Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Kalimantan Selatan tidak hanya dihuni oleh suku bangsa Banjar. Ada pula
suku bangsa Bakumpai yang mengaku dan diakui juga sebagai orang Banjar, tetapi
mengembangkan bahasa sendiri (bahasa Bakumpai) yang berbeda sekali dengan
bahasa Banjar. Juga di daerah pegunungan sebelah timur terdapat kelompok
masyarakat terasing yang dinamakan orang
Bukit, yang digolongkan kedalam suku Dayak. Penamaan orang Bukit ini lebih mengacu
pada daerah tempat tinggal mereka yang berada di perbukitan.
Masyarakat suku Banjar yang merupakan penghuni terbesar di daerah ini
menganut ajaran agama Islam yang kuat. Upacara keagamaan dapat dilihat baik
pada acara-acara resmi pemerintah maupun yang dilakukan masyarakat umum.
Namun jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan,
kebanyakan penduduknya menganut kepercayaan lama yang bersumber dari lingkungan kehidupan
mereka sendiri. Kemudian datang agama Hindu dan dengan cepatnya berkembang di
seluruh kawasan daerah Kalimantan Selatan. Agama ini menjadi anutan dan
tuntunan kehidupan dengan mendirikan candi-candi sebagai manifestasi dari
keberadaannya.
Bukti peninggalannya adalah situs bangunan Candi Agung yang terdapat di Amuntai
Kabupaten Hulu Sungai Utara dan situs Candi Laras yang terletak di Margasari
Kabupaten Tapin. Sehingga unsur kepercayaan yang dahulu pernah dianut masih
juga tertinggal di masyarakat. Dalam beberapa hal unsur-unsur itu tercampur
dalam kepercayaan menurut agama Islam. Tetapi selama hal itu tidak bertentangan
dengan syariat Islam, masih dikerjakan sebagai suatu tradisi yang wajar.
Sebagai penganut Islam yang taat, suku bangsa Banjar membangun
tempat-tempat ibadah seperti Masjid, Langgar (Surau), dan tempat-tempat
pendidikan Islam yang khusus dibangun oleh masyarakat setempat. Pengaruh agama
Islam bergerak jauh ke pedalaman, yang juga ikut mempengaruhi mitologi rakyat
dari suku bangsa yang ada.
Namun demikian seperti disinggung di atas, faktor kepercayaan lama pada
zaman nenek moyang, yang bersumber pada unsur-unsur kosmologi tetap melekat
baik secara disadari atau pun tidak. Memang sukar untuk mengukur sampai sejauh
mana indikasi unsur kosmologi itu melekat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan
Selatan, tapi hal itu masih dapat dilihat atau dirasakan dalam beberapa
tindakan kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Kalimanatan Selatan yang hidup dalam lingkungan adat istiadat
sepertinya juga tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan tindakan yang
dilazimkan oleh adat. Misalnya, orang mau saja mengadakan atau melakukan
sesuatu yang sudah menjadi suatu keharusan agar tidak mendapatkan kemurkaan
atau kutukan dari yang dianggap mereka menciptakan peraturan yang sudah
diadatkan tersebut.
Masyarakat Kalimantan Selatan baik sukubangsa Banjar maupun kelompok
sukubangsa Dayak umumnya juga melaksanakan berbagai adat istiadat yang telah
berpola, terutama upacara daur hidup. Contohnya, seorang isteri dari masa
kehamilan pertama jika telah mencapai tujuh bulan diadakan acara mandi-mandi
yang disebut “mandi tian mandaring”. Ketika lahir dilakukan palas bidan,
bapalas “baayun”, diteruskan upacara tasmiah, sunatan. Setelah dewasa ada
upacara perkawinan, yang didahului dengan serangkaian adat yang berlaku, mulai
basusuluh, badatang, pelaksanaan akad nikah, sampai hari perkawinan penuh
dengan aturan-aturan yang diadatkan.
Demikian pula halnya kematian, dilaksanakan serangkaian upacara yang telah diberlakukan dalam kehidupan
masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Dalam masyarakat suku Banjar
upacara kematian berlangsung beberapa urutan, yaitu mulai turun tanah, meniga
hari, menujuh hari, menyelawi, meampat puluh hari dan menyeratus. Dan setiap
tahun dilaksanakan haulan. Tentu saja dalam kaitan ini dibacakan zikir dan doa
kepada arwah yang meninggal secara Islam.
Dalam masyarakat sukubangsa Banjar juga mengenal adanya kelompok yang
sangat kuat kesatuannya. Hal ini masih dapat ditemui hingga sekarang. Kesatuan
itu biasa disebut dengan perkataan “bubuhan”, yang rasa kesatuan sosial dan
sifat gotong royongnya kuat sekali.
Pengertian bubuhan kalau dalam ilmu Antropologi sama dengan keluarga luas,
yaitu suatu keluarga yang terdiri dari lebih dari keluarga inti yang seluruhnya
merupakan sistem kesatuan sosial yang sangat erat yang biasanya tinggal dalam
satu rumah atau satu pekarangan. Sejak zaman Hindia Belanda bubuhan-bubuhan
tidak lagi tinggal dalam satu rumah atau satu pekarangan melainkan telah
menyebar ke pemukiman yang saling berjauhan.
Biasanya seorang yang terpandang, mungkin karena memiliki kekayaan atau
kedudukan yang tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian dipakai
menjadi nama bubuhan, misalnya bubuhan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
(penyebar ajaran Islam abad 18 di Kalimantan Selatan).
Diantara kelompok bubuhan ini ada ada yang percaya bahwa mereka dapat
menarik garis keturuanan bilateral sampai tokoh zaman dahulu yang sulit ditelusuri silsilahnya dengan
urut. Tokoh tersebut dipercaya menurunkan Sultan-Sultan Banjar atau seorang
pejabat kesultanan. Kadang-kadang bubuhan mempunyai benda-benda pusaka yang
menjadi lambang keunggulan, atau ada pula yang mempunyai sumber air (sumur)
keramat yang berfungsi menghubungkan bubuhan dengan tokoh tertentu melalui
dongeng atau legenda. Misalnya legenda sumur datu sebagai tempat Datu Taruna
menyimpan harta pusaka.
Kepercayaan demikian itu selalu disertai dengan keharusan bubuhan yang
bersangkutan untuk melakukan upacara tahunan yang disebut aruh tahun atau
tradisi yang berlaku. Seperti yang pernah dilakukan kelompok masyarakat bubuhan
turunan Datu Taruna di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah
menyelenggarakan upacara “Manyanggar Banua” disertai berbagai keharusan atau
pantangan sehubungan dengan kepercayaan tersebut (yang pernah penulis ikuti
kegiatannya pada tahun 1980-an).
Pada beberapa kelompok bubuhan dengan setia melakukan aruh tahun walaupun
tidak jelas adanya tokoh nenek moyang yang dapat ditelusuri asal muasalnya. Akan
tetapi mereka yakin dengan menjiwai mantra atau mamangan tertentu merasa dapat
berhubungan dengan nenek moyang mereka.
Selain itu bagi sebagian masyarakat sukubangsa Banjar hutan belantara,
semak belukar dan gunung bukan semata-mata dihuni oleh makhluk bumi melainkan
juga didiami oleh makhluk gaib, binatang gaib, datu dan sebagainya. Lingkungan
kehidupan manusia merupakan personifikasi dunia gaib, sehingga di kalangan
sebagian masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan untuk bumi rata
adalah dunia bagi mahluk gaib yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah
rawa dan lain sebagainya.
Adanya kepercayaan yang demikian itu bubuhan orang Banjar yang mendiami daerah tertentu mengadakan
upacara setahun sekali, yaitu upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Para
petani dalam lingkungan persawahan mengadakan selamatan padang atau menyanggar
padang sebelum memulai kegiatan bertani. Para nelayan di pantai Pagatan
Kabupaten Tanah Bumbu setiap tahun menyelenggarakan Upacara Mapantari Tasi
dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak di tahun mendatang.
Demikian juga sebagai contoh lain para pendulang intan melaksanakan kegiatan
selamatan (menyanggar) di lokasi pendulangan sebelum melaksanakan kegiatan
pendulangan.
Demikianlah, kebudayaan dan adat
istiadat yang ada dan tumbuh di Kalimantan Selatan cukup banyak variasinya
sesuai dengan keadaan kelompok sukubangsa dan kepercayaan yang mereka anut. Meskipun
sesungguhnya keberadaan budaya dan adat istiadat itu sudah diketahui, namun
tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh semua pihak karena keterikatan pada
pemahaman masing-masing individu dan kelompok. Apalagi jika budaya dan adat
istiadat itu hendak dikaitkan dengan agama dan kepercayaan penganutnya secara
murni dapat menimbulkan persoalan yang berbau SARA dalam kehidupan masyarakat. Untuk
itu diperlukan kearifan kita dalam memahaminya supaya kehidupan bermasyarakat
selalu harmonis walaupun berbeda budaya, agama dan kepercayaan.
(HRN: maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).
(HRN: maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar