunyai seorang anak yang bernama Putri Kalungsu. Disebutkan bahwa Putri Kalungsu lah yang kemudian menggantikan Surya Ganggawangsa sebagai raja di Negara Dipa. Demikian pula dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Putri Kalungsu tersebut jabatan Patih di Kerajaan Negara Dipa masih dipegang oleh Lambung Mangkurat.

Masa sesudah Lambung Mangkurat
Dalam silsilah Lambung Mangkurat terlihat bahwa Putri Kalungsu bersuamikan seorang pria sepupu ibunya bernama Raden Carang Lalean, yakni anak Suryawangsa (saudara Surya Ganggawangsa). Dari perkawinan Putri Kalungsu dengan Raden Carang Lalean inilah kemudian lahir seorang putra mahkota bernama Raden Sekar Sungsang, yang kemudian setelah naik tahta menggantikan ibunya dikenal pula dengan nama Maharaja Sari Kaburungan. Disebutkan juga bahwa pada masa pemerintahan Sekar Sungsang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke daerah selatan, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Negara Daha. Sementara itu Putri Kalungsu sendiri memilih tidak ikut pindah ke lokasi baru tersebut. Ia tetap tinggal di Negara Dipa sampai dengan akhir hayatnya.
Demikian pula halnya dengan Patih Lambung Mangkurat, tidak lama setelah perpindahan pusat kerajaan tersebut, ia pun juga meninggal dunia. Untuk menggantikannya sebagai Patih Kerajaan Negara Daha kemudian diangkat Patih Aria Taranggana, seorang yang cerdik dan bijaksana.
Periode Negara Daha ini hanya berlangsung selama dua masa pemerintahan, yakni pemerintahan Raden Sekar Sungsang (Maharaja Sari Kaburungan) dan pemerintahan putranya yang bernama Maharaja Sukarama. Disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat bahwa setelah Maharaja Sukarama meninggal dunia terjadi perebutan tahta kerajaan antara anak-anaknya.
Peristiwa kekacawan di Kerajaan Negara Daha sepeninggal Sukarama tersebut, sekaligus merupakan proses lahirnya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan besar di daerah Kalimantan Selatan. Diceritakan bahwa Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu yang bernama Raden Samudera. Raden Samudera pewaris darah murni dari Maharaja Sari Kaburungan pendiri Kerajaan Negara Daha, karena ia cucu dari dari kedua putranya, yakni cucu dari Maharaja Sukarama dan Raden Suryawangsa. Yakni Maharaja Sukarama mempunyai anak perempuan bernama Putri Galuh yang kawin dengan putra dari Raden Suryawangsa yang bernama Mantri Alu. Dari perkawinan Putri Galuh dan Mantri Alu itulah lahir Raden Samudera. Karena Mantri Alu ayahnya meninggal ketika ia masih belum dewasa, maka Raden Samudera bersama ibunya tinggal di istana bersama Maharaja Sukarama kakeknya.
Sebenarnya Maharaja Sukarama sendiri juga mempunyai dua orang anak laki-laki masing-masing bernama Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Tetapi karena melihat kepribadian Raden Samudera yang melebihi dari kepribadian kedua putranya, maka Maharaja Sukarama mewasiatkan kepada Patih Aria Taranggana bahwa apabila ia meninggal maka nanti yang menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Wasiat tersebut lambat laun akhirnya sampai juga beritanya kepada anak-anak Maharaja Sukarama. Karena itulah tidak berapa lama setelah Maharaja Sukarama wafat terjadi kekacawan di istana Kerajaan Negara Daha. Melihat keadaan tersebut maka demi keselamatan jiwa Raden Samudera, Patih Aria Taranggana menasihatkan kepadanya agar sesegeranya meninggalkan istana. Sehubungan dengan itulah Raden Samudera kemudian secara diam-diam pergi meninggalkan istana, untuk kemudian hidup "menyungaian" (tinggal dalam sebuah perahu) menyamar sebagai seorang nelayan di daerah muara Sungai Martapura.
Sementara itu di Kerajaan Negara Daha terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dengan menghilangnya Raden Samudera sebagai putra mahkota sebagaimana wasiat Maharaja Sukarama, maka pewaris kerajaan jatuh kepada Pangeran Mangkubumi sebagai anak tertua. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Tumenggung, yang haus kekuasaan kemudian membunuh kakaknya untuk selanjutnya menduduki tahta Kerajaan Negara Daha.
Peristiwa terjadinya kekacauan dan perebutan kekuasaan di pusat Kerajaan Negara Daha tersebut menambah keyakinan rakyat Negara Daha mengapa Sukarama pada akhir masa hidupnya mewasiatkan agar yang menggantikannya adalah Raden Samudera. Karena itulah ketika tersiar kabar bahwa Raden Samudera telah meninggalkan istana dan hidup menyamar sebagai seorang nelayan, para pemuka masyarakat di daerah muara Sungai Martapura berusaha menemukan putra mahkota kerajaan yang menyamar tersebut. Usaha pencarian akhirnya juga berhasil menemukan seorang pemuda yang diduga sebagai Raden Samudera. Semula yang bersangkutan tidak mengakui bahwa dirinya adalah putra mahkota. Tetapi setelah dijelaskan bahwa mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat yang akan menyelamatkannya, akhirnya yang bersangkutan mengakui bahwa dirinya adalah Raden Samudera.
Setelah diyakini benar bahwa yang bersangkutan adalah Raden Samudera yang berhak mewarisi Kerajaan Negara Daha, maka dibawah pimpinan Patih Masih (patihnya kelompok orang Melayu di daerah tersebut) bersama-sama para patih kelompok lainnya, kemudian menobatkan Raden Samudera sebagai Sultan (raja) yang sah. Tindakan para Patih tersebut menimbulkan reaksi dari Pangeran Tumenggung, sehingga pecah perang antara rakyat pengikut Pangeran Tumenggung dengan rakyat pengikut Raden Samudera. Demikianlah terjadi peperangan beberapa lama dan banyak jatuh korban di kedua belah pihak, dan bahkan Raden Samudera atas usaha Patih Masih telah mendapatkan bantuan tentara dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Namun pertentangan ini kemudian berakhir dengan kesedian Pangeran Tumenggung untuk menyerahkan Kerajaan Negara Daha kepada Raden Samudera, keponakannya sendiri, setelah keduanya dipertemukan di atas dua buah perahu telangkasan di muara Sungai Martapura. Acara perang tanding antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung yang merupakan kesepakatan antara Patih Masih dan Patih Aria Taranggana ini bertujuan untuk mengakhiri perang karena sudah terlalu banyak rakyat yang tewas sementara perang tak kunjung selesai. Namun ketika kedua Pangeran yang sudah siap dengan senjata berdiri di depan perahu yang masing-masing dikayuh di belakangnya oleh Patih Masih dan Patih Aria Taranggana tersebut bertemu, Raden Samudera berucap menyilahkan pamannya untuk membunuhnya, "silahkan pamanku tombak", dan mendengar kata-kata itu Pangeran Tumenggung malah memeluk Raden Samudera. Pangeran Tumenggung dengan sukarela menyerahkan keraajan kepada keponakanya. Walaupun kemudian perangkat kerajaan di serahkan untuk di bawa ke daerah Banjar, Raden Samudera masih memberikan kekuasaan kepada Pangeran Tumenggung untuk mengatur rakyatnya di Negara Daha.
Dengan demikian lahirlah Kerajaan Banjar dan sebagai raja pertamanya adalah Raden Samudera, yang setelah memeluk agama Islam sesuai perjanjian dan permintaan Sultan Demak, dia bernama Sultan Suriansyah. Disebutkan bahwa Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526 – 1550. Pusat Kerajaan Banjar terdapat di Kampung Kuin sekarang, dimana terdapat makam beliau besarta anak dan cucunya yang manggantikannya.
Pusat Kerajaan Banjar kemudian dipindahkan ke daerah Martapura (Teluk Selong) oleh raja Banjar yang keempat Mustakim Billah, karena pada waktu itu sudah terjadi kontak perang dengan Belanda yang telah sampai di Banjarmasin.
Demikianlah Kerajaan Banjar berlangsung, yang kemudian berakhir dengan pecahnya Perang Banjar melawan Kolonial Belanda, yang dimulai dengan penyerangan Benteng Pengaron (daerah tambang batu bara Oranye Nassau milik Belanda) pada tanggal 28 April 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Wafatnya Pangeran Antasari pada tahun 1862 dan diasingkannya Pangeran Hidayatullah ke Cianjur (Jawa Barat) tidak memadamkan perlawanan rakyat terhadap Belanda. Perang Banjar terus berlangsung dibawah pimpinan anak-anak Pangeran Antasari, seperti Mohammad Said yang memimpin perlawanan di daerah Hulu Sungai (Benua Lima) dan Mohammad Seman yang memusatkan perlawanannya di daerah Muara Tewe (Kalimatan Tengah sekarang), perlawanan berlangsung hingga meninggalnya tahun 1905.- (HRN, Peneliti sejarah & nilai tradisional).
Jumat, 13 Februari 2009
Urang Banjar Doeloe Membangun Rumah
CARA ORANG BANJAR "DOELOE"
MENETAPKAN UKURAN BANGUNAN RUMAH
Oleh: Drs H Ramli Nawawi

Sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" tentang cara membangun rumah ini adalah hasil "bapapandiran" (bicara santai) ketika tahun 1980-an Penulis mengikuti Tim Survey Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru dalam kunjungan ke beberapa lokasi masyarakat penangkap ikan di Kabupaten Tanah Laut, ketika menginap di Desa Takisung sempat bertandang ke rumah seseorang "tetuha" masyarakat di daerah tersebut. Banyak ragam istiadat lama yang diceriterakan dalam suatu percakapan dengan anggota Tim Survey.
Di antara banyak aspek budaya orang Banjar "doeloe" yang hanya sedikit orang mengetahuinya adalah bagaimana orang Banjar "doeloe" menetapkan panjang dan lebar bangunan rumah yang dibangunnya. Sebaliknya orang lebih banyak tahu tentang berbagai "pamali" dari suatu bangunan rumah, seperti bangunan rumah yang bertingkat pada bagian belakang, dan sebagainya.
Orang Banjar "doeloe" dalam membangun rumah umumnya menggunakan ukuran '"depa" ada juga dengan meter. Namun untuk tepatnya diukur kembali dengan tapak kaki pemiliknya yang dilakukan secara bergantian dan bersambung, yakni tapak kaki kanan-kiri-kanan dan seterusnya.
Falsafah bahwa setiap bentuk, gerak, bunyi / aksara (seperti sebuah nama), rasa dan lain sebagainya mempunyai makna tertentu, tampaknya mempunyai kaitan erat dengan masalah ukuran bangunan bagi orang Banjar "doeloe". Dari pandangann tersebut di atas cara menetapkan ukuran sebuah rumah yang dimulai dengan kata: raja – cina – sahaya disesuaikan dengan tindakan mengukur dengan mulai kaki kanan – kiri – kanan dan seterusnya, dianggap mempunyai nilai magis (atau keinginan sama dengan perlambangnya) bagi pemiliknya. Siapa dan bagaimana kehidupan tokoh seorang raja, orang Cina, dan seorang hamba sahaya yang dikenal masyarakat orang Banjar "doeloe" di daerah ini, diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan yang mereka cita-citakan melalui pemikiran dan karsa sesuai dengan falsafah serba makna dan nilai tersebut di atas. Atas dasar itulah kiranya budaya tradisional dalam menetapkan ukuran bangunan rumah tersebut tumbuh di sebagian masyarakat Banjar "doeloe".
Sementara itu sebutan "raja" sebagai pengganti "datu" dan kata "sahaya" sebagai sahaya yang punya kewajiban berbakti, baru dikenal oleh masyarakat sesudah masuknya kebudayaan Hindu dari India, serta adanya ceritera tentang "orang-orang Cina" sebagai pelayar dan pedagang kaya yang dikenal jauh sebelum zaman Seriwijaya dapat dijadikan patokan dasar bahwa aspek budaya ini tumbuh di masyarakat Banjar khususnya sesudah masuknya budaya dari luar tersebut.
Dari perjalanan kehidupan masyarakat yang mereka tangkap saat masuknya pola-pola kehidupan dari luar itulah timbulnya gagasan serta pemikiran yang mengandung keinginan dan harapan serta cita-cita, sehingga lahirlah simbol-simbol yang diwujudkan dalam perilaku dan tindakan yang kemudian berkembang di masyarakat. Karena itulah dengan mengukur panjang bangunan rumah yang diakhiri dengan tapak kaki yang menyebut "raja" (datu), diharapkan bahkan dipercayai pemilik rumah akan dituakan atau setidak-tidaknya menjadi sosok yang disegani di masyarakatnya.
Lalu untuk melengkapi dalam kehidupannya di masyarakatnya tersebutnya, maka mereka mengukur pula lebar rumahnya berhenti ketika tapak kakinya menyebut kata "Cina", sebagai perlambang dari cita-cita dan keinginan pemiliknya masuk dalam golongan mereka yang berada. Karena itulah orang Banjar "doeloe" dalam menentukan panjang dan lebar bangunan rumah menghindari ukuran berhenti ketika tapak kakinya menyebutkan kata "sahaya" yang melambangkan kehidupan tidak banyak berarti dalam masyarakat.
Begitulah salah satu sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" yang tidak semua orang juga tahu, kata sumber Informan, karena aspek ini memang diwariskan juga tidak secara terbuka. Karena itulah wajar dalam perkembangan masyarakat yang semakin modern aspek budaya seperti ini tidak dikenal lagi dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. (HRN, peneliti sejarah & nilai tradisional).
Senin, 02 Februari 2009
Menyingkap Makna Kitab Barincong
MENYINGKAP MAKNA KITAB BARINCONG DALAM AJARAN
SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang lahir pada tahun 1122 H hingga meninggalnya tahun 1227 H telah menggunakan sebagian besar dari umurnya untuk usaha-usaha penyebaran dan pembinaan ajaran Islam di Kalimantan Selatan. Selama lebih dari 30 tahun Muhammad Arsyad belajar dan memperdalam ilmu agama di Mekah dan Madinah. Kemudian selama kurang lebih 40 tahun sampai dengan meninggalnya Syekh Muhammad Arsyad telah mencurahkan perhatian dan pikiran serta tenaga untuk menyiarkan ajaran Islam di daerah Kalimantan Selatan.
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam ajarannya menyeimbangkan antara hakikat dan syariat. Pandangan Syekh Muhammad Arsyad ini dapat dihubungkan dengan suatu ceritera lisan dalam masyarakat Banjar tentang pertemuan Syekh Muhammad Arsyad waktu bermukim di Mekah dengan seseorang asal Banjar di Masjidil Haram ketika akan melaksanakan shalat Jumat.
Ketika itu Syekh Muhammad melihat seseorang yang dari pakaian dan wadah berupa "butah" yang dibawanya menunjukkan tanda-tanda orang dari daerah Banjar. Melalui salam perkenalan, orang yang kemudian hari dikenal sebagai Datu Sanggul (Datu Muning) ini mengatakan kalau ia datang ke Masjidil Haram hari itu hanya untuk bershalat Jumat dan akan segera kembali setelah shalat selesai, Dan ia bersedia akan membawakan buah cempedak atas pesanan Syekh Muhammad Arsyad pada hari Jumat yang akan datang. Dan pada hari Jumat berikutnya seperti yang dijanjikan mereka pun bertemu dan kepada Syekh Muhammad Arsyad orang tersebut menyerahkan buah cempedak yang tangkainya masih ada getahnya sebagai tanda baru saja dipetik dari pohonnya.
Dari peristiwa itulah Syekh Muhammad Arsyad menyadari tentang ketinggian hakikat yang diberikan Allah SWT kepada orang yang dikehendakinya. Yang dalam masyarakat awam mengenal seseorang tersebut sebagai waliullah.
Tetapi Muhammad Arsyad dalam ajarannya kemudian menyikapi segala hal dalam kehidupan ini menyeimbangkan atau bisa juga menyatukan antara hakikat dan syariat. Bukankah Allah SWT menjanjikan akan memberikan sesuatu, kekayaan misalnya, kepada orang yang meminta kepada-Nya. Tapi dalam ajarannya Syekh Muhammad Arsyad menganjurkan orang perlu berusaha dan bekerja untuk mewujudkan sesuatu yang dimintanya kepada Allah SWT.
Sehubungan dengan itulah dalam masyarakat Banjar juga ada dikenal tentang Kitab Barincong. Kitab berbentuk segi tiga, yang apabila dua Kitab Berincong tersebut disatukan maka akan menjadi sebuah kitab yang utuh. Sebagai sebuah perlambang bahwa dalam kehidupan manusia harus selalu memohon kepada Allah dan berbuat untuk mendapatkannya.
Ajaran Syekh Muhammad Arsyad yang menyeimbangkan antara hakikat dan syariat ini banyak pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Di daerah ini segala aliran kebathinan yang dianggap ingin lari dari dunia kenyataan, sangat ditentang oleh masyarakat. Umat Islam di daerah ini umumnya menyadari bahwa hidup ini perlu perjuangan. Orang tidak bisa hidup secara layak hanya dengan pasrah menanti rezeki yang dijanjikan Tuhan tanpa melalui suatu usaha. Sebaliknya dalam melaksanakan segala usaha perjuangan hidup ini, mereka tidak melupakan agar diberi dan diberkahi oleh Tuhan sebagai pemilik segala-galanya.
Dalam masalah kehidupan Syekh Muhammad Arsyad telah memberikan contoh untuk tidak meninggalkan syariat dalam kehidupan ini. Ia telah mengajarkan usaha-usaha bertani yang sebenarnya kepada murid-murid pengajiannya. Apa yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Syekh Muhammad Arsyad bersama-sama dengan murid-muridnya tersebut, merupakan bukti bahwa mereka telah memegang teguh firman Tuhan yang menyatakan bahwa nasib sesuatu kaum itu tidak akan berubah kalau kaum itu sendiri tidak berusaha merubahnya.
Ajaran yang menyeimbangkan antara hakikat dan syariat ini dapat mendorong setiap pemeluk Islam untuk selalu berjuang menghadapi tantangan hidup ini. Apalagi mereka ingat akan sumbernya yaitu dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka mereka yang memiliki dasar-dasar ajaran agama dan berhasil dalam perjuangan hidup ini, akan dapat terhindar dari sifat-sifat serakah, sombong dan takabur.
Dengan demikian motto kehidupan seperti yang ditanamkan oleh Syekh Muhammad Arsyad kepada murid-muridnya, yaitu di samping menuntut ilmu agama juga mengerjakan pertanian, sesuai dengan Hadits Nabi yang menyebutkan bahwa manusia harus bekerja dan berjuang untuk kehidupan dunia seolah-olah ia akan hidup kekal di dalamnya, tetapi ia juga harus beribadah menuntut keredhaan Tuhan seakan-akan ia akan mati esok hari.
Namun kenyataannya dalam masyarakat sejak dulu juga masih ada ditemukan orang-orang terjebak dalam dogma yang memandang hidup ini sekedar menjalani ketentuan yang telah ditakdirkan. Pemahaman terhadap pengertian takdir yang dangkal membuat sebagian orang berbuat dalam menghadapi kehidupan ini dengan seadanya saja. Mereka dari kelompok masyarakat dimaksud tidak ulet dan bersungguh-sungguh dalam perjuangan hidup, tetapi hanya semata-mata berserah diri dengan nasib yang dihadapinya. Karena itu mereka merasa tidak perlu bekerja keras dalam hidup ini, sehingga umumnya tidak melakukan usaha yang maksimal untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan bahkan juga kurang berhati-hati dengan musibah yang akan menimpa nya. Hal itu karena keyakinan bahwa yang akan mereka jalani sudah merupakan ketentuan yang tidak bisa dirubah. Padahal Allah SWT menyuruh kita berdoa "ud 'uni astajib lakum" mintalah kepada-Ku akan kuperkenankan untukmu, serta sunnah Rasulullah SAW yakni bekerja untuk duniamu dan beramal untuk akhiratmu.
Syekh Muhammad Arsyad dalam kehidupannya dan ajarannya mencontohkan, bahwa beliau sebagai seorang ulama di samping mengajar dan menyebarkan ilmu agama Islam, beliau juga membimbing dan bekerja bersama murid-muridnya mengerjakan usaha pertanian. Bahkan telah menerapkan sistem pengairan dalam mengolah pertanian padi.
Sejarah telah mencatat bahwa Syekh Muhammad Arsyad lah pemerakarsa penggalian saluran air yang menghubungkan tanah persawahan dengan Sungai Martapura untuk mengatur air di persawahan di lingkungan Kampung Dalam Pagar waktu itu. Karena itulah sungai yang digali dan diprakarsai Syekh Muhammad Arsyad bersama dengan masyarakat tersebut kemudian dikenal sebagai Sungai Tuan (Tuan Guru panggilan masyarakat bagi seorang ulama).
Ini merupakan bukti bahwa ajaran Syekh Muhammad Arsyad menentang kehidupan bermalas-malas dan menerima takdir tanpa perjuangan. Syekh Muhammad Arsyad telah mencontohkan pribadi Muslim yang taqwa kepada Allah SWT, pembina dan penyebar ajaran agama serta pemimpin yang produktif dalam usaha-usaha yang diredhai oleh Allah SWT.
(HRN peneliti sejarah & nilai tradisional).
SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang lahir pada tahun 1122 H hingga meninggalnya tahun 1227 H telah menggunakan sebagian besar dari umurnya untuk usaha-usaha penyebaran dan pembinaan ajaran Islam di Kalimantan Selatan. Selama lebih dari 30 tahun Muhammad Arsyad belajar dan memperdalam ilmu agama di Mekah dan Madinah. Kemudian selama kurang lebih 40 tahun sampai dengan meninggalnya Syekh Muhammad Arsyad telah mencurahkan perhatian dan pikiran serta tenaga untuk menyiarkan ajaran Islam di daerah Kalimantan Selatan.
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam ajarannya menyeimbangkan antara hakikat dan syariat. Pandangan Syekh Muhammad Arsyad ini dapat dihubungkan dengan suatu ceritera lisan dalam masyarakat Banjar tentang pertemuan Syekh Muhammad Arsyad waktu bermukim di Mekah dengan seseorang asal Banjar di Masjidil Haram ketika akan melaksanakan shalat Jumat.
Ketika itu Syekh Muhammad melihat seseorang yang dari pakaian dan wadah berupa "butah" yang dibawanya menunjukkan tanda-tanda orang dari daerah Banjar. Melalui salam perkenalan, orang yang kemudian hari dikenal sebagai Datu Sanggul (Datu Muning) ini mengatakan kalau ia datang ke Masjidil Haram hari itu hanya untuk bershalat Jumat dan akan segera kembali setelah shalat selesai, Dan ia bersedia akan membawakan buah cempedak atas pesanan Syekh Muhammad Arsyad pada hari Jumat yang akan datang. Dan pada hari Jumat berikutnya seperti yang dijanjikan mereka pun bertemu dan kepada Syekh Muhammad Arsyad orang tersebut menyerahkan buah cempedak yang tangkainya masih ada getahnya sebagai tanda baru saja dipetik dari pohonnya.
Dari peristiwa itulah Syekh Muhammad Arsyad menyadari tentang ketinggian hakikat yang diberikan Allah SWT kepada orang yang dikehendakinya. Yang dalam masyarakat awam mengenal seseorang tersebut sebagai waliullah.
Tetapi Muhammad Arsyad dalam ajarannya kemudian menyikapi segala hal dalam kehidupan ini menyeimbangkan atau bisa juga menyatukan antara hakikat dan syariat. Bukankah Allah SWT menjanjikan akan memberikan sesuatu, kekayaan misalnya, kepada orang yang meminta kepada-Nya. Tapi dalam ajarannya Syekh Muhammad Arsyad menganjurkan orang perlu berusaha dan bekerja untuk mewujudkan sesuatu yang dimintanya kepada Allah SWT.
Sehubungan dengan itulah dalam masyarakat Banjar juga ada dikenal tentang Kitab Barincong. Kitab berbentuk segi tiga, yang apabila dua Kitab Berincong tersebut disatukan maka akan menjadi sebuah kitab yang utuh. Sebagai sebuah perlambang bahwa dalam kehidupan manusia harus selalu memohon kepada Allah dan berbuat untuk mendapatkannya.
Ajaran Syekh Muhammad Arsyad yang menyeimbangkan antara hakikat dan syariat ini banyak pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Di daerah ini segala aliran kebathinan yang dianggap ingin lari dari dunia kenyataan, sangat ditentang oleh masyarakat. Umat Islam di daerah ini umumnya menyadari bahwa hidup ini perlu perjuangan. Orang tidak bisa hidup secara layak hanya dengan pasrah menanti rezeki yang dijanjikan Tuhan tanpa melalui suatu usaha. Sebaliknya dalam melaksanakan segala usaha perjuangan hidup ini, mereka tidak melupakan agar diberi dan diberkahi oleh Tuhan sebagai pemilik segala-galanya.
Dalam masalah kehidupan Syekh Muhammad Arsyad telah memberikan contoh untuk tidak meninggalkan syariat dalam kehidupan ini. Ia telah mengajarkan usaha-usaha bertani yang sebenarnya kepada murid-murid pengajiannya. Apa yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Syekh Muhammad Arsyad bersama-sama dengan murid-muridnya tersebut, merupakan bukti bahwa mereka telah memegang teguh firman Tuhan yang menyatakan bahwa nasib sesuatu kaum itu tidak akan berubah kalau kaum itu sendiri tidak berusaha merubahnya.
Ajaran yang menyeimbangkan antara hakikat dan syariat ini dapat mendorong setiap pemeluk Islam untuk selalu berjuang menghadapi tantangan hidup ini. Apalagi mereka ingat akan sumbernya yaitu dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka mereka yang memiliki dasar-dasar ajaran agama dan berhasil dalam perjuangan hidup ini, akan dapat terhindar dari sifat-sifat serakah, sombong dan takabur.
Dengan demikian motto kehidupan seperti yang ditanamkan oleh Syekh Muhammad Arsyad kepada murid-muridnya, yaitu di samping menuntut ilmu agama juga mengerjakan pertanian, sesuai dengan Hadits Nabi yang menyebutkan bahwa manusia harus bekerja dan berjuang untuk kehidupan dunia seolah-olah ia akan hidup kekal di dalamnya, tetapi ia juga harus beribadah menuntut keredhaan Tuhan seakan-akan ia akan mati esok hari.
Namun kenyataannya dalam masyarakat sejak dulu juga masih ada ditemukan orang-orang terjebak dalam dogma yang memandang hidup ini sekedar menjalani ketentuan yang telah ditakdirkan. Pemahaman terhadap pengertian takdir yang dangkal membuat sebagian orang berbuat dalam menghadapi kehidupan ini dengan seadanya saja. Mereka dari kelompok masyarakat dimaksud tidak ulet dan bersungguh-sungguh dalam perjuangan hidup, tetapi hanya semata-mata berserah diri dengan nasib yang dihadapinya. Karena itu mereka merasa tidak perlu bekerja keras dalam hidup ini, sehingga umumnya tidak melakukan usaha yang maksimal untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan bahkan juga kurang berhati-hati dengan musibah yang akan menimpa nya. Hal itu karena keyakinan bahwa yang akan mereka jalani sudah merupakan ketentuan yang tidak bisa dirubah. Padahal Allah SWT menyuruh kita berdoa "ud 'uni astajib lakum" mintalah kepada-Ku akan kuperkenankan untukmu, serta sunnah Rasulullah SAW yakni bekerja untuk duniamu dan beramal untuk akhiratmu.
Syekh Muhammad Arsyad dalam kehidupannya dan ajarannya mencontohkan, bahwa beliau sebagai seorang ulama di samping mengajar dan menyebarkan ilmu agama Islam, beliau juga membimbing dan bekerja bersama murid-muridnya mengerjakan usaha pertanian. Bahkan telah menerapkan sistem pengairan dalam mengolah pertanian padi.
Sejarah telah mencatat bahwa Syekh Muhammad Arsyad lah pemerakarsa penggalian saluran air yang menghubungkan tanah persawahan dengan Sungai Martapura untuk mengatur air di persawahan di lingkungan Kampung Dalam Pagar waktu itu. Karena itulah sungai yang digali dan diprakarsai Syekh Muhammad Arsyad bersama dengan masyarakat tersebut kemudian dikenal sebagai Sungai Tuan (Tuan Guru panggilan masyarakat bagi seorang ulama).
Ini merupakan bukti bahwa ajaran Syekh Muhammad Arsyad menentang kehidupan bermalas-malas dan menerima takdir tanpa perjuangan. Syekh Muhammad Arsyad telah mencontohkan pribadi Muslim yang taqwa kepada Allah SWT, pembina dan penyebar ajaran agama serta pemimpin yang produktif dalam usaha-usaha yang diredhai oleh Allah SWT.
(HRN peneliti sejarah & nilai tradisional).
Langganan:
Postingan (Atom)