Oleh: Ramli Nawawi
(Sekilas tentang Raden Rahmat pendiri Masjid Ampel
Surabaya)
Campa adalah suatu kerajaan yang masyhur pada abad
ke 15. Negeri Campa terletak
di benua Asia bagian tenggara. Negeri yang menurut sejarahnya tidak pernah
mengalami penjajahan ini sampai sekarang masih berbentuk kerajaan.
Di Campa inilah pada sekitar 500 tahun yang lalu
lahir seorang bayi yang oleh orang tuanya diberi nama Sayid Ali Rahmatullah.
Orang tuanya sendiri bernama Syekh Maulana Ibrahim Samargandi. Nama Samargandi
tersebut karena dia berasal dari Samarkand, sebuah daerah di Rusia.
Dalam sejarah, Samarkand memang daerah yang
terkenal sebagai tempat ulama-ulama Islam yang masyhur di dunia. Di Samarkand
inilah terdapat daerah lagi yang bernama Bukhara, tempat lahirnya seorang ulama
(sarjana) hadits terkenal bernama Imam Bukhari yang masyhur sebagai seorang
perawi (penulis) hadits Nabi Muhammad S.A.W., yang diakui kalangan umat Islam
sebagai hadits-hadits sahih sampai saat ini.
Selain itu di Samarkand terdapat pula seorang
ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra, seorang Ahlussunnah Wal
Jamaah bermazhab Imam Syafii. Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra inilah yang
menurunkan Syekh Maulana Ibrahim Samargandi, yang ketika menyiarkan agama Islam
ke Campa, oleh raja Campa dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candra
Wulan. Dari perkawinan antara Syekh Maulana Ibrahim Samargandi dengan Dewi
Candra Wulan inilah lahir Sayid Ali Rahmatullah. Sedangkan putri Campa lainnya
yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya raja Majapahit.
Tidak seorangpun yang menduga kalau Sayid Ali
Rahmatullah yang dilahirkan dan dibesarkan di negeri Campa ini kemudian menjadi
orang pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sejarah memang
merupakan suatu peristiwa sebab akibat yang pantarai. Meninggalnya Gajah Mada
seorang Maha Patih Kerajaan Majapahit di tanah Jawa menyebabkan kerajaan ini menjadi
mundur secara derastis. Keamanan di masyarakat tidak bisa ditegakkan secara
tegas. Di kalangan istana sendiri terjadi kemerosotan moral, seperti para
bangsawan dan para pangeran banyak yang berpesta pora, main judi dan
mabuk-mabukan. Keadaan inilah yang menyebabkan Prabu Brawijaya, ketika ia naik
tahta sebagai raja terakhir di Majapahit merasa gelisah dan sedih. Prabu
Brawijaya menyadari bahwa apabila hal tersebut terus berlangsung negara akan
menjadi lemah dan Majapahit akan lebih mudah dihancurkan oleh musuh.
Usaha-usaha Prabu Brawijaya untuk mengembalikan ketertiban di masyarakat maupun
di kalangan istana dengan memanfaatkan pejabat-pejabat dan kekuatan kerajaan
lainnya selalu tidak memberikan hasil yang memadai.
Dalam situasi serba kacau itulah Dewi Dwarawati,
isteri Prabu Brawijaya asal negeri Campa mencoba mengajukan pendapat kepada
suaminya, untuk mendatangkan keponakannya seorang Pangeran dari Campa yang
bernam Sayid Ali Rahmatullah. Diceritakan oleh Dewi Dwarawati kepada suaminya
bahwa Sayid Ali Rahmatullah di negerinya dikenal sebagai seorang arif dan bijak
yang mempunyai banyak kemampuan dalam berbagai hal. Terdorong oleh keinginan
demi ketentraman masyarakat dan kebaikan bagi Kerajaan Majapahit, Prabu
Brawijaya dapat menyetujui pendapat isterinya. Sehubungan dengan itu raja
memberangkatkan utusan ke negeri Campa untuk memintakan kesediaan Sayid Ali Rahmatullah
dan ijin orang tuanya untuk membawa Sayid Ali Rahmatullah ke Majapahit, sesuai
dengan permintaan Prabu Brawijaya dan isterinya Dewi Dwarawati. Segalanya
berlangsung lancar dan Sayid Ali Rahmatullah kemudian berangkat ke tanah Jawa.
Setibanya di Kerajaan Majapahit ia menghadap Prabu Brawijaya, yang selanjutnya
menugaskannya untuk memperbaiki moral para bangsawan dan para pangeran yang
telah rusak ahlaknya tersebut.
Setelah beberapa waktu tinggal di istana Majapahit
Prabu Brawijaya menjodohkannya dengan puterinya yang bernama Dewi Candrawati.atau
Nyai Ageng Manila. Sementara itu para pangeran dan para bangsawan istana, para
adipati dan bupati diperintahkan untuk belajar budi pekerti. Maka untuk
melaksanakan tugasnya Prabu Brawijaya menghadiahkan sebidang tanah yang
terletak di Desa Ampel kepada Sayid Ali Rahmatullah dan isterinya untuk mereka
tinggal bersama-sama pengikut dan murid-muridnya.
Sayid Ali Rahmatullah sejak kawin dengan Dewi
Candrawati puteri raja Majapahit tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama
Raden Rahmat. Bagi Raden Rahmat misi penyebaran Islam di tanah Jawa ini secara
resmi dimulainya ketika ia beserta isteri dan orang-orang yang menjadi
pengikutnya berangkat dari Kerajaan Majapahit menuju lokasi tanah di Desa Ampel
yang dihadiahkan Prabu Brawijaya kepadanya. Sepanjang jalan perjalanannya Raden
Rahmat memberikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk desa
yang dilaluinya. Menurut cerita rakyat, kipas-kipas tersebut berguna sebagai
obat penyembuh bagi mereka yang mendapat sakit demam atau batuk. Dengan memohon
pertolongan Allah S.W.T kipas tersebut
direndam di air putih dan kemudian diminumkan kepada si sakit maka dengan ijin
Allah penyakitnya akan sembuh.
Rakyat yang mendengar berita bahwa kipas dan akar
tumbuhan yang dibawa Raden Rahmat berhasiat menyembuhkan penyakit, kemudian
banyak diminta oleh masyarakat desa-desa yang dilaluinya berserta istri dan
pengikutnya. Raden Rahmat tidak menjualnya, ia hanya cukup menukarnya dengan
mengucapkan dua kalimah syahadat. Bersamaan dengan itu ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat
pemahaman mereka.
Demikian sepanjang perjalanan dari pusat Kerajaan
Majapahit, melalui Desa Krian, Wonokromo, terus memasuki Kembang Kuning ke Desa
Ampel Denta, Raden Rahmat telah berhasil mengislamkan penduduk yang bermukim di
sepanjang jalan yang dilaluinya tersebut.
Raden Rahmat ketika itu berusia kurang lebih 20
tahun. Setelah berada di Desa Ampel Denta ia bersama pengikutnya mendirikan
tempat tinggal dan sebuah langgar untuk
melaksanakan shalat lima waktu berjamaah. Raden Rahmat juga membangun sebuah
pondokan untuk tempat mengajar pengikut dan murid-muridnya. Prabu Brawijaya
juga memerintahkan para adipati dan bupati belajar budi pekerti di Ampel.
Sedangkan anak-anak mereka diharuskan menetap di pondokan Ampel untuk belajar.
Dalam misinya menyebarkan agama Islam Raden Rahmat
juga suka turun ke masyarakat. Untuk bisa mendekati guna menyadarkan dan
mengislamkan merka, Raden Rahmat pada suatu waktu ikut pula dalam suatu
kegiatan yang dilakukan masyarakat. Salah satu kegemaran masyarakat pada waktu
itu adalah melakukan judi sabung ayam. Untuk bisa berkumpul dengan mereka maka
Raden Rahmat ikut pula dalam kegiatan tersebut. Agar ia bisa dikenal oleh
seluruh masyarakat yang gandrung melakukan judi sabung ayam, Raden Rahmat
meminta kepada Tuhan agar ayam miliknya selalu menang dalam pertandingan
tersebut. Permintaan Raden Rahmat ternyata dikabulkan Tuhan, sehingga ayam
miliknya tidak pernah kalah dalam pertandingan. Hal ini menyebabkan semua orang
yang hadir mengagumi ayamnya. Dalam kesempatan seperti itulah ia menyampaikan
dakwahnya. Ia memberitahukan bahwa ayamnya selalu menang dalam persabungan
karena ia telah meminta kepada Tuhan Allah agar ayamnya dimenangkan.
Dikatakannya pula bahwa siapapun bisa meminta kepada Allah agar ayamnya
dimenangkan, asal yang empunya mau mengucapkan dua kalimah syahadat. Bagi
mereka yang bersedia, maka Raden Rahmat memintakan kepada Allah agar ayamnya
dimenangkan. Setelah beberapa waktu kemudian Raden Rahmat dengan secara
bijaksana memberikan pengertian bahwa perbuatan judi sabung ayam tersebut
sebenarnya dilarang oleh Allah.
Ketika itu rumah penduduk Desa Ampil baru sekitar
500 buah rumah tangga. Raden Rahmat yang di daerah baru ini kemudian banyak
dikenal oleh masyarakat sebagai orang bijaksana dan ahli dalam agama Islam,
kemudian lebih dikenal dengan gelar Sunan Ampel (Sunan Ngampel).
Setelah Sunan Ampel mendiami daerah itu,
perkampungan menjadi masyhur dengan nama Ampel Denta dan Ampel Gading.
Nama-nama itu merupakan lambang kejujuran dan keadilan Sunan Ampel. Hal ini mengandung makna bahwa
segala fatwa dan ucapan Sunan Ampel waktu itu dianggap masyarakat sebagai
”Sabda Pandita Ratu”, yang apabila telah diucapkan maka sah dan tidak akan
ditarik lagi. Hal ini diibaratkan dento atau gigi dan gading gajah dewasa yang
apabila gugur pasti tidak akan tumbuh lagi.
Sunan Ampel yang semula bernama Sayid Ali
Rahmatullah datang ke Pulau Jawa pada tahun 1421 M. Apabila waktu itu ia baru
berusia kurang lebih 20 tahun, maka berarti ia lahir pada sekitar tahun 1401 M.
Sunan Ampel termasuk salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa meneruskan misi yang dirintis oleh Malik Ibrahim yang meninggal pada
tahun 1419 M.
(Sumber buku: Masjid Ampel Sejarah, Fungsi dan
Peranannya, oleh: Ramli Nawawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar