Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 06/TK/Tahun 1968 tanggal 27 Maret 1968 menganugerahi Pangeran Antasari gelar Pahlawan Kemerdekaan.
Pangeran Antasari lahir dalam tahun 1809, ayahnya bernama Pangeran Mas’ud dan ibunya bernama Gusti Hadijah puteri Sultan Sulaiman. Ia adalah keluarga Kesultanan Banjarmasin, tetapi hidup dan dibesarkan di luar lingkungan istana, yakni di Antasan Senor, Martapura. Kericuhan-kericuhan yang terjadi khususnya dalam kalangan penguasa kesultanan, menjadikan cicit dari Sultan Aminullah ini tersisih, walaupun ia sebenarnya pewaris pula atas tahta Kesultanan Banjar.
Kericuhan terjadi ketika Sultan Aminullah wafat dalam tahun1761. Ia meninggalkan tiga orang putera yang masih kecil, dan karena itu saudara Sultan Aminullah, yang bernama Pangeran Natanegara diangkat menjadi wali. Dua orang putera Sultan Amunullah meninggal, dan yang seorang lagi yaitu Pangeran Amir pergi ke Pasir. Sesudah itu Pangeran Natannegara menubatkan diri menjadi Sultan Sulaiman Saidullah.
Tahun 1787 Pangeran Amir melancarkan pemberontakan untuk mengambil tahtanya kembali dengan kekuatan 3000 orang Bugis. Sultan Sulaiman Saidullah untuk mengatasinya meminta bantuan Belanda. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Hoffman berhasil mematahkan perlawanan Pangeran Amir. Dalam suatu pertempuran pada tanggal 14 Mei 1787 Pangeran Amir tertangkap, dan bulan Juni ia dikirim ke Batavia untuk selanjutnya di buang ke Ceylon (sekarang Srilangka). Salah seorang puteranya bernama Pangeran Mas’ud, yaitu ayah dari Pangeran Antasari.
Belanda menarik keuntungan dari kericuhan itu. Sebagai imbalan jasa memadamkan “pemberontakan” Pangeran Amir, maka ditandatanganilah antara pihak Belanda dan penguasa Kesultanan Banjar sebuah tractaat dan Acta van Afstand pada tanggal 13 Agustus 1787. Dengan demikian berarti Sultan Sulaiman Saidullah terpaksa mengurangi kekuasaan, mengurangi kedaulatan Kesultanan Banjar. Ia dan keturunannya masih berhak menyandang gelar-gelar sultan dan memerintah wilayah kesultanan, tetapi hanya sebagai pinjaman (vazal) dari Belanda.
Kericuhan terjadi lagi dalam masa pemerintahan Sultan Adam Alwasyiqubillah putera Sultan Sulaiman. Selagi masih bertahta, ia mengangkat anaknya , Pangeran Abdurrahman , sebagai Sultan Muda atau Putera Mahkota. Pada tahun 1852 Sultan Muda Abdurrahman meninggal dunia, yang meninggalkan dua orang anak, yaitu Pangeran Hidayatullah anak dari perkawinan dengan Ratu Siti, dan Pangeran Tamjidillah anak dari perkawinan dengan Nyai Aminah. Keduanya merasa berhak atas tahta kesultanan. Di samping itu ada lagi pihak ketiga yang juga merasa berhak, yaitu Prabu Anom, putera Sultan Adam Alwasyiqubillah, adik Pangeran Abdurrahman. Sebenarnya Pangeran Hidayatullah yang paling berhak atas tahta kesultanan.
Sekali lagi Belanda ikut campur tangan. Mereka menggunakan sebagai alasan campur tangannya, karena investasinya yng sudah ditanamkan dalam pertambangan batu bara “Oranye Nassau” di Pengaron, dan “Julia Hermina” di Banyu Ireng. Kedua tambang ini mendatangkan hasil yang cukup banyak. Karena itu Belanda memerlukan sultan yang dapat mereka kendalikan.
Sultan Adam Alwasyiqubillah meninggal dunia dalam tahun1857. Belanda lalu mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai penggantinya, sedangkan Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi. Para bangsawan, ulama, dan rakyat tidak menyukai terhadap pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan.
Keresahan rakyat tampak jelas dengan timbulnya perlawanan di daerah pedalaman, yaitu:
Di Banua Lima (Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua) dipimpin oleh Tumenggung Jalil.
Di Muning dibawah pimpinan Aling yang telah menobatkan dirinya menjadi sultan dengan nama Penembahan Muda. Anaknya yang bernama Sambang diangkat dan bergelar Sultan Kuning. Anak perempuannya Saranti diberi gelar Puteri Junjung Buih. Nama kampungnya diganti menjadi Tambai Makkah.
Di daerah Batang Hamandit, Gunung Madang, dipimpin Tumenggung Antaluddin.
Di Tanah Laut dan Hulu Sungai dipimpin oleh Demang Lehman.
Di Kapuas Kahayan dibawah pimpinan Tumenggung Surapati.
Gerakan-gerakan rakyat itu pada hakekatnya menghendaki agar yang bertahta di Kesultanan Banjar adalah Pangeran Hidayatullah. Sebenarnya Pangeran Hidayatullah yang berhak menjadi Sultan, sesuai pula dengan harapan rakyat Banjar, yang dipekuat pula dengan Surat Wasiat Sultan Adam Alwasyiqubillah. Isi Surat Wasiat itu sebagai berikut:
Sultan Adam memberi kepada Pangeran Hidayat gelar Sultan Hidayatullah Khalilullah.
Mengangkat menjadi penguasa agama serta mewariskan semua tanah kesultanan, semua alat senjata kesultanan, alat pusaka dan padang-padang perburuan.
Apabila Sultan Adam wafat, maka penggantinya ialah Pangean Hidayat, dan hendaknya memerintah rakyat dengan penuh keadilan dan mengikuti perintah agama.
Memerintahkan kepada seluruh rakyat Kesultanan Banjar supaya mentaati hal ini dan jika perlu mempertahankan dengan kekerasan.
Memerintahkan kepada semua pangeran, menteri, orang besar kesultanan, ulama dan tetuha kampung supaya mematuhi ketentuan ini, apabila dilanggar Sultan Adam menjatuhkan kutuknya.
Pada mulanya gerakan-gerakan itu berdiri sendiri-sendiri. Di berbagai tempat, di kampung-kampung, mereka mempengaruhi rakyat dan di sana-sini mengganggu ketenteraman. Baru kemudian gerakan-gerakan itu dapat dipersatukan oleh Pangeran Antasari yang waktu itu sudah berusia 50 tahun.
Sampai saat itu nama Pangeran Antasari hampir-hampir tidak dikenal. Ia tidak memiliki kekayaan yang memungkinkan untuk hidup layak sebagai seorang pangeran, sedang ia merasa prihatin menyaksikan Kesultanan Banjar yang recuh dan semakin besarnya pengaruh Belanda di Banua Banjar. Terbuka kesempatan bagi Pangeran Antasari ketika di pedalaman Banjar timbul gerakan-gerakan rakyat
Pangeran Hidayatullah dalam kedudukannya sebagai mangkubumi mengutus 3 orang untuk menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak. Salah seorang dari utusan itu adalah pamannya sendiri, yaitu Pangeran Antasari. Maka terbukalah kesempatan bagi Pangeran Antasari untuk menghubungi pemimpin-pemimpin gerakan rakyat yang siap mengadakan perlawanan, bahkan ia berhasil memperoleh kepercayaan rakyat dan dipilih sebagai pemimpin perlawanan. Cita-cita mereka memang sesuai dengan sikap dan pendirian Antasari.
Oleh karena itu ia dan keluarganya diam-diam meninggalkan kediamannya di Antasan Senor Martapura dan menyatukan diri dengan kaum perlawanan di pedalaman. Puteranya yang bernama Gusti Penembahan Muhammad Said, dikawinkan dengan Saranti, puteri Penembahan Aling, tokoh yang berpengaruh di kalangan mereka.
Pangeran Antasari berhasil mempersatukan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Penembahan Aling di Muning dengan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil di Benua Lima. Wilayah perlawanan bertambah luas, meliputi Tanah Dusun Atas, Tabanio dan Kuala Kapuas, serta Tanah Bumbu. Semuanya menjadi satu front di bawah pimpinan Pangeran Antasari untuk menentang Belanda dan kekuasaannya yang menggunakan Sultan Tamjidillah.
Pengaruh Pangeran Antasari menjadi makin luas, juga di kalangan alim ulama Banjar yang sebagian besar bersedia ikut menempuh jalan kekerasan. Pada permulaannya ia berhasil menghimpun sebanyak 6.000 orang lasykar.
Serangan pertama dilakukan pada tanggal 28 April 1859. Dengan serangan itu maka meletuslah Perang Banjar. Pagi-pagi buta 300 orang lasykar yang dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara dan benteng Belanda di Pengaron. Pertempuran berlangsung hingga pukul 14.00 siang. Baik pihak Pangeran Antasari mapun pihak Belanda berjatuhan korban.
Pengaron dikepung rakyat lasykar Antasari. Komandan Beeckman sangat hawatir karena persediaan makanan sudah menipis. Ia segera mengirim kurir, tetapi kurir itu dapat dibunuh oleh lasykar. Keadaan di luar tambang dan benteng Belanda di Pengaron dapat dikuasai lasykar Pangeran Antasari. Dua puluh orang bersenjata parang menyelinap ke dalam pos dan benteng tambang batu bara Oranje Nassau Pengaron, tetapi diketahui musuh, dan semuanya gugur terbunuh. Dokter Belanda di dalam lokasi itu diamuk dan dibunuh oleh orang hukuman . Pangeran Antasari sebagai pimpinan lasykar perlawanan mengirim surat kepada Beeckman agar ia menyerah.
Dalam keadaan semacam ini pemerintah Belanda menganggap berbahaya terhadap pangeran Antasari sehingga dianggap pemberontak yang dikenai premie atau harga kepala 10.000 gulden untuk menangkapnya hidup atau mati. Demikian pula terhadap Pangeran Hidayatullah yang kemudian menggabung dengan Pangeran Antasari. Hal ini dilakukan Belanda setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.
Di dalam bulan suci Ramadhan 1278 H (Maret 1862) para alim ulama dan pemimpin rakyat di Barito, Sihong, Teweh serta kepala-kepala suku Dayak Kapuas Kahayan berkumpul di Dusun Hulu untuk menobatkan Pangeran Antasari menjadi Penembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, pemimpin tertinggi agama. Dengan demikian, dalam pengertian rakyat, kedaulatan daerah Banjar dipegang oleh Pangeran Antasari. Kekuasaan dan kedaulatan dilaksanakan sesuai dengan keadaan perang yang masih berkobar.
Belanda masih berusaha untuk berdamai dengan Pangeran Antasari dan bersedia memberi pengampunan. Tetapi Pangeran Antasari sadar, bahwa itu hanya tipu muslihat Belanda saja.
Pangeran Antasari menolak ajakan Belanda dengan mengirim surat kepada gezaghebber (Kepala Daerah/penguasa) di Marabahan (Bakumpai). Isinya ialah penolakan pengampunan yang diajukan Belanda kepada Pangeran Antasari. Ia tidak percaya kepada janji-janji yang diberikan Belanda dan menganggapnya sebagai tipu muslihat belaka.
Pangeran Antasari sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin hanya memberi satu jaminan untuk perdamaian, yaitu diserahkannya Kesultanan Banjarmasin, sedangkan Belanda hanya diizinkan untuk menarik pajak. Kalau syarat tersebut tidak dipenuhi, maka Pangeran Antasari memilh jalan meneruskan peperangan.
Ternyata Pangeran Antasari benar-benar menunjukkan jiwa kepahlawanan. Beliau selalu berkata. “Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing”, maksudnya haram hukumnya menyerah kepada musuh, tak tergoyahkan, ulet, tabah sampai akhir. Perkataan ini diamanatkan pula kepada keturunan beliau.
Waktu itu Pangean Antasari sudah tidak muda lagi, usianya sudah lebih lima puluh tahun. Dengan penuh kesadaran dan keyakinan ia memimpin gerakan melawan pemerintah Belanda di Kalimantan Selatan dan Tengah. Ia mempunyai kekuatan pribadi dan keluhuran budi yang menjadi tenaga pendorong mengapa ia hidup mempertahankan pendiriannya tanpa pernah mundur setapakpun untuk berkompromi dengan lawan sampai akhir hayatnya.
Pangeran Antasari telah membuktikan memiliki keahlian dalam siasat perang gerilya serta mampu memimpin pasukan di daerah-daerah yang luas lagi sukar didiami manusia. Ia adalah pemimpin yang ulet, tabah dan berwibawa, serta memiliki kekuatan batin untuk mengikat para pengikutnya kepada tujuan yang mulia.
Pangeran Antasari seorang pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Pada saat para bangsawan yang berkuasa dalam Kesultanan Banjarmasin secara sistemetik dikuasai dan dipecah belah Belanda dengan memanfaatkan situasi dan kondisi Kesultanan Banjar itu sendiri., maka Pangeran Antasari mengangkat senjata dengan semboyannya yang pantang mundur itu.
Sementra itu wabah penyakit melanda daerah pedalaman . Pangeran Antasari jatuh sakit. Dalam keadaan sakit parah ia diangkut ke pegunungan Dusun Hulu. Akhirnya wafat di Bayan Pegog, Hulu Teweh, pada tanggal 11 Oktober 1862. Kemudian di masa Indonesia merdeka, kerangka tulang belulang beliau dipindahkan dan dimakamkan kembali di Kompleks Makam Pahlawan Perang Banjar, jalan Masdjid Jami di Banjarmasin, pada tanggal 11 November 1958. Sekarang makamnya diberi nama Makam Pahlawan Nasional Pangeran Antasari.
Dengan wafatnya Pangeran Antasari rakyat kehilangan pemimpin yang berani, cerdas, tangguh, cerdik, dan alim. Meskipun demikian semangat Antasari tetap berkobar-kobar. Rakyat Banjar tidak tenggelam kesedihannya, kedudukan Pangeran Antasari segera digantikan oleh putra-putranya, yaitu Pangeran Muhammad Seman menjadi sultan. Sementara saudara Muhammad Seman, yaitu Pangeran Panembahan Muhammad Said sebagai mangkubumi.
Pusat pemerintahan berpindah-pindah karena senantiasa dikejar-kejar Belanda. Semula berpusat di Dusun Hulu dengan kedudukan di Muara Teweh, kemudian di Kapuas Kahayan dengan pertahanannya di dekat Sungai Patangan. Paling akhir di Baras Kuning di mulut Sungai Manawing.
Tidak hanya keturunan Pangeran Antasari yang melanjutkan perlawanan, tetapi juga rakyat Banjar, seperti Tumenggung Surapati sampai meninggal tidak pernah menyerahkan diri kepada Belanda. Demang Lehman yang tertangkap melalui penghianatan tahun 1864, air mukanya tak berubah dan urat muka tak bergerak menaiki tiang gantungan, yang menunjukkan ketabahan hati. Selesai digantung kepalanya di potong Belanda. Jalil gugur karena luka dalam pertempuran. Kuburnya ditemukan Belanda dan dibongkar sedang kepalanya di potong. Penghulu Rasyid dari Benua Lawas, pemimpin golonagn agama, sangat terkenal dengan gerakan “Baratib Baamal”, bertempur dengan gagah berani. Pada tahun 1864 menderita luka-luka dalam pertempuran, lalu berusaha menyembunyikan diri. Namun kaki tangan Belanda selalu membuntutinya. Penghianat tersebut dapat membunuhnya, kemudian memotong lehernya dan menyerahkan kepala Penghulu Rasyid kepada Belanda untuk mendapakan hadiah. Nasib yang sama juga dialami oleh Haji Buyasin, pejuang yang bersama-sama Demang Lehman melawan penjajah Belanda di Tanah Laut. Pada tahun 1866 beliau dibunuh oleh seorang kaki tangan Belanda, dan mayatnya diserahkan kepada Belanda di Banjarmasin.
Demikian pula pejuang-pejuang lainnya seperti Tumenggng Antaluddin, Tumenggung Cakrawati, Bukhari dan Kawan-kawan. Banyak sekali kalau dibeberkan satu persatu. Tumenggung Cakrawati gugur, lalu digantikan oleh isterinya yang memakai namanya. Bukhari dan kawan-kawan gugur melawan Belanda dalam Amuk Hantarukung, di ujung abad ke 19.
Pada tahun 1905 tanggal 1 Januari Sultan Muhammad Seman gugur. Sesudah itu boleh dikatakan pelawanan secara fisik tidak begitu memusingkan Belanda lagi. Perlawanan yang dilakukan oleh Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad sebagai keturunan langsung Pangeran Antasari tidak berhasil menguasai keadaan. Perang Banjar yang apinya mulai dinyalakan Pangeran Antasari tanggal 28 April 1859 boleh dikatakan telah padam. Meskipun demikian semangat kejuangan yang diwariskan Pangeran Antasari, beserta para pejuang lainnya terus menyala, selalu mendorong langkah perjuangan hingga Indonesia Merdeka, memelihara serta melestarikannya melalui pembangunan nasional. (Sumber: Naskah Peringatan Wafatnya Pahlawan Nasional Pangeran Antasari tgl. 11 Oktober 1985).
Minggu, 24 Januari 2010
Minggu, 17 Januari 2010
Kamis, 31 Desember 2009
Nikmat Allah (menyongsong tahun 2010)
NIKMAT ALLAH
Oleh: Ramli Nawawi
Saudaraku,
Tak terasa insya Allah besok kita kembali bertemu dengan tahun baru lagi. Kita segera akan meninggalkan tahun 2009 dan memasuki tahun baru 2010. Seyogianya apa yang perlu kita lakukan ketika kita sudah berada di tahun baru lagi. Apa juapun yang telah kita alami di tahun yang telah kita lewati tersebut susah atau senang, namun ketika kita telah menghirup udara ditahun baru ini, maka yang tak boleh kita lupakan adalah mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesempatan untuk kembali menikmati nikmat yang diberikan-Nya.
Saudaraku,
Kalau kita lagi mengikuti ceramah atau khotbah biasanya penyampai selalu mengajak kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita.
Memang Allah SWT dalam Al Qur’anul Karim surah Ibrahim ayat 34 telah berfirman, bahwa Allah SWT akan memberi apa yang kita minta.
“Wa ataakum min kulli saaltumuuhu, wa inta’udduu ni’matallahi laa tuhshuha, innal insaana lazhaluumun kaffaru” (Dia (Allah) memberimu segala yang kamu minta, dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah sanggup kamu menghitungnya, sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan mengingkari (tidak mengakui akan) nikmat Allah).
Saudaraku,
Benarkah bahwa manusia ini banyak yang ingkar terhadap nikmat Allah? Coba kalau kita tanya seseorang tentang nakmat Allah ini. Umumnya mereka ada yang menjawab:
“Aku selalu bersyukur dengan mengatakan Alhamdulillah”. Ada juga yang mengatakan :
“Aku selalu bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan Alhamdulillah, dan juga dengan melakukan ibadah kepada Allah serta melakukan amaliah kepada sesama hamba-Nya”.
Tapi mungkin ada juga mereka yang sebelum menjawab pertanyaan kita di atas, sebelumnya mereka bertanya balik, apa saja ya nikmat Allah yang diberikan kepada kita?.
Saudaraku,
Mari kita lihat diri kita saja, di bagian kepala: ada rambut tumbuh, mata melihat, hidung bernafas, telinga mendengar, mulut bicara dan makan minum, otak berpikir dan merekan ingatan. Dari mana kita dapat, semua diberi. Ada mereka yang diberi tidak lengkap, tetap mereka bersyukur daripada tidak diberi sama sekali.
Mari kita lihat lagi, kita punya tangan dan kaki, ada yang namanya jantung, paru-paru, hati, ginjal,.dll, dll, lagi. Sanggup kita menghitung nilainya, atau harganya?. Bayangkan kalau ada salah satu yang diambil lagi oleh Pemberinya.
Saudaraku,
Apa yang sebagian disebut di atas baru nikmat yang ada pada diri kita langsung. Ada nikmat-nikmat lainnya yang sering banyak orang melupakannya. Allah menciptakan matahari dan pelanet-pelanet, tanaman, binatang, pohon (hutan), air, udara, serta benda-benda berharga yang dikandung bumi.
Kita diberi hidup berkeluarga (isteri, anak-anak), hidup berkecukupan, bertetangga, berbangsa dan bernegara yang merdeka. Bukankah semua itu nikmat yang diberikan Allah?. Dan biasanya kita baru sadar kalau ketika ada yang sudah diambil-Nya dari kita?.
Saudaraku,
Tapi Allah bersifat rahman dan rahim (kasih sayang). Dan selalu mengingatkan agar manusia tidak zalim dan tidak ingkar terhadap nikmat yang diberikan-Nya. Seperti dalam Surah Arrahman, yang jumlah ayatnya ada 41 ayat, sebanayk 31 ayat mengingatkan manusia tentang nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.
“Fabiayyi alaaai rabbuka tukazzibani” (Maka nikmat Allah manakah yang engkau dustakan?).
Saudaraku,
Mungkin timbul pula pertanyaan, mengapa masih banyak orang hidup dalam kemiskinan. Allah berjanji “ Wa atakum min kulli saaltumuuhu” (Dia (Allah) akan memberimu apa-apa yang kamu minta). Karena itu jawabnya adalah mari meminta (berdoa’a) kepada Allah. “Iyya kana’budu wa iyya kanasta’in”. (Kepada-Mu aku menyembah dan kepada-Mu aku meminta). Allah menargetkan kita menyembah dan kemudian meminta kepada-Nya sekurang-kurangnya 5 kali dalam sehari semalam. Kalau hal itu kita sudah lakukan dan tidak lalai, Allah tentu akan memenuhi janji-Nya. Insya Allah. Terkecuali seperti diberitakan dalam Al Qur’an memang ada orang-orang shaleh yang mendapat ujian kesabaran dari Allah, mereka lulus dan mereka adalah ahli surga.
Saudaraku,
Kalau kita sejenak introspeksi diri, tentu kita sadar begitu banyak nikmat yang diberikan Allah kepada kita umat-Nya. Karena itu wajar kalau kita senantiasa bersyukur dengan selalu melaksanakan perintahnya: aqimis shalah wa atuzzakah, kutiba alaikumus siam, qala la ilaha illa Allah, dan bagi yang “siap” hadir di padang Arafah pada 9 Zulhijjah.
Tapi bagi mereka yang zalim dan ingkar akan nikmat Allah, maka seperti firman-Nya dalam Al Qur’an surah Iberahim ayat 7: “Wa iz taazzana rabbukum: lain syakartum la azidannakum, wa lain kafartum inna ‘azaba lasyadiid”. (Dan Tuhan mu memberitahukan: jika kamu bersyukur akan kutambah nikmatmu, tapi bila ingkar siksa-Ku amat pedih).
Saudaraku,
Memperhatikan keberadaan masyarakat di negeri kita saat ini, apakah ini gambaran dari masyarakat yang senantiasa bersyukur kepada Allah, atau gambaran dari masih banyak masyarakat yang zalim dan ingkar kepada Allah?. Wallahu ‘alam.
Oleh: Ramli Nawawi
Saudaraku,
Tak terasa insya Allah besok kita kembali bertemu dengan tahun baru lagi. Kita segera akan meninggalkan tahun 2009 dan memasuki tahun baru 2010. Seyogianya apa yang perlu kita lakukan ketika kita sudah berada di tahun baru lagi. Apa juapun yang telah kita alami di tahun yang telah kita lewati tersebut susah atau senang, namun ketika kita telah menghirup udara ditahun baru ini, maka yang tak boleh kita lupakan adalah mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesempatan untuk kembali menikmati nikmat yang diberikan-Nya.
Saudaraku,
Kalau kita lagi mengikuti ceramah atau khotbah biasanya penyampai selalu mengajak kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita.
Memang Allah SWT dalam Al Qur’anul Karim surah Ibrahim ayat 34 telah berfirman, bahwa Allah SWT akan memberi apa yang kita minta.
“Wa ataakum min kulli saaltumuuhu, wa inta’udduu ni’matallahi laa tuhshuha, innal insaana lazhaluumun kaffaru” (Dia (Allah) memberimu segala yang kamu minta, dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah sanggup kamu menghitungnya, sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan mengingkari (tidak mengakui akan) nikmat Allah).
Saudaraku,
Benarkah bahwa manusia ini banyak yang ingkar terhadap nikmat Allah? Coba kalau kita tanya seseorang tentang nakmat Allah ini. Umumnya mereka ada yang menjawab:
“Aku selalu bersyukur dengan mengatakan Alhamdulillah”. Ada juga yang mengatakan :
“Aku selalu bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan Alhamdulillah, dan juga dengan melakukan ibadah kepada Allah serta melakukan amaliah kepada sesama hamba-Nya”.
Tapi mungkin ada juga mereka yang sebelum menjawab pertanyaan kita di atas, sebelumnya mereka bertanya balik, apa saja ya nikmat Allah yang diberikan kepada kita?.
Saudaraku,
Mari kita lihat diri kita saja, di bagian kepala: ada rambut tumbuh, mata melihat, hidung bernafas, telinga mendengar, mulut bicara dan makan minum, otak berpikir dan merekan ingatan. Dari mana kita dapat, semua diberi. Ada mereka yang diberi tidak lengkap, tetap mereka bersyukur daripada tidak diberi sama sekali.
Mari kita lihat lagi, kita punya tangan dan kaki, ada yang namanya jantung, paru-paru, hati, ginjal,.dll, dll, lagi. Sanggup kita menghitung nilainya, atau harganya?. Bayangkan kalau ada salah satu yang diambil lagi oleh Pemberinya.
Saudaraku,
Apa yang sebagian disebut di atas baru nikmat yang ada pada diri kita langsung. Ada nikmat-nikmat lainnya yang sering banyak orang melupakannya. Allah menciptakan matahari dan pelanet-pelanet, tanaman, binatang, pohon (hutan), air, udara, serta benda-benda berharga yang dikandung bumi.
Kita diberi hidup berkeluarga (isteri, anak-anak), hidup berkecukupan, bertetangga, berbangsa dan bernegara yang merdeka. Bukankah semua itu nikmat yang diberikan Allah?. Dan biasanya kita baru sadar kalau ketika ada yang sudah diambil-Nya dari kita?.
Saudaraku,
Tapi Allah bersifat rahman dan rahim (kasih sayang). Dan selalu mengingatkan agar manusia tidak zalim dan tidak ingkar terhadap nikmat yang diberikan-Nya. Seperti dalam Surah Arrahman, yang jumlah ayatnya ada 41 ayat, sebanayk 31 ayat mengingatkan manusia tentang nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.
“Fabiayyi alaaai rabbuka tukazzibani” (Maka nikmat Allah manakah yang engkau dustakan?).
Saudaraku,
Mungkin timbul pula pertanyaan, mengapa masih banyak orang hidup dalam kemiskinan. Allah berjanji “ Wa atakum min kulli saaltumuuhu” (Dia (Allah) akan memberimu apa-apa yang kamu minta). Karena itu jawabnya adalah mari meminta (berdoa’a) kepada Allah. “Iyya kana’budu wa iyya kanasta’in”. (Kepada-Mu aku menyembah dan kepada-Mu aku meminta). Allah menargetkan kita menyembah dan kemudian meminta kepada-Nya sekurang-kurangnya 5 kali dalam sehari semalam. Kalau hal itu kita sudah lakukan dan tidak lalai, Allah tentu akan memenuhi janji-Nya. Insya Allah. Terkecuali seperti diberitakan dalam Al Qur’an memang ada orang-orang shaleh yang mendapat ujian kesabaran dari Allah, mereka lulus dan mereka adalah ahli surga.
Saudaraku,
Kalau kita sejenak introspeksi diri, tentu kita sadar begitu banyak nikmat yang diberikan Allah kepada kita umat-Nya. Karena itu wajar kalau kita senantiasa bersyukur dengan selalu melaksanakan perintahnya: aqimis shalah wa atuzzakah, kutiba alaikumus siam, qala la ilaha illa Allah, dan bagi yang “siap” hadir di padang Arafah pada 9 Zulhijjah.
Tapi bagi mereka yang zalim dan ingkar akan nikmat Allah, maka seperti firman-Nya dalam Al Qur’an surah Iberahim ayat 7: “Wa iz taazzana rabbukum: lain syakartum la azidannakum, wa lain kafartum inna ‘azaba lasyadiid”. (Dan Tuhan mu memberitahukan: jika kamu bersyukur akan kutambah nikmatmu, tapi bila ingkar siksa-Ku amat pedih).
Saudaraku,
Memperhatikan keberadaan masyarakat di negeri kita saat ini, apakah ini gambaran dari masyarakat yang senantiasa bersyukur kepada Allah, atau gambaran dari masih banyak masyarakat yang zalim dan ingkar kepada Allah?. Wallahu ‘alam.
Senin, 28 Desember 2009
Minggu, 27 Desember 2009
Kamis, 24 Desember 2009
masalah keanekaragaman
MASALAH KEANEKARAGAM
Oleh: Ramli Nawawi
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dan berpendudduk lebih dari 210 jiwa ini tidak hanya dihuni oleh sekitar 24 kelompok etnis (suku bangsa) tetapi juga oleh mereka yang berbeda ideologi/ keparcayaan, juga berbeda pandangan politik dan kepentingan lainnya.
Sementara tiap kelompok etnis pun masih terbagi lagi atas sub-sub etnis. Kalau dari sekian banyak sub etnis tersebut mempunyai corak-corak masing-masing budaya yang berbeda, ditambah dengan perbedaan-perbedaan lainnya tersebut di atas, maka dapat dibayangkan berapa banyaknya perbedaan-perbedaan gaya dan sikap hidup dari negara yang berpenduduk terbanyak ke 4 di dunia ini.
Juga perlu diingat, perbedaan itu juga tampak dari bahasa yang dipakai oleh berbagai etnis (suku bangsa) yang hidup di negeri ini. Ada sekitar 200 jenis bahasa daerah yang terdapat dan masih dipakai oleh suku-suku atau kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Bahkan untuk satu bahasa yang samapun masih terdapat perbedaan dialek yang memberikan kekhasan dari suku atau kelompok bersangkutan.
Unsur-unsur perbedaan yang ditemui baik yang berlatar belakang etnik group, geografis, ideologi, pandangan politik, maupun kepentingan-kepentingan lainnya tersebut di atas merupakan hal-hal yang sering kurang tercermati dalam usaha-usaha ke arah terbinanya persatuan dan kesatuan bangsa.
Usaha menyatukan bangsa di Nusantara ini sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Majapahit, di mana Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa nya berusaha mempersatukan Nusantara dengan jalan menaklukkan semua kerajaan-kerajaan atau suku-suku yang mendiami kepulauan tersebut. Tetapi bagaimana akhirnya kemudian, Nusantara kembali terpecah atas kerajaan-kerajaan kecil lagi setelah pudarnya kekuatan kerajaan besar tersebut.
Sadar bahwa kesatuan dan persatuan Nusantara tidak bisa dijamin dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan, maka dalam usaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia kemudian, para pemuda menyadari akan perlunya persatuan dan kesatuan bangsa dengan cara yang lebih arif.
Lahirlah Sumpah Pemuda tahun 1928, di mana para pemuda dari berbagai suku bangsa di negeri ini berikrar mengaku satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia. Sumpah yang dilandasi kesadaran dan tujuan yang sama ini sangat berarti, karena dengan semua suku bangsa di negeri ini mempunyai kepentingan yang sama kemudian berhasil melahirkan Negara Indonesia Merdeka.
Kini setelah setengah abad lebih kemerdekaan Indonesia tercapai, sadar atau tidak sadar sekarang bangsa di negeri ini telah terbawa kepada indikasi munculnya “IN GROUP” dan “OUT GROUP” (kelompok kita dan kelompok mereka). Padahal perasaan in group dan out group atau perasaan dalam kelompok dan luar kelompok dapat merupakan benih dari suatu sikap yang dinamakan “ETNOSENTRIS”.
Anggota-anggota kelompok sosial “etnosentris” ini sedikit banyak akan mempunyai kecenderungan untuk menganggap segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan serta tindakan dan pandangan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik, apabila dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan, tindakan dan pandangan kelompok lainnya. Sikap ini bisa disamakan dengan KEPENATIKAN, sehingga kadang-kadang sukar sekali bagi yang bersangkutan untuk mengubah pandangan dan sikapnya, walaupun dia menyadari hal itu salah.
Suatu hal yang bisa terjadi manakala sikap “etnosentris” ini tumbuh subur dalam kehidupan suatu bangsa, maka sadar atau tidak akan lahir sikap DISINTEGRASI yang fatal yang disebut “STEREOTIP”, yakni anggapan-anggapan atau sikap yang bersifat mengejek terhadap suatu obyek tertentu, seperti sikap suatu etnis tertentu, kelompok tertentu, organisasi tertentu, menganggap rendah terhadap etnis lainnya, kelompok lainnya, atau organisasi lainnya..
Apakah hal-hal yang dikhawatirkan seperti tersebut di atas telah terdapat di masyarakat Indonesia sekarang?. Mari kita introspeksi dengan melihat gonjang-ganjing dan saling tuduh dan saling hina lewat berbagai berita dan komentar-komentarnya seperti yang kita lihat di berbagai media hingga saat ini. Maka apabila hal-hal yang dikhawatirkan tersebut di atas mulai tampak dalam perkembangan masyarakat, maka masalah keanekaragaman ini ke depan perlu “dicermati” untuk tetap terwujudnya keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Semoga. (HRN)
Oleh: Ramli Nawawi
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dan berpendudduk lebih dari 210 jiwa ini tidak hanya dihuni oleh sekitar 24 kelompok etnis (suku bangsa) tetapi juga oleh mereka yang berbeda ideologi/ keparcayaan, juga berbeda pandangan politik dan kepentingan lainnya.
Sementara tiap kelompok etnis pun masih terbagi lagi atas sub-sub etnis. Kalau dari sekian banyak sub etnis tersebut mempunyai corak-corak masing-masing budaya yang berbeda, ditambah dengan perbedaan-perbedaan lainnya tersebut di atas, maka dapat dibayangkan berapa banyaknya perbedaan-perbedaan gaya dan sikap hidup dari negara yang berpenduduk terbanyak ke 4 di dunia ini.
Juga perlu diingat, perbedaan itu juga tampak dari bahasa yang dipakai oleh berbagai etnis (suku bangsa) yang hidup di negeri ini. Ada sekitar 200 jenis bahasa daerah yang terdapat dan masih dipakai oleh suku-suku atau kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Bahkan untuk satu bahasa yang samapun masih terdapat perbedaan dialek yang memberikan kekhasan dari suku atau kelompok bersangkutan.
Unsur-unsur perbedaan yang ditemui baik yang berlatar belakang etnik group, geografis, ideologi, pandangan politik, maupun kepentingan-kepentingan lainnya tersebut di atas merupakan hal-hal yang sering kurang tercermati dalam usaha-usaha ke arah terbinanya persatuan dan kesatuan bangsa.
Usaha menyatukan bangsa di Nusantara ini sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Majapahit, di mana Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa nya berusaha mempersatukan Nusantara dengan jalan menaklukkan semua kerajaan-kerajaan atau suku-suku yang mendiami kepulauan tersebut. Tetapi bagaimana akhirnya kemudian, Nusantara kembali terpecah atas kerajaan-kerajaan kecil lagi setelah pudarnya kekuatan kerajaan besar tersebut.
Sadar bahwa kesatuan dan persatuan Nusantara tidak bisa dijamin dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan, maka dalam usaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia kemudian, para pemuda menyadari akan perlunya persatuan dan kesatuan bangsa dengan cara yang lebih arif.
Lahirlah Sumpah Pemuda tahun 1928, di mana para pemuda dari berbagai suku bangsa di negeri ini berikrar mengaku satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia. Sumpah yang dilandasi kesadaran dan tujuan yang sama ini sangat berarti, karena dengan semua suku bangsa di negeri ini mempunyai kepentingan yang sama kemudian berhasil melahirkan Negara Indonesia Merdeka.
Kini setelah setengah abad lebih kemerdekaan Indonesia tercapai, sadar atau tidak sadar sekarang bangsa di negeri ini telah terbawa kepada indikasi munculnya “IN GROUP” dan “OUT GROUP” (kelompok kita dan kelompok mereka). Padahal perasaan in group dan out group atau perasaan dalam kelompok dan luar kelompok dapat merupakan benih dari suatu sikap yang dinamakan “ETNOSENTRIS”.
Anggota-anggota kelompok sosial “etnosentris” ini sedikit banyak akan mempunyai kecenderungan untuk menganggap segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan serta tindakan dan pandangan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik, apabila dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan, tindakan dan pandangan kelompok lainnya. Sikap ini bisa disamakan dengan KEPENATIKAN, sehingga kadang-kadang sukar sekali bagi yang bersangkutan untuk mengubah pandangan dan sikapnya, walaupun dia menyadari hal itu salah.
Suatu hal yang bisa terjadi manakala sikap “etnosentris” ini tumbuh subur dalam kehidupan suatu bangsa, maka sadar atau tidak akan lahir sikap DISINTEGRASI yang fatal yang disebut “STEREOTIP”, yakni anggapan-anggapan atau sikap yang bersifat mengejek terhadap suatu obyek tertentu, seperti sikap suatu etnis tertentu, kelompok tertentu, organisasi tertentu, menganggap rendah terhadap etnis lainnya, kelompok lainnya, atau organisasi lainnya..
Apakah hal-hal yang dikhawatirkan seperti tersebut di atas telah terdapat di masyarakat Indonesia sekarang?. Mari kita introspeksi dengan melihat gonjang-ganjing dan saling tuduh dan saling hina lewat berbagai berita dan komentar-komentarnya seperti yang kita lihat di berbagai media hingga saat ini. Maka apabila hal-hal yang dikhawatirkan tersebut di atas mulai tampak dalam perkembangan masyarakat, maka masalah keanekaragaman ini ke depan perlu “dicermati” untuk tetap terwujudnya keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Semoga. (HRN)
Rabu, 09 Desember 2009
Langganan:
Postingan (Atom)