Sabtu, 29 Juni 2013

SUNAN AMPEL



Oleh: Ramli Nawawi

(Sekilas tentang Raden Rahmat pendiri Masjid Ampel Surabaya)

Campa adalah suatu kerajaan yang masyhur pada abad ke 15. Negeri Campa terletak di benua Asia bagian tenggara. Negeri yang menurut sejarahnya tidak pernah mengalami penjajahan ini sampai sekarang masih berbentuk kerajaan.
Di Campa inilah pada sekitar 500 tahun yang lalu lahir seorang bayi yang oleh orang tuanya diberi nama Sayid Ali Rahmatullah. Orang tuanya sendiri bernama Syekh Maulana Ibrahim Samargandi. Nama Samargandi tersebut karena dia berasal dari Samarkand, sebuah daerah di Rusia.
Dalam sejarah, Samarkand memang daerah yang terkenal sebagai tempat ulama-ulama Islam yang masyhur di dunia. Di Samarkand inilah terdapat daerah lagi yang bernama Bukhara, tempat lahirnya seorang ulama (sarjana) hadits terkenal bernama Imam Bukhari yang masyhur sebagai seorang perawi (penulis) hadits Nabi Muhammad S.A.W., yang diakui kalangan umat Islam sebagai hadits-hadits sahih sampai saat ini.
Selain itu di Samarkand terdapat pula seorang ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra, seorang Ahlussunnah Wal Jamaah bermazhab Imam Syafii. Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra inilah yang menurunkan Syekh Maulana Ibrahim Samargandi, yang ketika menyiarkan agama Islam ke Campa, oleh raja Campa dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candra Wulan. Dari perkawinan antara Syekh Maulana Ibrahim Samargandi dengan Dewi Candra Wulan inilah lahir Sayid Ali Rahmatullah. Sedangkan putri Campa lainnya yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya raja Majapahit.
Tidak seorangpun yang menduga kalau Sayid Ali Rahmatullah yang dilahirkan dan dibesarkan di negeri Campa ini kemudian menjadi orang pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sejarah memang merupakan suatu peristiwa sebab akibat yang pantarai. Meninggalnya Gajah Mada seorang Maha Patih Kerajaan Majapahit di tanah Jawa menyebabkan kerajaan ini menjadi mundur secara derastis. Keamanan di masyarakat tidak bisa ditegakkan secara tegas. Di kalangan istana sendiri terjadi kemerosotan moral, seperti para bangsawan dan para pangeran banyak yang berpesta pora, main judi dan mabuk-mabukan. Keadaan inilah yang menyebabkan Prabu Brawijaya, ketika ia naik tahta sebagai raja terakhir di Majapahit merasa gelisah dan sedih. Prabu Brawijaya menyadari bahwa apabila hal tersebut terus berlangsung negara akan menjadi lemah dan Majapahit akan lebih mudah dihancurkan oleh musuh. Usaha-usaha Prabu Brawijaya untuk mengembalikan ketertiban di masyarakat maupun di kalangan istana dengan memanfaatkan pejabat-pejabat dan kekuatan kerajaan lainnya selalu tidak memberikan hasil yang memadai.
Dalam situasi serba kacau itulah Dewi Dwarawati, isteri Prabu Brawijaya asal negeri Campa mencoba mengajukan pendapat kepada suaminya, untuk mendatangkan keponakannya seorang Pangeran dari Campa yang bernam Sayid Ali Rahmatullah. Diceritakan oleh Dewi Dwarawati kepada suaminya bahwa Sayid Ali Rahmatullah di negerinya dikenal sebagai seorang arif dan bijak yang mempunyai banyak kemampuan dalam berbagai hal. Terdorong oleh keinginan demi ketentraman masyarakat dan kebaikan bagi Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya dapat menyetujui pendapat isterinya. Sehubungan dengan itu raja memberangkatkan utusan ke negeri Campa untuk memintakan kesediaan Sayid Ali Rahmatullah dan ijin orang tuanya untuk membawa Sayid Ali Rahmatullah ke Majapahit, sesuai dengan permintaan Prabu Brawijaya dan isterinya Dewi Dwarawati. Segalanya berlangsung lancar dan Sayid Ali Rahmatullah kemudian berangkat ke tanah Jawa. Setibanya di Kerajaan Majapahit ia menghadap Prabu Brawijaya, yang selanjutnya menugaskannya untuk memperbaiki moral para bangsawan dan para pangeran yang telah rusak ahlaknya tersebut.
Setelah beberapa waktu tinggal di istana Majapahit Prabu Brawijaya menjodohkannya dengan puterinya yang bernama Dewi Candrawati.atau Nyai Ageng Manila. Sementara itu para pangeran dan para bangsawan istana, para adipati dan bupati diperintahkan untuk belajar budi pekerti. Maka untuk melaksanakan tugasnya Prabu Brawijaya menghadiahkan sebidang tanah yang terletak di Desa Ampel kepada Sayid Ali Rahmatullah dan isterinya untuk mereka tinggal bersama-sama pengikut dan murid-muridnya.
Sayid Ali Rahmatullah sejak kawin dengan Dewi Candrawati puteri raja Majapahit tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama Raden Rahmat. Bagi Raden Rahmat misi penyebaran Islam di tanah Jawa ini secara resmi dimulainya ketika ia beserta isteri dan orang-orang yang menjadi pengikutnya berangkat dari Kerajaan Majapahit menuju lokasi tanah di Desa Ampel yang dihadiahkan Prabu Brawijaya kepadanya. Sepanjang jalan perjalanannya Raden Rahmat memberikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk desa yang dilaluinya. Menurut cerita rakyat, kipas-kipas tersebut berguna sebagai obat penyembuh bagi mereka yang mendapat sakit demam atau batuk. Dengan memohon pertolongan Allah S.W.T  kipas tersebut direndam di air putih dan kemudian diminumkan kepada si sakit maka dengan ijin Allah penyakitnya akan sembuh.
Rakyat yang mendengar berita bahwa kipas dan akar tumbuhan yang dibawa Raden Rahmat berhasiat menyembuhkan penyakit, kemudian banyak diminta oleh masyarakat desa-desa yang dilaluinya berserta istri dan pengikutnya. Raden Rahmat tidak menjualnya, ia hanya cukup menukarnya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Bersamaan dengan itu ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Demikian sepanjang perjalanan dari pusat Kerajaan Majapahit, melalui Desa Krian, Wonokromo, terus memasuki Kembang Kuning ke Desa Ampel Denta, Raden Rahmat telah berhasil mengislamkan penduduk yang bermukim di sepanjang jalan yang dilaluinya tersebut.
Raden Rahmat ketika itu berusia kurang lebih 20 tahun. Setelah berada di Desa Ampel Denta ia bersama pengikutnya mendirikan tempat tinggal dan sebuah langgar  untuk melaksanakan shalat lima waktu berjamaah. Raden Rahmat juga membangun sebuah pondokan untuk tempat mengajar pengikut dan murid-muridnya. Prabu Brawijaya juga memerintahkan para adipati dan bupati belajar budi pekerti di Ampel. Sedangkan anak-anak mereka diharuskan menetap di pondokan Ampel untuk belajar.
Dalam misinya menyebarkan agama Islam Raden Rahmat juga suka turun ke masyarakat. Untuk bisa mendekati guna menyadarkan dan mengislamkan merka, Raden Rahmat pada suatu waktu ikut pula dalam suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat. Salah satu kegemaran masyarakat pada waktu itu adalah melakukan judi sabung ayam. Untuk bisa berkumpul dengan mereka maka Raden Rahmat ikut pula dalam kegiatan tersebut. Agar ia bisa dikenal oleh seluruh masyarakat yang gandrung melakukan judi sabung ayam, Raden Rahmat meminta kepada Tuhan agar ayam miliknya selalu menang dalam pertandingan tersebut. Permintaan Raden Rahmat ternyata dikabulkan Tuhan, sehingga ayam miliknya tidak pernah kalah dalam pertandingan. Hal ini menyebabkan semua orang yang hadir mengagumi ayamnya. Dalam kesempatan seperti itulah ia menyampaikan dakwahnya. Ia memberitahukan bahwa ayamnya selalu menang dalam persabungan karena ia telah meminta kepada Tuhan Allah agar ayamnya dimenangkan. Dikatakannya pula bahwa siapapun bisa meminta kepada Allah agar ayamnya dimenangkan, asal yang empunya mau mengucapkan dua kalimah syahadat. Bagi mereka yang bersedia, maka Raden Rahmat memintakan kepada Allah agar ayamnya dimenangkan. Setelah beberapa waktu kemudian Raden Rahmat dengan secara bijaksana memberikan pengertian bahwa perbuatan judi sabung ayam tersebut sebenarnya dilarang oleh Allah.
Ketika itu rumah penduduk Desa Ampil baru sekitar 500 buah rumah tangga. Raden Rahmat yang di daerah baru ini kemudian banyak dikenal oleh masyarakat sebagai orang bijaksana dan ahli dalam agama Islam, kemudian lebih dikenal dengan gelar Sunan Ampel (Sunan Ngampel).
Setelah Sunan Ampel mendiami daerah itu, perkampungan menjadi masyhur dengan nama Ampel Denta dan Ampel Gading. Nama-nama itu merupakan lambang kejujuran dan keadilan  Sunan Ampel. Hal ini mengandung makna bahwa segala fatwa dan ucapan Sunan Ampel waktu itu dianggap masyarakat sebagai ”Sabda Pandita Ratu”, yang apabila telah diucapkan maka sah dan tidak akan ditarik lagi. Hal ini diibaratkan dento atau gigi dan gading gajah dewasa yang apabila gugur pasti tidak akan tumbuh lagi.
Sunan Ampel yang semula bernama Sayid Ali Rahmatullah datang ke Pulau Jawa pada tahun 1421 M. Apabila waktu itu ia baru berusia kurang lebih 20 tahun, maka berarti ia lahir pada sekitar tahun 1401 M. Sunan Ampel termasuk salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa meneruskan misi yang dirintis oleh Malik Ibrahim yang meninggal pada tahun 1419 M.
(Sumber buku: Masjid Ampel Sejarah, Fungsi dan Peranannya, oleh: Ramli Nawawi)         
          

Tidak ada komentar: