Rabu, 04 Maret 2009

PEMBANGUNAN BERWAWASAN BUDAYA: PERSPEKTIF BUDAYA BANJAR (KALSEL)

Makalah disampaikan pada kegiatan
Lokakarya Nasional Pembangunan
Berwawasan Budaya, UGM 7-1-2004


PEMBANGUNAN BERWAWASAN BUDAYA:
PERSPEKTIF BUDAYA BANJAR (KALSEL)


Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

I. PENDAHULUAN

Daerah Banjar identik dengan Propinsi Kalimantan Selatan. Luas wilayah Propinsi ini hanya 40.387 km2. Sedangkan jumlah penduduknya pada akhir tahun 2000 berjumlah 2.970.244 jiwa, terdiri dari laki-laki 1.484.945 jiwa dan perempuan 1.485.299 jiwa. Dengan tingkat pertumbuhan 1,94%.

Propinsi Kalimantan Selatan merupakan propinsi yang wilayahnya tersempit di antara propinsi-propinsi di seluruh Kalimantan. Disebut daerah selatan karena propinsi ini sebelum tahun 1957 wilayahnya meliputi Propinsi Kalimantan Tengah, yang sebagian besar daerahnya berada di bagian selatan pulau tersebut.

Penduduk yang mendiami Kalimantan Selatan sekarang disebut Urang Banjar. atau Orang Banjar atau etnik Banjar. Tetapi bukan seluruh penduduk Kalimantan Selatan etnik Banjar, karena ada etnik-etnik lain yang mendiami Kalimantan Selatan sebagai penduduk atau warga.

Kata "Banjar" berasal dari kata Banjarmasih. Nama Banjarmasih berarti kampung pedukuhan, jajaran rumah di muara Sungai Kuin, sebuah anak Sungai Barito. Banjarmasih berasal dari kata "banjar" dan "masih". Banjar adalah kampung yang rumahnya berjajar, sedangkan kata "masih" adalah berasal dari nama kepala suku orang Melayu yang oleh orang suku Dayak Ngaju disebut Oloh Masih (orang Melayu) karena kepala sukunya disebut Patih Masih. Dengan demikian Patih Masih berarti Patihnya orang Melayu.

Orang-orang Melayu memang ada sejak zaman datangnya agama Islam ke Kalimantan dan juga sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar telah membuat pemukiman di sekitar muara Kuin. Mereka berdampingan hidup dengan suku-suku Dayak di sekitarnya. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Patih. Dengan demikian di samping terdapat Patih Masih yaitu patihnya orang Melayu terdapat pula Patih Kuin, Patih Balit, Patih Balitung dan Patih Muhur.

Dengan demikian di muara Sungai Kuin terdapat lima kelompok suku bangsa yang hidup berdampingan secara damai dan terdapat persahabatan antara kelima kelompok tersebut. Dalam hal ini Patih Masih lebih menonjol di antara kelima patih itu, karena Patih Masih membuat sebuah bandar yang dikenal pula sebagai Bandar Patih Masih. Di bandar ini bertemu segala suku bangsa dan terjadilah kontak hubungan dagang antar suku dan terjadi pula kontak antar budaya antar suku.

Dalam Sejarah Banjar diketahui bahwa bandar dari Patih Masih yang dikenal pula sebagai "BANDARMASIH" yang terdapat di kampung BANJARMASIH merupakan tempat transaksi perdagangan suku Banjar dengan pedagang dari Nusantara, dari Jawa, Palembang, Bugis, Cina, Arab dan India.

Kata "Banjarmasih" ini lambat laun berubah menjadi Banjarmasin. Perubahan ini diakibatkan catatan yang dibuat Belanda. Dalam tahun 1664 nama Banjarmasih masih dipakai Belanda, dalam catatan Belanda yang menulis: Pangeran Suryanata in Banjarmach (masih), Pangeran Ratu in Banjarmach (masih), Prinnce Banjarmach, dan lainnya. Tapi tahun 1773 Belanda menulis berubah menjadi Banjermasing dan menjadi Banjarmasin tahun 1845.

Kata "Banjar" lambat laun tidak lagi berarti kampung tetapi menjadi sebuah sebutan untuk menyatakan identitas suatu negeri, bahasa, kerajaan, suku, orang, dan sebagainya.

Suku Banjar asal mula berada di hulu Sungai Tabalong di utara dari Negara Daha. Perpaduan etnis lama kelamaan menimbulkan perpaduan kultural. Dalam penggunaan bahasa yang dikenal sebagai Bahasa Banjar, terdapat unsur bahasa Melayu dominan sekali. Melalui periode Negara Daha masuk kebudayaan Jawa Timur dari daerah Kediri utara, di samping masuk pula unsur budaya dari Majapahit. Pada permulaan abad ke 16 terjadi perebutan keraton, dan pusat pemerintahan berpindah ke sebelah hilir Sungai Barito, yaitu di muara Kuin dengan nama Kerajaan Banjarmasin. Penduduk negeri baru ini terjadi dari perpaduan antara penduduk Dayak Oloh Ngaju dan Oloh Masih (orang Melayu).

Kerajaan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan yang mendapat pengaruh dominan dari agama Islam, sehingga kemudian agama Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. Di samping itu Kerajaan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan maritim yang mengandalkan kehidupan kerajaan dari hasil perdagangan. Masuknya pedagang-pedagang Nusantara dan pedagang asing ke Banjarmasin menyebabkan terjadinya percampuran, dan budaya itu dikenal sebagai budaya Banjar.


II. ASPEK BUDAYA BANJAR DALAM PEMBANGUNAN

Budaya Banjar sebagai kebudayaan kelompok atau kebudayaan lokal adalah manifestasi cara berpikir dari sekelompok orang di daerah Kalimantan Selatan yang didominasi oleh budaya Islam. Penduduknya yang mayoritas beragama Islam dan sangat fanatik menganut ajaran agama tersebut menyebabkan budaya luar yang bertentangan agama maupun budaya lokal sisa-sisa kebudayaan lama tidak bisa berkembang. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa agama Islam adalah sebagai indikator dan sekaligus sebagai filter bagi masuknya budaya luar atau budaya lokal yang muncul yang bertentangan dengan agama Islam.

Aspek-aspek kebudayaan Banjar umumnya sangat didasari oleh agama Islam. Kerajaan Banjar atau Banjarmasin yang dibangun pada awal XVI (1526) oleh Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) yang menjadi pelarian politik akibat terjadinya perebutan tahta di Negara Dipa, dengan dukungan Patih Masih (pimpinan masyarakat orang Melayu di muara Sungai Barito), adalah kerajaan pertama yang menjadikan Islam sebagai agama negara. Kebijaksanaan kerajaan yang kemudian mengirim warganya untuk bersekolah ke Mekah, menghasilkan seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang kemudian dapat mewujudkan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan berprilaku budaya yang selalu mengacu kepada ajaran-ajaran Islam. Namun tentu saja tidak bisa dimungkiri bahwa sisa-sisa kepercayaan lama, Budha dan Hindu yang pernah berkembang sebelumnya, kemudian diberi warna Islam masih terdapat dan berlangsung di kalangan masyarakat tertentu.

Sehubungan dengan kuatnya peran Islam dalam budaya masyarakat Banjar tersebut, dalam kehidupan masyarakat Banjar dulu terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk limas. Lapisan yang paling atas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan atau "bubuhan raja-raja" yang sebagian memangku jabatan borokrasi, sebagian lagi sebagai pedagang atau pemilik usaha. Di bawahnya terdapat golongan ulama dan para pejabat seperti Mufti (hakim tinggi agama), penghulu, dan pembantu-pembantunya. Ulama sangat berpengaruh di masyarakat, karena di samping sebagai tetuha masyarakat juga menyampaikan ajaran Islam, seperti memberikan pengajian, dakwah, atau menjadi guru di pesantren, sehingga selalu dekat dengan masyarakat. Seangkan Mufti sebagai pejabat formal mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Lapisan yang ketiga adalah pedagang yang jumlahnya cukup besar. Lapisan terakhir yang terbesar adalah petani, pedagang kecil, nelayan, industri kerajinan dan pertukangan. Ketika Pemerintah Belanda pada tahun 1860, memaksakan struktur dengan menempatkan urutan teratas bagi orang Belanda dan Eropah lainnya, kemudian golongan Indo, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putra, sehingga menggerakkan perlawanan yang bernafaskan Islam dalam Perang Banjar.

Setelah kemerdekaan struktur sosial secara resmi tidak terdapat seperti pada masa kerajaan dan pemerintahan Belanda. Di Kalimantan Selatan gelar-gelar kebangsawanan seperti raden, pangeran, daeng, antung dan gusti, juga sudah jarang dipakai. Perjalanan sejarah dari masa kerajaan, masa penjajahan yang berpuncak pada masa revolusi, kemudian melahirkan sebuah tatanan dalam masyarakat Banjar yang menempatkan tokoh-tokoh informal atau informal tradisional sebagai figur yang dihormati dalam masyarakat. Tokoh ulama dan "orang kuat" yang berani, tegas, adil, dan arif adalah figur-figur yang sangat disegani dalam masyarakat. Pemimpin-pemimpin formal yang mengenyampingkan figur ulama dan orang kuat di masyarakat tidak akan mendapat dukungan masyarakat.

Komunitas masyarakat Banjar yang sebagian besar berjiwa dagang, pengusaha dan petani sebagai warisan dari nenek moyang mereka, yang juga merupakan insan-insan yang agamis, dalam kehidupan dan berusaha selalu menghendaki kejujuran dan kebersamaan. Cara-cara licik, pemaksaan, dan menghalalkan segala cara ditolak dalam masyarakat Banjar. Tindakan Cornelis de Huotman merampok jung-jung pedagang dari Banjar yang berlabuh di Banten pada tahun 1596, berakibat ketika kapal-kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Koopman Gillis Michieszoom tahun 1607 tiba di Banjarmasin dan menginginkan monopoli, terjadi pembakaran terhadap kapal-kapal Belanda tersebut. Sementara kebersamaan dalam komunitas masyarakat Banjar selain merupakan warisan dari adat "baarian" (saling peduli dan membantu sesama), juga tidak terlepas dari ajaran agama.

Orang Banjar terdiri dari orang Banjar Kuala dan orang Banjar Hulu yang berbeda watak, tempramen, dan kebiasaan dalam kehidupan. Orang Banjar Kuala yang dalam kehidupan tidak menghadapi alam yang lebih keras, bersifat lebih lembut dan toleran. Sementara orang Banjar Hulu yang dalam kehidupan melawan alam yang keras dan kemudian sejak abad ke XVIII hingga masa revolusi menjadi basis perlawanan terhadap penjajah Belanda, merupakan warga Banjar yang umumnya berkarakter keras. Segala perencanaan ke depan, terutama menyikapi masalah kebijakan dalam pembangunan diperlukan pendekatan dan kesesuaian dengan pandangan hidup dan lingkungan alam mereka.

Berikut aspek-aspek budaya Banjar yang patut diperhatikan dalam pembangunan:

Sosial Ekonomi
Sejak dihapusnya struktur sosial dalam kerajaan Banjar oleh Belanda dan juga hapusnya struktur sosial masa penjajahan bersama dengan berakhirnya penjajahan di Indonesia, orang Banjar secara resmi tidak mengenal lagi adanya tingkatan-tingkatan dalam masyarakat. Walaupun dalam kehidupan berbeda-beda pekerjaan, kalau yang dilakukan tidak bertentangan dengan agama, tidak ada yang merendahkan. Dalam komunitas Banjar sebagai warisan kehidupan beragama yang kuat dan pengalaman perjuangan melawan penjajah yang berbeda syariat dan prilaku, maka setelah kemerdekaan lahir suatu tatanan yang menempatkan tokoh-tokoh informal sebagai figur-figur yang dihormati masyarakat. Yokoh Ulama dan "orang kuat" yang berani, tegas, adil dan arif adalah figur-figur yang sangat disegani dalam masyarakat.

Masyarakat Banjar yang sejak dihapusnya Kerajaan Banjar tahun 1860 dan berlakunya pemerintahan langsung (direct rool) oleh Belanda meninggalkan bekas adanya jarak antara rakyat dengan pemerintah. Rasa tidak ikut memiliki segala yang menjadi milik pemerintah bukan tidak mungkin masih tersisa dalam masa kemerdekaan ini. Karena itu kebijakan pemerintah yang berjalan sendiri, apalagi kalau memaksakan kehendak seperti Koopman Gillis Michieszoom tahun 1607 yang datang di Banjarmasin dan mau monopoli sulit dibayangkan.

Sebagai masyarakat yang sebagian besar memegang kuat ajaran Islam maka setiap kebijakan pemerintah yang tidak tercela menurut agama tentu bukan masalah. Apalagi kalau kebijakan yang dijalankan pimpinan formal juga memperhatikan pendapat dan saran dari figur-figur informal terutama ulama yang disegani di masyarakat.

Seperti disebutkan di atas bahwa komunitas masyarakat Banjar sebagian besar berjiwa dagang, pengusaha dan petani. Sejak zaman Kerajaan Banjar pedagang dari Banjarmasin sudah banyak yang berlayar membawa dagangan terutama hasil bumi ke pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Orang Banjar juga membuat sendiri jung (kapal) dari kayu ulin (kayu besi) untuk berlayar mengarungi lautan. Bahkan jung buatan Banjar tersebut pada masa Kerajaan Banjar juga digunakan untuk berlayar pergi haji ke Mekah.

Pedagang orang Banjar yang mewarisi nenek moyangnya tersebut selain banyak berusaha di daerah sendiri, juga terdapat di berbagai kota besar di Indonesia. Sejak dulu golongan pedagang besar, jumlahnya cukup banyak di Banjarmasin. Mereka mempunyai hubungan tetap dengan pedagang-pedagang dari luar seperti Jawa, Bugis, Makasar, Melayu, Cina dan Arab. Mereka mempunyai kapal sendiri untuk membawa hasil-hasil bumi dan pertambangan ke luar Kalimantan. Usaha berdagang dipandang terhormat oleh masyarakat Banjar. Pengaruh pedagang kaya cukup besar dalam masyarakat. Pedagang itu menjunjung tinggi adat leluhur, cinta sesama makhluk serta belas kasihan pada pihak yang lemah. Berikut gambaran pedagang yang dihormati dan ditaati masyarakat pada masa Kerajaan Banjar, seperti yang tertulis dalam Suluh Sejarah Kalimantan Karya Amir Hasan Bondan (1953):

"Bubuhan saudagar zaman bahari pada umumnya dalam masyarakat sangat ditaati oleh rakyat, karena mereka tetap memegang teguh adat kepusakaan, yakni : Menjunjung tinggi dasar kecintaan hati pada sesama makhluk serta belas kasihan pada pihak yang lemah harus ditolong. Adat leluhur yang dijunjung tinggi oleh bubuhan saudagar-saudagar pada zaman bahari di antarnya yaitu apabila pulang dari pelayaran berdagang, maka selalu tidak dilupakan meadakan "aturan-aturan" (bingkisan) kepada raja dan sungsungan (oleh-oleh) untuk keluarga dan sahabat. Juga tidak dilupakan bersedekah kepada anak yatim dan fakir miskin. Setelah dipenuhi adat itu, barulah dimulai berjual beli. Ada nyanyian orang bahari tentang pedagang: Bubuhan saudagar asli tebal imannya. Rohani jasmani rasuk tujuannya. Nang ngaran lautan jadi idamannya. Kemajuan hidup terus dipikirnya."

Pedagang Banjar tidak khawatir adanya persaingan sejauh itu persaingan sehat dan jujur. Di Banjarmasin toko-toko pedagang Cina bersebelahan dengan toko-toko pedagang Banjar. Tidak pernah terjadi anti pedagang Cina atau anti pedagang Arab di Banjarmasin. Orang Banjar percaya dan tawakkal bahwa rezeki itu dari Allah. Dan kenyataannya tidak hanya di Banjarmasin, juga di beberapa kota di Kalimantan pedagang Banjar sanggup bersaing dengan para pedagang lainnya.

Golongan yang terbesar dalam masyarakat adalah petani. Selain itu terdapat juga pedagang kecil, nelayan, usaha kerajinan, industri dan pertukangan. Bertani adalah kehidupan masyarakat Banjar yang tinggal di pedesaan. Peralatannya tak banyak mengalami perubahan dari dulu sampai kini. Dal;am usaha dan penghidupan, mereka bervariasi sesuai dengan apa yang dapat dikerjakan menurut musim setiap tahun. Apabila pada tahun itu kurang baik mengerjakan sawah ladangnya, maka kebanyakan mereka melakukan pekerjaan bebas, seperti menangkap ikan, mencari kayu, dan bahkan kadang-kadang berurbanisasi. Tetapi petani dan keluarganya sebagai produsen dan konsumen, sebagai anggota suatu masyarakat dengan wataknya sendiri, merupakan bagian yang penting yang tak dapat diabaikan dari perekonomian rakyat dan dan negara.

Karena pertanian bukan dilakukan dengan sistem irigasi dan karena perbedaan-perbedaan lainnya, maka peralatanpun tidak menggunakan bajak dan kerbau. Ketergantungan sistem pertanian kepada alam menyebabkan petani Banjar tidak banyak mengalami perubahan dalam menyelenggarakan pertanian. Keuntungan mereka ialah mempunyai tanah yang luas dan subur terutama di daerah rawa dan dataran rendah. Di samping itu kepadatan penduduk relatif rendah sehingga petani umumnya masih bisa memenuhi keperluan hidup dan menjual hasil pertanian mereka.

Sejak sekitar tahun 1980-an sebagian petani yang sawahnya berbatasan atau tidak jauh dengan perkotaan tergiur dengan harga yang cukup mahal sehingga banyak yang menjual tanah sawahnya kepada develouper yang membangun kompleks-kompleks perumahan. Mereka kemudian menggunakan uang penjualan sawahnya untuk keperluan barang-barang yang tidak produktif, dan sebagian lagi digunakan untuk modal usaha di luar bidang pertanian. Pengalaman ini menyedihkan karena kebanyakan mereka bukan orang yang bisa menggeluti pekerjaan di luar pertanian. Kehidupan tenteram sebagai petani, tidak didapat lagi setelah mereka kemudian ada yang menjadi buruh pabrik, mengojek, makelar, dan sebagainya, (kasus di Desa Pelambuan Kodya Banjarmasin).

Politik

Orang Banjar yang umumnya pedagang dan petani atau nelayan dan lainnya, umumnya tidak menggandrungi polotik. Para ulama yang kokoh mau berada di atas semua golongan umumnya juga menghindar dari aktifitas politik.

Kalau pada masa Orde Baru kaum birokrat ada dalam Golkar, sebagian mereka menjadi kader-kader Golkar. Sementara aktifitas partai-partai lainnya dari kelompok pengusaha menengah, sebagian para pedagang, serta para pensiunan. Hanya ada beberapa gelintir mereka yang mau meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai negeri untuk secara resmi menjadi anggota suatu partai.

Masyarakat Banjar umumnya dalam ikut berpolitik sangat ditentukan oleh keterkaitan dan keberpihakan kepada organisasi politik yang memihak kepada kepentingan Islam. Tujuan-tujuan lainnya tidak banyak mempengaruhi sikap dan pandangan mereka.

Faktor figur pimpinan suatu organisasi politik sangat berperan untuk mendapatkan keberpihakan dan dukungan dalam masyarakat. Sistem kepemimpinan yang menempatkan figur tokoh informal sebagai anutan berlaku pula dalam kehidupan organisasi politik dalam masyarakat Banjar.

Pendidikan

Jauh sebelum masuknya pendidikan umum yang dibawa Pemerintah Belanda ke Kalimantan Selatan, dalam masyarakat Banjar sudah berlangsung pendidikan yang diselenggarakan para alim ulama. Syekh Muhammad Arsyad uang menimba ilmu selama 30 tahun di Mekah setelah kembali ke Kerajaan Banjar pada tahun 1772 M (1186 H) telah merintis pendidikan dengan sistem pengajian. Hasilnya melahirkan ulama-ulama dan guru-guru mengaji yang merupakan cikal bakal lahirnya pesantren-pesantren yang tersebar di Kalimantan Selatan. Masuknya pendidikan Barat oleh Belanda pada tahun 1912 tidak mempengaruhi kehidupan pesantren-pesantren tersebut. Mensikapi kemajuan yang berkembang dalam masyarakat pesantren-pesantren di Kalimantan Selatan secara beransur-ansur juga menyerap dan memasukkan pula ilmu pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Dampaknya membuat lembaga ini tidak pudar dalam pandangan masyarakat.

Para orang tua dalam masyarakat Banjar yang sangat sadar tentang tanggung jawab pendidikan anaknya terhadap Tuhan, umumnya memilih pendidikan anaknya ke pesantren, atau ke lembaga pendidikan madrasah di bawah Depag, terutama untuk anak-anak putri mereka. Umumnya sebagian masyarakat Banjar memberikan bekal pendidikan agama di pesantren atau di madrasah lebih dahulu sebelum ke perguruan tinggi.

Dalam masalah pendidikan orang Banjar mengambil sikap dalam pendidikan untuk putra-putrinya agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.

Pertahanan dan Keamanan (Hankam)

Dalam masyarakat Banjar dulu hingga sekarang peran "orang kuat atau tetuha" yang bijaksana dan arif masih dihargai masyarakat, lebih-lebih dalam hal menegakkan kebenaran dan keamanan dalam masyarakat. Di samping peran Ketua RT sebagai pimpinan resmi dalam suatu komunitas, maka keberadaan orang kuat atau tetuha di masyarakat adalah tempat warga mengadu dan perlindungan. Sehingga kebijakan mengatur untuk terselenggaranya kehidupan tenteram dalam masyarakat dapat diterima dengan sadar.

Dalam masyarakat pedesaan yang umumnya para petani, keterkaitan mereka satu sama lain sangat erat. Dalam penyelenggaraan pertanian terdapat sistem "baarian" (menyelenggarakan pekerjaan sawah seorang warga secara bersama-sama, yang dilakukan bergiliran untuk warga lainnya) Sistem baarian mengikat anggota masyarakat dalam suatu kehidupan saling menjaga dan membela. Seorang anggota masyarakat acuh dan merasa bersalah kalau tidak bertindak mengamankan gangguan yang mengancam keluarga dan hak milik warganya yang lain.

Birokrasi

Orang Banjar umumnya orang yang tidak suka pada keterikatan. Mereka orang-orang yang ulet dan memahami usaha atau pekerjaan yang diwariskan pendahulunya.

Bagi orang Banjar hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi dulu merupakan urusan kerajaan, dan mereka yang menjadi pegawai kerajaan, atau kemudian pada zaman penjajahan mereka yang bekerja pada Belanda.

Sejak zaman Kerajaan Negara Dipa seperti diriwayatkan dalam Hikayat Banjar ketika Lambung Mangkurat yang seorang Weisya harus mencari keturunan kesatria untuk menjadi raja di Negara Dipa, sehingga ketika seorang Suryanata yang dibawanya sebagai salah seorang putra Brawijaya, kapal mereka dicegat oleh tetuha-tetuha masyarakat di muara Sungai Kuin, tidak boleh masuk sebelum ada kesepakatan-kesepakatan. Suryanata diterima sebagai raja setelah bersedia meninggalkan adat istiadat negerinya dan akan memelihara adat istiadat di Kerajaan Negara Dipa.

Sikap dan sifat keterbukaan masyarakat Banjar terhadap mereka yang berprestasi di tanah Banjar, ditentukan oleh pemahaman terhadap sikap hidup orang Banjar yang agamis dengan segala tatanan budaya yang hidup dalam masyarakat Banjar.

Keagamaan

Masyarakat Banjar umumnya penganut Islam Ahlusunnah wal Jama'ah Mazhab Imam Syafi'I, sebagaimana yang dimasyarakatkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada priode akhir abad ke 18 di Kerajaan Banjar waktu itu. Syekh Muhammad Arsyad juga dalam ajarannya menyeimbangkan antara faham hakekat dan syari'at. Sehubungan dengan itu di daerah Banjar sering orang bicara soal "kitab barincong" (kitab bentuk segitiga) yang dibawa Muhammad Arsyad ketika kembali dari Mekah. Dua faham yang terpisah dipertemukan sehngga lengkap menjadi suatu ajaran tentang ketentuan dari Tuhan dan usaha manusia.

Berkaitan dengan ajarannya maka pengajian Syekh Muhammad Arsyad dengan sistem "sorogan" dan "balagan"nya di samping untuk mendapatkan kealiman juga mengerjakan pertanian bersama murid-muridnya. Di daerah Martapura terdapat sebuah sungai bernama Sungai Tuan (sebutan Tuan Guru penghormatan untuk seorang Ulama), merupakan sebuah sungai yang mengalirkan air dari rawa ke Sungai Martapura, yang dibuat atas gagasan Syekh Muhammad Arsyad dalam rangka membangun persawahan di daerah tersebut.

Aliran lain dari Ahlussunnah wal Jama'ah Mazhab Imam Syafi'I, seperti Muhammadyah baru mulai berkembang sekitar tahun 1950-an. Penganut agama non Muslim yang ada di Kalimantan Selatan umumnya warga pendatang atau bertugas kerja yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Teknologi

Sesuai dengan kehidupan dan kegiatan yang terdapat dalam masyarakat Banjar, di daerah ini terdapat keahlian warisan berupa teknologi pembuatan perahu tambangan dan kapal layar, pembangunan rumah, serta pandai besi.

Keahlian pembuatan kapal dari kayu ulin (kayu besi) berupa perahu tambangan, kapal mesin dan kapal layar. Perahu tambangan adalah perahu kecil yang bisa digunakan penduduk yang tinggal di dekat sungai baik untuk transportasi ke tempat-tempat yang sulit dijangkau dengan transportasi darat. Tempat pembuatan perahu-perahu tambangan tersebut saat ini terdapat di Kampung Kuin di daerah selatan Kotamadya Banjarmasin. Sedangkan pembuatan kapal-kapal besar dari bahan kayu ulin untuk pelayaran antar pulau baik yang menggunakan mesin maupun menggunakan layar terdapat di daerah Pagatan, yang saat ini menjadi ibukota Kabupaten Tanah Bumbu. Kapal-kapal tersebut dulu umumnya digunakan untuk membawa barang dagangan dari pelabuhan Banjarmasin ke pelabuhan-pelabuhan lain di pantai utara Pulau Jawa atau ke pelabuhan-pelabuhan di Pulau Sulawisi pulang pergi.

Teknologi pembangunan rumah juga merupakan warisan. Dalam masyarakat Banjar dulu dikenal berbagai tipe bangunan rumah, seperti : Rumah Bubungan Tinggi, Rumah Gajah Baliku, Rumah Gajah Manyusu, Rumah Palimasan, Rumah Palimbangan, Rumah Bangun Gudang, Rumah Balai Bini, Rumah Balai Laki, Rumah Tadah Alas, Rumah Cacak Burung atau Anjung Surung, Rumah Joglo Gudang, dan rumah Cara Obos. Masing-masing tipe rumah tersebut ada pembagian ruang yang letak dan ukurannya disesuaikan dengan fungsinya. Bangunan yang dominan terbuat dari bahan kayu pilihan ini tergolong rumah panggung yang memakai tiang dan tongkat untuk menupang lantainya, sehingga bangunan rumah Banjar asli selalu ada kolongnya.

Rumah dengan tipe asli tersebut sudah jarang dibangun untuk tempat tinggal. Kecuali untuk bangunan sebuah lembaga milik pemerintah atau lembag lainnya, seperti: Museum, Guest House, Aula Kantor,Gedung DPRD, dan lainnya.

Masyarakat Banjar dewasa ini sudah banyak yang membangun rumah dengan konstruksi besi beton tanpa tongkat dengan berbagai variasi. Penggunaan sirap untuk atap sampai tahun 1990-an masih dominan, karena selain kukuh juga aman karena tidak mudah dibuka sebab pasangannya berlapis. Tetapi kemudian berbarengan dengan semakin langkanya atap sirap dari kayu ulin tersebut, dan munculnya berbagai macam atap "Metal Roof" yang lebih praktis, masyarakat sudah mulai meninggalkan sirap sebagai atap rumah atau bangunan lainnya. Sementara bangunan dengan menggunakan atap dari genting tidak banyak ditemukan di Kalimantan Selatan.

Umumnya masyarakat Banjar tidak menyukai rumah tingkat. Kalau di beberapa daerah rumah tingkat memberi kesan kaya pemiliknya, di masyarakat Banjar tidak ada kesan demikian. Orang kaya di Banjar lebih condong memilih lokasi yang strategis, rumah bagus dengan lingkungan dan pekarangan yang cukup luas. Rumah tingkat pada bagian belakang (dapur) umumnya dianggap "pamali" dan berisiko bagi pemiliknya. Sehingga masyarakat yang memang harus dan terpaksa membuat rumah tingkat karena keterbatasan luas tanah, mereka membuat tingkat penuh seluruh bagian rumah mulai depan hingga bagian belakang.

Teknologi pandai besi sejak zaman Kerajaan Banjar dimiliki masyarakat Nagara, sebuah daerah berstatus kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di kota kecil yang terletak di tepi sungai yang sejak dulu menjadi prasarana transportasi tersebut terdapat banyak pandai besi yang umumnya masing-masing memproduk alat rumah tangga dan peralatan pertanian yang jenisnya tetap. Ada kelompok khusus pembuat pisau, khusus parang, khusus cangkul, khusus senjata seperti tombak, dan lainnya. Barang-barang tersebut dipasarkan tidak hanya di Kalimantan Selatam, juga melalui toko-toko besi yang ada dipropinsi sekitarnya. Produk pandai besi dari Nagara yang pemesannya hingga dari beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa adalah b Baling-baling kapal aling-baling kapal.buatan Nagara di Kalimantan Selatan tersebut biasanya terbuat dari tembaga. Sulitnya mendapatkan bahan tembaga untuk bahan membuat baling-baling tersebutmembuat produk berjalan lambat.

Hukum

Masyarakat Kalimantan Selatan umumnya masih terbatas tentang pengetahuan hukum yang diatur dalam hukum pidana dan perdata. Hukum belum memasyarakat karena masih terbatasnya baik usaha pemasyarakatannya maupun minat masyarakat memahaminya. Tetapi secara naluri orang Banjar umumnya mengetahui perbuatan-perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang mempunyai sanksi hukum pidana maupun perdata.

Dalam masyarakat Banjar dikenal hukum waris dan perpantangan yanmg ditaati ketentuannya karena berhubungan dengan ketentuan dalam agama. Sehingga masalah perdata ini kalau keputusan hakim berbeda dengan hukum tersebut di atas umumnya sulit diterima masyarakat.

Dalam Kerajaan Banjar juga mengenal Undang-Undang Sultan Adam yang diundangkan pada tahun 1835 dalam mengatur kehidupan dalam masyarakat di Kerajaan Banjar waktu itu. Sebagian berisi mengatur tentang peribadatan, tentang kerukunan masyarakat, pengaturan masalah tanah, dan lainnya.

Pada umumnya hukum yang berlaku dalam masyarakat Banjar serasi dengan ketentuan dalam agama Islam dan dirasakan adil oleh masyarakatnya.

Lingkungan Hidup

Alam Kalimantan Selatan ada dataran tinggi, dataran rendah dan daerah aliran sungai. Lingkungan hidup mereka sejak kecil menempa baik fisik maupun kemampuan dalam usaha memenuhi kehidupan mereka. Karena itu sukses yang didapatkan kelompok daerah aliran sungai tidak tentu dapat dicapai dari kelompok lain yang dibesarkan dan ditempa pengalaman dan kemampuan di lingkungan yang berbeda.

Demikian pula Orang Banjar ada Orang Banjar Kuala yang dalam kehidupan dan penghidupan mereka berada dalam lingkungan tidak sekeras yang dialami oleh Orang Banjar Hulu pada umumnya. Orang Banjar Hulu yang mendiami daerah Benua Lima tidak hanya lebih keras dalam memenuhi penghidupan, juga dalam daerah yang menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda dengan puncaknya pada masa revolusi tersebut, juga menempa turunannya berkrakter keras dalam keseharian.

Berkaitan dengan pengaruh lingkungan alam dan lingkungan kehidupan tersebut karena terabaikannya, ada kasus-kasus yang tidak menguntungkan. Kasus usaha Depsos tahun 1980-an yang melakukan migrasi penduduk suku Bukit yang mendiami Pegunungan Meratus dengan mendomisilikan keluarga-keluarga mereka ke daerah persawahan pasang surut dengan fasilitas rumah dan tanah pertanian, berakhir dengan kegagalan total. Ketrampilan mereka mengolah padi ladang tidak begiti saja mampu mengelola persawahan di lingkungan yang airnya pasang surut. Lebih mengenaskan karena setelah beberapa lama mereka tinggal di darah perairan tersebut keluarga mereka satu persatu jatuh sakit, sehingga akhirnya mereka kembali ke kampung asalnya.

Demikian pula kebijakan penempatan tranmigrasi dari Jawa ke daerah pertanian pasang surut membuat kehidupan para pendatang tersebut tidak bisa berkembang. Banyak usaha mereka yang gagal karena lingkungan yang mereka hadapi asing bagi mereka sebelumnya. Sawah yang tidak jadi membuat kehidupan yang serba sulit. Karena itu manakala ada ibu-ibu dengan membawa anak mereka meminta-minta di lampu stopan di Banjarmasin, bila ditanya mereka adalah keluarga tranmigrasi



III. KESIMPULAN / REKOMENDASI


Pembangunan dalam arti suatu proses perubahan sosial dengan partisipasi yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambahnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka, merupakan sistem pembangunan yang perlu diterapkan untuk daerah yang berbeda kondisi wilayah dan pandangan hidup masyarakatnya. Pembangunan dalam berbagai aspek yang seragam untuk daerah-daerah di Indonesia akan rapuh karena tidak tentu sesuai dengan kondisi dan budaya yang hidup dalam masyarakatnya.

Di Kalimantan Selatan dengan budaya Banjar yang khas, yang tercipta dari perjalanan sejarah masyarakatnya, pembangunan akan kukuh sejauh mempunyai ciri-ciri yang hanya bisa diterima masyarakatnya. Kehidupan beragama yang tertanam kuat, menempatkan ulama sebagai panutan. Sementara pengalaman perjuangan yang panjang melawan penjajahan, memberikan tempat bagi "orang kuat" sebagai figur yang dihormati dan disegani. Usaha apapun yang meninggalkan peran tokoh-tokoh informal dalam budaya Banjar sulit mendapatkan dukungan dan melahirkan rasa memiliki di kalangan masyarakat.

Selama ini pembangunan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan untuk kemajuan ekonomi masyarakat umumnya, merupakan kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat. Pembangunan jalan tol di Kalimantan Selatan yang menghubungkan Kabupaten Banjar langsung ke pelabuhan laut Trisakti terutama untuk kenderaan berat yang membawa barang-barang dari dan ke luar propinsi tidak lagi mengganggu jalan dalam kota Banjarmasin. Pembangunan jalan tembus dari Benua Lima ke Batu Licin, tidak hanya memberikan kemudahan transportasi, juga akan memberikan lahan baru bagi para petani untuk mengolah tanah yang tadinya sulit dijangkau sebelum adanya prasarana jalan tersebut. Demikian pula peningkatan lapangan terbang Syamsudin Noor menjadi lapangan terbang bertarap internasional yang bisa didarati pesawat besar, tidak hanya memperlancar transportasi ekonomi (barang), juga memberi kemudahan bagi Jema'ah Haji Kalimantan Selatan sehingga bisa berangkat langsung menuju tanah suci dari daerah sendiri, merupakan kebijakan yang memahami kepentingan masyarakat Kalimantan Selatan yang dominan beragama Islam.

Demikian pula dengan pembangunan yang berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Suatu pembangunan yang berlandaskan pola pikir dan sikap masyarakatnya tentu akan memberi dampak positif bagi daerahnya. Karena itu pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi: sosial ekonomi, politik, pendidikan, hankam, hukum, birokrasi, keagamaan, industri dan teknologi, serta lingkungan hidup, perlu memperhatikan kondisi yang terdapat dalam masyarakat dan lingkungannya.

Ada hal-hal yang perlu dipahami dan disikapi dalam pengambilan kebijakan dalam masyarakat Banjar. Orang Banjar sejak dulu menyerahkan masalah kenegaraan kepada kerajaan. Dengan kata lain orang Banjar umumnya menyerahkan sesuatu urusan kepada ahlinya, dengan ketentuan kepentingan, hak dan keyakinan mereka tidak terhambat.

Pembangunan dalam bidang agama tidak akan menyimpang dari keyakinan yang berkembang di masyarakat saat ini. Usaha pengembangan agama non Islam yang bisa mempengaruhi masyarakat Banjar yang umumnya sejak lahir sudah menganut Islam, merupakan hal yang tidak etis.

Ada berbagai industri teknologi yang terdapat dalam masyarakat Banjar sebagai warisan turun temurun, yang perlu dikembangkan. Ada pantangan-pantangan yang bisa disimak mengandung makna tata susila, sehingga perlu dicermati seperti dalam bangunan rumah dan sebagainya.

Masalah kondisi lingkungan hidup yang telah menempa kehidupan suatu kelompok masyarakat yang berdiam di suatu lokasi, sangat perlu dipertimbangkan karena tidak semua orang dapat segera atau bisa berhasil beradaptasi dengan lingkngan hidup yang lain, atau karena ada perubahan dampak dari suatu pembangunan.

Dari semua uraian di atas, maka untuk semua pembangunan di bidang apapun dalam suatu daerah, dengan karakter dan budaya yang khas daerahnya, usaha ke arah pembangunan perlu mengkaji aspek-aspek budaya yang terkait di dalamnya.

DAFTAR BACAAN

Amat Asnawi, Drs. H. et al., Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (Periode1945-1949), Pemda Tk I Kalsel, Banjarmasin, 1994.
Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Bandjarmasin, 1953
Gazali Usman, Drs. H.A. et al., Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P2NB Kalsel, Banjamasin, 1996.
Idwar Saleh, Drs.M. et al. Adat Istiadat Kalimantan Selatan, Proyek IDKD, Jakarta, 1982.
Idwar Saleh, Drs. M. et al., Adat Istiadat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek IPNB, Banjarmasin, 1991.
Idwar Saleh, M. Banjarmasih, Museum Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 1980.
Idwar Saleh, Drs. M. et al., Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek PPKD, Jakarta, 1978.
Idwar Saleh, Drs. M., Sekelumit Mengenai Rumah-Rumah Tradisional Banjar, Makalah Seminar
Arsitektur Tradisional Kalimantan Selatan, Banjarmasin,1983.
Ramli Nawawi, Drs. H., Peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Penyebaran Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah di Kalimantan Selatan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, 1998.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P3NB, Banjarmasin, 1992.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Proyek IDSN, Jakarta, 1984.
Ramli Nawawi, Drs. H., et al., Sistem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek P3NB, Banjarmasin, 1995.
Zulkarimen Nasution, Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1987.

Tidak ada komentar: