Rabu, 23 November 2011

SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI PENYEBAR AJARAN ISLAM DI KALIMANTAN SELATAN

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Muhammad Arsyad dilahirkan pada tahun 1122 H atau 1710 H di Desa Lok Gabang , Martapura. Meninggal pada tahun 1227 H atau 1812 M, dimakamkan di Desa Kalampayan tidak jauh dari desa kelahirannya.

Pada waktu berumur kurang lebih 8 tahun ia dipungut oleh Sultan Banjar untuk diasuh dan dididik di istana. Kemudian ia dikawinkan dan menjelang umur 30 tahun diberangkatkan belajar memperdalam ilmu agama Islam di Mekah.

Muhammad Arsyad tiba kembali di Martapura ibu kota Kerajaan Banjar pada bulan Ramadhan tahun 1186 H (1772 M). Ia kembali setelah memperoleh kealiman khusus dalam ilmu Tauhid, ilmu Fiqh, ilmu Falaq dan ilmu Tasauf.

Usahanya dalam menyebarkan Islam di daerah Kerajaan Banjar pada wktu itu dimulai dengan melakukan pengajian, kemudian menyebarkan anak cucunya (murid-muridnya) ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan Selatan, di samping itu menulis kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu Banjar dan aksara Arab.

Sistem pengajian yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad mula-mula mengajari 2 orang cucunya yang bernama Muhammad As’ad dan Fatimah, sehingga dalam waktu yang tidak lama keduanya mewarisi kealimannya. Keduanya pun kemudian membantu usaha kakeknya . Dalam Syajaratul Arsyadiah disebutkan bahwa Muhammad As’ad kemudian menjadi guru sekalian murid laki-laki, dan Fatimah menjadi guru sekalian murid perempuan.

Dalam tulisan yang berjudul Riwayat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Zafry Zamzam (almarhum) mengemukakan bahwa dalam pengajian yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad bukanlah semata-mata belajar ilmu pengetahuan agama, tetapi disertai bekerja bersama dan memasuki kehidupan masyarakat melalui kegiatan bertani.

Sistem pengajian yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad tersebut merupakan perwujudan dari ajarannya yang menyeimbangkan antara ”hakekat” dan ”syari’at”. Sehingga dengan demikian segala peristiwa dalam kehidupan ini tetap terjadi menurut hukum sebab dan akibat.

Bukti besarnya perhatian Syekh Muhammad Arsyad dalam usaha pertanian tersebut adalah telah diwariskannya sebuah saluran air sepanjang kurang lebih 8 km yang digali atas gagasan dan pimpinan beliau, untuk mengalirkan air yang menggenangi tanah luas (baruh), sehingga baruh tersebut bisa dijadikan lokasi persawahan yang subur. Saluran air itu sekarang dikenal dengan nama ”Sungai Tuan”, artinya sungai yang penggaliannya digariskan oleh Tuan Guru Haji Besar, yakni gelar dari Syekh Muhammad Arsyad.

Kegiatan Syekh Muhammad Arsyad membimbing dan melatih anak didiknya dalam lapangan pertanian tersebut merupakan tindakan untuk memberi bekal anak didiknya untuk bisa menyusun penghidupan kelak. Dipilihnya lapangan tersebut dapat dikaitkan karena murid-muridnya tersebut umumnya berasal dari keluarga petani, sehingga kemanapun nantinya mereka tinggal dan berkeluarga mereka akan menemui jenis usaha tersebut, terutama dalam daerah Kalimantan Selatan sebagai daerah agraris.

Selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad menempuh suatu cara untuk menyebarkan sistem pengajian tersebut dengan mengharuskan setiap anak cucu dan muridnya yang telah mencapai kealiman untuk hidup berkeluarga dan tinggal menyebar ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Di mana mereka tinggal maka di tempat itupun kemudian berlangsung pula pengajian-pengajian. Demikianlah kemudian pengajian-pengajian yang diselenggarakan anak cucu Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya terdapat di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga terdapat di Pontianak Kalimantan Barat. Bahkan ada cucu beliau yang bernama Syekh Haji Abdurrakhman Siddiq yang menyelenggarakan pengajian sambil melakukan pembukaan tanah pertanian /perkebunan di Sapat-Tembilahan (Riaw).

Cara penyebaran ajaran Islam dengan menganjurkan anak cucu dan murid-muridnya yang telah mencapai kealiman untuk tinggal dan kawin mawin di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota Kerajaan Banjar waktu itu dapat dilihat dari:
Cucu beliau yang bernama Syekh Muhammad As’ad, yang kemudian juga diangkat sebagai Mufti pertama di Kerajaan Banjar, kawin dengan seorang perempuan Desa Balimau di Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Abu Talhah bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Pegatan (Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Abu Hamid bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Pontianak Kalbar.
Alimul Alamah Haji Ahmad beristeri dan mengajar di Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai Utara), kemudian juga di Desa Balimau- Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Muhammad Arsyad bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Desa Muara Sungai Pamintangan-Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Muhammad Thaib (Haji Sa’duddin) beristeri dan mengajar di Desa Hamawang-Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).

Seperti disebutkan di atas bahwa disamping menyelenggarakan pengajian Syekh Muhammad Arsyad dalam usaha penyebaran ajaran Islam juga telah menulis beberapa buah kitab agama dalam bahasa Melayu Banjar dengan aksara Arab. Kitab-kitab karya Syekh Muhammad Arsyad tersebut dapat di golongkan atas 3 kelompok:
Kitab-kitab Tauhid, yang bertujuan memantapkan keyakinan Iman dan Aqidah yang benar. Kitab-kitab tersebut adalah: a. Kitab Ushuluddin, b. Kitab Tuhfatur Raghibin.
Kitab-kitab Fiqh, yang membicarakan masalah-masalah ibadah dan amaliah, yakni tentang segala tindakan manusia baik yang mempunyai hubungan dengan Tuhan ataupun sesama manusia. Kitab-kitab ini adalah: a. Kitab Sabilall Muhtadin lit Tafaqquh fi Amriddin, b. Kitabun Nikah, c. Kitabul Faraid, d. Kitab Nustatul Ajlan, e. Kitab Hasyiah Fathil Jawab.
Kitab-kitab Tasauf, untuk mendapatkan kedamaian bathin dalam berhubungan dengan Tuhan. Kitab-kitab ini adalah: a. Kitab Kanzul Ma’rifah, b. Kitab Al Qaulul Mukhtashar.

Demikianlah dari sejumlah karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang kemudian telah tersebar luas hingga ke beberapa negara di Asia Tenggara tersebut, dapat diukur sampai dimana andil beliau dalam mengembangkan dan menyebarkan ajaraan-ajaran Islam.

Ulama besar orang (suku) Banjar yang dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari meninggal pada tahun 1227 H (1812 M) dan dimakamkan di Desa Kalampayan-Martapura (Kabupaten Banjar, Kalsel), dengan meninggalkan barisan ulama sebagai kelompok sosial yang mempunyai kedudukan khusus dalam masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. (Sumber: Buku Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Penyebar Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah, oleh Drs. H. Ramli Nawawi).

Minggu, 02 Oktober 2011

MENYIMAK PERJALANAN SEJARAH NEGARA NUSANTARA

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Timbul tenggelamnya negara-negara nasional seperti Sriwijaya dan Majapahit memberikan cerminan kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Bagaimana Sriwijaya dapat menjadi negara besar dengan wilayah yang luas, demikian pula Majapahit berhasil mengembangkan kebudayaan yang tinggi di Nusantara, bukanlah semua itu suatu kebetulan belaka.

Faktor kepemimpinan yang dimiliki raja-raja atau penguasa-penguasa pada zamannya tersebut merupakan motor ke arah kejayaan suatu bangsa. Berbanggalah kita mempunyai pelaut-pelaut yang ulung pada zamann Sriwijaya dan zaman Majapahit. Kita tidak kalah hebat dengan bangsa-bangsa lain, baik yang di barat maupun yang di timur. Bahkan bumi Nusantara yang dahulu dikenal sebagai zamberut khattulistiwa, memiliki kekayaan alam yang menarik bangsa-bangsa Barat untuk datang ke Nusantara.

Tidak akan ada Amerika dan Australia kalau tidak ada orang Portugis dan Sepanyol yang tertarik dan bertetap hati untuk mencari Nusantara tersebut. Demikianlah Nusantara yang jaya dan masyhur ditemukan oleh orang-orang Portugis. Bangsa Eropah yang mengalami perkembangan pengetahuan dan teknologi sama-sama merasa berkepentingan dengan hasil bumi Nusantara. Bangsa Barat berdatangan ke Nusantara, mereka berdagang. Portugis, Sepanyol, Inggeris, Belanda bersaing di bumi Nusantara.

Dalam perjalanan sejarah Nusantara ini kemudian ada pemimpin-pemimpin Indonesia yang tetap pada prinsif bahwa Nusantara harus tetap menjadi miliknya orang Indonesia. Tetapi prinsif ini tidak begitu saja tumbuh pada semua orang Indonesia. Kita hebat tapi kita tidak mengembangkan scient yang mampu menumbuhkan nasionalisme. Karena itu kita mudah dimuslihati.

Kecuali mereka yang mempunyai prinsif, selalu teguh dan membakar semangat orang-orang sekitarnya. Timbullah gerakan-gerakan perlawanan rakyat seperti yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Sultan Agung, Untung Surapati, Pangeran Antasari, Pangeran Diponegoro, dan lainnya yang mengangkat senjata. Mereka adalah pemimpin-pemimpin bersama rakyat yang teguh prinsif, bahwa Belanda penjajah harus diusir dari bumi Nusantara. Mereka para pemimpin rakyat ini kemudian hancur besama keteguhan hati mereka. Mereka pahlawan nasional, walaupun mereka bukan orang-orang yang mengantarkan Indonesia Merdeka secara langsung kepada generasi selanjutnya.

Negeri ini tidak kehabisan putera-putera terbaik yang hancur memepertahankan prinsif. Pada suatu kesempatan yang kemudian datang, anak bangsa ini bangkit serentak. Orang Timur tidak selalu kalah dengan orang Barat. Osterse Renaissance melahirkan pergerakan-pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya disusun secara modern dengan sistem organisasi. Kegagalan atau kekeliruan pimpinan tidaklah menghentikan perjuangan mencapai tujuan. Patah tumbuh hilang berganti. Prinsif, organisasi, kepemimpinan politik dan teknologi merupakan faktor-faktor dominan untuk menghadapi imperialisme dunia.

Demikianlah kemerdekaan ini tidak lahir begitu saja. Mungkin kemerdekaan Indonesia 1945 tidak akan ada tanpa ada putera-putra terbaik seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, Dr. Tijpto Mangunkusumo, Dr. Setia Budi, H. Saman Hudi, HOS Tjokroaminoto, Tan Malaka, Syahrir, Soekarno, Hatta, Sartono, M. Yamin, dan banyak lainnya yang tidak tersebutkan satu persatu.

Kemerdekaan negeri ini sangat mahal, ia ditebus dengan darah dan penderitaan. Revolusi telah mewariskan beribu makam pahlawan. Berjuta manusia yang rela mati karena meneriakkan kata “MERDEKA” atau menegakkan tiang dan melindungi kain berwarna “MERAH dan PUTIH”.

Tahukah Saudara untuk siapa mereka berbuat semua itu. Untuk kita semuanya, untuk diwariskan kepada generasi berikutnya, kepada kita dan anak cucu kita. Tidak ada suhada dan pahlawan yang mengucapkan pesan kepada kita. Kecuali kitalah yang harus bersikap, kemana Indonesia yang mahal ini akan kita bawa. Dan hanya mereka yang tidak mengenal sejarah yang tidak pernah mendengar bisikan semangat dan keteguhan hati patriot-patriot bangsa ketika menghadapi maut sebagai resiko perjuangannya. Mereka para pewaris kemerdekaan yang zalim lah yang saat ini tega menari-nari di atas bangkai perjuangan. (HRN: disusun dari berbagai sumber).

Jumat, 23 September 2011

UNSUR KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN


Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Kalimantan Selatan tidak hanya dihuni oleh suku bangsa Banjar. Ada pula suku bangsa Bakumpai yang mengaku dan diakui juga sebagai orang Banjar, tetapi mengembangkan bahasa sendiri (bahasa Bakumpai) yang berbeda sekali dengan bahasa Banjar. Juga di daerah pegunungan sebelah timur terdapat kelompok masyarakat terasing yang dinamakan orang Bukit, yang digolongkan kedalam suku Dayak. Penamaan orang Bukit ini lebih mengacu pada daerah tempat tinggal mereka yang berada di perbukitan.

Masyarakat suku Banjar yang merupakan penghuni terbesar di daerah ini menganut ajaran agama Islam yang kuat. Upacara keagamaan dapat dilihat baik pada acara-acara resmi pemerintah maupun yang dilakukan masyarakat umum.

Namun jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan, kebanyakan penduduknya menganut kepercayaan lama yang bersumber dari lingkungan kehidupan mereka sendiri. Kemudian datang agama Hindu dan dengan cepatnya berkembang di seluruh kawasan daerah Kalimantan Selatan. Agama ini menjadi anutan dan tuntunan kehidupan dengan mendirikan candi-candi sebagai manifestasi dari keberadaannya.

Bukti peninggalannya adalah situs bangunan Candi Agung yang terdapat di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara dan situs Candi Laras yang terletak di Margasari Kabupaten Tapin. Sehingga unsur kepercayaan yang dahulu pernah dianut masih juga tertinggal di masyarakat. Dalam beberapa hal unsur-unsur itu tercampur dalam kepercayaan menurut agama Islam. Tetapi selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, masih dikerjakan sebagai suatu tradisi yang wajar.

Sebagai penganut Islam yang taat, suku bangsa Banjar membangun tempat-tempat ibadah seperti Masjid, Langgar (Surau), dan tempat-tempat pendidikan Islam yang khusus dibangun oleh masyarakat setempat. Pengaruh agama Islam bergerak jauh ke pedalaman, yang juga ikut mempengaruhi mitologi rakyat dari suku bangsa yang ada.

Namun demikian seperti disinggung di atas, faktor kepercayaan lama pada zaman nenek moyang, yang bersumber pada unsur-unsur kosmologi tetap melekat baik secara disadari atau pun tidak. Memang sukar untuk mengukur sampai sejauh mana indikasi unsur kosmologi itu melekat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan, tapi hal itu masih dapat dilihat atau dirasakan dalam beberapa tindakan kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Kalimanatan Selatan yang hidup dalam lingkungan adat istiadat sepertinya juga tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan tindakan yang dilazimkan oleh adat. Misalnya, orang mau saja mengadakan atau melakukan sesuatu yang sudah menjadi suatu keharusan agar tidak mendapatkan kemurkaan atau kutukan dari yang dianggap mereka menciptakan peraturan yang sudah diadatkan tersebut.

Masyarakat Kalimantan Selatan baik sukubangsa Banjar maupun kelompok sukubangsa Dayak umumnya juga melaksanakan berbagai adat istiadat yang telah berpola, terutama upacara daur hidup. Contohnya, seorang isteri dari masa kehamilan pertama jika telah mencapai tujuh bulan diadakan acara mandi-mandi yang disebut “mandi tian mandaring”. Ketika lahir dilakukan palas bidan, bapalas “baayun”, diteruskan upacara tasmiah, sunatan. Setelah dewasa ada upacara perkawinan, yang didahului dengan serangkaian adat yang berlaku, mulai basusuluh, badatang, pelaksanaan akad nikah, sampai hari perkawinan penuh dengan aturan-aturan yang diadatkan.

Demikian pula halnya kematian, dilaksanakan serangkaian upacara yang telah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Dalam masyarakat suku Banjar upacara kematian berlangsung beberapa urutan, yaitu mulai turun tanah, meniga hari, menujuh hari, menyelawi, meampat puluh hari dan menyeratus. Dan setiap tahun dilaksanakan haulan. Tentu saja dalam kaitan ini dibacakan zikir dan doa kepada arwah yang meninggal secara Islam.

Dalam masyarakat sukubangsa Banjar juga mengenal adanya kelompok yang sangat kuat kesatuannya. Hal ini masih dapat ditemui hingga sekarang. Kesatuan itu biasa disebut dengan perkataan “bubuhan”, yang rasa kesatuan sosial dan sifat gotong royongnya kuat sekali.

Pengertian bubuhan kalau dalam ilmu Antropologi sama dengan keluarga luas, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari lebih dari keluarga inti yang seluruhnya merupakan sistem kesatuan sosial yang sangat erat yang biasanya tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan. Sejak zaman Hindia Belanda bubuhan-bubuhan tidak lagi tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan melainkan telah menyebar ke pemukiman yang saling berjauhan.

Biasanya seorang yang terpandang, mungkin karena memiliki kekayaan atau kedudukan yang tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian dipakai menjadi nama bubuhan, misalnya bubuhan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (penyebar ajaran Islam abad 18 di Kalimantan Selatan).

Diantara kelompok bubuhan ini ada ada yang percaya bahwa mereka dapat menarik garis keturuanan bilateral sampai tokoh zaman dahulu yang sulit ditelusuri silsilahnya dengan urut. Tokoh tersebut dipercaya menurunkan Sultan-Sultan Banjar atau seorang pejabat kesultanan. Kadang-kadang bubuhan mempunyai benda-benda pusaka yang menjadi lambang keunggulan, atau ada pula yang mempunyai sumber air (sumur) keramat yang berfungsi menghubungkan bubuhan dengan tokoh tertentu melalui dongeng atau legenda. Misalnya legenda sumur datu sebagai tempat Datu Taruna menyimpan harta pusaka.

Kepercayaan demikian itu selalu disertai dengan keharusan bubuhan yang bersangkutan untuk melakukan upacara tahunan yang disebut aruh tahun atau tradisi yang berlaku. Seperti yang pernah dilakukan kelompok masyarakat bubuhan turunan Datu Taruna di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah menyelenggarakan upacara “Manyanggar Banua” disertai berbagai keharusan atau pantangan sehubungan dengan kepercayaan tersebut (yang pernah penulis ikuti kegiatannya pada tahun 1980-an).

Pada beberapa kelompok bubuhan dengan setia melakukan aruh tahun walaupun tidak jelas adanya tokoh nenek moyang yang dapat ditelusuri asal muasalnya. Akan tetapi mereka yakin dengan menjiwai mantra atau mamangan tertentu merasa dapat berhubungan dengan nenek moyang mereka.

Selain itu bagi sebagian masyarakat sukubangsa Banjar hutan belantara, semak belukar dan gunung bukan semata-mata dihuni oleh makhluk bumi melainkan juga didiami oleh makhluk gaib, binatang gaib, datu dan sebagainya. Lingkungan kehidupan manusia merupakan personifikasi dunia gaib, sehingga di kalangan sebagian masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan untuk bumi rata adalah dunia bagi mahluk gaib yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah rawa dan lain sebagainya.

Adanya kepercayaan yang demikian itu bubuhan orang Banjar yang mendiami daerah tertentu mengadakan upacara setahun sekali, yaitu upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Para petani dalam lingkungan persawahan mengadakan selamatan padang atau menyanggar padang sebelum memulai kegiatan bertani. Para nelayan di pantai Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu setiap tahun menyelenggarakan Upacara Mapantari Tasi dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak di tahun mendatang. Demikian juga sebagai contoh lain para pendulang intan melaksanakan kegiatan selamatan (menyanggar) di lokasi pendulangan sebelum melaksanakan kegiatan pendulangan.

Demikianlah, kebudayaan dan adat istiadat yang ada dan tumbuh di Kalimantan Selatan cukup banyak variasinya sesuai dengan keadaan kelompok sukubangsa dan kepercayaan yang mereka anut. Meskipun sesungguhnya keberadaan budaya dan adat istiadat itu sudah diketahui, namun tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh semua pihak karena keterikatan pada pemahaman masing-masing individu dan kelompok. Apalagi jika budaya dan adat istiadat itu hendak dikaitkan dengan agama dan kepercayaan penganutnya secara murni dapat menimbulkan persoalan yang berbau SARA dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu diperlukan kearifan kita dalam memahaminya supaya kehidupan bermasyarakat selalu harmonis walaupun berbeda budaya, agama dan kepercayaan. (HRN: disusun dari berbagai sumber).

Senin, 15 Agustus 2011

BENTENG MADANG







Benteng Gunung Madang



Demang Lehman




Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Benteng Madang terletak di Desa Madang Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan). Jarak antara Desa Madang dengan Banjarmasin sekitar 140 km.

Benteng Madang dibangun seiring dengan pecahnya Perang Banjar melawan penjajah Belanda di Bumi Lambung Mangkurat. Benteng ini terdapat di atas Gunung Madang salah satu dari bagian Pegunungan Meratus. Tempat tersebut sangat strategis untuk pertahanan, karena bila kita berada di tempat tersebut, maka daerah sekeliling dapat terlihat dengan mudah. Benteng tersebut dikelilingi oleh hutan semak belukar di sana–sini ditumbuhi bambu. Gunung Madang identik dengan Benteng Madang dengan luas sekitar 400 m2.

Di kaki Gunung Madang terdapat aliran-aliran sungai yang di tepinya banyak ditumbuhi ilalang dan pohon bambu. Pada aliran-aliran sungai yang mendekati tempat penyeberangan diadakan titian atau jembatan-jembatan yang apabila diinjak titian ini bergerak, dan kalau jatuh besar kemungkinan tertusuk benda tajam yang sengaja dipasang oleh pejuang-pejuang Antaludin. Akibatnya tidak hanya luka-luka bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian. Masyarakat menyebutnya sebagai “jembatan serongga”.

Jembatan-jembatan tersebut sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang Antaludin agar apabila musuh ingin memasuki daerah Gunung Madang akan terhalang atau mudah diketahui. Untuk memperkokoh pertahanan Benteng Madang diberi perlindungan dari pepohonan agar gelap di sang hari.

Pada bagian lain dibuat jalan rahasia untuk keluar pabila kemungkinan seangan musuh bisa tembus. Konon pernah serdadu Belanda mengadakan penjajakan untuk melihat dari dekat keadaan Benteng Madang, tetapi mereka tidak melihat apa-apa kecuali hutan semak belukar. Keadaan yang ganjil ini membuat serdadu Belanda penasaran. Sehingga suatu waktu tempat tersebut ditembaki oleh serdadu Benda dari jarak jauh. Ketika para serdadu Belanda tersebut kelelahan dan kehausan, mereka meminta air kelapa muda kepada masyarakat, tetapi yang terjadi setelah mereka meminum semua sakit perut dan ada yang meninggal.

Taktik gerilya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Antaludin membuat pemerintah kolonial Belanda kebingungan dan putus asa. Banyak serdadu Belanda yang terbunuh. Para pejuang Antaludin tidak pernah menyerah dan Benteng Madang tidak pernah direbut Belanda. Baru ketika benteng tersebut ditinggalkan oleh pejuang-pejuang Antaludin untuk bergerilya ke berbagai lokasi pertempuran, tentara Belanda menemukan tempat kosong setelah dengan susah payah berusaha mengepung untuk merebutnya.

Sejarah telah mencatat Perang Banjar dimulai sejak penyerangan terhadap tambang batu bara Belanda Oranye Nassau di Desa Pengaron yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dengan mengerahkan pasukan Muning pimpinan Sultan Kuning. Peristiwa ini terjadi pda tanggal 28 April 1859. Pangeran Hidayat memerintahkan kepada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat penyerangan terhadap tambang batu bara Oranye Nassau milik Belnda tersebut.

Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan massa lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Kemudian serentak rakyat Banjar bangkit mendukung perjuangan Pangeran Antasasri untuk mengusir Belanda dari tanah Banjar. Selanjutnya Perang Banjar berlangsung sampai dengan tahun 1904, suatu peperangan yang sangat melelahkan karena tergolong perang kolonial yang paling lama di Indonesia.

Pangeran Antasari dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaludin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Benteng Madang dibangun di sebuah puncak gunung di Desa Madang. Bangunan benteng dari bahan kayu madang yang ada di sekitarnya serta pagar hidup dari pohon bambu dengan luas kurang lebih 400m2 bertingkat dua, agar mudah mengintai musuh dari bagian teratas


Benteng ini diberi perlindungan agar gelap pada siang hari dan dibuat jalan rahasia untuk keluar. Hal ini untuk memperkuat pertahanan dan tentara Belanda sulit merebut tempat ini. Tercatat ada lima kali serangan Belanda terhadap benteng ini.

Tanggal 3 September 1860 terjadi serangan mendadak oleh pasukan infantri Belanda sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda bergerak dari Benteng Amawang Belanda menyelusuri Desa Karang Jawa dan Desa Ambarai langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu terjadi serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya. Sehingga serdadu Belanda mundur kembali ke benteng Amawang di Kandangan.

Tanggal 4 September 1860 pasukan infantri Belanda dari batalyon ke 13 melakukan serangan kedua kalinya. Pasukan Belanda dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian (nara pidana) untuk membawa perlengkapan perang yang dijadikan umpan dalam pertempuran. Serdadu Belnda melemparkan 3 geranat tetepi tidak berbunyi dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Ketka Letnan De Bouw dan Sersan De Varies menaki Gunung Madang hanya diikuti serdadu bangsa Belanda, sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur. Dalam pertempuran Letnan De Brouw kena tembak di paha, sehingga serdadau Belanda mundur dan kembali ke Benteng Amawang.

Tanggal 13 September 1860 serangan ketiga Belanda terhadap Benteng Madang dipimpin oleh Kapten Koch dengan bantuan serdadu Belanda dari Banjarmasin dan Amuntai. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin dengan gagah berani menghadapinya. Disaat bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Pasukan Belanda dan Kapten Koch kembali mundur ke Benteng Amawang. Kegagalan serangan ketiga ini membuat belanda sangat malu karena tersebar sampai ke Banjarmasin.

Tanggal 18 September 1860 serangan Belanda yang keempat dipimpin oleh Mayor Schuak dengan pasukan infantri batalyon ke 13 yang terdiri dari beberapa opsir bangsa Belanda, dibantu oleh Kapten Koch dengan membawa sebuah heuwitser, sebuah meriam berat dan morter. Menjelang pukul11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. Letnan Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya kena tembak oleh anak buah Tumenggung Anataludin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Dengan bergegas pasukan Belanda menggotong tubuh Kapten Koch dan meninggalkan medan pertempuran, mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang.

Setelah serangan keempat ini gagal Belanda mempersipkan kembali untuk penyerangan yang kelima. Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin juga mempersipkan siasat dan strategi untuk menghadap serangan besar-besaran Belanda dengan keluar dan tidak berpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari pasukan Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari Gunung Pamaton.

Tanggal 22 September 1860 Belanda dengan persiapan teliti, belajar dari kegagalan dan beberapa kali dipermalukan dari empat kali serangan, Belanda mempersiapkan bidak-bidak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan Benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi esok harinya dengan tembakan meriam dan lemparan geranat. Menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin mengadakan serangan besar-besaran dengan berbagai jenis senapan yang dimiliki. Pertempuran berkobar hingga menjelang subuh. Karena pertempuran berlangsung di malam hari yang gelap gulita pasukan Belanda kehilangan komando. Situasi yang tegang ini digunakan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin beserta pasukannya untuk keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng dan selanjutnya berpencar. Suatu strategi yang dilakukan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin utuk menghindari kehancuran pasukannya. Sementara Kiai Cakrawati dan pasukannya juga berhasil meneruskan perjalanan menuju Gunung Pamaton.

Sementara itu dengan hati-hati pasukan Belanda memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin, tetapi alangkah kecewanya Belanda ternyata benteng sudah kosong dan hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.

Demikian lah sejarah singkat Benteng Madang, sebuah tempat pertahanan para pejuang Perang Banjar di daerah Hulu Sungai Selatan (Kandangan) dalam menghadapi pasukan Belanda. Pada dasarnya benteng tersebut tidak berhasil direbut Belanda karena Benteng Madang ditinggalkan oleh pejuang Banjar kemudian melanjutkan perlawanan berikutnya ditempat lain yang lebih strategis. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin sampai akhir hayatnya tidak pernah menyerah kepda Belanda

Dengan susah payah, biaya yang besar dan dengan perang yang melelahkan serta banyaknya korban, Belanda sangat malu dan dikecewakan karena benteng yang akan direbut tidak lebih hanyalah tempat kosong belaka.

Sekarang lokasi situs Benteng Madang tetap terpelihara, sebagai situs sejarah dengan juru peliharanya. Bila sejarah adalah pertangungjawaban masa silam, maka situs Benteng Madang dengan segala kejadiannya merupakan saksi sejarah bahwa di sini di bumi Banjar telah terjadi suatu peristiwa kepahlawanan untuk melawan kolonial Belanda.

Pejuang Banjar di sini secara konsekwen dan konsesten memegang prinsip “HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING”. Suatu slogan dalam kehidupan orang Banjar dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang. (HRN: disusun dari barbagai sumber).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
 

Senin, 25 Juli 2011

MONUMEN NGOTO





(Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara)

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Monumen Perjuangan TNI AU (Angkatan Udara) dahulu dikenal dengan nama Monumen Ngoto karena monumen ini terletak di dekat Dukuh Ngoto, Kelurahan Tamanan, Kecamatan Bangun Tapan, Kabupaten Bantul, sebelah selatan kota Yogyakarta.


Monumen yang dibangun tanggal 1 Maret 1948 ini berupa sebuah bangunan tugu setinggi 7 m yang terbuat dari bahan semen cor dengan batang tubuh bersegi enam kerucut. Bangunan ini di topang lapik segi empat bersusun dua mengecil. Pada puncak tugu terdapat patung burung garuda setinggi 1,5 m yang sedang merentangkan sayapnya terbuat dari bahan tembaga. Tugu Monumen Perjuangan TNI AU ini berada dalam areal tanah yang berpagar terali besi. Pada bagian belakang tugu terdapat dinding yang berelief tentang rangkaian peristiwa sejarah Hari Bakti TNI AU tanggal 29 Juli 1947.

Monumen ini pernah dipugar pada tahun 1981 ketika Marsekal Ashadi Tjahjadi menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Kemudian tahun 2000 kembali mengalami renovasi, bahkan kemudian berdasarkan Surat Kepala Staf TNI Angkatan Udara No. Skep/78/VII/2000 tanggal 17 Juli 2000 monumen ini diresmikan dengan nama Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara.

Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) dibangun untuk mengenang semangat juang, semangat berbakti, pengorbanan serta kepahlawanan putra-putra di lingkungan Angkatan Udara Republik Indonesia dalam membela Proklamasi 17 Agustus 1945 demi kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia. Putra-putra terbaik bangsa dari kalangan TNI AU yang gugur di tempat ini dalam penerbangan menjalankan tugas perjuangan waktu itu adalah Marsekal Muda TNI (Anumerta) Agustinus Adisutjipto, Marsekal Muda TNI (Anumerta) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, serta Opser Muda Udara I Adi Sumarno Wiryokusumo.

Kini dalam areal Monumen Perjuangan TNI AU ini, di bawah cungkup yang lebarnya 40 m2, terdapat 2 buah makam di antara para pejuang yang gugur tersebut. Sesuai dengan permintaan keluarga para pahlawan tersebut, maka makam mereka didampingi oleh makam isteri masing-masing. Dua orang pahlawan bangsa yang makamnya di pindahkan dari Pemakaman Umum Kuncen I dan Kuncen II ke areal monumen ini adalah Bapak Agustinus Adisutjipto bersama isteri bernama Ny. Yosephina Rahayu Adisutjipto dan Bapak Abdulrachman Saleh beserta isteri yang bernama Ny. Ismudiati Abdulrachman Saleh. Sedangkan makam AdisumarmoWiryokusumo tetap berada di Taman Makam Pahlawan (TMP) Semaki.

Inisiatif pemindahan makam Marsekal Muda TNI (Anumerta) Agustinus Adisutjipto dan makam Marsekal Muda TNI (Anumerta) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dari pemakaman Kuncen I dan II ke lokasi Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) ini datang dari Marsekal TNI Hanafie Asnan ketika beliau menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara. Gagasan pemindahan kedua makam tersebut dilatarbelakangi karena pada setiap tahun yakni tanggal 29 Juli, TNI Angkatan Udara selalu melaksanakan upacara militer di kedua makam yang berada di Kuncen I dan II tersebut. Namun karena sempitnya lokasi makam, maka tata upacara militer tidak dapat dilaksanakan dengan hidmat, sehingga mengurangi kemegahan dan kebesaran kedua tokoh sesuai dengan jasa dan pengabdiannya.

Karena itulah kemudian TNI AU menawarkan kepada pihak keluarga Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh untuk memindahkan kedua makam tersebut ke Taman Makam Pahlawan Semaki. Tetapi pihak keluarga kedua pahlawan tersebut merasa keberatan kalau makam mereka dipisahkan dengan makam isteri masing-masing yang ada di sampingnya. Sehubungan dengan masalah tersebut ditempuh jalan keluar setelah mendapat persetujuan pihak kedua keluarga, yakni jasad kedua pahlawan tersebut beserta dengan jasad isteri masing-masing dipindahkan ke lokasi Monumen Ngoto, tempat jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA karena mendapat serangan pesawat Belanda. Pada waktu itu para pahlawan kita tersebut sedang membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya (Malaysia).

Dalam lokasi Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) selain terdapat bangunan tugu dan makam yang berada dalam cungkup, juga terdapat bangunan dinding relief yang menggambarkan kegiatan penyerangan yang dilakukan pesawat-pesawat milik Angkatan Udara RI terhadap tangsi-tangsi Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga serta relief peristiwa jatuhnya pesawat Dakota yang membawa bantuan obat-obatan dari Malaya (Malaysia) karena mendapat serangan pesawat Belanda ketika akan mendarat di Pangkalan Udara Maguwo.

Pesawat Dakota yang jatuh di dekat Dukuh Ngoto, tiga km selatan kota Yogyakarta ini selain membawa obat-obatan bantuan dari Malaya (Malaysia) juga membawa penumpang yang terdiri dari Komodor Muda Udara (Kolonel) Agustinus Adisustjipto, Komodor Udara Muda (Kolonel) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opser Muda Udara I (Lettu) Adisumarmo Wiryokusumo, pilot Alexander Noel (Australia), co pilot Roy Hazelhurst (Inggeris), juru mesin Bhidaram, Zainal Arifin (Konsol Dagang RI di Malaya) dan Ny. Noel Constantine. Semua penumpang tersebut meninggal dunia, kecuali seorang penumpang yang selamat bernama A. Gani Handoyotjokro. Nama-nama mereka yang menjadi korban jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA karena diserang pesawat tempur Belanda tersebut diabadikan pada salah satu sisi Tugu Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) tersebut.

Peristiwa jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA merupakan rangkayan dari peristiwa Agresi Militer Belanda terhadap wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu beribu kota di Yogyakarta, yakni setelah penandatangan Persetuan Linggar jati tanggal 25 Maret 1947, dimana Belanda hanya mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia hanya terdiri atas Jawa, Madura dan Sumatera. Sedangkan daerah-daerah lainnya akan dibentuk negara-negara bagian yang masuk dalam Negara Indonesia Serikat. Bahkan sesudah itu Belanda mendaratkan militer besar-besaran, tanggal 21 Juli 1947 melakukan Agresi Militer terhadap wilayah Negara RI tanpa memperdulikan Persetujuan Linggarjati, sehingga wilayah RI dalam waktu singkat hanya tinggal sebagian Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam penyerangan yang dilakukan tentara Belanda tanggal 21, kemudian juga tanggal 25 dan 27 Juli 1947 dalam Agresi Militer Belanda tersebut, hampir seluruh Pangkalan Udara RI menjadi sasaran penyerangan, termasuk Pangkalan Udara Magowo yang diketahui sebagai pusat kekuatan udara RI waktu itu. Namun karena Pangkalan Udara Magowo yang waktu penyerangan Belanda pagi itu tertutup kabut tebal maka luput dari serangan, sehingga puluhan pesawat yang menjadi modal untuk melatih calon-calon penerbang dapat diselamatkan.

Sebagai balasan atas serangan-serangan pesawat Belanda tersebut, maka Kepala Staf Angkatan Udara Suryadi Suryadarma waktu itu memerintahkan untuk menyerang tangsi-tangsi Belanda yang ada di Salatiga dan Semarang. Penyusun rencana operasi adalah Komodor Udara (Kolonel) Halim Perdana Kusuma, sedangkan pelaksana penyerangan dilakukan oleh empat kadet Sekolah Penerbang AURI, yakni Mulyono, Suharnoko Harbani, Sutardjo Sigit, dan Bambang Saptoadji. Empat pesawat yang disiapkan adalah dua buah Curen, satu Hayabusha, dan satu Guntei. Namun pada hari keberangkatan Hayabusha yang akan diterbangkan Bambang Saptoadji rusak, sehingga ia tidak ikut melaksanakan misi tersebut.

Peristiwa serangan balasan yang ditujukan ke tangsi-tangsi Belanda tersebut dilakukan pada Selasa dinihari, tanggal 29 Juli 1947. Tepat pukul 03.45 WIB tiga pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Magowo. Kadet Mulyono didampingi penembak udara Durachman menggunakan pesawat Guntei, melakukan lepas landas yang pertama. Di belakangnya dua pesawat Curen menyusul lepas landas. Kadet Sutardjo Sigit didampingi penembak udara Sutarjo, dan Kadet Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Kaput. Kadet Mulyono bertugas menyerang pelabuhan laut Semarang, sementara Kadet Sutardjo Sigit dan Kadet Suharnoko Harbani menyerang Salatiga.

Kadet Sutardjo Sigit dan Kadet Mulyono berhasil melakukan operasi udara sesuai dengan rencana. Sedangkan Kadet Suharnoko Harbani, karena kegelapan pagi kehilangan pesawat yang dikemudikan Kadet Sutardjo Sigit yang menjadi leader-nya. Sehingga ia memutuskan untuk terbang ke Salatiga ia menyusuri lereng timur Gunung Merapi. Namun dari ketinggian terbang ia kemudian melihat lampu kota Ambarawa. Ia kemudian mengarahkan pesawat ke arah timur kota tersebut, di mana tangsi Belanda dibangun. Pagi itu serangan udara dilakukan oleh para kadet tersebut. Dua bom seberat 50 kg dijatuhkan, sehingga tampak asap mengepul. Setelah itu pesawat udara Curen kembali ke Pangkalan Udara Magowo melalui rute pertama, dan tiba paling awal. Kemudian disusul pesawat udara yang dikemudikan Kadet Sutardjo dan Kadet Mulyono.

Sementara itu pada hari yang sama tanggal 29 Juli 1947 juga sebuah pesawat terbang Dakota VT-CLA pukul 1.00 siang waktu setempat meninggalkan lapangan terbang Singapura dengan membawa sumbangan obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia. Ketika mendekati Pangkalan Udara Magowo saat roda-roda pesawat mulai keluar, pesawat Dakota VT- CLA membuat satu kali putara untuk persiapan mendarat, tetapi tiba-tiba muncul dua buah pesawat pemburu Kittyhawk Belanda dan melakukan penembakan dengan gencar. Dakuta VT-CLA kemudian terbang ke arah selatan dalam keadaan terbakar dan jatuh di Jatingarang dekat Dusun Ngoto, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Seperti disebutkan di atas bahwa peristiwa itu menewaskan 8 orang penumpangnya, yang 2 orang di antaranya makamnya terdapat di areal Monumen Ngoto, yang sekarang disebut Monumen Perjuangan TNI AU.

Peristiwa gugurnya para perintis dan tokoh TNI AU dalam peristiwa ini semula diresmikan dan diperingati sebagai hari berkabung. Kemudian sejak tahun 1962 peristiwa tanggal 29 Juli 1947 tersebut ditetapkan sebagai Hari Bakti TNI AU, dan diperingati setiap tahun di Lapangan Udara Adisutjipto.

Sampai peristiwa tersebut terjadi perjuangan bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan Indonesia masih terus berlangsung. Perjuangan tidak lagi tergantung hanya pada seorang tokoh atau pimpinan. Satu gugur tampil penggantinya. Perjuangan melawan Belanda juga terjadi di seluruh tanah air dalam waktu yang bersamaan. Di mana-mana terjadi perang, rakyat melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, sehingga akhirnya mendapat perhatian Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

(Drs. H.Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional, disusun dari berbagai sumbar).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).

Selasa, 12 Juli 2011

SEKILAS TENTANG KERATON BANJAR


KERATON BANJAR

Dari: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Keraton Banjar adalah Istana Kesultanan Banjar sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banjar. Sampai saat ini lokasi-lokasi keraton dan wujud keraton Banjar tidak dapat diketahui dengan pasti, sebab tidak adanya data yang lengkap. Sebagai bekas negara terbesar di bagian selatan Borneo pada masa kejayaannya, tentunya Kesultanan Banjar memiliki pusat pemerintahan yang cukup baik. Keberadaan Keraton Banjar yang sudah punah, salah satunya dikarenakan pertentangan dan konflik dengan Belanda. Sikap Kesultanan Banjar dan orang Banjar pada umumnya yang tidak mau tunduk kepada kemauan Belanda.

KERATON KUIN

Keraton pertama dibangun di Banjarmasih (Kuin). Banjarmasih terletak di antara sungai-sungai :

Sungai Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin
Sungai Kuin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran).

Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat bertemu dan membentuk sebuah danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti menjadi ibukota Kesultanan Banjar yang pertama.

Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan (gedung gamelan/senjata), Sitiluhur (Siti Hinggil) dan Paseban.

Menurut Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa dalam Melacak Arsitektur Keraton Banjar, beranggapan lokasi keraton berada pada Komplek Makam Sultan Suriansyah saat ini.

Gambaran Kota Banjarmasin kuno menurut M. Idwar Saleh adalah sebagai berikut :

Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton.

Istana Sultan Suriansyah berupa Rumah Bubungan Tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk rumah Betang dengan bahan utama dari pohon ilayung.

Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban.

Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur.

Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja.

Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.

Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air.

Menyeberang sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap Senin atau Senenan.

Di sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap.

Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di rumah-rumah rakit, dan sebagian lagi tinggal di rumah betang di darat.

Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah.

Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan yang baru.

BERITA DINASTI MING

Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit) hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu (bahasa Banjar:pelupuh) dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi. Menurut Willy kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai.

KERATON DI KAYU TANGI (KARANG INTAN)

Pada tahun 1612 keraton Kuin mendapat serangan dari VOC, tempat tinggal Sultan hancur, sehingga pemerintahan dipindahkan oleh Sultan Mustain Billah ke hulu sungai Martapura. Majunya perdagangan Banjar setelah masa Sultan Mustain Billah membawa kemakmuran dengan kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya. Di daerah Martapura ini, keraton Banjar beberapa kali berpindah tempat, salah satunya Keraton Bumi Kencana yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Bumi Selamat pada tahun 1806.

John Andreas Paravicini utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Sepuh saat itu menulis laporannya tentang keraton Sultan di Kayu Tangi :

" .....mula-mula barisan tombak berlapis perak, dibelakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba dibahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal merah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba dibahagian kedua kraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru kebahagian kraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi dengan rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia".

PERUBAHAN NAMA BUMI KENCANA MENJADI BUMI SELAMAT:

Pada Tahun 1771, Sunan Sulaiman Saidullah I (Sunan Nata Alam) memindah keraton Banjar dari Kayutangi ke Bumi Kencana (Martapura).[1] Bumi Selamat adalah sebutan untuk kompleks keraton Sultan Banjar di Martapura. Kediaman Sultan atau nDalem Sultan disebut Dalam Sirap. Nama Keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut Keraton Bumi Kencana. Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda pada tanggal 11 Agustus 1806. Ini hormat sudah kita sempurnakan serta kita patrikan tiap-tiap dimana tempat paseban dalam negeri Bumi Kintjana jang sekarang ganti nama Bumi Selamat. Sebelas hari dari bulan Agustus tahun 1806 (seribu delapan ratus enam).

BALAI SEBA

Balai Seba adalah sebuah bangunan dalam kompleks keraton Bumi Kencana yang dibangun tahun 1780 oleh Panembahan Batuah dengan ukuran lebar 50 kaki, panjang 120 kaki dan tinggi 25 kaki.

DALEM SULTAN TAMJIDULLAH II DI KAMPUNG SUNGAI MESA

Berdekatan dengan Kampung Melayu terdapat Kampung Keraton yang kemudian namanya diubah menjadi Kampung Sungai Mesa yang didirikan oleh Kiai Maesa Jaladri alias Anang putera Tumenggung Suta Dipa. Di kampung Sungai Mesa terdapat kediaman Menteri Besar Kiai (Mesa) Maesa Jaladri, istana Sultan, Balai Kaca, dan istana Sultan Tamjidullah II. Berseberangan (sungai) dengan istana Sultan Tamjidullah II terdapat rumah Residen di Kampung Amerongan, yang di sebelah hilirnya terdapat benteng Tatas. Kampung Amerongan merupakan kampung terbesar di seberang Kampung Sungai Mesa pada saat itu.

Referensi
1. The New American encyclopaedia: a popular dictionary of general knowledge, Volume 2, D. Appleton, 1865

2. Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan, Penerbit Fadjar, 1953

3. H. Ramli Nawawi, Tamny Ruslan, Yustan Aziddin, Sejarah kota BanjarmasinDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986

4. Mohamad Idwar Saleh, Banjarmasih: sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950, Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982

Sumber "http: id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Banjar"