Sabtu, 01 September 2012

Selasa, 28 Agustus 2012

QUWWATUL ISLAM MASJID PARA PEDAGANG INTAN DI YOGYAKARTA


                                                              Oleh: Ramli Nawawi
Seiring dengan berkembangnya Kota Yogyakarta yakni sejak diberlakukannya Perjanjian Gianti tahun 1755 yang menetapkan pembangian Kerajaan Mataram atas Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta, sejak itu pula banyak  para pedagang dari berbagai daerah yang mengadu nasib ke Yogyakarta. Bersamaan itu pula para penggurijaan intan dari Banjarmasin yang sudah lama pulang-pergi membawa barang dagangan ke Kota Solo, bahkan sudah ada yang menetap di Kampung Jayengan Solo, dan mulai banyak pula yang berdagang ke Kota Yogyakarta. Sebagai sebuah ibu kota kerajaan, Yogyakarta semakin banyak dikunjungi pedagang termasuk para pedagang Belanda. Di antara pedagang Belanda tersebut di antaranya banyak juga yang ikut berjual-beli batu permata terutama intan dan berlian. Di samping itu keluarga kraton sendiri banyak yang suka mengoleksi batu-batu permata dimaksud. Situasi kehidupan di Yogyakarta yang semakin ramai perdagangannya itulah yang akhirnya mengundang pedagang-pedagang intan dari Banjarmasin semakin banyak di kota tersebut. Beberapa di antara pedagang Banjar ini sudah mulai ada pula yang menetap di Yogyakarta. Mereka umumnya tinggal di kawasan Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Bringharjo, di mana sehari-hari mereka melakukan kegiatan jual beli barang dagangannya
Sementara itu pula para pedagang intan dan berlian dari Banjar baik yang sudah menetap di Kampung Jayengan Solo maupun yang masih pulang-pergi Banjarmasin- Solo juga sudah banyak yang berjualan ke Pasar Beringharjo Yogyakarta. Apalagi sejak awal tahun 1800-an di Kampung Jayengan sudah berdiri Penggosokan Intan milik H. Yusuf seorang pedagang dari Banjarmasin yang telah menetap di Kota Solo. Intan dan berlian hasil penggosokan di Jayengan yang dikerjakan orang-orang dari Banjar tersebut juga dipasarkan ke Yogyakarta di samping ke kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa. Saleh putra H. Yusuf sendiri setelah menamatkan sekolahnya di Mambaul Ulum Solo kemudian juga menjadi pedagang memasarkan intan dan berlian hasil penggosokan milik orang tuanya ke beberapa kota di Pulau Jawa. Ketika membawa dagangan ke Yogyakarta Saleh kadang-kadang menginap di rumah keluarga, karena waktu itu orang Banjar sudah banyak yang menetap di Yogyakarta, yang di antaranya masih ada hubungan keluarga dengan orang tuanya.
Memasuki tahun 1900-an para pedagang batu mulia asal Banjarmasin yang tinggal di Yogyakarta, juga sudah ada beberapa orang yang melakukan usaha penggosokan intan secara tradisional di rumah-rumah mereka. Kegitan penggosokan intan terdapat di beberapa rumah warga Banjar yang bermukim di Kampung Katandan yang tidak jauh dari Pasar Beringharjo[1]. Dengan makin ramainya perdagangan batu mulia di Yogyakarta semakin ramai pula para pedagang intan dari Banjar yang datang membawa dagangan ke kota tersebut. Sehingga dalam bebarapa tahun kemudian warga Banjar sudah banyak yang menetap di beberapa kampung di Yogyakarta, seperti di Kampung Suryatmajan, Kauman, Tegalpanggung, Gembelaan, Cokrodirjan, bahkan serara sporadis tersebar di beberapa kampung lainnya.
Para pedagang intan dan berlian asal Banjar yang bermukim di Yogyakarta tersebut umumnya berasal dari kota intan Martapura. Kota Martapura sejak masa Kerajaan Banjar dulu sudah dikenal sebagai kota serambi Mekah, karena penduduknya umumnya taat beragama. Kota Martapura dikenal selain sebagai ibukota Kerajaan Banjar juga merupakan pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan. Ajaran Islam yang menyebar dari Martapura ke berbagai pelosok di Kalimantan tersebut erat kaitannya dengan usaha yang dilakukan oleh seorang ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada akhir abad ke 19 yang lalu. Sebagai pewaris ulama besar penyebar Islam tersebut membuat warga Martapura dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat dalam menjalankan ibadah. Karena itulah di mana ada sekelompok warga Banjar asal Martapura bermukim di tempat itu ada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti perkumpulan pengajian agama, perkumpulan pembacaan Surah Yasin, perkumpulan pembacaan Barzanji, dan lainnya.
Ketaatan dalam melaksanakan ibadah wajib atau fardhu ain seperti shalat lima waktu bagi warga Martapura sesuatu yang mereka lakukan di manapun berada. Tuntutan adanya tempat yang memadai dan resmi untuk melaksanakan ibadah shalat tersebut, maka warga Martapura yang melakukan kegiatan dagang di Pasar Beringharjo bersepakat  untuk mengusahan didirikannya mushalla yang tidak jauh dari tempat mereka berjual beli. Sebagai pedagang batu mulia beberapa warga Banjar asal Martapura ini umumnya mempunyai hubungan dekat dengan beberapa pedagang atau pengoleksi batu-batu permata dari keluarga Kesultanan Ngayogyakarta. Melalui kalangan pedagang keluarga kerajaan inilah para pedagang Banjar yang disponsori oleh H. Hasan kemudian melakukan pendekatan kepada Sultan Yogya untuk mendapatkan ijin membangun mushalla yang letaknya tidak jauh dari Pasar Beringharjo. Dalam tahun 1940-an sewaktu Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah memangku jabatan sebagai Sultan Ngayogyakarta, ketika utusan warga Banjar dengan diantar seorang keluarga kraton menghadap sultan ke istana, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghadiahkan sebidang tanah untuk pembangunan mushalla di kawasan Kampung Katandan yang sebelumnya digunakan untuk penambatan kuda. Di lokasi  itulah para pedagang asal Banjar dengan swadaya dan bergotong royong  kemudian dapat membangun sebuah mushalla kecil ukuran 8m x 8m yang dikenal sebagai Langgar Kalimantani[2]. Nama Kalimantani tersebut semula diberikan oleh Bapak Andik, tetuha warga Banjar di Yogyakarta waktu itu. Sampai pada tahun 1950 ketika langgar tersebut dijadikan masjid atau mulai difungsikan untuk melaksanakan shalat Jum’at, namanya masih  Masjid Kalimantani[3]. Perubahan nama menjadi Masjid Quwwatul Islam berlangsung pada tahun 1953 atas usulan K.H. Anwar Musaddad seorang warga Banjar yang ketika itu menjadi ketua takmir masjid. Bersamaan dengan itu pula dilakukan penambahan bangunan masjid pada bagian timur  yang luasnya 8m x 6m. Karena warga sekitar serta para pedagang lainnya yang ikut shalat Jum’at semakin banyak, kemudian tanah sisi utara masjid yang luasnya sekitar 12m x 8m juga diberi atap guna menampung jemaah yang ikut Jum’atan di Masjid Quwwatul Islam ini. (HRN: disusun dari hasil wawancara dan berbagai sumber sumber).

(HRN: Maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).   


 




Senin, 13 Agustus 2012

RAMADHAN MUBARAK


Disusun: Ramli Nawawi

Saudaraku
Saat ini kita sedang berada di bulan Ramadhan tahun 1433 H yang bertepatan dengan sebagian dari bulan Juli dan Agustus 2012. Umat  Muslimin dan Muslimat sedunia serempak menjalankan ibadah puasa di bulan yang penuh berkah ini.  

Nabi Muhammad S.A.W. telah memberitahukan kepada kita umatnya, bahwa sangat banyak hikmah yang terkandung di dalam bulan yang suci ini, sebagaimana sabdanya:

 اتاكم رمضان سيد الشهور * فمرحبا به واهلا * جاء شهرالصيام با لبركا ت
 فاءكرم به من زائر هوات * لو تعلمو امتى ما فى رمضان لتمنو ان تكون
 السنة كله رمضان * لاء ن الحسنا ت فيه مجتمعة * والطاعة
مقبولة *والدعوات مستجابة * والدنوب مغفورة * والجنة مشتاقة *

“Telah datang bulan Ramadhan mengunjungi kamu, bulan yang amat utama, sambut dan elu-elukanlah kedatangannya itu. Dia datang membawa bermacam-macam berkah, muliakanlah dia laksana menghormati tamu. Seandainya umatku mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam bulan Ramadhan itu, pastilah mereka menginginkan supaya seluruh bulan dalam setahun terdiri dari bulan Ramadhan. Karena dalam bulan Ramadhan itu berkumpul bermacam-macam kebaikan yang memberi pahala, taat yang diterima, do’a diperkenankan, dosa diampuni, dan timbul kerinduan akan sorga”. (h.r. Ahmad dari Ibnu Abas).

Saudaraku,
Kalau kita perhatikan isi hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas tersebut, maka hikmah yang terkandung dalam bulan Ramadhan selain mengandung nilai-nilai “ubudiah” (penghambaan diri kepada Allah), juga mengandung nilai-nilai “etika” (moral)  yang memberi tuntunan dalam hidup kita bermasyarakat.

Nilai-nilai ubudiah yang terkandung dalam bulan Ramadhan tersebut adalah:
1). Ramadahan sebagai sumber kebaikan, karena puasa Ramadhan selain sebagai salah satu rukun Islam, juga merupakan lahan yang mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Karena itu pada malam hari selama bulan Ramadhan kita dianjurkan melaksanakan shalat tarawih, i’tikaf di mesjid, tilawatul Qur’an, meningkatkan do’a memohon ampun kepada Allah, bersedekah, serta perbuatan-perbuatan baik lainnya. Karena itulah Ramadhan dikatakan sebagai sumber kebaikan.

2. Pada bulan Ramadhan ketaatan kita diterima oleh Allah, segala amal ibadah kita akan diterima oleh Allah.

3. Pada bulan Ramadhan segala doa diperkenankan. Setiap doa yang baik yang dimohonkan dalam bulan Ramadhan akan diperkenankan oleh Allah S.W.T. Karena itu  bulan Ramadhan memberikan kesempatan kepada kaum muslimin dan muslimat untuk meningkatkan doa untuk kemaslahatan kehidupan di dunia dan dia khirat.
Ada 3 doa yang banyak dipanjatkan orang-orang yang berpuasa dalam bulan ini:

 الهم اغفرلى د نوب يا رب العالمين
(Ya Allah ampunilah dosaku,  ya Tuhan sekalian Alam), doa pada hari 1 s.d. hari ke 10..

 الهم ارحمنى برحمتك يا ارحم الرحين
(Ya Allah berilah aku rahmat (belas kasih) dengan rahmat-Mu, ya Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang), doa pada hari ke 11 s.d. hari 20.

 الهم اعتنى من النار واد حلنى الجنة يا رب العالمين

(Ya Allah, bebaskanlah aku dari siksa api neraka, dan masukkanlah aku ke dalam sorga, ya Tuhan sekalian alam), doa dari tanggal 21 s.d akhir Ramadhan.

4. Pada bulan Ramadhan dosa-dosa diampuni. Sebagaimana hadis nabi: 
 من صام رمضان ايمانا واحتسابغفر له ما تقد م من د به 
(Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap keredaan Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang lalu).

Yang dimaksudkan disini bahwa pada bulan Ramadhan terdapat peluang yang memberi kesempatan kpd kaum muslimin dan muslimat utk meningkatkan amaliah, sehingga kumpulan kebaikan yang dilakukan seorang hamba tersebut dapat menghapus dosa-dosanya. Allah menegaskan dalam surah Al Hud (114):

اءن الحسنات يدهبن السيئا ت *
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan kebaikan itu menghapuskan perbuiatan-perbuatan yang buruk”.

5. Bulan Ramadhan menimbulkan kerinduan untuk nanti bisa memasuki sorga. Bulan ramadhan dengan segala kesemapatan untuk melakukan amaliah itu menumbuhkan upaya  untuk nantinya menjadi penghuni sorga, yakni tempat di akhirat yang memberikan penuh kebahagian dan kenikmatan seperti yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang taat beribadat menjalankan kewajiban yang diperintahkanNya.

Saudaraku,
Nilai-nilai lain yang dilahirkan dari ibadah puasa adalah ketahanan rohaniah. Karena puasa melatih jiwa mengendalikan dan menguasai hawa nafsu. Sementara ketahanan rohaniah seseorang akan mampu menghadapi setiap tantangan dan godaan yang hendak menyesatkan atau menjatuhkan kita. Ketahanan rohaniah sangat diperlukan bagi keluarga muslim dalam kehidupan dunia modern saat ini (agar kita terhindar dari pengaruh negatif sarana komunikasi, narkoba, pergaulan bebas, dls).

Nilai lainnya, dengan berpuasa orang semakin menyadari akan nikmat yang diberikan Allah. Semua nikmat itu disadari ketika nikmat itu hilang atau lenyap dari seseorang. Dengan berpuasa, maka dengan kemauan sendiri orang menahan dirinya tidak makan dan tidak minum sehari penuh. Dengan demikian dia dapat merasakan bagaimana nikmat yang diberikan Allah sesuatu yang pernah dimilikinya manakala hal itu tidak dimilikinya lagi.

Saudaraku,
Ibadah puasa juga melatih seseorang untuk berserah diri kpd Allah S.W.T (Allah yang mengatur kemampuan kita), puasa menguatkan kemauan (karena dalam berpuasa ada tantangan dan godaan menyuruh mundur), jujur (tidak makan atau minum meskipun tidak ada orang yang mengawasi).

Demikianlah dari uraian di atas, maka ibadah puasa yang kita lakukan dalam bulan Ramadhan saat ini, banyak mengandung nilai-nilai ubudiah (untuk bekal kehidupan kita di akhirat yang kekal kelak), dan juga mengandung nilai-nilai moral (etika) yang berguna untuk menghadapi tantangan kehidupan di masyarakat yang kita jalani saat ini. Semoga bermanfaat (HRN).


Minggu, 01 Juli 2012

TAKDIR CINTA


4. LIKA-LIKU CINTA (1)
(Ceritera ini fiksi, kalau ada kesamaan nama dan tempat serta lainnya, hanya dibuat kebetulan, sambungan posting: tgl. 2-6-2012, oleh Ramli Nawawi)

Kedekatan Ana dan Ali setelah masing-masing menyimpan secarik kertas dokumen cinta mereka berdua semakin hari semakin tampak di kalangan teman-teman mereka. Bahkan kadang pada hari Minggu dengan alasan konsultasi sesuatu kepda guru pimpinan asrama tempat Ali, Ana dan Ani temannya datang ke asrama Ali.

”Li, ada tamu istimewa tuh di depan”, bilang temannya kepada Ali yang lagi asyik di kamarnya.
”Siapa”, kata Ali dingin, walaupun ia dapat menduga kalau itu Ana dan temannya.
”Lihat dulu lah...”, sambung temannya.
”Ngga, tanya dulu mau ketemu siapa mereka”, bilang Ali.

Teman Ali pergi ke depan, sambil menyilakan Ana dan temannya masuk.
”Mau ketemu siapa......”, bilang teman Ali.
”Bapak ada....”, tanya Ana.

Ana sungkan kalau bilang mau ketemu Ali, karena itu biar ia bilang mau ketemu bapak asrama saja.

”Ada .....”, bilang teman Ali yang dalam benaknya ”kok mau ketemu guru, bukannya mau ketemu Ali yang selama ini selalu dekat.
”Pa...ada tamu”, bilang teman Ali sambil mengetuk pintu kamar gurunya.
”Sebentar...., silakan duduk dulu”, sahut bapak asrama.

Mendengar percakapan mereka Ali sadar bahwa tamu tersebut adalah Ana. Tapi mengapa Ana bilang mau ketemu bapak asrama, bukan mau ketemu dia. Apa memang ia begitu, atau karena Ana jengkel Ali tidak keluar menemuinya. Ada penyesalan dalam hati Ali. Karena itu ia memutuskan tetap tidak keluar menemui Ana.

”Oh... kamu-kamu, ayo mari masuk aja”, kata bapak asrama begitu keluar kamarnya, sambil mengajak masuk Ana dan kawannya.

Memang biasanya setiap ada tamu bapak asrama mengajak mereka masuk ke kamarnya, baik tamu laki-laki atau perempuan yang datang tidak sendirian. Di kamar bapak asrama ini memang ada kursi tamunya.

”Tumben ada apa, libur-libur datang ke asrama”, kata bapak asrama  sambil menyilakan keduanya duduk.
”Jalan-jalan aja pak”, bilang teman Ana.
”Ya pak dari pada sepi, di asrama kami banyak teman yang pulang kampung”, sambung Ana.
”Kamu berdua tidak pulang”, bilang bapak asrama.
”Kita berdua kan rumah masih dalam kota, jadi tidak hari libur juga bisa pulang sebentar”, bilang teman Ana yang diiyakan oleh Ana.

Setelah bincang-bincang mengenai pelajaran yang diberikan pak guru di sekolah, Ana memberi isyarat kepada temannya kalau ia mengajak pulang. Karena sebenarnya tujuan Ana datang bukan untuk bertemu guru asrama, maka tidak berapa lama Ana dan temannya pamit untuk pulang.

”Pa... maaf nih kami mau permisi aja”, bilang Ana kepada pak guru.
”Loo...sebentar aja, mau kemana lagi”, sahut pak guru.
”Ya... namanya juga jalan-jalan pak, jadi serba sebentar aja”, bilang teman Ana, sambil keduanya berdiri pamit kepada bapak asrama                                      
”Na..kemana lagi kita”, tanya teman Ana, setelah mengambil kendaraan dan keluar pekarangan asramanya Ali.
”Ke rumah aku yu”, sahut Ana yang ingin menggunakan waktu senggang hari itu untuk menemui ibunya.
”Ayu..setuju..”, teman Ana meiyakan.

Dalam perjalanan menuju rumahnya, rasa kecewa Ana saat berkunjung ke asrama Ali masih mengganggunya. Namun semua itu ia coba untuk menyimpannya agar tidak tampak mempengaruhinya. Ia berusaha agar tetap wajar ketika betemu dengan ibunya dan keluarganya yang lain.
    
Ketika memasuki pekarangan rumah ibu Ana, rumah tampak sepi. Karena itu Ana mengajak temannya masuk lewat pintu tiras samping. Karena pintunya terbuka Ana langsung masuk bersama temannya sambil mengucapkan salam.

”Assalamualaikum, mana orangnya nih”, cari Ana.
”Alaikum salam, oh kamu Na”, sahut ibunya yang baru saja melepas pekerjaan rumahnya.
“Wah ibu pasti selalu bersih-bersih rumah”, sapa teman Ana yang sudah  kenal benar dengan ibu Ana, dan tahu kalau ibu Ana sangat menjaga kebersihan rumahnya.
“Ngga lagi santai aja” tukas ibu Ana, ”mari mau duduk dimana, di ruang depan...?”, tanya ibu Ana.
“Sini aja bu, saya dan Ana juga hari ini lagi santai bu”, kata teman Ana sambil duduk di lantai yang tampak sangat bersih.
”Maunya santai di sini ya, mari bisa”,  bilang ibu Ana, sambil ia juga duduk bersama temannya Ana.

Ana masih di dapur, ia menyiapkan minuman dan kue simpanan ibunya. Kemudian menggabung dengan keduanya sambil membawa minuman untuk mereka.
”Seadanya Ni lah”,  kata Ana sambil mengajak Ani temannya mencicipi hidangannya.
 ”Silakan”, kata ibu Ana, ” lagi sepi ya di asrama jadi bisa pulang”, sambung ibu Ana.
 ”Ya bu, kawan-kawan banyak yang menyempatkan pulang juga”, sahut teman Ana sambil mulai mengambil kue yang dihidangkan Ana.
 ”Minumnya lagi?”, tanya Ana melihat gelas minum temannya sudah separo. Ana yang tadinya banyak diam karena kecewanya belum hapus, kini sudah mulai bisa senyum. Melihat Ana mulai tampak ceria, temannya juga mulai berani bicara bercanda kepda ibunya Ana.
 ”Bu, Ana sudah punya pilihan lo”, cetus temannya.
 ”Pilihan apa...”, tanggap ibunya curiga.
  ”Ya... teman pilihanan lah bu”, jelas Ani temannya.
  ”Ani ngarang bu”, sanggah Ana.    
   ”Belajar yang baik dulu lah...”. pinta ibu Ana, ”dan nanti hati-hati kalu menetapkan pilihan”, pesannya.
”Nah dengar tuh Na”, ucap Ani kepada Ana.
”Ah... kamu Ni yang macam-macam”, elak Ana, sambil mengajaknya kembali ke asrama.
”Ni sudah siang benar, ke asrama yu”, sambungnya.
”Makan dulu masakan ibu”, pinta ibu Ana.
”Sayang bu, jatah makan di asrama hari ini banyak bu karena banyak yang pulang kampung”, jelas Ani kepada ibu Ana.
”Ma... kembali ke asrama dulu”, Ana menjabat tangan ibunya dan menciumnya. Diikuti pula oleh Ani temannya.
”Hati-hati di jalan”, kata ibu Ana sambil berdiri.mau melepas kepergian Ana dan temannya.
Ana dan temannya meninggalkan rumah ibu Ana dengan kendaraan berboncengan menuju asrama mereka. Tiba di asrama Ana langsung masuk kamar dan merebahkan dirinya. Teringat peristiwa pagi tadi, lahir kembali rasa kecewanya juga secercah tanda tanya di hatinya ”mengapa Ali bersikap  acuh seperti tidak tahu kedatangannya”.
Tapi kegalauan hatinya sirna seketika karena dari arah pintu kamarnya ada suara memangglnya: ”Na makan...!”, seru salah seorang teman giliran pikat asrama.
.”Teman-teman yang tidak pulang kampung, ayu makan siang....sudah siaap....”, seru anggota pikat lainnya.     

Makan bersama di meja makan yang biasa dibaringi canda ria penghuni asrama pada siang itu, membuat Ana bisa menghilangkan pertanyaan-pertanyaan yang timbul gara-gara kegagalannya bertemu Ali hari tersebut.

Malam hari ketika waktu belajar bersama, Ana sudah bersikap wajar-wajar saja, tak tampak bekas-bekas kekecewaan yang hari itu membuatnya sangat kecewa.  

Besok paginya sehabis upacara bendera, Ali sengaja lewat di teras depan kelas Ana. Ana yang sedang kumpul dengan teman sekelasnya, tampak sengaja tidak menoleh lewatnya Ali. Memang kecewanya di hari Minggu kemaren masih berbekas di  hatinya. Ali sadar akan kekecewaan Ana kemaren itu. Tapi Ana tidak tahu kalau Ali juga sangat menyesal akan perilakunya terhadap tamu yang sebenarnya dari isyarat kawannya ia tahu kalau tamu itu Ana. Tapi mengapa Ana juga tidak berterus terang kalau ia sebenarnya datang untuk bertemu Ali.

Sudah seminggu berlalu, kesempatan Ali untuk mengucapkan kata maaf kepada Ana belum juga tersampaikan. Tidak ada momen yang baik yang bisa mempertemukan keduanya. Ali sungkan mendekati Ana ketika ia berkumpul dengan teman-teman sekelasnya. Apalagi sepertinya Ana sengaja tidak memberikan ruang waktu kesempatan mereka bertemu berdua saja. Ia sengaja memberi ujian kepada Ali, sejauh mana kebenaran Ali menjatuhkan pilihan kepadanya.

(bersambung ke posting tgl.: 1-9-2012)



  
   
    .